Jumat, 18 Oktober 2013

Timer


Sebuah perusahaan IT ternama baru saja menciptakan sebuah alat yang katanya benar-benar terbukti kebenarannya, bukan sekedar cincin berubah warna yang menunjukkan emosi ataupun gelang yang mampu mendeteksi penyakit tapi sebuah alat yang mampu membuatku mengerutkan dahi dan menghentikan sendokan terakhir nasi goreng sarapan pagiku.

Di lengan tangan dalam, perempuan yang menjadi pemain iklan tampak angka 0 empat kali lalu huruf D 0 dua kali lalu huruf H, 0 dua kali huruf M, 0 dua kali lalu huruf S. Ketika terdengar bunyi pip panjang tanpa sengaja seorang laki-laki yang berlari terburu-buru menabraknya dan membuat kertas-kertas yang dipegangnya berhamburan kemana-mana, dalam gerakan lambat mereka berdua saling bertatapan, setelah itu fokus kamera tertuju pada salah satu kertas yang terhambur, disana tertulis,

“If a clock could count down to the moment you meet your soul mate, would you want to know?”

 Lalu muncul nama dan simbol sebuah perusahaan IT terkenal yang sempat menjadi incaranku ketika masih menjadi mahasiswa dengan cita-cita yang begitu tinggi. Aku mendengus, mengabaikannya lalu mengunyah suapan nasi goreng terakhir. Ketika hendak berpindah dari meja makan menuju pintu depan sebelum handphoneku berdering dan pertanyaan di sebrang sana membuatku mengerutkan dahi.

“Emangnya bener ya ada alat yang bisa menghitung mundur waktu pertemuan seseorang dengan soulmatenya.”

Kuletakkan jaket di bangku penumpang menempelkan handphone di telinga dengan bahu lalu memasang sabuk pengaman. “Kalau ada emangnya kenapa?”

“Aku mau beli!”

“Buat apa?”

“Supaya aku yakin kamu soulmateku.”

Aku terkekeh geli. Perempuan yang akan menjadi isteriku baru saja termakan iklan perusahaan IT tingkat dunia yang memasarkan alat peramal jodoh—aku rasa bisa kusebut begitu—

“Silahkan, aku yakin harganya mahal sekali sampai-sampai kau harus menjual mobil kesayanganmu itu.”

Dia mendesis, aku bisa mendengarnya dan memang itu kebiasaannya ketika kesal, mengenalnya selama 5 tahun dan menjadi pasangannya selama 2 tahun membuatku hapal setiap pesan non verbal yang disampaikannya, mulai dari mendesis, mengetuk-ngetukkan benda apa saja yang berada di genggamannya ke dahi, mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai, menggigit bibir sampai menyibakkan rambutnya yang panjang disaat meminta perhatian

“Kalau kamu beli dan ternyata angkanya 0 semua, apa kamu nggak nyesel? Kan sayang ngeluarin duit banyak cuma buat beli alat yang nggak bisa kamu pakai,” kulirik jam di dashboard, masih sempat untuk mengobrol tanpa mengendarai, orang yang ada ditelepon akan sangat marah kalau tahu aku menyetir sambil mengajaknya ngobrol.

“Iya sih tapi kan—“

Dia punya hobi lain selain memarahiku ketika menelepon sambil menyetir yaitu memotong kalimat ditengah-tengah dan tugasku adalah sabar menunggunya, menunggu dia melanjutkan ucapannya.
Beberapa detik berlalu sampai dia melanjutkannya lagi. “Aku jadi semakin yakin kalau kamu soulmateku dan kita memang ditakdirkan untuk menikah.”

“Kalau angkanya bukan 0. Kamu mau batalin pernikahan kita?”

Kemudian tak ada jawaban di sebrang sana. Keheningan yang berlangsung cukup lama membuatku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan dengan mengatakan, “Aku mau berangkat kerja dulu, Juli. Jangan mikir yang aneh-aneh, ya?”

Hening lagi sebelum jawaban iya panjang khas miliknya bergema ditelingaku.

~

Ada yang pernah berkata padaku, tak ada kebetulan di dunia ini, yang ada adalah kebenaran, Juli yang mengatakannya dan aku tak mengerti kata-kata itu sampai dia meneleponku lagi seperti biasanya di pagi hari.

“Kamu tau?”

“Tau apa?” aku mengaduk sereal sarapan pagi hari ini, tinggal sendirian di kota besar membuatku memilih untuk sarapan dengan makanan-makanan sederhana buatan sendiri, kemarin mie goreng, hari ini sereal, mungkin besok roti bakar dan lusa hanya bubur instan.

