Selasa, 31 Desember 2013

Tanpa Kembang Api


Kami bertengkar lagi hari ini.

Kuhela napas, membiarkan layar handphone berkedip-kedip dengan iramanya yang membuat beberapa pengunjung cafe melirik dengan penuh rasa ingin tahu. Segelas lemon tea hangat yang kupesan beberapa menit lalu tiba. Seorang pelayan laki-laki mengantarkannya sambil tersenyum. Sekilas kulihat dia melirik handphoneku yang berkedip-kedip lagi dan mengeluarkan bunyi bel pintu yang di tekan berkali-kali. Aku mengacuhkannya, membalas senyum pelayan laki-laki itu, berterimakasih dan mematikan nada dering handphone sebelum kedua tanganku memeluk cangkir lemon tea yang memberikan rasa hangat.

Angin di bulan Desember memang sedikit nakal, berada di beranda cafe setelah hujan turun dan angin masih bertiup dengan kencang sebenarnya bukan pilihan yang tepat. Lagipula tak ada yang bisa dilihat dari sini, selain jalanan yang lengang ketika hari libur sekolah tiba. Tak banyak yang kendaraan yang lalu lalang, hanya ada beberapa penjual terompet yang kudapati sedang duduk di pinggir jalan. Sepertinya orang-orang sedang mempersiapkan diri untuk tidak tidur malam nanti, menikmati tahun baru pastinya.

Aku masih memandangi jalanan ketika seorang pelayan kembali membawakan sepotong opera cake di atas piring putih dengan hiasan pasta cokelat dan sendok kecil, mata pelayan itu sudah tidak melirik ke handphone yang sudah kubalik dan ku atur di mode silent. Setelah pelayan pergi dan tanganku sudah meraih sendok, handphoneku bergetar beberapa kali. Sendok yang kupegang tergantung di udara. Setelah membalik benda itu dan melihat nama yang tertulis di layar selama beberapa detik kuputuskan untuk mengangkat teleponnya kali ini.

“Halo?”

“Kenapa nggak diangkat dari tadi? Kamu dimana?”

“Di cafe deket Kampung Kali.”

“Aku kesana.”

“Nggak usah. Kamu masih ada urusan kan? Tahun depan aja kita ketemu lagi. Oke?”

Setelah itu kuputuskan sambungan telepon sebelum kudengar suara protes dari sana. Dia pasti akan mengomel habis-habisan di depan handphonenya seperti biasanya, sementara aku akan menikmati opera cake yang tampak menyenangkan ini.

Sebut aku menyebalkan dan sedikit banyak aku akan mengakui itu. Lagipula laki-laki yang menelepon tadi hanya sahabat sejak kecil yang hanya sesekali pulang ke kota tempat kami dilahirkan. Kedua orangtua kami saling mengenal dengan sangat baik, bahkan sempat kudengar cerita kalau mereka berdua adalah sahabat sejak SMA pula, ayahku dan ayahnya, ibuku dengan ibunya. Rumah kami pun sempat bersebelahan sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kuliah di luar kota dan kedua orangtuanya pindah agar adik perempuannya tidak perlu berkendara terlalu jauh menuju ke sekolah.

Sahabat sejak kecilku itu memang jarang sekali pulang—kuhela napas, menopang dagu dengan tangan kanan, memperhatikan angkot berwarna oranye, kalau di hari sekolah pasti angkot itu penuh, jalanan ramai.Terakhir kali kami berdua mengobrol adalah ketika dia datang dengan sebungkus kotak berisi gantungan boneka kelinci berwarna putih, mengucapkan selamat ulangtahun. Kalau diingat-ingat, itu sekitar bulan Juli dan sekarang sudah menginjak akhir bulan Desember.

Aku tidak bisa mengeluh tentang itu, lagipula kenapa aku harus mengeluhkan kepulangannya yang jarang-jarang itu. Kuseruput lemon tea hangat yang mulai mendingin. Beberapa kali percikan hujan mengenai meja dan sempat seorang pelayan datang mengusulkanku untuk pindah ke dalam dan kujawab saja—

“Nggakpapa mas. Nanti kalau udah deres baru saya pindah.”

Dia pasti tidak benar-benar datang. Langit tampak begitu gelap, hujan sudah turun sejak pagi tadi bahkan penjual terompet yang kuperhatikan tadi sudah membungkus terompet jualannya dengan plastik transparan. Mana mau dia berkendara dengan sepeda motor menembus hujan dan angin yang dingin seperti ini—aku terkekeh geli, bergumam sambil memeluk cangkir dengan kedua tangan. “Mana mungkin.”

Dan benar saja. Dia tidak datang. Hingga jam tanganku menunjukkan pukul dua belas siang. Opera cake yang kupesan tadi telah tandas, begitu pula cangkir lemon tea sudah tak menyisakan minuman untuk kunikmati. Akhirnya kuputuskan untuk pulang, menembus udara dingin, menikmati kasur yang begitu empuk ataupun teh hangat dengan madu. Apapun yang penting tidak memikirkan udara yang dingin ini.

Tapi ketika sepeda motorku berhenti  di depan pagar rumah, orang yang tadi mengatakan akan datang ke cafe di  dekat Kampung Kali malah sudah berada di teras rumah, duduk manis sambil tersenyum bahkan sempat melambai-lambaikan tangan seperti orang bodoh. Ingin sekali ku lempar wajahnya dengan helm.

“Ngapain ke rumah mas? Tadi katanya mau ke Kampung Kali?”

Sahabat sejak kecilku itu menghampiri pintu pagar, membuka kunci dan mempersilahkan ku masuk. “Nggak jadi mbak, soalnya yang di Kampung Kali kayaknya lagi ngambek berat.”

Aku mencibir sebelum memasukkan sepeda motor ke dalam garasi dan menghampiri dia yang sudah duduk manis di depan teras dengan dua gelas teh hangat dan sepiring gorengan panas. “Ibu mana?” tanyaku mengintip pintu. “Dari kapan kamu disini?”

“Baru aja,” dia mengambil sepotong mendoan yang masih berasap dan menggigitnya, lalu dengan gerakan cepat ia letakkan kembali mendoan yang sudah di gigitnya di atas piring. “Panas banget.”

“Bodoh banget nih orang,” kutarik kursi bambu tepat di hadapannya, terpisahkan meja bundar, meraih gelas bening berisi teh yang masih terasa hangat. Ibu selalu mencampurkan teh dengan dua sendok madu, mengingat gula bukan teman yang baik jika dikonsumsi terlalu banyak. “Terus ngapain kamu disini?”

“Mengunjungi sahabat sejak kecil yang sepertinya sedang ngambek karena tidak ditemani di malam tahun baru.”

“Hish—“ aku mencibir, menyuruput isi gelas lalu meletakkannya di atas meja. “Aku tahu kamu sibuk, aku tahu kamu selalu sibuk. Aku ngerti kamu selalu sibuk.”

Laki-laki yang duduk di hadapanku mengerutkan dahi, memajukan tubuhnya hingga menyentuh sisi meja. “Beneran marah kamu? Nggak biasanya.”

“Siapa yang marah?”

“Tadi ibu kamu yang bilang. Kamu udah ribut dari pagi, terus langsung pergi entah kemana,” laki-laki itu melirik jam tangannya. “Apa mau aku temenin jalan-jalan sekarang?”

Aku ikut-ikutan melirik jam tangan, sudah lewat 20 menit sejak aku memacu sepeda motor  dan tadi aku sudah berniat untuk bergulung di dalam selimut bukan meladeni orang yang akan mengajak jalan-jalan.

“Nggak—aku mau pergi nanti malam dan aku butuh istirahat. Nggak biasanya Semarang dingin kayak gini jadi harus dinikmati di dalam selimut.”

Laki-laki itu menggaruk kepalanya dan aku hanya tersenyum, berdiri di depan pintu sambil berucap. “Selamat tahun baru, Ngga. Aku cuma ngetes kamu bisa tahun baruan atau nggak tahun ini setelah tahun kemarin nggak bisa, dua tahun lalu juga nggak bisa,” kemudian setelah masuk ke dalam kamar kudengar samar-samar suara Angga mohon diri dan berterimakasih pada ibu atas hidangan teh hangat dan gorengan panasnya.

Setelah berbaring di atas kasur selama beberapa menit, bergulung di dalam selimut seperti yang sudah kuniatkan sebelum-sebelumnya dan hendak memejamkan mata, handphoneku bergetar di dalam saku. Aku lupa memindahkannya ke atas meja.

Tadi tante bilang ke aku kalau kamu mau ke Jakarta nanti. Aku juga harus pulang hari ini. Kita bisa ketemu di stasiun atau di kereta kalau kamu bener-bener kangen kan?

Setelah membaca pesannya kuputuskan untuk meletakkan handphone jauh-jauh, memasang mode pesawat dan tidur cepat-cepat.

...

“Sekarang salah siapa kalau kamu terlambat naik kereta?”

“Iya salah aku bu, salah aku,” kumasukkan semua benda yang baru saja kusiapkan beberapa menit lalu.

“Padahal tadi setelah kamu bangun kamu bisa langsung siap-siap tapi malah duduk-duduk di depan teras sambil mainan handphone,” ibu membantuku memasukkan beberapa potong pakaian, tak peduli apakah aku setuju pakaian itu pantas untuk masuk disana.

Keberangkatan ku ke Jakarta hanya sekedar menghadiri undangan pernikahan sepupuku. Ibu tidak bisa ikut karena ayah masih perlu perawatan setelah terkena serangan jantung beberapa minggu lalu. Ibu pula yang memaksaku untuk berangkat sendirian, mengingat hubunganku yang cukup dekat dengan anak dari pakdeku ini dan akhirnya disinilah aku, dengan jarak 20 menit perjalanan rumah dan stasiun kereta Tawang sementara jam sudah menunjukkan sisa 40 menit—aku berharap jam yang terpasang di atas televisi itu menunjukkan jam yang lebih cepat walau hanya 10 atau 20 menit.

“Taksinya udah di depan, kamu hati-hati ya. Jangan ngerepotin pakde kamu, habis nikahan langsung pulang aja kalau perlu.”

“Astaga bu, kemaren pakde malah yang maksa aku agak lama disana, bantuin persiapan nikahan Rinta. Terus habis itu diminta buat nemenin adiknya Rinta sehari atau dua hari,” kuangkat tas jinjing berwarna cokelat yang ternyata cukup berat juga, padahal aku hanya berniat packing untuk seminggu tapi kenapa seperti membawa pakaian untuk berminggu-minggu.

“Ya udah kalau gitu, jangan ngerepotin pakdemu yang penting. Kasian disana udah nggak ada bukdemu juga kan.”

“Iya bu—“ aku menjawab dengan nada panjang. “Ayah udah tidur ya? Titip pamitin ya bu.”

“Iya, iya, hati-hati ya nduk.”

Aku menganggukkan kepala, masuk ke dalam kursi penumpang dan berdoa di dalam hati semoga aku tidak terlambat, mengingat hari ini tanggal 31 Desember dan macetnya pasti dimana-mana semoga saja aku tidak ketinggalan kereta.

Sebuah pesan masuk, dari orang yang mengirimkan pesan siang tadi.

Aku tebak, kamu baru berangkat dari rumah. Kamu tahu kan aku nggak bisa ngerayu masinisnya buat nunda keberangkatan kereta demi kamu. Ini tahun baru Pus, masak kamu nggak mikir kalau sekarang macet dan kamu bisa aja ketinggalan kereta.

Seharusnya ibu tidak memberitahu kalau aku akan berangkat ke Jakarta hari ini. Angga selalu jadi cerewet jika sudah berhubungan dengan waktu, telat 10 menit dia bilang lambat, sering kali datang lebih cepat sampai setengah jam dan sangat-sangat membanggakan ketepatan waktunya—ya berkebalikan denganku yang kadang bisa lupa waktu jika menunda-nunda sesuatu termasuk keberangkatan seperti ini.

Aku nggak minta kamu buat ngerayu masinisnya. Kamu nggak bakal berhasil Ngga. Nggak ada kemampuan rayu merayu dalam gen mu.

Kulirik tanda pengenal supir di dashboard sebelah kiri, kulirik spion tengah mobil dan memperhatikan apakah supir yang sedang membawaku menuju ke stasiun ini akan menjawab dengan jawaban yang membangkitkan semangat atau tidak.

“Pak, kira-kira kalau keretanya berangkat jam setengah 10 kekejar nggak pak?” tanyaku ragu-ragu sembari memperhatikan ekspresi supir taksi melalui spion tengah.

“Lho, keretanya berangkat jam setengah 10 mbak? Saya kira jam setengah 11.”

Aku tertawa hambar, berusaha untuk tidak merasa bersalah karena secara tidak langsung sedang memaksa supir taksi ini untuk memacu kendaraannya lebih cepat.

“Bisa mbak kalau nggak macet, semoga aja nggak macet ya mbak.”

Sebuah pesan kembali masuk dengan nama yang sama.

Aku juga nggak bakal nungguin kamu kalau kamu telat lho, Pus.

Gigiku bergemeretak, gemas sekali rasanya membaca sms dari Angga. Dia memang menjadi sangat-sangat-sangat menyebalkan jika sudah menyangkut tepat dan tidak tepat waktu.

Nggak ada yang minta ditungguin Ngga. Nggak ada.

Melewati jalanan yang mulai dipadati oleh kendaraan, kendaraan yang mengular di depan lampu lalu lintas, membuatku terus berdoa di dalam hati semoga aku tidak telat dan harus memesan tiket di hari lain sementara pernikahan Rinta adalah hari Sabtu nanti dan aku memang sengaja berangkat lebih awal untuk membantu persiapan pernikahan, Rinta juga yang memintaku datang lebih awal untuk menenangkan sindrom pranikah yang dialaminya.

“Mbak ini kita agak muter ya, soalnya kan Simpang Lima ditutup, lewat Pemuda juga ramai—“

“Lewat mana aja deh pak. Yang penting nggak telat aja,”potongku dengan nada panik.
Handphoneku bergetar lagi, telepon dari Angga, segera kuangkat sebelum dia mengomel lewat sms.

“Halo Ngga?”

“Kamu dimana?”

“Ini—satu arah ya,” aku memperhatikan kendaraan yang melaju searah dengan laju taksi. “Mataram bukan sih pak?” tanyaku pada supir taksi yang segera menjawab dengan anggukan.

“Iya Ngga, Mataram. Menurutmu aku telat nggak?”

“Aku bukan peramal Pus. Kalau kamu telat pun aku nggak bisa—“

Kuputuskan sambungan telepon, biar saja Angga mengomel-ngomel di depan handphonenya sampai puas. Rasanya ingin kupukul bahunya hingga merah-merah.

...

“Mau dibantuin ngangkat barang mbak?”

Aku menggelengkan kepala, segera berlari dengan langkah kepayahan sambil mengangkat tas jinjing yang tampak tak seimbang dengan tubuhku. Menuju ke pintu masuk, menunjukkan tiket dan KTP kepada petugas. “Pak, Gumarang udah ada?”

“Belum mbak, tadi baru aja diumumin. Kayaknya telat 15 menit.”

“Alhamdulillah,” gumamku. Setelah menerima kembali KTP dan tiket, kulangkahkan kaki memasuki peron, tersenyum seperti orang bodoh sembari menikmati alunan tembang Semarang. Seingatku dulu ada beberapa pemain musik yang memainkan musik keroncong di stasiun ini, bahkan ayah sempat meminta mereka memainkan tembang kenangan—kalau diingat-ingat entah sudah berapa bulan aku tidak memasuki peron stasiun ini, 3-4 bulan kah atau satu tahun.

“Heh! Ngapain ngelamun disitu?”

Tapi kalau Angga pasti lebih sering.

“Eh, dulu disini ada yang suka nyanyi-nyanyi gitu kan? Kemana ya?”

Angga melihat ke arah aku menunjuk, di sisi dekat tangga pendek tepat di depan pagar-pagar yang memisahkan tempat duduk berderet-deret dengan lantai yang lebih rendah.

“Aku udah lama nggak lihat juga. Lagian ini tahun baru mereka pasti lebih milih istirahat di rumah atau mainan terompet atau ngeliat kembang api.”

Aku tertawa hambar mengikuti langkah Angga yang menaiki tangga pendek mengambil tempat di kursi yang kosong dan aku duduk tepat di sampingnya. Stasiun kereta hari ini tak terlalu ramai, hanya terdapat beberapa orang yang sedang menunggu kereta mereka tiba. Salah satunya kami dan sebuah keluarga kecil dengan dua orang anak kecil yang memainkan terompet mereka beberapa kali.

