Kami bertengkar lagi hari ini.
Kuhela napas, membiarkan layar handphone berkedip-kedip
dengan iramanya yang membuat beberapa pengunjung cafe melirik dengan penuh rasa
ingin tahu. Segelas lemon tea hangat
yang kupesan beberapa menit lalu tiba. Seorang pelayan laki-laki
mengantarkannya sambil tersenyum. Sekilas kulihat dia melirik handphoneku yang
berkedip-kedip lagi dan mengeluarkan bunyi bel pintu yang di tekan
berkali-kali. Aku mengacuhkannya, membalas senyum pelayan laki-laki itu, berterimakasih dan mematikan nada dering handphone sebelum kedua tanganku
memeluk cangkir lemon tea yang
memberikan rasa hangat.
Angin di bulan Desember memang sedikit nakal, berada di
beranda cafe setelah hujan turun dan angin masih bertiup dengan kencang sebenarnya bukan
pilihan yang tepat. Lagipula tak ada yang bisa dilihat dari sini, selain
jalanan yang lengang ketika hari libur sekolah tiba. Tak banyak yang kendaraan
yang lalu lalang, hanya ada beberapa penjual terompet yang kudapati sedang
duduk di pinggir jalan. Sepertinya orang-orang sedang mempersiapkan diri untuk
tidak tidur malam nanti, menikmati tahun baru pastinya.
Aku masih memandangi jalanan ketika seorang pelayan
kembali membawakan sepotong opera cake di atas piring putih dengan hiasan pasta
cokelat dan sendok kecil, mata pelayan itu sudah tidak melirik ke handphone
yang sudah kubalik dan ku atur di
mode silent. Setelah pelayan pergi
dan tanganku sudah meraih sendok, handphoneku bergetar beberapa kali. Sendok
yang kupegang tergantung di udara. Setelah membalik benda itu dan melihat nama yang tertulis di layar
selama beberapa detik kuputuskan untuk mengangkat teleponnya kali ini.
“Halo?”
“Kenapa nggak diangkat dari tadi? Kamu dimana?”
“Di cafe deket Kampung Kali.”
“Aku kesana.”
“Nggak usah. Kamu masih ada urusan kan? Tahun depan aja kita
ketemu lagi. Oke?”
Setelah itu kuputuskan sambungan telepon sebelum kudengar
suara protes dari sana. Dia pasti akan mengomel habis-habisan di depan
handphonenya seperti biasanya, sementara aku akan menikmati opera cake yang tampak menyenangkan ini.
Sebut aku menyebalkan dan sedikit banyak aku akan
mengakui itu. Lagipula laki-laki yang menelepon tadi hanya sahabat sejak kecil
yang hanya sesekali pulang ke kota tempat kami dilahirkan. Kedua orangtua kami saling mengenal dengan sangat baik, bahkan sempat kudengar cerita kalau
mereka berdua adalah sahabat sejak SMA pula, ayahku dan ayahnya, ibuku dengan
ibunya. Rumah kami pun sempat bersebelahan sebelum akhirnya ia memutuskan untuk
kuliah di luar kota dan kedua orangtuanya pindah agar adik perempuannya tidak
perlu berkendara terlalu jauh menuju ke sekolah.
Sahabat sejak kecilku itu memang jarang sekali
pulang—kuhela napas, menopang dagu dengan tangan kanan, memperhatikan angkot
berwarna oranye, kalau di hari sekolah pasti angkot itu penuh, jalanan ramai.Terakhir kali kami berdua mengobrol adalah ketika dia datang dengan
sebungkus kotak berisi gantungan boneka kelinci berwarna putih, mengucapkan
selamat ulangtahun. Kalau diingat-ingat, itu sekitar bulan Juli dan sekarang
sudah menginjak akhir bulan Desember.
Aku tidak bisa mengeluh tentang itu, lagipula kenapa aku
harus mengeluhkan kepulangannya yang jarang-jarang itu. Kuseruput lemon tea hangat yang mulai mendingin.
Beberapa kali percikan hujan mengenai meja dan sempat seorang pelayan datang
mengusulkanku untuk pindah ke dalam dan kujawab saja—
“Nggakpapa mas. Nanti kalau udah deres baru saya pindah.”
