Hari itu dia
memutuskan untuk pergi selama beberapa hari, pikirnya, beberapa minggu,
mungkin, beberapa bulan, sepertinya. Dia tidak pernah menyebutkan secara pasti
kepada orang-orang yang dikenalnya akan pergi dari tanggal berapa hingga
tanggal berapa, hari apa hingga hari apa, dia hanya sekedar memberitahu bahwa
dia akan pergi, titik. Ketika setiap orang bertanya hendak kemana dirinya dia
hanya diam dan menjawab dalam satu kata singkat dan berlalu.
Hanya pergi,
katanya.
Tak ada yang bisa
bertanya lebih banyak, karena dalam perjalanannya, memanggul tas yang hanya
berisi beberapa potong pakaian, makanan kecil dan minuman, sebuah buku yang ia
temukan berdebu karena sudah lama tak ia dibaca, ia memutuskan untuk melempar smartphonennya
ke dalam selokan. Selokan berwarna hitam yang sudah tak mengalirkan air lagi,
berbau asing dan meluap ketika hujan deras turun, setelah mengucapkan selamat
tinggal pada benda yang selalu berada di kantongnya setiap saat, dia memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan.
Perjalanannya tak
panjang karena dia lelah berjalan kaki, hanya berpindah dari satu halte ke
halte lain, sekedar meneguk sebotol air mineral atau menggigit sebuah biskuit,
sekedar membeli beberapa buah permen dari pedagang asongan yang masih seorang
anak berumur 10 tahun. Perjalannya diisi dengan suara kendaraan yang lalu
lalang, menghirup asap yang bercampur bau hasil olahan mesin kendaraan,
memandangi langit yang mulai tampak senja lalu memutuskan untuk menginap dimana
saja yang bersedia menerimanya tinggal.
Seorang laki-laki
melayaninya di meja resepsionis. Seorang laki-laki tua, sebuah meja panjang
yang tampak seperti meja belajar di sekolah-sekolah, sebuah kertas putih
bertuliskan resepsionis tertempel di
dinding, wajahnya cemberut, dahinya mengkerut, raut wajahnya tampak seperti
baru saja mengalami penderitaan selama berpuluh-puluh tahun,bahkan belum
terbebas dari derita itu.
Pesan kamar untuk
berapa orang, tanya laki-laki tua itu.
Dia hanya
memamerkan jari telunjuk, laki-laki tua itu menyerahkan sebuah kunci kamar yang
tampak sedikit berkarat. Dia memandangi kunci itu dengan dahi berkerut, membuat
laki-laki tua itu mendengus, seolah tersinggung.
Setelah mengucapkan
terimakasih, dan berlalu, menemukan kamar yang dimaksud dengan tempelan nomor
berbahan kertas yang sudah luntur tintanya. Dia memutuskan untuk memasuki kamar
itu, yang tampak kecil dari luar, sekedar memutar kunci melihat isi di dalamnya
lalu menutupnya kembali, kemudian berpindah ke deretan kamar-kamar kecil
lainnya yang tampak seperti kamar mandi.
Dia tak mengeluh,
tak ingin mengeluh, keputusannya untuk meninggalkan kartu ATM nya di dalam laci
kamar adalah keputusan yang terbaik baginya. Uang yang sudah ia siapkan di
dalam dompet seharusnya lebih dari cukup untuk menghidupinya selama beberapa
hari, kecuali ia memutuskan untuk pergi selama beberapa bulan maka ia harus
mencari pekerjaan lain, tapi dia hanya mengambil cuti selama beberapa hari.
Ah—seharusnya ia
tidak memikirkan hal itu.
Dia duduk di atas
tempat tidur yang tak memiliki bedcover, hanya sebuah sprei berwarna putih
dengan beberapa bercak kecil yang tampak oleh mata. Seharusnya dia membawa
selimut tadi, selimut di tempat ini tipis sekali, sesalnya.
