Sebuah perusahaan IT ternama baru saja
menciptakan sebuah alat yang katanya benar-benar terbukti kebenarannya, bukan
sekedar cincin berubah warna yang menunjukkan emosi ataupun gelang yang mampu
mendeteksi penyakit tapi sebuah alat yang mampu membuatku mengerutkan dahi dan
menghentikan sendokan terakhir nasi goreng sarapan pagiku.
Di lengan tangan dalam, perempuan yang menjadi
pemain iklan tampak angka 0 empat kali lalu huruf D 0 dua kali lalu huruf H, 0 dua kali huruf M, 0 dua kali lalu huruf S. Ketika terdengar bunyi pip panjang tanpa sengaja seorang
laki-laki yang berlari terburu-buru menabraknya dan membuat kertas-kertas yang
dipegangnya berhamburan kemana-mana, dalam gerakan lambat mereka berdua saling
bertatapan, setelah itu fokus kamera tertuju pada salah satu kertas yang
terhambur, disana tertulis,
“If a clock could count down to
the moment you meet your soul mate, would you want to know?”
Lalu muncul nama dan simbol
sebuah perusahaan IT terkenal yang sempat menjadi incaranku ketika masih
menjadi mahasiswa dengan cita-cita yang begitu tinggi. Aku mendengus,
mengabaikannya lalu mengunyah suapan nasi goreng terakhir. Ketika hendak
berpindah dari meja makan menuju pintu depan sebelum handphoneku berdering dan
pertanyaan di sebrang sana membuatku mengerutkan dahi.
“Emangnya bener ya ada alat yang bisa
menghitung mundur waktu pertemuan seseorang dengan soulmatenya.”
Kuletakkan jaket di bangku penumpang
menempelkan handphone di telinga dengan bahu lalu memasang sabuk pengaman. “Kalau
ada emangnya kenapa?”
“Aku mau beli!”
“Buat apa?”
“Supaya aku yakin kamu soulmateku.”
Aku terkekeh geli. Perempuan yang akan
menjadi isteriku baru saja termakan iklan perusahaan IT tingkat dunia yang
memasarkan alat peramal jodoh—aku rasa bisa kusebut begitu—
“Silahkan, aku yakin harganya mahal sekali
sampai-sampai kau harus menjual mobil kesayanganmu itu.”
Dia mendesis, aku bisa mendengarnya dan
memang itu kebiasaannya ketika kesal, mengenalnya selama 5 tahun dan menjadi
pasangannya selama 2 tahun membuatku hapal setiap pesan non verbal yang
disampaikannya, mulai dari mendesis, mengetuk-ngetukkan benda apa saja yang
berada di genggamannya ke dahi, mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai, menggigit
bibir sampai menyibakkan rambutnya yang panjang disaat meminta perhatian
“Kalau kamu beli dan ternyata angkanya 0
semua, apa kamu nggak nyesel? Kan sayang ngeluarin duit banyak cuma buat beli alat
yang nggak bisa kamu pakai,” kulirik jam di dashboard, masih sempat untuk
mengobrol tanpa mengendarai, orang yang ada ditelepon akan sangat marah kalau
tahu aku menyetir sambil mengajaknya ngobrol.
“Iya sih tapi kan—“
Dia punya hobi lain selain memarahiku ketika
menelepon sambil menyetir yaitu memotong kalimat ditengah-tengah dan tugasku
adalah sabar menunggunya, menunggu dia melanjutkan ucapannya.
Beberapa detik berlalu sampai dia
melanjutkannya lagi. “Aku jadi semakin yakin kalau kamu soulmateku dan kita
memang ditakdirkan untuk menikah.”
“Kalau angkanya bukan 0. Kamu mau batalin
pernikahan kita?”
Kemudian tak ada jawaban di sebrang sana. Keheningan
yang berlangsung cukup lama membuatku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan dengan
mengatakan, “Aku mau berangkat kerja dulu, Juli. Jangan mikir yang
aneh-aneh, ya?”
Hening lagi sebelum
jawaban iya panjang khas miliknya bergema ditelingaku.
~
Ada yang pernah berkata
padaku, tak ada kebetulan di dunia ini, yang ada adalah kebenaran, Juli
yang mengatakannya dan aku tak mengerti kata-kata itu sampai dia meneleponku
lagi seperti biasanya di pagi hari.
“Kamu tau?”
“Tau apa?” aku mengaduk
sereal sarapan pagi hari ini, tinggal sendirian di kota besar membuatku memilih
untuk sarapan dengan makanan-makanan sederhana buatan sendiri, kemarin mie
goreng, hari ini sereal, mungkin besok roti bakar dan lusa hanya bubur instan.
“Aku menang undian yang
waktu itu aku ceritain ke kamu.”
“Undian apa ya?” dahiku
berkerut bersamaan dengan putaran sendok di dalam lautan cairan putih kental
dan potongan-potongan roti tawar bersama sereal berwarna cokelat. Aku tak mengingat
undian yang dimaksud oleh Juli.
“Undian itu—alat itu—“
Seketika putaran
sendokku terhenti, sekarang aku mengerti. Undian yang dimaksudnya adalah undian
yang diadakan oleh perusahaan IT global yang mengeluarkan alat peramal jodoh
itu dan hadiah dari undian itu adalah 14 alat itu yang dibagikan secara gratis
ke seluruh dunia tepat di tanggal 14 Februari. Kuakui caranya memasarkan produk
barunya sangat hebat, iklannya saja sudah seperti FTV yang sering kutonton di
siang hari dan membuat Juli tersenyum-senyum sendiri di depan layar televisi,
lebih-lebih sampel yang akan dibagikan secara gratis tepat di hari valentine
hanya dengan mendaftarkan nama dan alamat email saja.
Dan Juli, perempuan yang
akan menjadi isteriku memenangkan undian itu.
Kugaruk kepalaku yang
tak gatal, entah harus mengucapkan selamat atau menertawakannya tapi kurasa
tertawa keras-keras hanya membuatnya marah lalu menutup sambungan telepon
begitu saja, jadi kupilih ucapan selamat paling datar yang aku punya, bersamaan
suara mendesis khas miliknya dia menutup telepon setelah berujar.
“Kamu nggak ikhlas
bilang selamatnya.”
~
Beberapa hari kemudian, di minggu yang cerah
suara bel membuatku berlari dari ruang tamu menuju pintu depan. Hari ini Juli
memaksaku untuk tinggal dirumah dan berniat untuk memamerkan alat canggih yang
dia dapat melalui undian itu, sebenarnya aku tidak terlalu tertarik pada alat
itu hanya penasaran saja bagaimana reaksi Juli kalau ternyata alat itu masih
menunjukkan angka selain 0.
Juli berdiri di depan
pintu sambil menyembunyikan kedua tangannya kebelakang, rambutnya tergerai
mencapai pinggang, mengenakan pita berwarna biru tua yang mengikat sedikit
bagian rambutnya dan dress sepanjang lutut berwarna senada.
“Halooo—“ sapaan halo
panjang khasnya membuat senyumku tak tertahankan kuminta dia masuk dan kami
berjalan beriringan menuju ruang tamu, kami berdua duduk di sofa panjang
berwarna hitam bersebelahan dan dekat.
“Udah siap belum?”
“Buat apa?” tanyaku
pura-pura tidak tahu.
Dia mendesis lagi,
kusambut desisannya dengan tawa. “Mana, mana? Penentu jadi atau tidak
pernikahannya kita?” candaku padanya yang disambut dengan ekspresi keheranan
yang tampak di wajahnya.
“Kamu beneran mau alat
ini jadi penentu pernikahan kita?” tanyanya pelan, kuperhatikan tangan kanannya
yang menggenggam pergelangan tangan kiri, biasanya ada jam tangan disana tapi
sepertinya dia mengganti jam tangan itu dengan hadiah undian yang dibanggakannya.
“Kamu yang bilang begitu
kan?”
Dia memalingkan
wajahnya, sedetik kurasa keanehan dalam gerakannya dia tampak meragu atas
sesuatu,
entah apa itu.
“Kalau gitu, kita
hidupin aja alatnya sekarang. Aku udah baca buku panduannya dirumah.”
Ketika Juli membuka
pergelangan tangan kirinya kulihat angka 0 berderet rapi didampingi beberapa
huruf yang menunjukkan hari, jam dan detik. Sebelum kuserukan kata yes dan
menepuk kedua pipinya seperti biasanya—setiap kali aku menang atas sesuatu— dia
berujar.
“Ini masih mode off lho.”
Kemudian gerakan
selebrasi ku berhenti sampai di kedua tangan yang mengapung di udara di samping
pipi Juli, dia tersenyum melihat ekspresiku. “Kamu tahu, rasanya nyenengin
banget ngeliat ekspresi kamu yang sekarang.”
“Udah hidupin aja dulu
alatnya.”
Kemudian Juli menutup
matanya, bersamaan dengan genggaman di pergelangan tangan kirinya, seperti
mengirimkan pesan tak tampak, Juli menghela napas panjang beberapa detik
setelahnya.
“Udah.”
Kemudian perhatian kami
terpusat pada pergelangan tangan kiri Juli.
~
Alat itu seperti kacang
goreng saat ini, 2 tahun setelah aku dan Juli melihatnya pertama kali. Walaupun
pembuat alat itu sudah mengakui bahwa alat itu adalah kebohongan dan membuat
harganya turun drastis di pasaran tapi tetap saja banyak orang yang merasa
bahwa alat itu benar-benar menghitung hari, jam, detik sebelum bertemu dengan
soulmate.
Aku pun memakai alat itu
setelah dipaksa oleh ibuku. Ibu-ibu memang gampang terpengaruh iklan dan iklan
alat itu—iklannya sudah berganti menjadi lebih-lebih dramatis— membuatnya
segera membeli alat itu dan memaksaku untuk memakainya.
Aku hanya tertawa saja
ketika tahu beliau sudah membelinya, tapi setelah sebuah paket datang ke rumah
dan ibuku mengancam akan menjodohkanku kembali pada beberapa anak kenalannya
kuputuskan untuk memakainya, toh alat itu tak akan membunuhku secara langsung.
Mungkin secara tidak
langsung, pernah.
Kulirik pergelangan
tangan kiri ku, sudah sejak beberapa hari lalu angka di hari berubah menjadi 0,
beberapa jam lalu angka di jam berubah menjadi 0 dan angka di detik menghitung
mundur pertemuanku dengan orang yang dikatakan soulmateku.
Ku perhatikan sekeliling
cafe yang sudah lama tak kudatangi, dominasi merah dan putih, motif polkadot,
garis-garis dan zig-zag yang mendominasi. Tempat ini akan membawa kenangan lagi
mungkin jika memang yang benar-benar datang adalah soulmateku.
Tapi sampai kutunggu
alat itu menunjukkan angka 0 di bagian detiknya, tak ada orang yang memasuki
cafe, sementara waktu terus berjalan alat itu telah berhenti, tak menunjukkan
angka lagi selain 0, maka kuputuskan untuk pulang saja atau menghabiskan waktu
bermain game dirumah.
Langkah kakiku tak
seberapa tapi langkah kaki berhak yang mengetuk-ngetuk lantai kayu itu terburu-buru
hingga kami bertabrakan dan kertas-kertas yang dipegang perempuan itu
berhamburan ke udara.
Aku pernah bilang kalau
iklan yang kulihat 2 tahun lalu itu kacangan sekali tapi sekarang ketika
kualami sendiri, ketika kertas-kertas itu berhamburan di udara perlahan jatuh
menyentuh lantai, ketika mataku menembus diantara kertas-kertas itu dan melihat
siapa pemiliknya kusadari bahwa iklan kacangan itu ternyata berimbas besar pada
detak jantungku.
Ketika kusebut namanya,
ketika semua kertas yang berhamburan itu menyentuh lantai, kudengar detik jam
bermain di telingaku, bersamaan suara halo panjang khas miliknya.
Terinspirasi dari sebuah post di tumblr yang membuat saya menghabiskan malam di depan laptop. Dan ternyata sepertinya quote dari sebuah film berjudul Timer.
4 komentar :
vanes ini brilliant!!!
hahaha pas liat quotenya udah senyum2 sendiri. dan ceritanya meski aku ga suka endingnya karena ternyata mereka memutuskan ga jadi menikah (bener gitu kan ya?) terbayar sama yah paling ngga mereka ketemu dan bisa mulai dari awal lagi.
keep writing~~
@Hilwy Al Hanin quotenya kan nin, super banget itu~ bayangin deh kalau alat itu bener-bener ada dan bener-bener akurat *kemudian senyam senyum sendiri*
Iya mereka nggak jadi nikah, dan benar sekali (bisa jadi) mereka memulai dari awal lagi dengan pertemuan kembali mereka :)
Kamu juga keep writing~~
then love, won't be an enigma anymore.. is it good?
@Ilham Sasmita sebenarnya nggak bisa disebut nggak bakal jadi enigma, walaupun sebagian teka-teki tentang siapa dan kapannya terungkap, perasaannya sendiri kan tetap jadi enigma :)
Posting Komentar