Dia pasti tidak benar-benar datang. Langit tampak begitu
gelap, hujan sudah turun sejak pagi tadi bahkan penjual terompet yang
kuperhatikan tadi sudah membungkus terompet jualannya dengan plastik
transparan. Mana mau dia berkendara dengan sepeda motor menembus hujan dan
angin yang dingin seperti ini—aku terkekeh geli, bergumam sambil memeluk
cangkir dengan kedua tangan. “Mana mungkin.”
Dan benar saja. Dia tidak datang. Hingga jam tanganku
menunjukkan pukul dua belas siang. Opera cake yang kupesan tadi telah tandas, begitu pula
cangkir lemon tea sudah tak menyisakan minuman untuk kunikmati. Akhirnya
kuputuskan untuk pulang, menembus udara dingin, menikmati kasur yang begitu
empuk ataupun teh hangat dengan madu. Apapun yang penting tidak memikirkan
udara yang dingin ini.
Tapi ketika sepeda motorku berhenti di depan pagar rumah, orang yang
tadi mengatakan akan datang ke cafe di dekat Kampung Kali malah sudah berada di teras rumah, duduk manis sambil tersenyum bahkan sempat melambai-lambaikan tangan seperti
orang bodoh. Ingin sekali ku lempar wajahnya dengan helm.
“Ngapain ke rumah mas? Tadi katanya mau ke Kampung Kali?”
Sahabat sejak kecilku itu menghampiri pintu pagar,
membuka kunci dan mempersilahkan ku masuk. “Nggak jadi mbak, soalnya yang di
Kampung Kali kayaknya lagi ngambek berat.”
Aku mencibir sebelum memasukkan sepeda motor ke dalam
garasi dan menghampiri dia yang sudah duduk manis di depan teras dengan dua
gelas teh hangat dan sepiring gorengan panas. “Ibu mana?” tanyaku mengintip
pintu. “Dari kapan kamu disini?”
“Baru aja,” dia mengambil sepotong mendoan yang masih
berasap dan menggigitnya, lalu dengan gerakan cepat ia letakkan kembali mendoan
yang sudah di gigitnya di atas piring. “Panas banget.”
“Bodoh banget nih orang,” kutarik kursi bambu tepat di
hadapannya, terpisahkan meja bundar, meraih gelas bening berisi teh yang masih
terasa hangat. Ibu selalu mencampurkan teh dengan dua sendok madu, mengingat
gula bukan teman yang baik jika dikonsumsi terlalu banyak. “Terus ngapain kamu
disini?”
“Mengunjungi sahabat sejak kecil yang sepertinya sedang
ngambek karena tidak ditemani di malam tahun baru.”
“Hish—“ aku mencibir, menyuruput isi gelas lalu
meletakkannya di atas meja. “Aku tahu kamu sibuk, aku tahu kamu selalu sibuk.
Aku ngerti kamu selalu sibuk.”
Laki-laki yang duduk di hadapanku mengerutkan dahi,
memajukan tubuhnya hingga menyentuh sisi meja. “Beneran marah kamu? Nggak
biasanya.”
“Siapa yang marah?”
“Tadi ibu kamu yang bilang. Kamu udah ribut dari pagi,
terus langsung pergi entah kemana,” laki-laki itu melirik jam tangannya. “Apa
mau aku temenin jalan-jalan sekarang?”
Aku ikut-ikutan melirik jam tangan, sudah lewat 20 menit
sejak aku memacu sepeda motor dan tadi
aku sudah berniat untuk bergulung di dalam selimut bukan meladeni orang yang
akan mengajak jalan-jalan.
“Nggak—aku mau pergi nanti malam dan aku butuh istirahat.
Nggak biasanya Semarang dingin kayak gini jadi harus dinikmati di dalam
selimut.”
Laki-laki itu menggaruk kepalanya dan aku hanya
tersenyum, berdiri di depan pintu sambil berucap. “Selamat tahun baru, Ngga.
Aku cuma ngetes kamu bisa tahun baruan atau nggak tahun ini setelah tahun
kemarin nggak bisa, dua tahun lalu juga nggak bisa,” kemudian setelah masuk ke
dalam kamar kudengar samar-samar suara Angga mohon diri dan berterimakasih pada
ibu atas hidangan teh hangat dan gorengan panasnya.