“Harusnya tadi kamu beli terompet dulu Ngga. Daripada buru-buru kesini—toh keretanya ditunda 15 menit.”

“Buat apaan? Emangnya siapa yang mau bunyiin terompet di dalam kereta pas tengah malam nanti.”

“Ya siapa tahu—“ aku mengangkat bahu melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.40. “Lagian kamu kayaknya nggak pernah ngerayain tahun baru kan setelah lulus SMA.”

Angga melirikku dengan dahi berkerut. “Sedikit banyak,begitulah. Yang selama ini maksa aku ngerayain tahun baru kan cuma kamu.”

“Cuma pas SMA doang Ngga. Pas SMP kan aku nggak maksa kamu kemana-mana pas tahun baru,” aku terkekeh mengingat kejadian 5 tahun lalu ketika pertama kalinya aku dan Angga menuju ke Gombel untuk menikmati kembang api, setelah memaksanya berhari-hari, melalui sms ataupun bertemu langsung.

“Pas SMP kamu ke rumah buat nemenin Yayas. Bakar jagung lah, tiup terompet lah, mainan kembang api lah.”

Aku tertawa lagi, kali ini hingga tubuhku terhuyung kebelakang dengan tangan menutupi mulut. “Maaf ya menganggau tahun barumu hampir setiap tahunnya. Aku tahu kamu lebih senang tidur cepat daripada mainan kembang api.”

Angga mengangguk-anggukan kepalanya. “Kamu duduk dimana nanti?”

“Bentar—“ aku mengeluarkan tiket dari tas kecil yang ku sampirkan di bahu Eksekutif 2, 7C . Kamu dimana?”

Angga mengeluarkan tiket dan langsung memberikannya padaku, tertera disana Eksekutif 3, 13C. “Seingetku yang 13 begini letaknya di depan tembok persis.”

“Ya, begitulah.”

Aku tertawa sembari menyerahkan tiket miliknya. “Kasian banget.”

“Mau pindah nggak?”

Aku meliriknya dengan alis kanan terangkat keatas. “Pindah gimana?”

“Ya—siapa tahu kamu mau duduk disebelahku.”

“Ngga, aku nggak mau duduk di depan tembok, pasti atasnya TV deh. Itu bikin nggak ngantuk.”

“Kalau gitu aku yang pindah ke tempatmu, gimana?”

Aku menggelengkan kepala. “Aku yakin yang duduk disebelahku pun ogah buat duduk di depan tembok. Tempat kamu tuh nggak strategis sama sekali.”

Angga menghela napas. “Oke, oke—kalau nanti kamu kangen—“

“Tenang aja, aku bakal duduk manis di tempatku di sebelah jendela, merefleksikan apa saja yang sudah aku lakukan di tahun 2013 dan nggak bakal nyamperin tempatmu,” aku tersenyum menghadap ke arah Angga, sembari memamerkan jempol tangan kanan dan kembali duduk di posisi semula. “Aku nggak bakal ganggu kamu Ngga tahun ini, tenang aja.”

Angga mengambil handphone dari sakunya. “Yah—terserah kamu lah.”

Setelah itu tak ada yang berbicara lagi diantara kami, sampai suara tembang Semarang dan  pengumuman yang memberi tahu kedatangan kereta kami terdengar Hendak kuraih tas jinjing yang beratnya tidak sesuai dengan hari yang akan kujalani di Jakarta, sebelum tangan Angga sudah mengangkatnya lebih dulu. “Dimana gerbongmu tadi?”

“Aku nggak punya receh buat kamu lho Ngga,” ucapku sambil terkekeh geli. Angga hanya mencibir lalu meninggalkanku menuju gerbong yang kusebutkan tadi. Kami berdua memasuki kereta, memastikan tiket yang tercantum dan nomor tempat duduk, Angga meletakkan tas jinjing ku di bagasi lalu memandangiku yang sudah duduk manis di samping jendela. “Aku beneran nggak punya receh, Ngga,” ucapku dengan nada penyesalan dan ekspresi sedih yang dibuat-buat.

