Minggu, 29 Desember 2013

Perjalanan


Kita tidak pernah membuat janji untuk bertemu di dalam kereta, aku bahkan tak tahu kau akan menaiki kereta yang sama denganku. Yang aku tahu hanya kau akan pulang hari ini dan aku akan menyelesaikan liburan singkatku hari ini. Yang kupikir kau akan pulang menaiki pesawat atau bis dan aku pun tak ada keinginan untuk melihatmu di sini, di sisi tempat duduk, tepat di sebelah kursi yang kutempati.

Kau mengenakan headset, mengabaikan dunia dan tak menyadari keberadaanku walaupun aku sudah berjinjit-jinjit menempatkan tas ransel di atas bagasi walaupun sudah kuucapkan permintaan agar kau menggeser kakimu sedikit. Kau hanya memberi jalan, membiarkanku duduk di sisi jendela, tak mengangkat kepalamu tak pula memperhatikan keberadaanku. Samar-samar kudengar suara lagu yang berputar melalui handphone milikmu, lagu yang sungguh familiar dan aku tahu itu lagu kesukaanmu.

Aku tak akan mengganggu. Itu yang kutanamkan dalam hati. Jika kau yang mengajak bicara lebih dulu aku akan menanggapi tapi jika sampai perjalanan berjam-jam ini berlalu kau hanya mendengarkan lagu lalu tertidur, mengabaikanku lalu pergi mengangkut segala benda yang kau bawa, keluar dari kereta api. Aku pun tak sanggup protes.

Tapi rasanya tak tenang pula duduk di sampingmu dan sejak menyadari keberadaanmu duduk di sisi kursi yang kutempati, aku merutuki masker yang lupa kubeli di mini market, mengeluhkan jaket tanpa tudung yang tak kukenakan dan berusaha untuk tidak tertidur. Bagaimanapun aku tidak mau tertidur dengan kepala terkulai bersandar di bahumu—walaupun kurasa itu akan menjadi hal yang menyenangkan— atau mangap seperti yang biasanya terjadi ketika aku tertidur dalam perjalanan, jangan sampai pula aku mengorok, atau mengeluarkan lendir dari mulut.

Mati-matian kucoba untuk tetap membuka mata walaupun rasanya mengantuk sekali, padahal kereta baru melaju setengah jam yang lalu dan kau benar-benar belum menyadari keberadaanku. Membuatku tergelitik untuk memulai pembicaraan.

Tapi—bukankah aku sudah berjanji tadi, aku sudah berjanji untuk tidak memulai sampai kau yang menyadari keberadaanku lebih dulu. Tapi—bisa saja kau malu, bisa saja kau malu menyapaku karena kau melupakan namaku. Atau—kau bahkan lupa bahwa aku pernah mengenalmu. Tidak, seharusnya tidak, aku saja masih mengingatmu, walaupun kontak kita terakhir kali adalah tiga tahun yang lalu dan aku hanya mengetahui kabarmu melalui media sosial di waktu senggang.

Aku berusaha untuk tetap tenang walaupun sejak tadi ingin sekali melipat kedua kaki di atas kursi, ingin sekali mengeluarkan biskuit dari dalam tas, ingin sekali membaca novel yang kusiapkan sebelum berangkat, tapi keberadaanmu seperti membuat setiap hal terasa salah. Apa aku mengambil tempat terlalu banyak, apa gerakan-gerakan yang kubuat mengganggumu, apa sebenarnya kau ingin bertukar tempat denganku untuk memandangi warna hitam malam dan cahaya lampu.

Kau masih mengenakan headset setelah satu jam perjalanan berlalu dan tubuhku mulai terasa kaku, perutku lapar dan rasanya mengantuk sekali, terlalu banyak hal yang kukeluhkan dalam hati tapi tak sanggup kuucapkan. Aku berharap kau cepat-cepat tertidur saja supaya aku bisa bebas melakukan banyak hal.