Setelah berbaring di atas kasur selama beberapa menit,
bergulung di dalam selimut seperti yang sudah kuniatkan sebelum-sebelumnya dan
hendak memejamkan mata, handphoneku bergetar di dalam saku. Aku lupa
memindahkannya ke atas meja.
Tadi tante bilang ke aku kalau kamu mau ke Jakarta nanti. Aku juga harus
pulang hari ini. Kita bisa ketemu di stasiun atau di kereta kalau kamu
bener-bener kangen kan?
Setelah membaca pesannya kuputuskan untuk meletakkan
handphone jauh-jauh, memasang mode pesawat dan tidur cepat-cepat.
...
“Sekarang salah siapa kalau kamu terlambat naik kereta?”
“Iya salah aku bu, salah aku,” kumasukkan semua benda
yang baru saja kusiapkan beberapa menit lalu.
“Padahal tadi setelah kamu bangun kamu bisa langsung
siap-siap tapi malah duduk-duduk di depan teras sambil mainan handphone,” ibu
membantuku memasukkan beberapa potong pakaian, tak peduli apakah aku setuju
pakaian itu pantas untuk masuk disana.
Keberangkatan ku ke Jakarta hanya sekedar menghadiri
undangan pernikahan sepupuku. Ibu tidak bisa ikut karena ayah masih perlu
perawatan setelah terkena serangan jantung beberapa minggu lalu. Ibu pula yang
memaksaku untuk berangkat sendirian, mengingat hubunganku yang cukup dekat
dengan anak dari pakdeku ini dan akhirnya disinilah aku, dengan jarak 20 menit
perjalanan rumah dan stasiun kereta Tawang sementara jam sudah menunjukkan sisa
40 menit—aku berharap jam yang terpasang di atas televisi itu menunjukkan jam
yang lebih cepat walau hanya 10 atau 20 menit.
“Taksinya udah di depan, kamu hati-hati ya. Jangan
ngerepotin pakde kamu, habis nikahan langsung pulang aja kalau perlu.”
“Astaga bu, kemaren pakde malah yang maksa aku agak lama
disana, bantuin persiapan nikahan Rinta. Terus habis itu diminta buat nemenin
adiknya Rinta sehari atau dua hari,” kuangkat tas jinjing berwarna cokelat yang
ternyata cukup berat juga, padahal aku hanya berniat packing untuk seminggu tapi kenapa seperti membawa pakaian untuk
berminggu-minggu.
“Ya udah kalau gitu, jangan ngerepotin pakdemu yang
penting. Kasian disana udah nggak ada bukdemu juga kan.”
“Iya bu—“ aku menjawab dengan nada panjang. “Ayah udah
tidur ya? Titip pamitin ya bu.”
“Iya, iya, hati-hati ya nduk.”
Aku menganggukkan kepala, masuk ke dalam kursi penumpang
dan berdoa di dalam hati semoga aku tidak terlambat, mengingat hari ini
tanggal 31 Desember dan macetnya pasti dimana-mana semoga saja aku tidak
ketinggalan kereta.
Sebuah pesan masuk, dari orang yang mengirimkan pesan
siang tadi.
Aku tebak, kamu baru berangkat dari rumah. Kamu tahu kan aku nggak bisa
ngerayu masinisnya buat nunda keberangkatan kereta demi kamu. Ini tahun baru
Pus, masak kamu nggak mikir kalau sekarang macet dan kamu bisa aja ketinggalan
kereta.
Seharusnya ibu tidak memberitahu kalau aku akan berangkat
ke Jakarta hari ini. Angga selalu jadi cerewet jika sudah berhubungan dengan
waktu, telat 10 menit dia bilang lambat, sering kali datang lebih cepat sampai
setengah jam dan sangat-sangat membanggakan ketepatan waktunya—ya berkebalikan
denganku yang kadang bisa lupa waktu jika menunda-nunda sesuatu termasuk keberangkatan
seperti ini.
Aku nggak minta kamu buat ngerayu masinisnya. Kamu nggak bakal berhasil
Ngga. Nggak ada kemampuan rayu merayu dalam gen mu.
Kulirik tanda pengenal supir di dashboard sebelah kiri,
kulirik spion tengah mobil dan memperhatikan apakah supir yang sedang membawaku
menuju ke stasiun ini akan menjawab dengan jawaban yang membangkitkan semangat
atau tidak.
“Pak, kira-kira kalau keretanya berangkat jam setengah 10
kekejar nggak pak?” tanyaku ragu-ragu sembari memperhatikan ekspresi supir taksi
melalui spion tengah.
“Lho, keretanya berangkat jam setengah 10 mbak? Saya kira
jam setengah 11.”
Aku tertawa hambar, berusaha untuk tidak merasa bersalah
karena secara tidak langsung sedang memaksa supir taksi ini untuk memacu
kendaraannya lebih cepat.
“Bisa mbak kalau nggak macet, semoga aja nggak macet ya
mbak.”
Sebuah pesan kembali masuk dengan nama yang sama.
Aku juga nggak bakal nungguin kamu kalau kamu telat lho, Pus.
Gigiku bergemeretak, gemas sekali rasanya membaca sms
dari Angga. Dia memang menjadi sangat-sangat-sangat menyebalkan jika sudah
menyangkut tepat dan tidak tepat waktu.
Nggak ada yang minta ditungguin Ngga. Nggak ada.
Melewati jalanan yang mulai dipadati oleh kendaraan,
kendaraan yang mengular di depan lampu lalu lintas, membuatku terus berdoa di
dalam hati semoga aku tidak telat dan harus memesan tiket di hari lain
sementara pernikahan Rinta adalah hari Sabtu nanti dan aku memang sengaja
berangkat lebih awal untuk membantu persiapan pernikahan, Rinta juga yang
memintaku datang lebih awal untuk menenangkan sindrom pranikah yang dialaminya.
“Mbak ini kita agak muter ya, soalnya kan Simpang Lima
ditutup, lewat Pemuda juga ramai—“
“Lewat mana aja deh pak. Yang penting nggak telat
aja,”potongku dengan nada panik.
Handphoneku bergetar lagi, telepon dari Angga, segera
kuangkat sebelum dia mengomel lewat sms.
“Halo Ngga?”
“Kamu dimana?”
“Ini—satu arah ya,” aku memperhatikan kendaraan yang
melaju searah dengan laju taksi. “Mataram bukan sih pak?” tanyaku pada supir
taksi yang segera menjawab dengan anggukan.
“Iya Ngga, Mataram. Menurutmu aku telat nggak?”
“Aku bukan peramal Pus. Kalau kamu telat pun aku nggak
bisa—“
Kuputuskan sambungan telepon, biar saja Angga
mengomel-ngomel di depan handphonenya sampai puas. Rasanya ingin kupukul
bahunya hingga merah-merah.
...
“Mau dibantuin ngangkat barang mbak?”
Aku menggelengkan kepala, segera berlari dengan langkah
kepayahan sambil mengangkat tas jinjing yang tampak tak seimbang dengan
tubuhku. Menuju ke pintu masuk, menunjukkan tiket dan KTP kepada petugas. “Pak,
Gumarang udah ada?”
“Belum mbak, tadi baru aja diumumin. Kayaknya telat 15
menit.”
“Alhamdulillah,” gumamku. Setelah menerima kembali KTP
dan tiket, kulangkahkan kaki memasuki peron, tersenyum seperti orang bodoh
sembari menikmati alunan tembang Semarang. Seingatku dulu ada beberapa pemain
musik yang memainkan musik keroncong di stasiun ini, bahkan ayah sempat meminta
mereka memainkan tembang kenangan—kalau diingat-ingat entah sudah berapa bulan
aku tidak memasuki peron stasiun ini, 3-4 bulan kah atau satu tahun.
“Heh! Ngapain ngelamun disitu?”
Tapi kalau Angga pasti lebih sering.
“Eh, dulu disini ada yang suka nyanyi-nyanyi gitu kan?
Kemana ya?”
Angga melihat ke arah aku menunjuk, di sisi dekat tangga
pendek tepat di depan pagar-pagar yang memisahkan tempat duduk berderet-deret
dengan lantai yang lebih rendah.
“Aku udah lama nggak lihat juga. Lagian ini tahun baru
mereka pasti lebih milih istirahat di rumah atau mainan terompet atau ngeliat
kembang api.”
Aku tertawa hambar mengikuti langkah Angga yang menaiki
tangga pendek mengambil tempat di kursi yang kosong dan aku duduk tepat di
sampingnya. Stasiun kereta hari ini tak terlalu ramai, hanya terdapat beberapa
orang yang sedang menunggu kereta mereka tiba. Salah satunya kami dan sebuah
keluarga kecil dengan dua orang anak kecil yang memainkan terompet mereka
beberapa kali.
“Harusnya tadi kamu beli terompet dulu Ngga. Daripada
buru-buru kesini—toh keretanya ditunda 15 menit.”
“Buat apaan? Emangnya siapa yang mau bunyiin terompet di
dalam kereta pas tengah malam nanti.”
“Ya siapa tahu—“ aku mengangkat bahu melirik jam tangan
yang sudah menunjukkan pukul 21.40. “Lagian kamu kayaknya nggak pernah
ngerayain tahun baru kan setelah lulus SMA.”
Angga melirikku dengan dahi berkerut. “Sedikit banyak,begitulah.
Yang selama ini maksa aku ngerayain tahun baru kan cuma kamu.”
“Cuma pas SMA doang Ngga. Pas SMP kan aku nggak maksa
kamu kemana-mana pas tahun baru,” aku terkekeh mengingat kejadian 5 tahun lalu
ketika pertama kalinya aku dan Angga menuju ke Gombel untuk menikmati kembang
api, setelah memaksanya berhari-hari, melalui sms ataupun bertemu langsung.
“Pas SMP kamu ke rumah buat nemenin Yayas. Bakar jagung
lah, tiup terompet lah, mainan kembang api lah.”
Aku tertawa lagi, kali ini hingga tubuhku terhuyung
kebelakang dengan tangan menutupi mulut. “Maaf ya menganggau tahun barumu
hampir setiap tahunnya. Aku tahu kamu lebih senang tidur cepat daripada mainan
kembang api.”
Angga mengangguk-anggukan kepalanya. “Kamu duduk
dimana nanti?”
“Bentar—“ aku mengeluarkan tiket dari tas kecil yang ku
sampirkan di bahu Eksekutif 2, 7C . Kamu dimana?”
Angga mengeluarkan tiket dan langsung memberikannya
padaku, tertera disana Eksekutif 3, 13C. “Seingetku yang 13 begini letaknya di
depan tembok persis.”
“Ya, begitulah.”
Aku tertawa sembari menyerahkan tiket miliknya. “Kasian
banget.”
“Mau pindah nggak?”
Aku meliriknya dengan alis kanan terangkat keatas.
“Pindah gimana?”
“Ya—siapa tahu kamu mau duduk disebelahku.”
“Ngga, aku nggak mau duduk di depan tembok, pasti atasnya
TV deh. Itu bikin nggak ngantuk.”
“Kalau gitu aku yang pindah ke tempatmu, gimana?”
Aku menggelengkan kepala. “Aku yakin yang duduk
disebelahku pun ogah buat duduk di depan tembok. Tempat kamu tuh nggak
strategis sama sekali.”
Angga menghela napas. “Oke, oke—kalau nanti kamu kangen—“
“Tenang aja, aku bakal duduk manis di tempatku di sebelah
jendela, merefleksikan apa saja yang sudah aku lakukan di tahun 2013 dan nggak
bakal nyamperin tempatmu,” aku tersenyum menghadap ke arah Angga, sembari memamerkan
jempol tangan kanan dan kembali duduk di posisi semula. “Aku nggak bakal ganggu
kamu Ngga tahun ini, tenang aja.”
Angga mengambil handphone dari sakunya. “Yah—terserah
kamu lah.”
Setelah itu tak ada yang berbicara lagi diantara kami, sampai suara tembang Semarang dan pengumuman yang memberi tahu kedatangan
kereta kami terdengar Hendak kuraih tas jinjing yang beratnya tidak sesuai
dengan hari yang akan kujalani di Jakarta, sebelum tangan Angga sudah
mengangkatnya lebih dulu. “Dimana gerbongmu tadi?”
“Aku nggak punya receh buat kamu lho Ngga,” ucapku sambil
terkekeh geli. Angga hanya mencibir lalu meninggalkanku menuju gerbong yang
kusebutkan tadi. Kami berdua memasuki kereta, memastikan tiket yang tercantum
dan nomor tempat duduk, Angga meletakkan tas jinjing ku di bagasi lalu
memandangiku yang sudah duduk manis di samping jendela. “Aku beneran nggak
punya receh, Ngga,” ucapku dengan nada penyesalan dan ekspresi sedih yang
dibuat-buat.
“Kamu nggak bawa makanan juga?”
“Nggak, kamu tahu lho ya aku telat tadi.”
Angga bergumam payah sebelum balik kanan dan pergi
meninggalkanku yang terkekeh geli melihat tingkahnya.
Hanya butuh beberapa menit sebelum kursi di sebelahku
terisi penumpang, seorang perempuan muda yang tampaknya lebih tua dua atau tiga
tahun dariku. Perempuan itu sempat tersenyum kepadaku sebelum menempatkan
diri dan aku membalas senyumnya sekedar
saja lalu kembali memperhatikan penampakan kereta lain yang berada di rel
sebelah, sebelum kereta benar-benar melaju meninggalkan stasiun.
Sebuah pesan masuk, dari Angga.
Kamu yakin nggak mau tukeran tempat?
Bibirku tak tahan mengulas senyum, Angga memang selalu
begini kalau menginginkan sesuatu, seperti anak kecil yang meminta balon. Tidak
akan berhenti meminta sampai dikabulkan keinginannya.
Yakin dengan sepenuh hati.
Kutopang dagu dengan tangan kanan bersandar pada jendela
yang hanya sanggup memamerkan pemandangan malam, kereta baru saja berjalan
beberapa menit lalu dan Angga pasti sudah menderita mengingat posisi duduknya
yang tidak menyenangkan—aku tertawa membayangkan betapa menderitanya dia.
Kudengar suara terompet dari gerbong yang kutempati,
mungkin saja rombongan keluarga kecil yang tadi berada di peron bersama kami
menempati gerbong yang sama denganku. Padahal jam baru menunjukkan pukul 22.10,
tapi beberapa kali kudengar suara terompet dan suara perempuan yang meminta
anak-anaknya untuk tenang. Anak-anak kecil memang selalu tidak sabar memainkan
benda milik mereka.
Kalau diingat-ingat sudah lama juga aku tidak merayakan
tahun baru dengan terompet. Terakhir kali, ketika menginjak kelas 3 SMA, aku
merayakannya berdua dengan Angga di Simpang Lima yang ramainya tidak tertolong
lagi. Aku tahu Angga tidak suka keramaian dan dia jelas tidak mau harus
mencariku kemana-mana jika aku terselip diantar salah satu pengunjung yang
berjubel menikmati kembang api. Jadi waktu itu dia menggenggam tanganku. Ketika
teriakan hitungan mundur tahun baru di mulai dan kembang api berbagai warna
mulai menerangi langit kota Semarang bersamaan dengan bunyi terompet yang
memekakkan telinga pun dia tidak juga melepaskan tanganku, padahal aku ingin
bertepuk tangan menyambut tahun baru. Tapi seperti biasanya dengan sifat keras
kepalanya dia malah mempererat genggaman tangannya.
Kutahan senyum yang sempat akan muncul di bibir.
Sebelumnya ketika menginjak kelas 2 SMA aku merayakan
tahun baru lagi dengan Angga dan beberapa orang teman kami, di Gombel.
Menghadapi Gombel yang diubah menjadi jalur satu arah di saat tahun baru,
menghadapi jalanan macet kota Semarang, tertawa-tawa ketika meniupkan terompet
di dekat telinga satu sama lain, memandangi kembang api yang saling susul
menyusul merusak ketenangan langit di malam hari, saat-saat itu memang
menyenangkan sekali. Bahkan setelah itu kami sempat menikmati jagung bakar di dekat
taman KB dan baru pulang ketika jam menunjukkan pukul 2 malam.
Aku ingat sekali ketika Angga mengantarkanku sampai ke
depan pintu rumah dan Ayah menunggu dengan tangan terlipat di depan dada sambil
berkata. “Ayah kira kamu mau sekalian nggak pulang Pus.”
Angga yang minta maaf berkali-kali setelah itu karena dia
sebelumnya sudah membuat janji pada ayahku akan memulangkanku jam 1 paling
lambat—aku menyentuh daguku mengingat-ngingat masa-masa itu. Tapi sebenarnya
waktu itu aku yang memaksa untuk tidak terburu-buru pulang walaupun Angga sudah
memberikan ultimatum berkali-kali dan tidak mengajakku bicara selama menikmati
jagung bakar. Rasa bersalahku baru muncul ketika melihat wajah Angga yang penuh
penyesalan dan mendengar permintaan maafnya berkali-kali, esoknya kudatangi
rumahnya setelah membeli majalah otomotif kesukannya. Memberikannya sambil
mengucapkan terimakasih dan maaf.
Aku tersenyum kecil mengingat masa itu, masa dimana
mengunjungi Angga hanya butuh beberapa langkah saja. Bukan menunggu berbulan-bulan
atau sekedar mengirim SMS dan telepon. Lebih-lebih di tahun ketiga perkuliahan,
dia jarang sekali pulang. Bahkan ibunya pun mengeluhkan hal yang sama ketika
mengunjungi rumahku dan mengobrol dengan ibuku. Ketika kusampaikan keluhan itu
kepada Angga melalui SMS dia hanya menjawab dengan enteng, “Aku pulang kalau
memang bisa pulang. Kalau nggak bisa, mau gimana lagi?”
Dia memang laki-laki yang tidak peka. Aku yakin dia
jarang sekali menghubungi keluarganya, pasti ibunya yang harus menelepon
terlebih dahulu.
Kudekatkan wajahku dengan kaca, berusaha menangkap
pemandangan apa yang ada di luar sana. Gelap sekali memang, jam tanganku sudah
menunjukkan pukul 23.30. 30 menit lagi tahun akan berganti dan aku terjebak di
dalam kereta ini. Jelas saja tidak akan ada yang menyalakan kembang api disini,
paling parah terompet. Itu pun pasti segera disambut dengan desisan dari para
penumpang yang sedang menikmati tidur mereka, memilih untuk mengistirahatkan
diri daripada mengharapkan kembang api di dalam kereta.
Kulirik perempuan yang duduk di sebelahku. Masih membuka
matanya sambil membaca sebuah buku. Kuperhatikan penumpang lain yang terjangkau
mata, beberapa dari mereka sudah tertidur nyenyak, beberapa yang lain masih bermain
dengan gadget mereka. Sebenarnya—aku menguap, aku pun sudah mengantuk dan tidak
pernah berpikir bahwa bangun sampai jam menunjukkan 00.00 tanpa melihat kembang
api di udara adalah hal yang berguna. Mungkin sebaiknya aku tidur saja dan—
“Nungguin tahun baru mbak?”
Aku menoleh. Perempuan muda yang duduk disebelahku sudah menutup
bukunya dan sedang menikmati pia coklat, dia menawarkan pia itu padaku dan aku menerimanya dengan senang hati. “Nggak sih mbak, nggak ada
yang bisa dilihat di kereta walaupun nunggu jam 12 malam kan ya?” aku tertawa
sementara perempuan paruh baya yang duduk disampingku tersenyum sembari
memasukkan pia miliknya kembali ke dalam tas.
“Berarti menurut mbak perayaan tahun baru sekedar ngeliat
kembang api ya?”
“Eh—“ aku menyentuh tengkukku, memikirkan pertanyaan yang
baru saja terpikir di benakku. “Nggak juga sih mbak.”
“Terus?” perempuan itu meneguk air mineralnya dan
meletakkanya kembali ke dalam tas. Sempat terpikir untuk meminta barang seteguk
tapi—astaga yang benar saja.
“Kalau dulu sih ke acara tahun baru buat ngeliat kembang
api.”
“Dulu? Udah lama nggak ke acara tahun baru?”
Aku menggelengkan kepala. “Semenjak kuliah udah nggak
sih. Dulu waktu SMP sama adik temen saya, anaknya masih kecil jadi masih nempel
sama saya. Waktu SMA sama temen saya, terus—“ aku terdiam sejenak memikirkan
kelanjutannya. Setelah kuliah Angga tidak pernah bisa menemaniku menikmati
tahun baru di Gombel, Simpang Lima ataupun disudut kota Semarang manapun,
setelahnya aku tidak pernah mengikuti acara tahun baru dimanapun.
“Terus?” perempuan itu menunggu jawabanku, kepalanya
miring ke kanan memperhatikan raut wajahku yang mungkin sedang berkerut-kerut.
“Setelah teman saya kuliah di luar kota saya nggak pernah
ke acara tahun baru lagi.”
Perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya, lalu
tersenyum. Tangannya meraih botol air minum lalu menawarkannya padaku.
“Kayaknya kamu nggak bawa makanan atau minuman di perjalanan panjang ini.”
Aku tertawa malu sembari menerima botol air minum di
tangannya. Kunikmati seteguk saja sebelum kusadari handphoneku bergetar
berkali-kali. Telepon dari Angga.
“Belum tidur?”
“Belum lah. Emangnya aku bayi kayak kamu?”
Dia tertawa di sebrang sana. “Aku bayi sehat setidaknya,
nggak kayak kamu yang tinggi sama beratnya nggak nambah-nambah dari SMP.”
“Enak aja—“aku mengembalikan botol air minum kembali ke
pemiliknya dan mengucapkan terimakasih, perempuan itu menganggukkan kepala lalu
mengembalikannya kembali ke dalam tas ransel yang ia letakkan di depan kakinya.
“Dengan tubuh kayak gini aku nggak bakal menderita walaupun dapat tempat duduk
di depan tembok kayak kamu sekarang ini.”
“Siapa yang bilang aku menderita?” Angga memelankan
suaranya. “Yang duduk di sebelahku cewek cantik ya.”
Aku melirik perempuan disebelahku. Aku tidak bisa
menyangkal pernyataan Angga dengan berkata kalau perempuan disebelahku
memberikan makanan dan minuman, kalau kukatakan seperti itu dia pasti
mengejekku habis-habisan.
“Selamat ya—“ aku melirik jam tangan seharusnya ini
menjadi detik-detik pergantian tahun. “Semoga cewek itu bisa ngilangin
pegel-pegel di kaki kamu.”
“Tenang aja tanpa dia pun pegel-pegel di kaki aku bisa
hilang.”
“Gimana caranya?”
Suara terompet terdengar kembali di dalam gerbong
membuatku melirik ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara, disusul dengan
suara desisan yang meminta ketenangan lalu suara langkah kaki yang mendekat
serta sosok Angga berdiri tepat di samping kursiku. “Dengan sedikit
berjalan-jalan,” dia masih menempelkan handphonenya di telinga sebelum aku
memutuskan sambungan telepon dan memandangi sosoknya.
“Selamat tahun baru Puspa. Aku tahu kamu butuh—“ Angga
mengulurkan sebungkus pia coklat bergambar Doraemon dan sebotol
air minum. “Ini dan ini.”
Aku berkedip beberapa kali sebelum menerima makanan dan
minuman pemberiannya. Kuperhatikan wajah Angga yang memamerkan senyum.
“Kamu minta ganti nggak Ngga? Biasanya kamu nggak ikhlas
ngasih beginian.”
Ekspresi Angga berubah, senyumnya luntur dan sempat
kulihat dia menghela napas. “Ya udah temenin aku pas di Jakarta aja setelah acara
kampus tanggal 2 aku kosong tanggal 3 nya. Kita jalan-jalan, mau nggak?”
“Harusnya aku yang minta temenin, bukan kamu. Secara aku
yang turis,” ucapku sambil tertawa.
“Turis domestik,” dia menekankan pada kata domestik.
“Udah lah, nggak enak kalau berdiri lama-lama disini,” Angga balik kanan
setelah membalas senyum dari perempuan
yang duduk disebelahku, meninggalkanku yang tak bisa menahan lagi senyuman di
bibir walaupun punggungnya sudah tak terlihat lagi.
Perempuan yang duduk di sebelahku sempat tertawa kecil,
lalu bertanya, “itu temen yang kamu maksud?”
Aku meletakkan pia coklat dan sebotol air mineral di
dalam tas, sambil menganggukkan kepala,.
Sampai mataku beralih ke jendela yang gelap pun senyum di
wajahku belum bisa pudar. Beberapa kali tampak sinar di langit dan terdengar
samar-samar suara kembang api yang dikalahkan oleh suara rel dan roda kereta
yang beradu.
Rasanya Angga harus bertanggung jawab kalau-kalau senyum ini tidak
pudar sampai aku bertemu kembali dengannya pagi nanti.
2 komentar :
semoga menang nes, tapi kayaknya perlu dihalusin deh, ada yang kurang2 tuh (y)
@Heri I. Wibowo aamiin... makasih her :3
Posting Komentar