Rabu, 20 November 2013

Dunia Hitam Putih


Kukisahkan tentang seorang perempuan  yang tak kutahu namanya, di dunia yang tak pernah kukunjungi. Seseorang membisikan ceritanya padaku dan aku menyimpan cerita ini dalam memori untuk kuceritakan padamu. Sulit memang, kau jelas kenal aku sebagai pelupa ulung, maka kutuliskan saja cerita ini untuk kusampaikan padamu, lewat surat kah, lewat botol kaca yang mengambang-ngambang di laut kah, aku belum memikirkan caranya.

Kisah tentang seorang perempuan, seusiamu, tak lebih tua, tak lebih muda. Rambutnya berwarna hitam gelap bergelombang menyentuh pinggang, sehari-hari dia menguncir rambutnya atau menyanggulnya dengan pita berwarna putih, mengenakan gaun berwarna hitam, tanpa menggunakan make up, karena baginya mengenakan eyeshadow hitam atau lipstik putih bukanlah pilihan yang bagus, ia mengenakan sepatu putih atau kadang-kadang jika sedang malas sandal berwarna hitam yang menjadi pilihannya. Perempuan itu keluar dari rumahnya yang bercat dominasi putih, mengenakan tas putih yang disampirkan ke bahu lalu menyapa anjing peliharaannya yang berbulu hitam.

Perempuan itu hidup di dunia hitam putih. Warna disana hanya sebatas hitam atau putih, tak ada produksi cat dengan pilihan warna beragam yang mirip satu sama lain, tak ada pilihan warna pakaian yang membuat para perempuan bingung harus mengkombinasikannya dengan apa, tak ada warna-warni balon yang melayang di udara, tak ada pujian atas keindahan bulu burung yang bertengger di dahan, tak ada langit yang biru, tanah pemakaman yang berwarna cokelat kemerahan, tak ada daun hijau yang menghiasi setiap ranting pohon, tak ada terik matahari yang tampak seolah berwarna kuning.

Tak ada yang protes, dengan keadaan dunia mereka, karena yang mereka tahu ketika mereka hidup, membuka mata, mata mereka hanya menangkap waran hitam atau putih. Tak ada yang pernah mengeluhkan pilihan warna dalam hidup mereka, seperti pilihan-pilihan lain yang sebatas benar atau salah, iya atau tidak, jahat atau baik, cepat atau lambat.

Perempuan itu pun begitu, dia berangkat menuju tempat kerjanya sambil bersenandung, tasnya yang tersampir di bahu kadang berpindah ke genggaman tangan, terayun-ayun nyaris menyentuh aspal jalanan berwarna putih yang berbekas tapak kaki hitam. Langkah kakinya terhenti di halte bis terdekat, matanya menangkap seorang laki-laki yang merokok disebelahnya, asapnya mengepul berwarna putih, membuat perempuan itu menyingkir mengambil jarak yang lebih jauh. Laki-laki itu tak menyadarinya dan tak kunjung mematikan rokoknya, perempuan itu mengeluh dalam hati betapa jahatnya laki-laki itu.

Bermenit-menit berlalu bis yang ditunggu tak kunjung datang. Perempuan itu memandangi tulisan jadwal bis yang terpampang di halte, sudah 30 menit dan tak ada bis yang datang. Setelah mengeluhkan bis yang tak tepat waktu, langkah kaki membawanya meneruskan perjalanan. Jika beruntung,  dia tak akan dimarahi oleh atasannya, jika tidak beruntung maka dia akan dimarahi habis-habisan. Atasannya akan mencapnya telat-an dan memintanya untuk datang jauh lebih awal esok harinya.

Perempuan itu menyampirkan tas di bahu, ketika jalanan sepi dan tak ada yang berjalan disampingnya di intipnya toples kaca kecil yang dibawanya setiap hari, dimasukkan ke dalam kantong paling belakang dari tasnya di resleting yang nyaris tak terlihat. Toples kotak berisi warna biru dari langit yang dia temukan dua hari lalu, perempuan itu tak tahu apa nama benda yang dia ambil waktu itu tapi melihatnya di antara warna hitam putih dalam hidupnya membuatnya sanggup tersenyum sepanjang hari, melangkahkan kaki dengan ringan dan bersenandung gembira.

Di hari lain ketika perempuan itu mengunjungi makam ibunya, tanah yang lengket karena hujan memaksanya membersihkan sepatu lebih cepat dari seharusnya, membawanya ke warna cokelat tua yang tampak berbeda dengan warna putih sol sepatunya. Mata perempuan itu membulat, senyum tergurat sempurna di wajahnya, berhati-hati ia ambil semua warna cokelat yang tertangkap matanya meraih toples kaca di dalam tas dan memasukkan semuanya ke dalam toples kaca yang sama yang menyimpan biru dari langit.

Lusa, bendera yang berkibar di sebrang rumah perempuan itu menyimpan warna merah yang berkilat-kilat menarik perhatian hingga membuat perempuan itu terpaku bermenit-menit mencari-cari alasan untuk berada di halaman rumah tetangganya yang terkenal pemarah itu. Bagi perempuan itu membuat urusan dengan tetangga seberang rumahnya adalah pilihan terakhir yang akan dia ambil tapi warna merah itu seolah-olah melambai-lambai memanggilnya.

Setelah menimbang-nimbang, mengingat keberadaan kue yang baru saja dibuatnya pagi ini, perempuan itu memilih untuk mencoba beramah-tamah, jika diusir habis sudah dirinya, dia akan melambaikan tangan pada warna merah yang menggodanya sejak tadi.

Biarlah dia terlambat bekerja, atasannya sudah mencapnya sebagai karyawan yang selalu datang terlambat, sekali ini lagi kenapa tidak. Biarlah dia dimarahi oleh tetangganya dia hanya ingin memasukkan warna merah itu ke dalam toples kaca miliknya, menikmatinya, seperti menikmati dua warna lainnya.

Setelah bermenit-menit penuh ketegangan, mencoba ramah walaupun terasa kaku, perempuan itu berhasil kembali dengan toples berisi warna merah dari bendera yang berkibar di depan rumah tetangganya. Senyumnya merekah setelah hanya mengangguk-anggukan kepala, berusaha untuk sopan ketika diajak berbicara pemilik rumah. Salah, jika mereka bilang kalau perempuan tua yang selalu mengibarkan bendera itu adalah perempuan yang galak, sejak tadi ia disuguhi berbagai hidangan dan senyuman yang ramah walaupun obrolan khas orangtua tak bisa membuatnya ingin duduk berlama-lama.

Dia tetangga yang baik, pikir perempuan itu ketika melangkahkan kaki keluar dari halaman rumah tetangganya, ketika jam tangannya menunjukkan pukul sembilan pagi, terlambat satu jam mungkin bisa jadi masalah besar bagi perempuan itu.

Setelah warna merah, muncul warna hijau di daun, warna kuning di bulu kucing liar, warna jingga ketika waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit di ujung pantai ketika perempuan itu menikmati liburan singkatnya, warna biru di rok sepan yang dikenakan atasannya, warna ungu di sepatu yang dikenakan remaja yang melewatinya sambil berlari-lari.

Toples kaca itu nyaris penuh, tapi tak ada toples lain yang terasa pas masuk ke dalam tasnya untuk dibawa kemanapun, maka perempuan itu memilih mengabaikannya. Baginya yang penting adalah membawa toples kaca itu setiap hari untuk menyenangkan dirinya sendiri, mungkin ketika kau membaca kisah ini akan kau pikir perempuan itu egois, tapi sungguh aku kira masih banyak deskripsi sifat yang  tepat untuknya selain egois atau murah hati.

Suatu hari seseorang mengetuk pintu rumah perempuan itu, tetangga yang tinggal di sebrang rumahnya. Perempuan itu menyambut tetangganya dengan senyuman sementara tetangganya memandangi perempuan itu dengan ujung mata, bibir yang melengkung kebawah, membuat perempuan itu ragu untuk memulai pertanyaan ada apa, tangannya masih menahan pintu bersiap-siap menutupnya kalau-kalau hal buruk terjadi.

“Kau yang mencuri merah dari benderaku?”

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang tak sanggup dijawab perempuan itu, tetangganya memandanginya lurus-lurus, tajam, nyaris tak berkedip, kerut-kerut di wajahnya tampak begitu jelas hingga seolah terpatri dalam-dalam. Perempuan itu hendak menutup pintu tapi tetangganya bergerak lebih cepat, meringsek masuk ke dalam rumah perempuan itu, berteriak-teriak memanggil nama yang tak pernah di dengar oleh perempuan itu.

“Merah! Merah! Dimana kau?”

Terpaku di mulut pintu, memandangi gerakan tetangganya yang memporak-porakandakan isi rumahnya, menjatuhkan rak buku, melempar bantal-bantal yang tertata rapi di sofa, membanting boneka-boneka kayu kesayangan, membuka setiap lemari yang tertempel di dinding, dengan teriakan yang sama perempuan itu mulai meracau.

“Bagaimana bisa kau mencuri benda milikku, itu satu-satunya milikku.”

Perempuan itu bergidik ngeri, tiba-tiba dingin menjalari tengkuknya, dengan langkah perlahan, kaki yang gemetar, tangannya meraih tas yang sempat terjatuh di sisi tubuhnya. Tanpa pikir panjang perempuan itu keluar dari rumahnya sambil berlari, meninggalkan teriakan tetangganya yang samar-samar terdengar ditelinganya.

“Pencuri! Kembali!”

Langkah kakinya tak terhenti, pikirannya menyuruhnya terus lari walaupun beberapa orang yang ditabraknya mengumpat meminta permohonan maaf , tapi tak ada waktu bagi perempuan itu sekalipun untuk memperdulikan bunyi klakson ketika menyebrang tanpa memperhatikan lampu lalu lintas.

Langkah kakinya baru terhenti ketika perasaannya memintanya untuk berhenti, ketika dia sudah merasa jauh dari tetangganya yang entah mengejar atau tidak. Tangannya merogoh tas yang sejak tadi dipeluknya erat-erat, berharap masih ada toples kecil kesayangannya disana. Toples itu masih ada, tanpa melihatnya perempuan itu bisa merasakan bentuk kotak yang terasa dingin di tangannya.

“Hei!”

Perempuan itu berbalik, tetangganya hanya berjarak beberapa langkah saja dengannya, ketika suara tetangganya terdengar lagi seorang laki-laki menahan bahunya, membuat perempuan itu tak bisa berpindah lagi, tak bisa berlari lagi, walaupun dia mengulang kata lepaskan berkali-kali laki-laki itu bergeming. Orang-orang mulai berkumpul dengan perempuan itu berada di tengah-tengah, membuat perempuan itu semakin panik, hingga tanpa sadar ia pukul-pukulkan tasnya ke wajah laki-laki yang menahannya.

“Lepaskan!”

Ketika kerumunan yang mengelilinginya mulai membuka sebuah jalur untuk tetangganya, ketika gerakan perempuan itu semakin tak karuan untuk melepaskan diri, menghapus suara-suara yang berdesis disekitarnya, perempuan itu tak menyadari tetangganya telah berada disampingnya begitu dekat dengannya tak terpengaruh pukulan-pukulan yang ia buat.

“Mana merah milikku?”

Mata perempuan itu membulat, ketika tangan tetangganya merampas tas yang dipegangnya. Tangannya gagal meraih kembali tas itu karena laki-laki yang menahan bahunya menghalangi tubuhnya. Menendang, memukul, mencakar, semua bentuk perlawanan sudah diusahakan perempuan itu tapi tak ada satupun yang membawa hasil, laki-laki itu seperti arca batu memamerkan punggungnya yang lebar dan tubuhnya yang besar.
Kerumunanan semakin ramai, desas-desis semakin terdengar beberapa orang bertanya dan yang lain menjawab.

“Apa yang terjadi?”

“Sepertinya ada yang memperebutkan warna lagi.”

“Dengan wanita tua itu?”

