Kami memiliki
seekor burung yang telah berada di kandang sejak lama, sejak sepasang burung
tua peliharaan ayah menetaskan seekor burung di antara telur-telur yang lain. Burung itu sudah
lama sekali berada di dalam kandang, sejak kedua orangtua burung mati dan ayah
merawat burung itu hingga saat ini.Tak satupun anggota keluarga kami yang
berani bermain-main buka tutup pintu kandang, bertaruh apakah burung itu akan kabur
lalu terbang, karena kami tahu ayah sangat menyayangi burung itu, sebagai
satu-satunya hewan peliharaan yang bertahan paling lama.
Burung itu
berwarna sedikit mendekati abu-abu, aku tak tahu persis jenisnya, ayah tak
pernah memberitahuku dan aku selalu lupa menanyakan hal itu padanya. Ayah
selalu berada di depan kandang burung itu setiap pagi sebelum berangkat kerja,
untuk memberinya makan biji-bijian dan mengganti air minumnya.Ketika sore
menjelang dan warna oranye mewarnai langit, ayah akan mengunjungi burung itu
untuk menyapanya, sekedar memancing burung itu berbunyi dengan siulan. Kusebut berbunyi,
bukan bernyanyi karena bagiku suara burung itu hanya terdengar seperti kata kukur yang berulang-ulang kali, bukan
nyanyian seperti burung di televisi atau kartun yang kutonton di pagi hari.
Ayah menempatkan
burung itu di dalam sebuah kandang yang menurutku cukup berlebihan ukurannya
untuk seekor burung. Sementara tetangga di samping rumah memlihara dua ekor
burung yang ditempatkan di dalam kandang yang di gantung di sisi-sisi atap, ayah
menempatkan seekor burung di dalam kandang yang setinggi bahuku. Ketika kutanya
kenapa, ayah hanya menjawab,
“Supaya burungnya
bisa terbang-terbang di dalam dong.”
Sekali waktu ayah
pernah pergi keluar kota selama beberapa hari. Sebelum keberangkatannya, ayah
mengulang-ulang perintah yang sama. “Jangan lupa kasih makan burungnya, ganti
air minumnya, bersihin kandangnya juga kalau bisa.”
Aku mengulang
jawaban iya berkali-kali, sampai
persis di depan pintu rumah pun, aku masih harus menganggukkan kepala untuk
menjawab perintah itu, mengucapkan hati-hati dan melambaikan tangan bersama
ibuku yang terkekeh geli.
“Ayah lebih
sayang burung perliharaannya daripada kamu, nduk.”
Guyonan ibu hanya
kutanggapi dengan tawa hambar saja.
Keesokan harinya kujalankan
tugas paling penting yang ayah berikan padaku. Memberikan bulir-bulir biji
jagung ke dalam kotak makanan burung seharusnya bukanlah hal yang sulit, tapi
menjadi hal yang mencemaskan, bisa jadi aku lalai menutup pintu kandang dan
harus mengucapkan selamat tinggal pada satu-satunya burung yang ada di dalam
kandang atau bisa jadi aku terkejut karena burung itu mengepakkan sayap
tiba-tiba atau terakhir—aku selalu memiliki pandangan alternatif untuk setiap
kejadian—burung itu meninggalkan tanda
persahabatan di tanganku entah yang cair atau padat.
Kandang burung
itu berjeruji besi berwarna biru yang membentuk kotak-kotak bersekat kecil,
ditambah dengan kawat-kawat yang membuat sekatnya lebih kecil, atapnya yang
hanya berbentuk persegi berwarna senada dengan jeruji besinya, sebatang kayu
kecil seperti tongkat melalui sisi kandang ke sisi lainnya. Burung itu bertengger
di batang kayu ketika aku datang, memandang ke luar sisi kandang, menggerakkan
kepalanya ke atas, ke bawah, berkedip beberapa kali, menutupi matanya yang
berwarna merah, aku baru benar-benar sadar bahwa burung itu memiliki motif
garis hitam putus-putus seperti kalung, di lehernya, bulu yang berada di sayapnya
pun berwarna lebih gelap.
Ketika
kulangkahkan kaki lebih dekat hendak membuka pintu kandang, burung itu
mengepakkan sayapnya dengan cepat lalu terbang menjauh, hinggap di atas kotak kayu
berlubang yang menjadi rumahnya. Langkah burung itu menjauhiku dan
mengepakkan sayapnya berkali-kali ketika kumasukkan tanganku ke dalam kandang
memberikan beberapa genggam biji-bijian, meraih kotak air minumnya dan
menggantinya dengan kotak lain yang berisi air segar.
Setelah menutup
pintu kandangnya kuperhatikan lagi burung yang masih berada di atas kotak kayu,
kepala burung itu bergerak tanpa henti seolah bertanya, apa yang sedang dilakukan manusia ini.
Maka kujawab
saja, “Ayah sedang keluar kota, makanya aku yang ngasih makan kamu.”
Seolah mengerti, burung
itu kembali hinggap di atas kayu, setelah mengepakkan sayapnya, menghempaskan
udara tipis-tipis seperti kipas angin. Kemudian ia berbunyi dengan bahasa yang
tak kumengerti, mungkin membalas kukuran burung tetangga yang terdengar hingga
halaman rumah atau sekedar berterimakasih padaku.
Hari demi hari
berlalu, setelah kepergian ayah keluar kota aku selalu mengganti kotak minum
dan memberi makan burung peliharaan ayah, sesekali kubersihkan kandangnya jika
sempat dan kusapa dengan siulan seperti yang ayah lakukan ketika sore
menjelang. Kugantikan tugas ayah merawat burung kesayangannya, karena walaupun
ayah telah menelepon ibu akan pulang dalam waktu dekat, pada akhirnya ayah tidak
pernah benar-benar pulang.
Aku dan ibu
memutuskan akan meninggalkan rumah setelah beberapa minggu kepergian ayah dan
kuputuskan juga untuk membebaskan burung peliharaan ayah, siapa tahu burung itu
bisa menyampaikan pesan rinduku dan ibu pada ayah ke langit.
Kuperhatikan
gerakan burung itu sebelum mendekati kandangnya, hanya meyakinkan diri apakah
ayah akan marah kalau kubebaskan burung itu setelah kepergiannya. Burung itu
bergerak menyamping dari satu sisi batang kayu ke sisi yang lain, dalam gerakan
kaku, lambat-lambat, aku tersenyum menyapanya, mengucapkan selamat pagi sebelum
kukurnya terdengar, mungkin burung itu telah terbiasa melihatku di pagi dan
sore hari seperti yang dilakukan ayah setiap hari.
Kubuka pintu
kandang dan membiarkannya terbuka begitu saja, tapi burung itu malah bergerak
menjauhi pintu, berbalik lalu terbang pendek di atas kotak kayu dan hinggap
disana, kepakan sayapnya terasa berat, seperti kipas yang terbuat dari besi
lalu diayunkan dengan cepat. Membuat dahiku berkerut tak mengerti.
Hal yang kemudian
muncul dipikiranku, mungkin saja burung itu takut aku menjebaknya, hendak
menangkapnya, membakarnya lalu menjadikannya lauk, setelah bermenit-menit
berlalu tanpa gerakan yang berarti dari sang burung maka kuputuskan untuk
meninggalkan kandang biru dengan pintu yang terbuka lebar setelah mengucapkan
pesan yang mungkin saja disampaikannya ke langit lalu kuucapkan terimakasih
padanya.
Ketika sore
menjelang dan kelelahan menumpuk di bahu kukunjungi kandang biru itu, kupikir
kandang itu kosong tapi dugaanku salah, burung itu masih berada di dalam kandang,
memandangiku yang memandanginya dengan alis yang bertaut. Burung itu
menggerakkan kepalanya ke sisi kanan dan kiri, seolah mempertanyakan ekspresi
kebingunganku dan pertanyaan kenapa
yang kugumamkan.
Aku pernah
menonton film tentang seekor anjing yang tetap tinggal di stasiun kereta,
tempat ia biasanya mengantar dan menjemput majikannya ketika bekerja, walaupun
majikannya telah meninggal. Tapi ini seekor burung, bukan anjing dan berada di
dalam kandang pula. Mengingat burung peliharaan ayahku sebelumnya yang langsung
terbang begitu saja ketika ayah lupa menutup pintu kandang—padahal ayah baru
saja membeli burung itu—, burung ini menjadi fenomena yang aneh di mataku.
Kulirik pintu
rumah, tak mungkin kutanyakan hal ini pada ibu, masalah ini kurang dari sepele dan
seharusnya bisa kuatasi sendiri.
Kujulurkan tangan
ke dalam kandang membuat burung itu beberapa kali mengepakkan sayapnya berusaha
untuk menghindari serangan-serangan pengusiran yang kulancarkan, tapi
perpindahan burung itu hanya sekedar ke atas, ke bawah, ke sudut yang sulit kuraih, ke atas kotak
kayu, ke batang kayu. Setelah beberapa menit tangankuberputar-putar di dalam
kandang kuputuskan untuk menangkap burung itu dan memaksanya untuk terbang.
Burung itu diam
di dalam genggamanku, sesekali dia berbunyi kukur dan disambut bunyi burung
tetangga sebelah dengan jawaban yang terdengar sama, mungkin burung itu
melaporkan perbuatanku padanya, memintanya menolong atau entah apa arti bunyi
itu, yang pasti aku hanya ingin burung ini merasakan kebebasan.
Sedikit kuhempaskan
burung itu, melepaskannya ke udara, mengucapkan selamat tinggal dalam hati dan
mendongkak ke langit berharap melihat burung itu terbang mengepakkan sayapnya. Tapi
burung itu jatuh ke tanah dan kembali berdiri sambil mengepakkan sayapnya untuk
kembali seimbang bukan untuk terbang.
Aku memandangi
langkah burung itu, menapakkan kaki-kaki kurusnya di tanah, mengepakkan
sayapnya sesekali tapi tak untuk terbang—aku yakin bukan begitu caranya terbang—
mataku tak teralih darinya sampai ketika aku berjongkok di depannya, berbisik
terbang berkali-kali, tapi burung itu tak bereaksi dengan ucapanku, tak pula
terbang menjauh.
Setelah beberapa
menit melihat burung itu melangkah, mengepakkan sayapnya, memutar lehernya ke
kanan dan ke kiri, berkedip-kedip memandangiku dan banyak hal disekitarnya
kuputuskan untuk memindahkan dia ke atap kandangnya. Jika pemikiranku benar mungkin
burung itu tidak bisa terbang karena dia berada di tempat yang rendah—walaupun
aku sering melihat burung gereja yang langsung terbang begitu kukejar—, jika
dugaanku salah mungkin burung itu memang tidak ingin terbang.
Esoknya ketika aku
dan ibu hendak meninggalkan rumah, mengucapkan salam perpisahan pada tempat
penuh kenangan untuk terakhir kalinya, kuperiksa atap kandang berwarna biru
tempat kutinggalkan burung itu.
Sudah tak ada
burung peliharaan kesayangan ayah yang berwarna abu-abu. Kuharap dia terbang
sebelum hujan deras kemarin malam datang.
Birds born in a cage think flying is an ilness –
Alejandro Jodorowsky
Udah lama banget pengen nulis pakai quote itu dan akhirnya kesampaian juga :)
0 komentar :
Posting Komentar