Tak ada televisi
di dalam kamar, tapi dia sudah tak terlalu peduli dengan berita yang diumbar di
sana. Bosan sekali jika harus menonton berita yang sama setiap pagi, yang bahkan
tidak membangun semangat. Berganti channel
pembunuhan, berganti channel
tertangkapnya seorang pejabat, berganti channel
artis yang baru saja bercerai, berganti channel
acara hiburan anak-anak—dia kadang terhenti di channel ini selama beberapa menit sebelum terpaksa mengganti ke channel lainnya— terakhir, dia
memutuskan untuk melihat ramalan cuaca saja atau memperhatikan index harga
saham.
Dia merebahkan
kepala, merasakan kasur yang seolah kehilangan dayanya lagi untuk sekedar
memberikan reaksi atas beban di atasnya. Kepergiannya ini tak terencana, hanya
sekedar rasa ingin yang terpenuhi, meninggalkan tugas dan tanggung jawab,
barang sehari atau dua hari, seminggu atau dua minggu, sebulan atau dua bulan. Tak
mungkin bertahun-tahun pikirnya, bisa-bisa menjadi buron dirinya, dianggap mati
dirampok atau terbunuh, tenggelam dalam sungai, atau tertabrak kendaraan.
Tapi dia hanya
mengambil cuti beberapa hari, tak mungkin sebenarnya dia pergi selama
berminggu-minggu, atau pun berbulan-bulan. Dia hanya berpikir untuk pergi
berlama-lama.
Perutnya lapar. Dia
mulai berpikir, seharusnya dia tidak berpikir terlalu banyak, perutnya cepat
lapar kalau dirinya terlalu banyak berpikir, uangnya akan habis kalau dia
terlalu banyak makan. Maka diputuskannya untuk segera keluar dari kamar,
membawa beberapa lembar uang, meninggalkan tas kecil berisi beberapa potong
pakaian yang akan ia bawa lagi besok menelusuri jalanan.
Kunci diputar,
perlahan, dia masih takut kuncinya akan patah karena karat.
Langkah kaki
membawanya ke sebuah warung di pinggir jalan, memesan sebuah mangkuk mie instan
dengan harga paling murah, makan dan berusaha untuk tak memikirkan apapun. Kertas
di atas meja kerjannya, deadline yang
harus dipenuhi, handphonennya yang telah tenggelam dalam selokan ataupun tasnya
yang berisi sisa uang yang dimilikinya di dalam hotel yang bahkan tak berbintang,
tak bermelati pula.
Setelah menyelesaikan
makan, langkahnya diburu oleh pikirannya, apakah uangnya aman, walaupun sedikit,
ia akan bertahan hidup dengan itu. Walaupun ini masih di dalam kota tempat
tinggalnya sendiri tapi rencananya untuk pergi akan gagal jika ia kehilangan
uang.
Pikirannya sia-sia,
langkah cepat setelah makan yang terburu-buru pun membuat perutnya sakit, percuma
ia mengecek isi tasnya dengan terburu-buru, uangnya masih ada disana. Beberapa menit
setelah menghela napas penuh kelegaan, perutnya kembali lapar.
Setelah ini ia
benar-benar berjanji untuk tidak banyak berpikir lagi.
Malam berlalu
berganti pagi, setelah menyapa seorang laki-laki muda yang menjaga meja panjang
di pintu depan, dia memutuskan untuk check
out dan melanjutkan perjalanan. Membiarkan langkah kaki membawanya entah
kemana, dari halte satu ke halte lain, menikmati sepotong biskuit dan sebotol
air mineral, berbincang dengan seorang tukang becak yang mengantarkannya ke
stasiun kereta api terdekat.
Dia memutuskan
untuk memesan tiket entah kemana saja, uang yang tak banyak memaksanya untuk
hanya memesan tiket ke sebuah kota yang masih dalam satu provinsi dan berniat
untuk menginap satu malam lalu pindah ke kota lain.
Pergi sajalah entah
kemana, yang penting pergi, ucapnya dalam hati.
Perjalanannya tak
lama di dalam kereta, tapi dia masih sempat menikmati sebungkus pecel,
mengobrol dengan seorang ibu yang memulai pembicaraan dengan ramah tanpa menanyakan
nama dan pekerjaan apa yang dijalaninya, hanya sekedar menceritakan anak
laki-laki yang dibanggakannya dan anak perempuanya yang baru saja menikah.
Perjalanan berakhir
di sebuah kota asing yang tak pernah ia kunjungi, entah apa yang dicarinya tapi
dia sudah berjanji tak mau banyak berpikir, dia putuskan untuk melangkah saja,
bertanya ke sana-sini, singgah dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah
lainnya, sekedar mengobrol santai dengan penduduk setempat yang kemudian
menawarkan tempat untuk tidur baginya.
Dengan senang
hati dia menerimanya.
Tinggal di tempat
orang lain walaupun hanya semalam membuatnya merasa antara nyaman dan tak
nyaman, nyaman karena kebaikan setiap anggota keluarga yang melayaninya dengan
ramah, tidak nyaman karena keramahan yang diberikan oleh orang yang masih
terbilang asing.
Terbiasa dengan
orang-orang yang ramah jika hanya ada maunya saja membuatnya memikirkan banyak
hal yang membuatnya terus-terusan lapar, membuatnya melanggar janji dan
menikmati makanan yang disajikan dengan lahap dan merasakan malu setelah
menyadari kerakusannya.
Menikmati malam
yang sedikit lebih dingin daripada kota tempat tinggalnya, menyambut pagi yang
terasa terik walaupun baru menunjukkan pukul 6, dia memutuskan untuk
mengucapkan terimakasih dan meninggalkan keluarga yang ramah dan baik hati itu
dengan perasaan lapang.
Ketika berada di
stasiun perasaan bersalahnya muncul, sudah beberapa hari dia pergi, mungkin ada
yang berusaha menghubunginya beberapa hari lalu, walaupun dia memang sedang
mengambil cuti, mungkin saja atasannya tiba-tiba memerlukannya.
Dia merasa
terlalu banyak berpikir dan perutnya kembali lapar. Di loket stasiun dengan
perut yang sempat beberapa kali berbunyi nyaring, dia memutuskan untuk memesan
tiket pulang kembali ke kotanya lalu memesan makan dan melahapnya hingga
benar-benar kenyang.
Ketika berada di
dalam kereta yang mengantar kepulangannya, laki-laki yang duduk disebelahnya
memandangi kedatangannya dengan tatapan tak suka. Padahal ia tidak merasa
begitu besar sehingga memakan tempat dan membuat laki-laki itu tak nyaman, tapi
laki-laki itu masih merengut dengan dahi tertekuk-tekuk. Tak ingin mencari
masalah dia memutuskan untuk tidur sambil memeluk ransel kecilnya.
Perjalanannya
kembali ke kota tempat tinggalnya tak lama, laki-laki yang merengut
disebelahnya sudah tak duduk disebelahnya lagi ketika dia bangun dan dia
menyadari bahwa tujuannya telah dekat. Pikirannya sedang menimbang-nimbang akan
pulang mengendarai apa dari stasiun, haruskah dia jalan kaki seperti beberapa
hari lalu atau menaiki mobil dengan argo yang membuatnya harus mengecek isi
dompetnya. Awalnya tangannya
hanya sekedar merogoh tas, tak menemukan benda yang dicari dia membuka dan
bahkan memasukkan kepalanya ke dalam tas.
Nihil.
Dompetnya raib
entah kemana. Mungkin diambil orang, mungkin jatuh, mungkin—dia memutuskan tali
kemungkinan yang dibuatnya, perutnya akan lapar nanti jika dia terlalu banyak
berpikir dan jelas tak ada uang untuk memenuhi perutnya yang lapar nanti.
Keluar dari
stasiun dia putuskan untuk memesan taksi, mengobati rasa lelah yang ia alami,
lelah mental, lelah pikiran, kehilangan dompet membuatnya berpikir untuk
mengurus kehilangan KTP dan SIM.
Di dalam taksi dia
mulai memikirkan handphonenya yang berada di dalam selokan, dia harus membeli
handphone baru lagi sepertinya, sisa cutinya hanya tinggal besok, mungkin lebih
baik kalau dia pulang ke rumah orangtuanya saja hari ini, sekedar menyapa dan
mungkin minta dibayarkan untuk biaya taksi.
Setelah mengganti
rute kepulangan laki-laki itu menikmati tidur singkatnya di dalam taksi.
Sampai di
tujuan, petugas taksi membangunkannya, menanyakan apakah benar rumah bercat
putih berpagar hitam yang berada di samping kanan mereka adalah tujuannya. Dia
mengiyakan dengan suara serak sehabis bangun tidur, tangannya membuka pintu, meninggalkan
taksi, meminta supirnya menunggu, menekan bel rumah dan menyambut ibunya yang
tersenyum gembira melihat kedatangannya, dia memutuskan untuk segera
menyampaikan permintannya agar supir taksi yang menunggunya tidak
menggedor-nggedor pintu rumah orangtuanya.
Ibunya tertawa,
padahal kamu udah bisa ngasih uang ke ibu sama ayah sekarang kamu minta uang
lagi ke ibu.
Dia hanya
menjawab singkat sembari mengecup tangan ibunya, mau bagaimana lagi bu.
Setelah transaksi
singkat antara ibunya dan supir taksi, dia melangkahkan kaki memasuki rumah
yang hanya ditinggali oleh ayah dan ibunya, rumah yang dibangun dengan penuh
perencanaan, dengan kamar yang lebih dari yang dibutuhkan oleh ayah dan ibu
saja.
Karena ibunya
selalu berkata, jika dia atau adik laki-lakinya sekedar berkunjung bersama
keluarga masing-masing.
Kenyataannya hal
itu masih merupakan impian, karena dirinya belum berkeluarga, adiknya pun
begitu, walaupun adiknya berada di luar kota dan jarang berkunjung karena
kesibukannya, dia pun begitu.
Jadi, bagaimana
setelah kamu pergi dan tidak bisa dihubungi berhari-hari?
Ibu bertanya
setelah menyuguhkan segelas teh hangat dengan madu, ayah menyusul dari ruang
tamu membawakan sekaleng kue kering yang hanya boleh dikeluarkan ketika ada
tamu datang. Ayah selalu bersemangat ketika ada tamu datang, ayah bisa memakan
kue yang manis itu tanpa dimarahi ibu.
Perginya nggak
ada masalah bu, aku membuka kaleng dan menikmati sepotong kue kering sebelum
ibu menarik kaleng kue itu dan membuat ayah protes, pulangnya itu yang
bermasalah.
Makanya kamu pulang
kesini, bukan kerumahmu?
Dia terdiam
selama beberapa detik, memandangi kedua orangtuanya. Dulu ibunya
membangga-banggakan rambutnya yang tak memutih sementara teman-temannya sudah
memiliki rambut yang menunjukkan usia senja itu, sekarang bahkan tampak
beberapa helai yang belum disemirnya. Sementara ayahnya, tampak sedikit lebih
tua daripada ibu walaupun mereka seumuran, karena rambutnya yang menipis, kerutan
di dahi dan rambut putih yang sudah mendominasi kumisnya.
Dia menarik
kaleng kue kering dari ibunya, memberikan sepotong kue pada ayahnya yang
tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.
Kamu harusnya
memang sering-sering pulang kesini, ujar ayahnya.
Dia tersenyum,
menikmati sepotong kue kering lagi.
Iya yah.
0 komentar :
Posting Komentar