Sepertinya Tuhan mendengarkan doaku, kau tertidur beberapa menit setelah permohonan itu kuulang dalam hati berkali-kali. Dengan headset terpasang di telinga dan tudung jaket yang terpasang di kepala kau tertidur tampak lelap sekali. Beberapa menit menimbang-nimbang aku mulai merogoh tas mengeluarkan biskuit, air mineral dan novel yang sejak tadi tertahan di sana karena keberadaanmu.

Ah—sungguh seharusnya aku tidak menyalahkan keberadaanmu, ini hanya kebodohan diriku saja yang hanya sanggup bergerak ketika kau merapatkan mata, bernapas pelan, bermimpi dalam tidurmu. Lalu sekali kucoba melirik wajahmu ketika tidur, memerhatikan tahi lalat tepat di bawah mata kirimu, kedua alis mata yang tebal melengkung terpisah di antara pangkal hidung, bulu mata yang lentik dan—kupalingkan wajah jauh-jauh darimu, menyadari kebodohan lain yang kulakukan ketika berada di sampingmu.

Kupindahkan perhatian ke jendela yang hanya memantulkan samar-samar bayanganku yang sedang mengunyah biskuit. Gelap malam menghalangi pemandangan di luar hanya sesekali sinar lampu berpendar melewati kaca, sesekali pula kutempelkan wajah di kaca jendela hanya sekedar berusaha menangkap ada apa diluar sana.

Perjalanan berlanjut dan kau tak kunjung bangun, sementara kantuk menyerang tak henti-hentinya hingga tak kusadari saat terbangun pemandangan di luar kereta telah berubah menjadi lebih terang dan kepalaku terkulai ke kanan tepat di atas bahumu.

“Udah bangun?” kau melirikku lalu menguap sekali, membuatku segera mengangkat kepala dan tertawa hambar.

“Ha—lo,” kuangkat tangan kananku dengan gerakan menyapa yang kaku.

Dia tertawa sekali. “Kamu tidur bisa nyenyak banget. Ini udah mau nyampe.”

“Eh?” kulirik arlojiku dan benar katanya, jam sudah menunjukkan waktu sesuai dengan tiket kereta waktu tiba. Biasanya perjalanan selalu membuatku terbangun di tengah malam hampir setiap jamnya. Dan bagaimana caranya aku bisa tidur senyenyak ini.

“Aku nggak tahu kalau kamu duduk di sebelah,” dia memasukkan botol air mineralnya ke dalam tas ransel.  “Kok nggak bilang?”

Aku tertawa walaupun terasa hambar. “Ya masak duduk di sebelah kamu doang harus bilang-bilang,”kuraih botol air mineral di atas meja dan kuteguk isinya hingga rasa kering di tenggorokan mereda. “Lagian dari aku duduk kamu pakai headset yang suaranya membahana kemana-mana.”

Kau tertawa lagi. “Headsetnya emang agak rusak kayaknya. Tinggal dicopot aja headsetnya kan kalau mau ngajak ngobrol.”

Aku mengunyah biskuit yang tersisa malam tadi, sambil menggelengkan kepala kujawab, “nggak sopan itu. Nggak sopan.”

Kau meraih bungkus biskuit dan isinya yang tinggal sebuah, mengambil lalu menikmatinya tanpa ijin walaupun jika kau meminta ijin pun akan kuberikan juga. “Aku cuma tahu kamu mau pulang dari liburan hari ini tapi aku nggak tahu kalau kita bakal satu kereta.”

“Satu gerbong, satu deret, sebelahan lagi,” aku tertawa. “Mungkin kita jodoh,” celetukku menggoda.

“Bisa jadi.”

Aku melirikmu dengan dahi berkerut. Baru terpikir pertanyaan darimana kau bisa tahu aku berlibur di kotamu dan akan pulang di hari yang sama dengan kepulanganmu.

“Sayangnya kita cuma berjodoh sebentar.”

Kemudian kusadari kereta telah melambat, berhenti, beberapa orang telah berdiri dan mengambil barang bawaan mereka, beberapa orang yang berseragam telah menawarkan jasa angkut barang, samar-samar kudengar pegumuman di stasiun yang mengalun bersama tembang khas kota.

Perjalanan kami berhenti sampai disini.


0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang