Kukisahkan
tentang seorang perempuan yang tak
kutahu namanya, di dunia yang tak pernah kukunjungi. Seseorang membisikan
ceritanya padaku dan aku menyimpan cerita ini dalam memori untuk kuceritakan
padamu. Sulit memang, kau jelas kenal aku sebagai pelupa ulung, maka kutuliskan
saja cerita ini untuk kusampaikan padamu, lewat surat kah, lewat botol kaca
yang mengambang-ngambang di laut kah, aku belum memikirkan caranya.
Kisah tentang
seorang perempuan, seusiamu, tak lebih tua, tak lebih muda. Rambutnya berwarna
hitam gelap bergelombang menyentuh pinggang, sehari-hari dia menguncir
rambutnya atau menyanggulnya dengan pita berwarna putih, mengenakan gaun
berwarna hitam, tanpa menggunakan make up, karena baginya mengenakan eyeshadow
hitam atau lipstik putih bukanlah pilihan yang bagus, ia mengenakan sepatu
putih atau kadang-kadang jika sedang malas sandal berwarna hitam yang menjadi
pilihannya. Perempuan itu keluar dari rumahnya yang bercat dominasi putih,
mengenakan tas putih yang disampirkan ke bahu lalu menyapa anjing peliharaannya
yang berbulu hitam.
Perempuan itu
hidup di dunia hitam putih. Warna disana hanya sebatas hitam atau putih, tak
ada produksi cat dengan pilihan warna beragam yang mirip satu sama lain, tak
ada pilihan warna pakaian yang membuat para perempuan bingung harus
mengkombinasikannya dengan apa, tak ada warna-warni balon yang melayang di
udara, tak ada pujian atas keindahan bulu burung yang bertengger di dahan, tak
ada langit yang biru, tanah pemakaman yang berwarna cokelat kemerahan, tak ada
daun hijau yang menghiasi setiap ranting pohon, tak ada terik matahari yang
tampak seolah berwarna kuning.
Tak ada yang
protes, dengan keadaan dunia mereka, karena yang mereka tahu ketika mereka
hidup, membuka mata, mata mereka hanya menangkap waran hitam atau putih. Tak
ada yang pernah mengeluhkan pilihan warna dalam hidup mereka, seperti
pilihan-pilihan lain yang sebatas benar atau salah, iya atau tidak, jahat atau
baik, cepat atau lambat.
Perempuan itu pun
begitu, dia berangkat menuju tempat kerjanya sambil bersenandung, tasnya yang
tersampir di bahu kadang berpindah ke genggaman tangan, terayun-ayun nyaris
menyentuh aspal jalanan berwarna putih yang berbekas tapak kaki hitam. Langkah
kakinya terhenti di halte bis terdekat, matanya menangkap seorang laki-laki yang
merokok disebelahnya, asapnya mengepul berwarna putih, membuat perempuan itu
menyingkir mengambil jarak yang lebih jauh. Laki-laki itu tak menyadarinya dan
tak kunjung mematikan rokoknya, perempuan itu mengeluh dalam hati betapa jahatnya laki-laki itu.
Bermenit-menit
berlalu bis yang ditunggu tak kunjung datang. Perempuan itu memandangi tulisan
jadwal bis yang terpampang di halte, sudah 30 menit dan tak ada bis yang datang. Setelah
mengeluhkan bis yang tak tepat waktu, langkah kaki membawanya meneruskan
perjalanan. Jika beruntung, dia tak akan
dimarahi oleh atasannya, jika tidak beruntung maka dia akan dimarahi
habis-habisan. Atasannya akan mencapnya telat-an dan memintanya untuk datang
jauh lebih awal esok harinya.
Perempuan itu
menyampirkan tas di bahu, ketika jalanan sepi dan tak ada yang berjalan
disampingnya di intipnya toples kaca kecil yang dibawanya setiap hari, dimasukkan
ke dalam kantong paling belakang dari tasnya di resleting yang nyaris tak
terlihat. Toples kotak berisi warna biru dari langit yang dia temukan dua hari
lalu, perempuan itu tak tahu apa nama benda yang dia ambil waktu itu tapi
melihatnya di antara warna hitam putih dalam hidupnya membuatnya sanggup
tersenyum sepanjang hari, melangkahkan kaki dengan ringan dan bersenandung
gembira.