“Bodoh sekali.”

Perempuan itu terdiam, berhenti memberontak, matanya menelusuri setiap orang yang berdiri di sekitarnya, tatapan mata mereka seolah berkata dasar bodoh, untuk apa berbuat seperti itu.

Untuk apa?

“Tidak!”

Perempuan itu mendengar suara tetangganya yang melengking, membuat tubuhnya bergetar hebat, memikirkan segala hal yang mungkin terjadi dengan toples kacanya, bersamaan itu laki-laki yang menahannya lengah, membuka kesempatan bagi perempuan itu untuk meringsek melewatinya.
Matanya memandangi perempuan tua yang berdiri dengan tasnya dan toples kecil miliknya, toples kaca yang seharusnya menyimpan semua warna yang didapatnya. Seharusnya toples itu tampak menyenangkan untuk dipandangi, membuatnya tersenyum.

Perempuan itu menelengkan kepalanya, melangkah mendekati perempuan tua memandangi toples kacanya yang tak berwarn-warni lagi, hanya ada warna hitam disana, warna hitam pekat yang memenuhi nyaris seluruh isi toples.

“Apa yang kau lakukan?” perempuan itu berteriak, keras, keras sekali, hingga telinganya terasa pengang, kepalanya terasa pusing, tangannya menarik pakaian tetangganya, menunjuk toples kaca dengan jari telunjuknya.

“Kau yang bodoh! Kenapa kau gabungkan semua warna menjadi satu!”

“Dasar bodoh.”

“Terjadi lagi.”

“Astaga, aku sampai bosan melihatnya.”

Suara-suara itu terdengar lagi, suara tawa terdengar samar-samar bersamaan kerumunan yang mulai menipis, beberapa orang mulai pergi, beberapa yang lain menyusul, hingga tinggal perempuan itu dan tetangannya terpaku di pedestrian.

“Apa maksudmu?” perempuan itu bertanya lirih, tangannya mulai jatuh ke sisi-sisi tubuhnya, air matanya yang berwarna hitam mengalir membasahi wajahnya.

“Kau memang bodoh,” jari telunjuk tetangganya mendorong dahi perempuan itu berkali-kali. “Seharusnya kau biarkan saja merah milikku di bendera. Bukan kau gabungkan dengan warna lain.”

Perempuan itu masih terdiam, memandangi toples kaca miliknya yang dipenuhi dengan warna hitam pekat, seperti warna hitam yang dia temui di mana-mana, tak ada bedanya. Kakinya bergetar menahan tubuhnya yang mulai terasa limbung, kesadarannya menipis dan tiba-tiba menubruknya kembali ketika terdengar kembali pertanyaan tetangganya.

“Benda ini tak berguna kan?”

Ketika tangan berkerut itu melepas toples miliknya, dalam gerakan lambat toples itu jatuh menembus udara bersama gerakan tangan perempuan itu, bersama hujan yang jatuh membasahi bumi. Suara air yang jatuh sepanjang jalan menutupi suara pecahan toples yang berhamburan.

Mata perempuan itu bisa menangkap warna hitam melayang di udara, tetesan air hujan yang jatuh, langkah kaki tetangganya yang menjauh. Perempuan itu terduduk di pedestrian jalan, menengadahkan wajahnya ke langit.

“Tak ada yang memberitahuku.”

Tak ada yang memberitahunya. Maka kukisahkan padamu, agar kau tahu, di dalam botol kaca yang kuhanyutkan di laut yang berwarna biru, kuceritakan padamu, kisah seorang perempuan yang hidup di dunia hitam putih.

Sudah lama tidak posting dan rasanya kaku sekali waktu menulis ini. Melihat banyak cerpen yang masih bertandang di folder dan belum selesai karena tidak ada ending untuk idenya entah kapan akan posting lagi disini. Semoga saja segera. 






1 komentar :

Ilham Sasmita at: 11 Desember 2013 pukul 23.01 mengatakan... Reply

andai kutambah airmata pada toples itu, akankah warnanya berubah merah karena sakitku?

Posting Komentar

Beo Terbang