“Aku menang undian yang waktu itu aku ceritain ke kamu.”

“Undian apa ya?” dahiku berkerut bersamaan dengan putaran sendok di dalam lautan cairan putih kental dan potongan-potongan roti tawar bersama sereal berwarna cokelat. Aku tak mengingat undian yang dimaksud oleh Juli.

“Undian itu—alat itu—“

Seketika putaran sendokku terhenti, sekarang aku mengerti. Undian yang dimaksudnya adalah undian yang diadakan oleh perusahaan IT global yang mengeluarkan alat peramal jodoh itu dan hadiah dari undian itu adalah 14 alat itu yang dibagikan secara gratis ke seluruh dunia tepat di tanggal 14 Februari. Kuakui caranya memasarkan produk barunya sangat hebat, iklannya saja sudah seperti FTV yang sering kutonton di siang hari dan membuat Juli tersenyum-senyum sendiri di depan layar televisi, lebih-lebih sampel yang akan dibagikan secara gratis tepat di hari valentine hanya dengan mendaftarkan nama dan alamat email saja.

Dan Juli, perempuan yang akan menjadi isteriku memenangkan undian itu.

Kugaruk kepalaku yang tak gatal, entah harus mengucapkan selamat atau menertawakannya tapi kurasa tertawa keras-keras hanya membuatnya marah lalu menutup sambungan telepon begitu saja, jadi kupilih ucapan selamat paling datar yang aku punya, bersamaan suara mendesis khas miliknya dia menutup telepon setelah berujar.

“Kamu nggak ikhlas bilang selamatnya.”

~

Beberapa hari kemudian, di minggu yang cerah suara bel membuatku berlari dari ruang tamu menuju pintu depan. Hari ini Juli memaksaku untuk tinggal dirumah dan berniat untuk memamerkan alat canggih yang dia dapat melalui undian itu, sebenarnya aku tidak terlalu tertarik pada alat itu hanya penasaran saja bagaimana reaksi Juli kalau ternyata alat itu masih menunjukkan angka selain 0.

Juli berdiri di depan pintu sambil menyembunyikan kedua tangannya kebelakang, rambutnya tergerai mencapai pinggang, mengenakan pita berwarna biru tua yang mengikat sedikit bagian rambutnya dan dress sepanjang lutut berwarna senada.

“Halooo—“ sapaan halo panjang khasnya membuat senyumku tak tertahankan kuminta dia masuk dan kami berjalan beriringan menuju ruang tamu, kami berdua duduk di sofa panjang berwarna hitam bersebelahan dan dekat.

“Udah siap belum?”

“Buat apa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

Dia mendesis lagi, kusambut desisannya dengan tawa. “Mana, mana? Penentu jadi atau tidak pernikahannya kita?” candaku padanya yang disambut dengan ekspresi keheranan yang tampak di wajahnya.

“Kamu beneran mau alat ini jadi penentu pernikahan kita?” tanyanya pelan, kuperhatikan tangan kanannya yang menggenggam pergelangan tangan kiri, biasanya ada jam tangan disana tapi sepertinya dia mengganti jam tangan itu dengan hadiah undian yang dibanggakannya.

“Kamu yang bilang begitu kan?”
Dia memalingkan wajahnya, sedetik kurasa keanehan dalam gerakannya dia tampak meragu atas sesuatu, 
entah apa itu.

“Kalau gitu, kita hidupin aja alatnya sekarang. Aku udah baca buku panduannya dirumah.”

Ketika Juli membuka pergelangan tangan kirinya kulihat angka 0 berderet rapi didampingi beberapa huruf yang menunjukkan hari, jam dan detik. Sebelum kuserukan kata yes dan menepuk kedua pipinya seperti biasanya—setiap kali aku menang atas sesuatu— dia berujar.

“Ini masih mode off lho.”

Kemudian gerakan selebrasi ku berhenti sampai di kedua tangan yang mengapung di udara di samping pipi Juli, dia tersenyum melihat ekspresiku. “Kamu tahu, rasanya nyenengin banget ngeliat ekspresi kamu yang sekarang.”

“Udah hidupin aja dulu alatnya.”

Kemudian Juli menutup matanya, bersamaan dengan genggaman di pergelangan tangan kirinya, seperti mengirimkan pesan tak tampak, Juli menghela napas panjang beberapa detik setelahnya.

“Udah.”

Kemudian perhatian kami terpusat pada pergelangan tangan kiri Juli.

~
Alat itu seperti kacang goreng saat ini, 2 tahun setelah aku dan Juli melihatnya pertama kali. Walaupun pembuat alat itu sudah mengakui bahwa alat itu adalah kebohongan dan membuat harganya turun drastis di pasaran tapi tetap saja banyak orang yang merasa bahwa alat itu benar-benar menghitung hari, jam, detik sebelum bertemu dengan soulmate.

Aku pun memakai alat itu setelah dipaksa oleh ibuku. Ibu-ibu memang gampang terpengaruh iklan dan iklan alat itu—iklannya sudah berganti menjadi lebih-lebih dramatis— membuatnya segera membeli alat itu dan memaksaku untuk memakainya.

Aku hanya tertawa saja ketika tahu beliau sudah membelinya, tapi setelah sebuah paket datang ke rumah dan ibuku mengancam akan menjodohkanku kembali pada beberapa anak kenalannya kuputuskan untuk memakainya, toh alat itu tak akan membunuhku secara langsung.

Mungkin secara tidak langsung, pernah.

Kulirik pergelangan tangan kiri ku, sudah sejak beberapa hari lalu angka di hari berubah menjadi 0, beberapa jam lalu angka di jam berubah menjadi 0 dan angka di detik menghitung mundur pertemuanku dengan orang yang dikatakan soulmateku.

Ku perhatikan sekeliling cafe yang sudah lama tak kudatangi, dominasi merah dan putih, motif polkadot, garis-garis dan zig-zag yang mendominasi. Tempat ini akan membawa kenangan lagi mungkin jika memang yang benar-benar datang adalah soulmateku.

Tapi sampai kutunggu alat itu menunjukkan angka 0 di bagian detiknya, tak ada orang yang memasuki cafe, sementara waktu terus berjalan alat itu telah berhenti, tak menunjukkan angka lagi selain 0, maka kuputuskan untuk pulang saja atau menghabiskan waktu bermain game dirumah.

Langkah kakiku tak seberapa tapi langkah kaki berhak yang mengetuk-ngetuk lantai kayu itu terburu-buru hingga kami bertabrakan dan kertas-kertas yang dipegang perempuan itu berhamburan ke udara.

Aku pernah bilang kalau iklan yang kulihat 2 tahun lalu itu kacangan sekali tapi sekarang ketika kualami sendiri, ketika kertas-kertas itu berhamburan di udara perlahan jatuh menyentuh lantai, ketika mataku menembus diantara kertas-kertas itu dan melihat siapa pemiliknya kusadari bahwa iklan kacangan itu ternyata berimbas besar pada detak jantungku.


Ketika kusebut namanya, ketika semua kertas yang berhamburan itu menyentuh lantai, kudengar detik jam bermain di telingaku, bersamaan suara halo panjang khas miliknya. 

Terinspirasi dari sebuah post di tumblr yang membuat saya menghabiskan malam di depan laptop. Dan ternyata sepertinya quote dari sebuah film berjudul Timer.

4 komentar :

Hilwy Al Hanin at: 19 Oktober 2013 pukul 10.31 mengatakan... Reply

vanes ini brilliant!!!
hahaha pas liat quotenya udah senyum2 sendiri. dan ceritanya meski aku ga suka endingnya karena ternyata mereka memutuskan ga jadi menikah (bener gitu kan ya?) terbayar sama yah paling ngga mereka ketemu dan bisa mulai dari awal lagi.

keep writing~~

Vanessa Praditasari at: 19 Oktober 2013 pukul 10.36 mengatakan... Reply

@Hilwy Al Hanin quotenya kan nin, super banget itu~ bayangin deh kalau alat itu bener-bener ada dan bener-bener akurat *kemudian senyam senyum sendiri*

Iya mereka nggak jadi nikah, dan benar sekali (bisa jadi) mereka memulai dari awal lagi dengan pertemuan kembali mereka :)

Kamu juga keep writing~~

Ilham Sasmita at: 28 Oktober 2013 pukul 08.47 mengatakan... Reply

then love, won't be an enigma anymore.. is it good?

Vanessa Praditasari at: 30 Oktober 2013 pukul 16.57 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita sebenarnya nggak bisa disebut nggak bakal jadi enigma, walaupun sebagian teka-teki tentang siapa dan kapannya terungkap, perasaannya sendiri kan tetap jadi enigma :)

Posting Komentar

Beo Terbang