Kabar tentang penerimaan yang akan dijual menjadi
bahan perbincangan. Setelah kedamaian yang katanya terjual mahal sekali satu
tahun lalu, penerimaan muncul sebagai
sesuatu yang akan dijual tahun ini. Tak ada yang tahu
siapa penjualnya, seperti seseorang yang menjual kedamaian tahun lalu dan tak
ada yang tahu berapa tepatnya akan dijual dengan harga berapa penerimaan itu seperti harga kedamaian
yang telah berpindah kepemilikan tahun lalu. Tapi semua orang percaya bahwa penerimaan akan menjadi milik seseorang
tahun ini.
Penjualan akan
dimulai di bulan kedua, di minggu kedua, hari dan jam nya akan menyusul
diberitakan. Kabar itu menyebar seperti angin, berpindah dari bibir ke bibir
melalui pembicaraan yang berawal dari sekedar basa-basi. Ketika berita itu
memasuki telinga mereka, banyak orang yang memutuskan untuk menabung
cepat-cepat, berharap dengan uang yang mereka punya kelak, penerimaan akan menjadi milik mereka.
Banyak juga dari mereka yang
berniat untuk mengumpulkan uang dengan cara kilat, dengan cara yang mereka
anggap pantas untuk mendapatkan sebuah penerimaan
dan sisanya yang menginginkan penerimaan
tanpa memiliki uang hanya bisa berharap bahwa penjual penerimaan akan mengerti keadaan mereka.
Berbagai cara yang
mereka tempuh untuk mendapatkan penerimaan
,beberapa dari mereka menjual apa yang dimiliki, yang lain memutuskan untuk
sedikit mencuri, sedikit diantaranya memikirkan cara untuk merampok, hanya
sekedar memikirkan cara tanpa mampu melakukannya, meminjam sana-sini pun hendak
mereka lakukan walaupun jaminan yang dimiliki tak sepadan dengan jumlah yang
dipinjam. Karena bagi mereka yang menginginkan penerimaan, kesempatan yang jarang ini adalah satu-satunya jalan
yang menghubungkan mereka dengan penerimaan.
Dan jika harus menjadi tikus untuk mendapatkannya, maka beberapa dari mereka
pun rela melakukannya.
Di minggu pertama
bulan kedua, kabar lain muncul, hari dan jam penjualan penerimaan telah ditentukan. Berita tersebar luas dan orang-orang
semakin gencar mengumpulkan uang. Hari Jumat di jam 12 siang. Semua orang harus
berbaris rapi di jalan yang telah ditentukan, memanjang seperti ular dalam
barisan membawa uang yang akan mereka tawarkan untuk mendapatkan penerimaan.
Semua orang
mengerti, tak ada yang protes, tak ada yang bertanya bagaimana cara penjual
tahu berapa jumlah uang yang mereka bawa tanpa proses lelang, karena hampir
semua hal seperti penerimaan ataupun kedamaian dijual
dengan metode yang sama. Berbaris rapi di suatu tempat, membawa uang yang akan
ditukarkan, lalu secara tiba-tiba penjualan berakhir dan tak ada satu orang pun
yang tahu siapa yang berhasil membeli dan mendapatkan hal yang mereka nanti-nanti.
Tapi semua orang
percaya bahwa penjualan itu benar-benar terjadi.
Kemudian hari yang
dinanti-nanti tiba. Hari Jumat di sepanjang jalan, orang-orang berbaris rapi
membawa seluruh uang yang sanggup mereka tukarkan untuk sebuah penerimaan. Dua buah koper, sekarung
lembaran uang, dompet yang penuh hingga tak bisa di tutup, receh di dalam
tabungan berbentuk ayam, tas ransel yang menggembung tak karuan, kotak kardus
yang dipeluk erat. Dengan hati berdebar mereka menunggu pengumuman atau
seseorang yang tiba-tiba datang memberitahu bahwa merekalah yang mendapatkan penerimaan. Beberapa yang lain mulai tak
sabar karena hingga setengah jam berlalu tak ada pemberitahuan yang datang. Tak
biasanya penjualan berlangsung selama ini, karena biasanya hanya berlangsung 10
menit saja, kedamaian bahkan terjual hanya dalam waktu 5 menit.
Barisan yang
awalnya hening mulai diisi oleh gerutuan, beberapa orang berbalik pergi membuat
barisan semakin pendek, yang awalnya gerutuan berubah menjadi keluhan, yang
awalnya keluhan berubah menjadi teriakan. Hingga kemudian teriakan berubah
menjadi jeritan dan pelukan atas uang yang mereka bawa semakin erat saja.
“Rampok!”
Beberapa orang
mengalihkan perhatian mereka dari terik matahari ke sumber suara, beberapa
orang yang merasa tidak tahan dengan keadaan memilih untuk melepaskan emosi
mereka dengan berlari menuju sumber suara, mengejar sekelabat bayangan yang
berlari menjauh.
“Rampok!”
“Uangku!”
“Pencuri!”
Suara itu saling
susul menyusul seperti keringat yang bercucuran di wajah orang-orang yang
mengantri, beberapa dari mereka memutuskan untuk menyingkir, pulang dan memeluk
uang mereka erat-erat, menyelamatkan diri selagi sempat. Beberapa yang lain
berlari dengan uang yang mereka peluk, mengejar sekelebat bayangan yang
diteriaki rampok. Sementara orang-orang yang hanya sanggup melihat uangnya
pergi, terduduk dengan pandangan sayu. Penjualan kali ini dipenuhi dengan
kekacauan yang tak pernah ada di penjualan sebelumnya.
Tangisan terdengar
sayup-sayup, gerutuan tak lagi muncul, teriakan yang mempertanyakan hasil
penjualan saling bersaut-sautan. Hingga satu jam berlalu dan barisan semakin
memendek, tak ada kabar yang membuat mereka tenang, hanya lalu lintas
kendaraan, keluhan-keluhan, pejalan kaki yang memandangi mereka dengan tatapan
prihatin dan satu persatu ucapan menyerah menemani mereka hingga langit berubah
warna menjadi kemerahan.
Petugas berseragam
datang membubarkan barisan. Penerimaan
tak terjual hingga malam menjelang, banyak orang yang pulang dengan umpatan
hingga mereka menutup mata dan beberapa yang lain hanya menundukkan kepala
menyesali kebodohan, menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sia-sia.
Keesokan harinya
setiap mulut membahas penjualan penerimaan,
yang entah sudah terjual atau belum. Tak ada kabar soal hal itu, padahal
biasanya selalu ada kabar yang membuat mereka tahu bahwa apa yang mereka
inginkan telah terjual, entah kepada siapa dan terjual dengan harga berapa,
yang penting mereka mendapatkan kepastian mengenai hal yang mereka tunggu.
Kecurigaan
menyeruak ke udara, mungkin saja penjualan kali ini adalah sebuah penipuan dan
perampokan yang terjadi adalah bagian dari penipuan yang telah direncakanakan.
“Penerimaan apanya? Apa yang bisa
diterima setelah mengantri seharian penuh.”
“Uang saudaraku
hilang ketika mengantri.”
“Menerima apanya?
Kehilangan lebih tepatnya.”
“Mungkin
sebenarnya mereka menjual kehilangan bukan penerimaan.”
Penjualan di
minggu kedua hari jumat itu menjadi pembicaraan hangat hingga satu minggu
berlalu dan orang-orang mulai melupakannya, berita lain telah menjadi hal yang
lebih menarik dan banyak orang yang kehilangan uangnya telah menyerah dan
memilih untuk menjalani hidup.
Hingga suatu saat
terdengar kabar yang membawa mereka ke pembicaraan yang mereka lupakan.
“Uang saudaraku
yang hilang ketika penjualan penerimaan
kembali!”
“Seseorang
mengantarkannya.”
“Orang itu tampak
seperti pengantar paket—“
“Dan ketika
paketnya dibuka—“
“Astaga!”
Seorang perempuan
yang menangis setelah tas berisi uangnya di rampok ketika penjualan penerimaan berlangsung memandangi isi
kotak yang berisi tas hijau tua miliknya. Ia meraih tas itu dan memeriksa
isinya, tak kurang satupun termasuk uang yang ia bawa ketika penjualan penerimaan berlangsung, tas itu berada
di tangannya seolah tak pernah hilang. Begitu pula tabungan ayam milik seorang
anak kecil, koper uang milik seorang pengusaha, dompet kakek tua yang tersimpan
di saku celana belakang dan segenggam uang milik seseorang yang sebelumnya
telah mengumpulkan uang, mati-matian. Semua uang kembali tanpa berkurang
sedikitpun.
Berita kembalinya
uang yang hilang di rampok ketika penjualan penerimaan
tersebar luas, seperti bau tanah yang dihujam oleh hujan, menguar tak
tertahankan. Semua uang yang hilang kembali dalam bentuk paket yang diantarkan
oleh seorang pengantar paket yang tampak biasa saja, dengan jumlah uang yang
sama tak berkurang sedikitpun, dalam keadaan yang sama tak berubah sedikitpun,
bersama tas, koper, karung, tabungan atau benda apapun yang sebelumnya menjadi
tempat penyimpanan uang itu. Rasa bahagia dan heran menari-nari bercampur
menjadi satu.
Keesokan harinya.
Semua koran memasang berita yang sama di headline mereka.
Penerimaan telah terjual.
Tak ada yang tahu
dengan harga berapa dan siapa yang berhasil mendapatkannya.
0 komentar :
Posting Komentar