Di hari lain
ketika perempuan itu mengunjungi makam ibunya, tanah yang lengket karena hujan
memaksanya membersihkan sepatu lebih cepat dari seharusnya, membawanya ke warna
cokelat tua yang tampak berbeda dengan warna putih sol sepatunya. Mata perempuan
itu membulat, senyum tergurat sempurna di wajahnya, berhati-hati ia ambil semua
warna cokelat yang tertangkap matanya meraih toples kaca di dalam tas dan
memasukkan semuanya ke dalam toples kaca yang sama yang menyimpan biru dari
langit.
Lusa, bendera
yang berkibar di sebrang rumah perempuan itu menyimpan warna merah yang
berkilat-kilat menarik perhatian hingga membuat perempuan itu terpaku
bermenit-menit mencari-cari alasan untuk berada di halaman rumah tetangganya
yang terkenal pemarah itu. Bagi perempuan itu membuat urusan dengan tetangga
seberang rumahnya adalah pilihan terakhir yang akan dia ambil tapi warna merah
itu seolah-olah melambai-lambai memanggilnya.
Setelah
menimbang-nimbang, mengingat keberadaan kue yang baru saja dibuatnya pagi ini,
perempuan itu memilih untuk mencoba beramah-tamah, jika diusir habis sudah
dirinya, dia akan melambaikan tangan pada warna merah yang menggodanya sejak
tadi.
Biarlah dia
terlambat bekerja, atasannya sudah mencapnya sebagai karyawan yang selalu
datang terlambat, sekali ini lagi kenapa tidak. Biarlah dia dimarahi oleh
tetangganya dia hanya ingin memasukkan warna merah itu ke dalam toples kaca
miliknya, menikmatinya, seperti menikmati dua warna lainnya.
Setelah
bermenit-menit penuh ketegangan, mencoba ramah walaupun terasa kaku, perempuan
itu berhasil kembali dengan toples berisi warna merah dari bendera yang
berkibar di depan rumah tetangganya. Senyumnya merekah setelah hanya
mengangguk-anggukan kepala, berusaha untuk sopan ketika diajak berbicara
pemilik rumah. Salah, jika mereka bilang kalau perempuan tua yang selalu
mengibarkan bendera itu adalah perempuan yang galak, sejak tadi ia disuguhi
berbagai hidangan dan senyuman yang ramah walaupun obrolan khas orangtua tak
bisa membuatnya ingin duduk berlama-lama.
Dia tetangga yang baik, pikir perempuan itu ketika melangkahkan kaki
keluar dari halaman rumah tetangganya, ketika jam tangannya menunjukkan pukul
sembilan pagi, terlambat satu jam mungkin bisa jadi masalah besar bagi
perempuan itu.
Setelah warna
merah, muncul warna hijau di daun, warna kuning di bulu kucing liar, warna
jingga ketika waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit di
ujung pantai ketika perempuan itu menikmati liburan singkatnya, warna biru di
rok sepan yang dikenakan atasannya, warna ungu di sepatu yang dikenakan remaja yang
melewatinya sambil berlari-lari.
Toples kaca itu
nyaris penuh, tapi tak ada toples lain yang terasa pas masuk ke dalam tasnya
untuk dibawa kemanapun, maka perempuan itu memilih mengabaikannya. Baginya yang
penting adalah membawa toples kaca itu setiap hari untuk menyenangkan dirinya
sendiri, mungkin ketika kau membaca kisah ini akan kau pikir perempuan itu
egois, tapi sungguh aku kira masih banyak deskripsi sifat yang tepat untuknya selain egois atau murah hati.
Suatu hari seseorang mengetuk pintu rumah
perempuan itu, tetangga yang tinggal di sebrang rumahnya. Perempuan itu
menyambut tetangganya dengan senyuman sementara tetangganya memandangi
perempuan itu dengan ujung mata, bibir yang melengkung kebawah, membuat
perempuan itu ragu untuk memulai pertanyaan ada apa, tangannya masih menahan
pintu bersiap-siap menutupnya kalau-kalau hal buruk terjadi.
“Kau yang mencuri
merah dari benderaku?”
Pertanyaan itu
adalah pertanyaan yang tak sanggup dijawab perempuan itu, tetangganya memandanginya
lurus-lurus, tajam, nyaris tak berkedip, kerut-kerut di wajahnya tampak begitu
jelas hingga seolah terpatri dalam-dalam. Perempuan itu hendak menutup pintu
tapi tetangganya bergerak lebih cepat, meringsek masuk ke dalam rumah perempuan
itu, berteriak-teriak memanggil nama yang tak pernah di dengar oleh perempuan
itu.
“Merah! Merah! Dimana
kau?”
Terpaku di mulut
pintu, memandangi gerakan tetangganya yang memporak-porakandakan isi rumahnya,
menjatuhkan rak buku, melempar bantal-bantal yang tertata rapi di sofa,
membanting boneka-boneka kayu kesayangan, membuka setiap lemari yang tertempel
di dinding, dengan teriakan yang sama perempuan itu mulai meracau.
“Bagaimana bisa
kau mencuri benda milikku, itu satu-satunya milikku.”
Perempuan itu
bergidik ngeri, tiba-tiba dingin menjalari tengkuknya, dengan langkah perlahan,
kaki yang gemetar, tangannya meraih tas yang sempat terjatuh di sisi tubuhnya. Tanpa
pikir panjang perempuan itu keluar dari rumahnya sambil berlari, meninggalkan
teriakan tetangganya yang samar-samar terdengar ditelinganya.
“Pencuri!
Kembali!”
Langkah kakinya
tak terhenti, pikirannya menyuruhnya terus lari walaupun beberapa orang yang
ditabraknya mengumpat meminta permohonan maaf , tapi tak ada waktu bagi
perempuan itu sekalipun untuk memperdulikan bunyi klakson ketika menyebrang
tanpa memperhatikan lampu lalu lintas.
Langkah kakinya
baru terhenti ketika perasaannya memintanya untuk berhenti, ketika dia sudah
merasa jauh dari tetangganya yang entah mengejar atau tidak. Tangannya merogoh
tas yang sejak tadi dipeluknya erat-erat, berharap masih ada toples kecil
kesayangannya disana. Toples itu masih ada, tanpa melihatnya perempuan itu bisa
merasakan bentuk kotak yang terasa dingin di tangannya.
“Hei!”
Perempuan itu
berbalik, tetangganya hanya berjarak beberapa langkah saja dengannya, ketika
suara tetangganya terdengar lagi seorang laki-laki menahan bahunya, membuat
perempuan itu tak bisa berpindah lagi, tak bisa berlari lagi, walaupun dia
mengulang kata lepaskan berkali-kali
laki-laki itu bergeming. Orang-orang mulai berkumpul dengan perempuan itu
berada di tengah-tengah, membuat perempuan itu semakin panik, hingga tanpa
sadar ia pukul-pukulkan tasnya ke wajah laki-laki yang menahannya.
“Lepaskan!”
Ketika kerumunan
yang mengelilinginya mulai membuka sebuah jalur untuk tetangganya, ketika
gerakan perempuan itu semakin tak karuan untuk melepaskan diri, menghapus
suara-suara yang berdesis disekitarnya, perempuan itu tak menyadari tetangganya
telah berada disampingnya begitu dekat dengannya tak terpengaruh
pukulan-pukulan yang ia buat.
“Mana merah
milikku?”
Mata perempuan
itu membulat, ketika tangan tetangganya merampas tas yang dipegangnya. Tangannya
gagal meraih kembali tas itu karena laki-laki yang menahan bahunya menghalangi
tubuhnya. Menendang, memukul, mencakar, semua bentuk perlawanan sudah
diusahakan perempuan itu tapi tak ada satupun yang membawa hasil, laki-laki itu
seperti arca batu memamerkan punggungnya yang lebar dan tubuhnya yang besar.
Kerumunanan semakin
ramai, desas-desis semakin terdengar beberapa orang bertanya dan yang lain
menjawab.
“Apa yang
terjadi?”
“Sepertinya ada
yang memperebutkan warna lagi.”
“Dengan wanita
tua itu?”
“Bodoh sekali.”
Perempuan itu
terdiam, berhenti memberontak, matanya menelusuri setiap orang yang berdiri di
sekitarnya, tatapan mata mereka seolah berkata dasar bodoh, untuk apa berbuat seperti itu.
Untuk apa?
“Tidak!”
Perempuan itu
mendengar suara tetangganya yang melengking, membuat tubuhnya bergetar hebat,
memikirkan segala hal yang mungkin terjadi dengan toples kacanya, bersamaan itu
laki-laki yang menahannya lengah, membuka kesempatan bagi perempuan itu untuk
meringsek melewatinya.
Matanya
memandangi perempuan tua yang berdiri dengan tasnya dan toples kecil miliknya,
toples kaca yang seharusnya menyimpan semua warna yang didapatnya. Seharusnya toples
itu tampak menyenangkan untuk dipandangi, membuatnya tersenyum.
Perempuan itu
menelengkan kepalanya, melangkah mendekati perempuan tua memandangi toples
kacanya yang tak berwarn-warni lagi, hanya ada warna hitam disana, warna hitam
pekat yang memenuhi nyaris seluruh isi toples.
“Apa yang kau
lakukan?” perempuan itu berteriak, keras, keras sekali, hingga telinganya
terasa pengang, kepalanya terasa pusing, tangannya menarik pakaian tetangganya,
menunjuk toples kaca dengan jari telunjuknya.
“Kau yang bodoh!
Kenapa kau gabungkan semua warna menjadi satu!”
“Dasar bodoh.”
“Terjadi lagi.”
“Astaga, aku
sampai bosan melihatnya.”
Suara-suara itu
terdengar lagi, suara tawa terdengar samar-samar bersamaan kerumunan yang mulai
menipis, beberapa orang mulai pergi, beberapa yang lain menyusul, hingga
tinggal perempuan itu dan tetangannya terpaku di pedestrian.
“Apa maksudmu?”
perempuan itu bertanya lirih, tangannya mulai jatuh ke sisi-sisi tubuhnya, air
matanya yang berwarna hitam mengalir membasahi wajahnya.
“Kau memang
bodoh,” jari telunjuk tetangganya mendorong dahi perempuan itu berkali-kali. “Seharusnya
kau biarkan saja merah milikku di bendera. Bukan kau gabungkan dengan warna
lain.”
Perempuan itu
masih terdiam, memandangi toples kaca miliknya yang dipenuhi dengan warna hitam
pekat, seperti warna hitam yang dia temui di mana-mana, tak ada bedanya. Kakinya
bergetar menahan tubuhnya yang mulai terasa limbung, kesadarannya menipis dan
tiba-tiba menubruknya kembali ketika terdengar kembali pertanyaan tetangganya.
“Benda ini tak
berguna kan?”
Ketika tangan berkerut itu melepas toples miliknya, dalam gerakan lambat
toples itu jatuh menembus udara bersama gerakan tangan perempuan itu, bersama hujan yang jatuh membasahi bumi. Suara air yang
jatuh sepanjang jalan menutupi suara pecahan toples yang berhamburan.
Mata perempuan
itu bisa menangkap warna hitam melayang di udara, tetesan air hujan yang
jatuh, langkah kaki tetangganya yang menjauh. Perempuan itu terduduk di
pedestrian jalan, menengadahkan wajahnya ke langit.
“Tak ada yang
memberitahuku.”
Tak ada yang
memberitahunya. Maka kukisahkan padamu, agar kau tahu, di dalam botol kaca yang
kuhanyutkan di laut yang berwarna biru, kuceritakan padamu, kisah seorang
perempuan yang hidup di dunia hitam putih.
Sudah lama tidak posting dan rasanya kaku sekali waktu menulis ini. Melihat banyak cerpen yang masih bertandang di folder dan belum selesai karena tidak ada ending untuk idenya entah kapan akan posting lagi disini. Semoga saja segera.
1 komentar :
andai kutambah airmata pada toples itu, akankah warnanya berubah merah karena sakitku?
Posting Komentar