Jumat, 29 November 2013

Cage


Kami memiliki seekor burung yang telah berada di kandang sejak lama, sejak sepasang burung tua peliharaan ayah menetaskan seekor burung  di antara telur-telur yang lain. Burung itu sudah lama sekali berada di dalam kandang, sejak kedua orangtua burung mati dan ayah merawat burung itu hingga saat ini.Tak satupun anggota keluarga kami yang berani bermain-main buka tutup pintu kandang, bertaruh apakah burung itu akan kabur lalu terbang, karena kami tahu ayah sangat menyayangi burung itu, sebagai satu-satunya hewan peliharaan yang bertahan paling lama.

Burung itu berwarna sedikit mendekati abu-abu, aku tak tahu persis jenisnya, ayah tak pernah memberitahuku dan aku selalu lupa menanyakan hal itu padanya. Ayah selalu berada di depan kandang burung itu setiap pagi sebelum berangkat kerja, untuk memberinya makan biji-bijian dan mengganti air minumnya.Ketika sore menjelang dan warna oranye mewarnai langit, ayah akan mengunjungi burung itu untuk menyapanya, sekedar memancing burung itu berbunyi dengan siulan. Kusebut berbunyi, bukan bernyanyi karena bagiku suara burung itu hanya terdengar seperti kata kukur yang berulang-ulang kali, bukan nyanyian seperti burung di televisi atau kartun yang kutonton di pagi hari.

Ayah menempatkan burung itu di dalam sebuah kandang yang menurutku cukup berlebihan ukurannya untuk seekor burung. Sementara tetangga di samping rumah memlihara dua ekor burung yang ditempatkan di dalam kandang yang di gantung di sisi-sisi atap, ayah menempatkan seekor burung di dalam kandang yang setinggi bahuku. Ketika kutanya kenapa, ayah hanya menjawab,

“Supaya burungnya bisa terbang-terbang di dalam dong.”

Sekali waktu ayah pernah pergi keluar kota selama beberapa hari. Sebelum keberangkatannya, ayah mengulang-ulang perintah yang sama. “Jangan lupa kasih makan burungnya, ganti air minumnya, bersihin kandangnya juga kalau bisa.”

Aku mengulang jawaban iya berkali-kali, sampai persis di depan pintu rumah pun, aku masih harus menganggukkan kepala untuk menjawab perintah itu, mengucapkan hati-hati dan melambaikan tangan bersama ibuku yang terkekeh geli.

“Ayah lebih sayang burung perliharaannya daripada kamu, nduk.”
Guyonan ibu hanya kutanggapi dengan tawa hambar saja.

Keesokan harinya kujalankan tugas paling penting yang ayah berikan padaku. Memberikan bulir-bulir biji jagung ke dalam kotak makanan burung seharusnya bukanlah hal yang sulit, tapi menjadi hal yang mencemaskan, bisa jadi aku lalai menutup pintu kandang dan harus mengucapkan selamat tinggal pada satu-satunya burung yang ada di dalam kandang atau bisa jadi aku terkejut karena burung itu mengepakkan sayap tiba-tiba atau terakhir—aku selalu memiliki pandangan alternatif untuk setiap kejadian—burung itu meninggalkan tanda persahabatan di tanganku entah yang cair atau padat.

Kandang burung itu berjeruji besi berwarna biru yang membentuk kotak-kotak bersekat kecil, ditambah dengan kawat-kawat yang membuat sekatnya lebih kecil, atapnya yang hanya berbentuk persegi berwarna senada dengan jeruji besinya, sebatang kayu kecil seperti tongkat melalui sisi kandang ke sisi lainnya. Burung itu bertengger di batang kayu ketika aku datang, memandang ke luar sisi kandang, menggerakkan kepalanya ke atas, ke bawah, berkedip beberapa kali, menutupi matanya yang berwarna merah, aku baru benar-benar sadar bahwa burung itu memiliki motif garis hitam putus-putus seperti kalung, di lehernya, bulu yang berada di sayapnya pun berwarna lebih gelap.

Ketika kulangkahkan kaki lebih dekat hendak membuka pintu kandang, burung itu mengepakkan sayapnya dengan cepat lalu terbang menjauh, hinggap di atas kotak kayu berlubang yang menjadi rumahnya. Langkah burung itu menjauhiku dan mengepakkan sayapnya berkali-kali ketika kumasukkan tanganku ke dalam kandang memberikan beberapa genggam biji-bijian, meraih kotak air minumnya dan menggantinya dengan kotak lain yang berisi air segar.

Setelah menutup pintu kandangnya kuperhatikan lagi burung yang masih berada di atas kotak kayu, kepala burung itu bergerak tanpa henti seolah bertanya, apa yang sedang dilakukan manusia ini.

Maka kujawab saja, “Ayah sedang keluar kota, makanya aku yang ngasih makan kamu.”
Seolah mengerti, burung itu kembali hinggap di atas kayu, setelah mengepakkan sayapnya, menghempaskan udara tipis-tipis seperti kipas angin. Kemudian ia berbunyi dengan bahasa yang tak kumengerti, mungkin membalas kukuran burung tetangga yang terdengar hingga halaman rumah atau sekedar berterimakasih padaku.

Hari demi hari berlalu, setelah kepergian ayah keluar kota aku selalu mengganti kotak minum dan memberi makan burung peliharaan ayah, sesekali kubersihkan kandangnya jika sempat dan kusapa dengan siulan seperti yang ayah lakukan ketika sore menjelang. Kugantikan tugas ayah merawat burung kesayangannya, karena walaupun ayah telah menelepon ibu akan pulang dalam waktu dekat, pada akhirnya ayah tidak pernah benar-benar pulang.