“Kamu nggak bawa makanan juga?”

“Nggak, kamu tahu lho ya aku telat tadi.”

Angga bergumam payah sebelum balik kanan dan pergi meninggalkanku yang terkekeh geli melihat tingkahnya.

Hanya butuh beberapa menit sebelum kursi di sebelahku terisi penumpang, seorang perempuan muda yang tampaknya lebih tua dua atau tiga tahun dariku. Perempuan itu sempat tersenyum kepadaku sebelum menempatkan diri  dan aku membalas senyumnya sekedar saja lalu kembali memperhatikan penampakan kereta lain yang berada di rel sebelah, sebelum kereta benar-benar melaju meninggalkan stasiun.

Sebuah pesan masuk, dari Angga.

Kamu yakin nggak mau tukeran tempat?

Bibirku tak tahan mengulas senyum, Angga memang selalu begini kalau menginginkan sesuatu, seperti anak kecil yang meminta balon. Tidak akan berhenti meminta sampai dikabulkan keinginannya.

Yakin dengan sepenuh hati.

Kutopang dagu dengan tangan kanan bersandar pada jendela yang hanya sanggup memamerkan pemandangan malam, kereta baru saja berjalan beberapa menit lalu dan Angga pasti sudah menderita mengingat posisi duduknya yang tidak menyenangkan—aku tertawa membayangkan betapa menderitanya dia.

Kudengar suara terompet dari gerbong yang kutempati, mungkin saja rombongan keluarga kecil yang tadi berada di peron bersama kami menempati gerbong yang sama denganku. Padahal jam baru menunjukkan pukul 22.10, tapi beberapa kali kudengar suara terompet dan suara perempuan yang meminta anak-anaknya untuk tenang. Anak-anak kecil memang selalu tidak sabar memainkan benda milik mereka.

Kalau diingat-ingat sudah lama juga aku tidak merayakan tahun baru dengan terompet. Terakhir kali, ketika menginjak kelas 3 SMA, aku merayakannya berdua dengan Angga di Simpang Lima yang ramainya tidak tertolong lagi. Aku tahu Angga tidak suka keramaian dan dia jelas tidak mau harus mencariku kemana-mana jika aku terselip diantar salah satu pengunjung yang berjubel menikmati kembang api. Jadi waktu itu dia menggenggam tanganku. Ketika teriakan hitungan mundur tahun baru di mulai dan kembang api berbagai warna mulai menerangi langit kota Semarang bersamaan dengan bunyi terompet yang memekakkan telinga pun dia tidak juga melepaskan tanganku, padahal aku ingin bertepuk tangan menyambut tahun baru. Tapi seperti biasanya dengan sifat keras kepalanya dia malah mempererat genggaman tangannya.

Kutahan senyum yang sempat akan muncul di bibir.

Sebelumnya ketika menginjak kelas 2 SMA aku merayakan tahun baru lagi dengan Angga dan beberapa orang teman kami, di Gombel. Menghadapi Gombel yang diubah menjadi jalur satu arah di saat tahun baru, menghadapi jalanan macet kota Semarang, tertawa-tawa ketika meniupkan terompet di dekat telinga satu sama lain, memandangi kembang api yang saling susul menyusul merusak ketenangan langit di malam hari, saat-saat itu memang menyenangkan sekali. Bahkan setelah itu kami sempat menikmati jagung bakar di dekat taman KB dan baru pulang ketika jam menunjukkan pukul 2 malam.

Aku ingat sekali ketika Angga mengantarkanku sampai ke depan pintu rumah dan Ayah menunggu dengan tangan terlipat di depan dada sambil berkata. “Ayah kira kamu mau sekalian nggak pulang Pus.”

Angga yang minta maaf berkali-kali setelah itu karena dia sebelumnya sudah membuat janji pada ayahku akan memulangkanku jam 1 paling lambat—aku menyentuh daguku mengingat-ngingat masa-masa itu. Tapi sebenarnya waktu itu aku yang memaksa untuk tidak terburu-buru pulang walaupun Angga sudah memberikan ultimatum berkali-kali dan tidak mengajakku bicara selama menikmati jagung bakar. Rasa bersalahku baru muncul ketika melihat wajah Angga yang penuh penyesalan dan mendengar permintaan maafnya berkali-kali, esoknya kudatangi rumahnya setelah membeli majalah otomotif kesukannya. Memberikannya sambil mengucapkan terimakasih dan maaf.

Aku tersenyum kecil mengingat masa itu, masa dimana mengunjungi Angga hanya butuh beberapa langkah saja. Bukan menunggu berbulan-bulan atau sekedar mengirim SMS dan telepon. Lebih-lebih di tahun ketiga perkuliahan, dia jarang sekali pulang. Bahkan ibunya pun mengeluhkan hal yang sama ketika mengunjungi rumahku dan mengobrol dengan ibuku. Ketika kusampaikan keluhan itu kepada Angga melalui SMS dia hanya menjawab dengan enteng, “Aku pulang kalau memang bisa pulang. Kalau nggak bisa, mau gimana lagi?”

Dia memang laki-laki yang tidak peka. Aku yakin dia jarang sekali menghubungi keluarganya, pasti ibunya yang harus menelepon terlebih dahulu.

Kudekatkan wajahku dengan kaca, berusaha menangkap pemandangan apa yang ada di luar sana. Gelap sekali memang, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 23.30. 30 menit lagi tahun akan berganti dan aku terjebak di dalam kereta ini. Jelas saja tidak akan ada yang menyalakan kembang api disini, paling parah terompet. Itu pun pasti segera disambut dengan desisan dari para penumpang yang sedang menikmati tidur mereka, memilih untuk mengistirahatkan diri daripada mengharapkan kembang api di dalam kereta.

Kulirik perempuan yang duduk di sebelahku. Masih membuka matanya sambil membaca sebuah buku. Kuperhatikan penumpang lain yang terjangkau mata, beberapa dari mereka sudah tertidur nyenyak, beberapa yang lain masih bermain dengan gadget mereka. Sebenarnya—aku menguap, aku pun sudah mengantuk dan tidak pernah berpikir bahwa bangun sampai jam menunjukkan 00.00 tanpa melihat kembang api di udara adalah hal yang berguna. Mungkin sebaiknya aku tidur saja dan—

“Nungguin tahun baru mbak?”

Aku menoleh. Perempuan muda yang duduk disebelahku sudah menutup bukunya dan sedang menikmati pia coklat, dia menawarkan pia itu padaku dan aku menerimanya dengan senang hati. “Nggak sih mbak, nggak ada yang bisa dilihat di kereta walaupun nunggu jam 12 malam kan ya?” aku tertawa sementara perempuan paruh baya yang duduk disampingku tersenyum sembari memasukkan pia miliknya kembali ke dalam tas.

“Berarti menurut mbak perayaan tahun baru sekedar ngeliat kembang api ya?”

“Eh—“ aku menyentuh tengkukku, memikirkan pertanyaan yang baru saja terpikir di benakku. “Nggak juga sih mbak.”

“Terus?” perempuan itu meneguk air mineralnya dan meletakkanya kembali ke dalam tas. Sempat terpikir untuk meminta barang seteguk tapi—astaga yang benar saja.

“Kalau dulu sih ke acara tahun baru buat ngeliat kembang api.”

“Dulu? Udah lama nggak ke acara tahun baru?”

Aku menggelengkan kepala. “Semenjak kuliah udah nggak sih. Dulu waktu SMP sama adik temen saya, anaknya masih kecil jadi masih nempel sama saya. Waktu SMA sama temen saya, terus—“ aku terdiam sejenak memikirkan kelanjutannya. Setelah kuliah Angga tidak pernah bisa menemaniku menikmati tahun baru di Gombel, Simpang Lima ataupun disudut kota Semarang manapun, setelahnya aku tidak pernah mengikuti acara tahun baru dimanapun.

“Terus?” perempuan itu menunggu jawabanku, kepalanya miring ke kanan memperhatikan raut wajahku yang mungkin sedang berkerut-kerut.

“Setelah teman saya kuliah di luar kota saya nggak pernah ke acara tahun baru lagi.”

Perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya, lalu tersenyum. Tangannya meraih botol air minum lalu menawarkannya padaku. “Kayaknya kamu nggak bawa makanan atau minuman di perjalanan panjang ini.”

Aku tertawa malu sembari menerima botol air minum di tangannya. Kunikmati seteguk saja sebelum kusadari handphoneku bergetar berkali-kali. Telepon dari Angga.

“Belum tidur?”

“Belum lah. Emangnya aku bayi kayak kamu?”

Dia tertawa di sebrang sana. “Aku bayi sehat setidaknya, nggak kayak kamu yang tinggi sama beratnya nggak nambah-nambah dari SMP.”

“Enak aja—“aku mengembalikan botol air minum kembali ke pemiliknya dan mengucapkan terimakasih, perempuan itu menganggukkan kepala lalu mengembalikannya kembali ke dalam tas ransel yang ia letakkan di depan kakinya. “Dengan tubuh kayak gini aku nggak bakal menderita walaupun dapat tempat duduk di depan tembok kayak kamu sekarang ini.”

“Siapa yang bilang aku menderita?” Angga memelankan suaranya. “Yang duduk di sebelahku cewek cantik ya.”

Aku melirik perempuan disebelahku. Aku tidak bisa menyangkal pernyataan Angga dengan berkata kalau perempuan disebelahku memberikan makanan dan minuman, kalau kukatakan seperti itu dia pasti mengejekku habis-habisan.

“Selamat ya—“ aku melirik jam tangan seharusnya ini menjadi detik-detik pergantian tahun. “Semoga cewek itu bisa ngilangin pegel-pegel di kaki kamu.”

“Tenang aja tanpa dia pun pegel-pegel di kaki aku bisa hilang.”

“Gimana caranya?”

Suara terompet terdengar kembali di dalam gerbong membuatku melirik ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara, disusul dengan suara desisan yang meminta ketenangan lalu suara langkah kaki yang mendekat serta sosok Angga berdiri tepat di samping kursiku. “Dengan sedikit berjalan-jalan,” dia masih menempelkan handphonenya di telinga sebelum aku memutuskan sambungan telepon dan memandangi sosoknya.

“Selamat tahun baru Puspa. Aku tahu kamu butuh—“ Angga mengulurkan sebungkus pia coklat bergambar Doraemon dan sebotol air minum. “Ini dan ini.”

Aku berkedip beberapa kali sebelum menerima makanan dan minuman pemberiannya. Kuperhatikan wajah Angga yang memamerkan senyum.

“Kamu minta ganti nggak Ngga? Biasanya kamu nggak ikhlas ngasih beginian.”

Ekspresi Angga berubah, senyumnya luntur dan sempat kulihat dia menghela napas. “Ya udah temenin aku pas di Jakarta aja setelah acara kampus tanggal 2 aku kosong tanggal 3 nya. Kita jalan-jalan, mau nggak?”

“Harusnya aku yang minta temenin, bukan kamu. Secara aku yang turis,” ucapku sambil tertawa.

“Turis domestik,” dia menekankan pada kata domestik. “Udah lah, nggak enak kalau berdiri lama-lama disini,” Angga balik kanan setelah membalas senyum  dari perempuan yang duduk disebelahku, meninggalkanku yang tak bisa menahan lagi senyuman di bibir walaupun punggungnya sudah tak terlihat lagi.

Perempuan yang duduk di sebelahku sempat tertawa kecil, lalu bertanya, “itu temen yang kamu maksud?”

Aku meletakkan pia coklat dan sebotol air mineral di dalam tas, sambil menganggukkan kepala,.

Sampai mataku beralih ke jendela yang gelap pun senyum di wajahku belum bisa pudar. Beberapa kali tampak sinar di langit dan terdengar samar-samar suara kembang api yang dikalahkan oleh suara rel dan roda kereta yang beradu. 

Rasanya Angga harus bertanggung jawab kalau-kalau senyum ini tidak pudar sampai aku bertemu kembali dengannya pagi nanti.


2 komentar :

Heri I. Wibowo at: 11 Januari 2014 pukul 22.51 mengatakan... Reply

semoga menang nes, tapi kayaknya perlu dihalusin deh, ada yang kurang2 tuh (y)

Vanessa Praditasari at: 17 Januari 2014 pukul 12.31 mengatakan... Reply

@Heri I. Wibowo aamiin... makasih her :3

Posting Komentar

Beo Terbang