Kita tidak pernah
membuat janji untuk bertemu di dalam kereta, aku bahkan tak tahu kau akan
menaiki kereta yang sama denganku. Yang aku tahu hanya kau akan pulang hari ini
dan aku akan menyelesaikan liburan singkatku hari ini. Yang kupikir kau akan
pulang menaiki pesawat atau bis dan aku
pun tak ada keinginan untuk melihatmu di sini, di sisi tempat duduk, tepat di
sebelah kursi yang kutempati.
Kau mengenakan
headset, mengabaikan dunia dan tak menyadari keberadaanku walaupun aku sudah
berjinjit-jinjit menempatkan tas ransel di atas bagasi walaupun sudah
kuucapkan permintaan agar kau menggeser kakimu sedikit. Kau hanya memberi
jalan, membiarkanku duduk di sisi jendela, tak mengangkat kepalamu tak pula
memperhatikan keberadaanku. Samar-samar kudengar suara lagu yang berputar
melalui handphone milikmu, lagu yang sungguh familiar dan aku tahu itu lagu
kesukaanmu.
Aku tak akan mengganggu.
Itu yang kutanamkan dalam hati. Jika kau yang mengajak bicara lebih dulu aku
akan menanggapi tapi jika sampai perjalanan berjam-jam ini berlalu kau hanya
mendengarkan lagu lalu tertidur, mengabaikanku lalu pergi mengangkut segala
benda yang kau bawa, keluar dari kereta api. Aku pun tak sanggup protes.
Tapi rasanya tak
tenang pula duduk di sampingmu dan sejak menyadari keberadaanmu duduk di sisi
kursi yang kutempati, aku merutuki masker yang lupa kubeli di mini market,
mengeluhkan jaket tanpa tudung yang tak kukenakan dan berusaha untuk tidak
tertidur. Bagaimanapun aku tidak mau tertidur dengan kepala terkulai bersandar
di bahumu—walaupun kurasa itu akan menjadi hal yang menyenangkan— atau mangap
seperti yang biasanya terjadi ketika aku tertidur dalam perjalanan, jangan sampai
pula aku mengorok, atau mengeluarkan lendir dari mulut.
Mati-matian
kucoba untuk tetap membuka mata walaupun rasanya mengantuk sekali, padahal
kereta baru melaju setengah jam yang lalu dan kau benar-benar belum menyadari
keberadaanku. Membuatku tergelitik untuk memulai pembicaraan.
Tapi—bukankah aku
sudah berjanji tadi, aku sudah berjanji untuk tidak memulai sampai kau yang
menyadari keberadaanku lebih dulu. Tapi—bisa saja kau malu, bisa saja kau malu
menyapaku karena kau melupakan namaku. Atau—kau bahkan lupa bahwa aku pernah
mengenalmu. Tidak, seharusnya tidak, aku saja masih mengingatmu, walaupun
kontak kita terakhir kali adalah tiga tahun yang lalu dan aku hanya mengetahui
kabarmu melalui media sosial di waktu senggang.
Aku berusaha
untuk tetap tenang walaupun sejak tadi ingin sekali melipat kedua kaki di atas
kursi, ingin sekali mengeluarkan biskuit dari dalam tas, ingin sekali membaca
novel yang kusiapkan sebelum berangkat, tapi keberadaanmu seperti membuat
setiap hal terasa salah. Apa aku mengambil tempat terlalu banyak, apa gerakan-gerakan
yang kubuat mengganggumu, apa sebenarnya kau ingin bertukar tempat denganku
untuk memandangi warna hitam malam dan cahaya lampu.
Kau masih
mengenakan headset setelah satu jam perjalanan berlalu dan tubuhku mulai terasa
kaku, perutku lapar dan rasanya mengantuk sekali, terlalu banyak hal yang
kukeluhkan dalam hati tapi tak sanggup kuucapkan. Aku berharap kau cepat-cepat
tertidur saja supaya aku bisa bebas melakukan banyak hal.
Sepertinya Tuhan
mendengarkan doaku, kau tertidur beberapa menit setelah permohonan itu kuulang
dalam hati berkali-kali. Dengan headset terpasang di telinga dan tudung jaket
yang terpasang di kepala kau tertidur tampak lelap sekali. Beberapa menit
menimbang-nimbang aku mulai merogoh tas mengeluarkan biskuit, air mineral dan
novel yang sejak tadi tertahan di sana karena keberadaanmu.
Ah—sungguh
seharusnya aku tidak menyalahkan keberadaanmu, ini hanya kebodohan diriku saja
yang hanya sanggup bergerak ketika kau merapatkan mata, bernapas pelan,
bermimpi dalam tidurmu. Lalu sekali kucoba melirik wajahmu ketika tidur,
memerhatikan tahi lalat tepat di bawah mata kirimu, kedua alis mata yang tebal
melengkung terpisah di antara pangkal hidung, bulu mata yang lentik
dan—kupalingkan wajah jauh-jauh darimu, menyadari kebodohan lain yang kulakukan
ketika berada di sampingmu.
Kupindahkan
perhatian ke jendela yang hanya memantulkan samar-samar bayanganku yang sedang mengunyah
biskuit. Gelap malam menghalangi pemandangan di luar hanya sesekali sinar lampu
berpendar melewati kaca, sesekali pula kutempelkan wajah di kaca jendela hanya
sekedar berusaha menangkap ada apa diluar sana.
Perjalanan
berlanjut dan kau tak kunjung bangun, sementara kantuk menyerang tak
henti-hentinya hingga tak kusadari saat terbangun pemandangan di luar kereta
telah berubah menjadi lebih terang dan kepalaku terkulai ke kanan tepat di atas bahumu.
“Udah bangun?”
kau melirikku lalu menguap sekali, membuatku segera mengangkat kepala dan
tertawa hambar.
“Ha—lo,” kuangkat
tangan kananku dengan gerakan menyapa yang kaku.
Dia tertawa
sekali. “Kamu tidur bisa nyenyak banget. Ini udah mau nyampe.”
“Eh?” kulirik
arlojiku dan benar katanya, jam sudah menunjukkan waktu sesuai dengan tiket
kereta waktu tiba. Biasanya perjalanan
selalu membuatku terbangun di tengah malam hampir setiap jamnya. Dan bagaimana caranya aku bisa tidur senyenyak ini.
“Aku nggak tahu
kalau kamu duduk di sebelah,” dia memasukkan botol air mineralnya ke dalam tas
ransel. “Kok nggak bilang?”
Aku tertawa walaupun terasa hambar. “Ya masak duduk di sebelah kamu doang
harus bilang-bilang,”kuraih botol air mineral di atas meja dan kuteguk isinya hingga rasa
kering di tenggorokan mereda. “Lagian dari aku duduk kamu pakai headset yang
suaranya membahana kemana-mana.”
Kau tertawa lagi.
“Headsetnya emang agak rusak kayaknya. Tinggal dicopot aja headsetnya kan kalau
mau ngajak ngobrol.”
Aku mengunyah
biskuit yang tersisa malam tadi, sambil menggelengkan kepala kujawab, “nggak
sopan itu. Nggak sopan.”
Kau meraih
bungkus biskuit dan isinya yang tinggal sebuah, mengambil lalu menikmatinya
tanpa ijin walaupun jika kau meminta ijin pun akan kuberikan juga. “Aku
cuma tahu kamu mau pulang dari liburan hari ini tapi aku nggak tahu kalau kita
bakal satu kereta.”
“Satu gerbong,
satu deret, sebelahan lagi,” aku tertawa. “Mungkin kita jodoh,” celetukku
menggoda.
“Bisa jadi.”
Aku melirikmu
dengan dahi berkerut. Baru terpikir pertanyaan darimana kau bisa tahu
aku berlibur di kotamu dan akan pulang di hari yang sama dengan kepulanganmu.
“Sayangnya kita
cuma berjodoh sebentar.”
Kemudian kusadari
kereta telah melambat, berhenti, beberapa orang telah berdiri dan mengambil
barang bawaan mereka, beberapa orang yang berseragam telah menawarkan jasa
angkut barang, samar-samar kudengar pegumuman di stasiun yang mengalun bersama
tembang khas kota.
Perjalanan kami
berhenti sampai disini.
0 komentar :
Posting Komentar