Aku dan ibu memutuskan akan meninggalkan rumah setelah beberapa minggu kepergian ayah dan kuputuskan juga untuk membebaskan burung peliharaan ayah, siapa tahu burung itu bisa menyampaikan pesan rinduku dan ibu pada ayah ke langit.

Kuperhatikan gerakan burung itu sebelum mendekati kandangnya, hanya meyakinkan diri apakah ayah akan marah kalau kubebaskan burung itu setelah kepergiannya. Burung itu bergerak menyamping dari satu sisi batang kayu ke sisi yang lain, dalam gerakan kaku, lambat-lambat, aku tersenyum menyapanya, mengucapkan selamat pagi sebelum kukurnya terdengar, mungkin burung itu telah terbiasa melihatku di pagi dan sore hari seperti yang dilakukan ayah setiap hari.

Kubuka pintu kandang dan membiarkannya terbuka begitu saja, tapi burung itu malah bergerak menjauhi pintu, berbalik lalu terbang pendek di atas kotak kayu dan hinggap disana, kepakan sayapnya terasa berat, seperti kipas yang terbuat dari besi lalu diayunkan dengan cepat. Membuat dahiku berkerut tak mengerti.

Hal yang kemudian muncul dipikiranku, mungkin saja burung itu takut aku menjebaknya, hendak menangkapnya, membakarnya lalu menjadikannya lauk, setelah bermenit-menit berlalu tanpa gerakan yang berarti dari sang burung maka kuputuskan untuk meninggalkan kandang biru dengan pintu yang terbuka lebar setelah mengucapkan pesan yang mungkin saja disampaikannya ke langit lalu kuucapkan terimakasih padanya.

Ketika sore menjelang dan kelelahan menumpuk di bahu kukunjungi kandang biru itu, kupikir kandang itu kosong tapi dugaanku salah, burung itu masih berada di dalam kandang, memandangiku yang memandanginya dengan alis yang bertaut. Burung itu menggerakkan kepalanya ke sisi kanan dan kiri, seolah mempertanyakan ekspresi kebingunganku dan pertanyaan kenapa yang kugumamkan.

Aku pernah menonton film tentang seekor anjing yang tetap tinggal di stasiun kereta, tempat ia biasanya mengantar dan menjemput majikannya ketika bekerja, walaupun majikannya telah meninggal. Tapi ini seekor burung, bukan anjing dan berada di dalam kandang pula. Mengingat burung peliharaan ayahku sebelumnya yang langsung terbang begitu saja ketika ayah lupa menutup pintu kandang—padahal ayah baru saja membeli burung itu—, burung ini menjadi fenomena yang aneh di mataku.

Kulirik pintu rumah, tak mungkin kutanyakan hal ini pada ibu, masalah ini kurang dari sepele dan seharusnya bisa kuatasi sendiri.

Kujulurkan tangan ke dalam kandang membuat burung itu beberapa kali mengepakkan sayapnya berusaha untuk menghindari serangan-serangan pengusiran yang kulancarkan, tapi perpindahan burung itu hanya sekedar ke atas, ke bawah,  ke sudut yang sulit kuraih, ke atas kotak kayu, ke batang kayu. Setelah beberapa menit tangankuberputar-putar di dalam kandang kuputuskan untuk menangkap burung itu dan memaksanya untuk terbang.

Burung itu diam di dalam genggamanku, sesekali dia berbunyi kukur dan disambut bunyi burung tetangga sebelah dengan jawaban yang terdengar sama, mungkin burung itu melaporkan perbuatanku padanya, memintanya menolong atau entah apa arti bunyi itu, yang pasti aku hanya ingin burung ini merasakan kebebasan.

Sedikit kuhempaskan burung itu, melepaskannya ke udara, mengucapkan selamat tinggal dalam hati dan mendongkak ke langit berharap melihat burung itu terbang mengepakkan sayapnya. Tapi burung itu jatuh ke tanah dan kembali berdiri sambil mengepakkan sayapnya untuk kembali seimbang bukan untuk terbang.

Aku memandangi langkah burung itu, menapakkan kaki-kaki kurusnya di tanah, mengepakkan sayapnya sesekali tapi tak untuk terbang—aku yakin bukan begitu caranya terbang— mataku tak teralih darinya sampai ketika aku berjongkok di depannya, berbisik terbang berkali-kali, tapi burung itu tak bereaksi dengan ucapanku, tak pula terbang menjauh.

Setelah beberapa menit melihat burung itu melangkah, mengepakkan sayapnya, memutar lehernya ke kanan dan ke kiri, berkedip-kedip memandangiku dan banyak hal disekitarnya kuputuskan untuk memindahkan dia ke atap kandangnya. Jika pemikiranku benar mungkin burung itu tidak bisa terbang karena dia berada di tempat yang rendah—walaupun aku sering melihat burung gereja yang langsung terbang begitu kukejar—, jika dugaanku salah mungkin burung itu memang tidak ingin terbang.

Esoknya ketika aku dan ibu hendak meninggalkan rumah, mengucapkan salam perpisahan pada tempat penuh kenangan untuk terakhir kalinya, kuperiksa atap kandang berwarna biru tempat kutinggalkan burung itu.

Sudah tak ada burung peliharaan kesayangan ayah yang berwarna abu-abu. Kuharap dia terbang sebelum hujan deras kemarin malam datang.  

Birds born in a cage think flying is an ilness – Alejandro Jodorowsky

Udah lama banget pengen nulis pakai quote itu dan akhirnya kesampaian juga :)






0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang