Jumat, 14 Maret 2014

Pergi


Hari itu dia memutuskan untuk pergi selama beberapa hari, pikirnya, beberapa minggu, mungkin, beberapa bulan, sepertinya. Dia tidak pernah menyebutkan secara pasti kepada orang-orang yang dikenalnya akan pergi dari tanggal berapa hingga tanggal berapa, hari apa hingga hari apa, dia hanya sekedar memberitahu bahwa dia akan pergi, titik. Ketika setiap orang bertanya hendak kemana dirinya dia hanya diam dan menjawab dalam satu kata singkat dan berlalu.

Hanya pergi, katanya.

Tak ada yang bisa bertanya lebih banyak, karena dalam perjalanannya, memanggul tas yang hanya berisi beberapa potong pakaian, makanan kecil dan minuman, sebuah buku yang ia temukan berdebu karena sudah lama tak ia dibaca, ia memutuskan untuk melempar smartphonennya ke dalam selokan. Selokan berwarna hitam yang sudah tak mengalirkan air lagi, berbau asing dan meluap ketika hujan deras turun, setelah mengucapkan selamat tinggal pada benda yang selalu berada di kantongnya setiap saat, dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Perjalanannya tak panjang karena dia lelah berjalan kaki, hanya berpindah dari satu halte ke halte lain, sekedar meneguk sebotol air mineral atau menggigit sebuah biskuit, sekedar membeli beberapa buah permen dari pedagang asongan yang masih seorang anak berumur 10 tahun. Perjalannya diisi dengan suara kendaraan yang lalu lalang, menghirup asap yang bercampur bau hasil olahan mesin kendaraan, memandangi langit yang mulai tampak senja lalu memutuskan untuk menginap dimana saja yang bersedia menerimanya tinggal.

Seorang laki-laki melayaninya di meja resepsionis. Seorang laki-laki tua, sebuah meja panjang yang tampak seperti meja belajar di sekolah-sekolah, sebuah kertas putih bertuliskan resepsionis tertempel di dinding, wajahnya cemberut, dahinya mengkerut, raut wajahnya tampak seperti baru saja mengalami penderitaan selama berpuluh-puluh tahun,bahkan belum terbebas dari derita itu.

Pesan kamar untuk berapa orang, tanya laki-laki tua itu.

Dia hanya memamerkan jari telunjuk, laki-laki tua itu menyerahkan sebuah kunci kamar yang tampak sedikit berkarat. Dia memandangi kunci itu dengan dahi berkerut, membuat laki-laki tua itu mendengus, seolah tersinggung.

Setelah mengucapkan terimakasih, dan berlalu, menemukan kamar yang dimaksud dengan tempelan nomor berbahan kertas yang sudah luntur tintanya. Dia memutuskan untuk memasuki kamar itu, yang tampak kecil dari luar, sekedar memutar kunci melihat isi di dalamnya lalu menutupnya kembali, kemudian berpindah ke deretan kamar-kamar kecil lainnya yang tampak seperti kamar mandi.

Dia tak mengeluh, tak ingin mengeluh, keputusannya untuk meninggalkan kartu ATM nya di dalam laci kamar adalah keputusan yang terbaik baginya. Uang yang sudah ia siapkan di dalam dompet seharusnya lebih dari cukup untuk menghidupinya selama beberapa hari, kecuali ia memutuskan untuk pergi selama beberapa bulan maka ia harus mencari pekerjaan lain, tapi dia hanya mengambil cuti selama beberapa hari.

Ah—seharusnya ia tidak memikirkan hal itu.

Dia duduk di atas tempat tidur yang tak memiliki bedcover, hanya sebuah sprei berwarna putih dengan beberapa bercak kecil yang tampak oleh mata. Seharusnya dia membawa selimut tadi, selimut di tempat ini tipis sekali, sesalnya.

Tak ada televisi di dalam kamar, tapi dia sudah tak terlalu peduli dengan berita yang diumbar di sana. Bosan sekali jika harus menonton berita yang sama setiap pagi, yang bahkan tidak membangun semangat. Berganti channel pembunuhan, berganti channel tertangkapnya seorang pejabat, berganti channel artis yang baru saja bercerai, berganti channel acara hiburan anak-anak—dia kadang terhenti di channel ini selama beberapa menit sebelum terpaksa mengganti ke channel lainnya— terakhir, dia memutuskan untuk melihat ramalan cuaca saja atau memperhatikan index harga saham.

Dia merebahkan kepala, merasakan kasur yang seolah kehilangan dayanya lagi untuk sekedar memberikan reaksi atas beban di atasnya. Kepergiannya ini tak terencana, hanya sekedar rasa ingin yang terpenuhi, meninggalkan tugas dan tanggung jawab, barang sehari atau dua hari, seminggu atau dua minggu, sebulan atau dua bulan. Tak mungkin bertahun-tahun pikirnya, bisa-bisa menjadi buron dirinya, dianggap mati dirampok atau terbunuh, tenggelam dalam sungai, atau tertabrak kendaraan.

Tapi dia hanya mengambil cuti beberapa hari, tak mungkin sebenarnya dia pergi selama berminggu-minggu, atau pun berbulan-bulan. Dia hanya berpikir untuk pergi berlama-lama.

Perutnya lapar. Dia mulai berpikir, seharusnya dia tidak berpikir terlalu banyak, perutnya cepat lapar kalau dirinya terlalu banyak berpikir, uangnya akan habis kalau dia terlalu banyak makan. Maka diputuskannya untuk segera keluar dari kamar, membawa beberapa lembar uang, meninggalkan tas kecil berisi beberapa potong pakaian yang akan ia bawa lagi besok menelusuri jalanan.

Kunci diputar, perlahan, dia masih takut kuncinya akan patah karena karat.

Langkah kaki membawanya ke sebuah warung di pinggir jalan, memesan sebuah mangkuk mie instan dengan harga paling murah, makan dan berusaha untuk tak memikirkan apapun. Kertas di atas meja kerjannya, deadline yang harus dipenuhi, handphonennya yang telah tenggelam dalam selokan ataupun tasnya yang berisi sisa uang yang dimilikinya di dalam hotel yang bahkan tak berbintang, tak bermelati pula.

Setelah menyelesaikan makan, langkahnya diburu oleh pikirannya, apakah uangnya aman, walaupun sedikit, ia akan bertahan hidup dengan itu. Walaupun ini masih di dalam kota tempat tinggalnya sendiri tapi rencananya untuk pergi akan gagal jika ia kehilangan uang.

Pikirannya sia-sia, langkah cepat setelah makan yang terburu-buru pun membuat perutnya sakit, percuma ia mengecek isi tasnya dengan terburu-buru, uangnya masih ada disana. Beberapa menit setelah menghela napas penuh kelegaan, perutnya kembali lapar.

Setelah ini ia benar-benar berjanji untuk tidak banyak berpikir lagi.

Malam berlalu berganti pagi, setelah menyapa seorang laki-laki muda yang menjaga meja panjang di pintu depan, dia memutuskan untuk check out dan melanjutkan perjalanan. Membiarkan langkah kaki membawanya entah kemana, dari halte satu ke halte lain, menikmati sepotong biskuit dan sebotol air mineral, berbincang dengan seorang tukang becak yang mengantarkannya ke stasiun kereta api terdekat.

Dia memutuskan untuk memesan tiket entah kemana saja, uang yang tak banyak memaksanya untuk hanya memesan tiket ke sebuah kota yang masih dalam satu provinsi dan berniat untuk menginap satu malam lalu pindah ke kota lain.

Pergi sajalah entah kemana, yang penting pergi, ucapnya dalam hati.

Perjalanannya tak lama di dalam kereta, tapi dia masih sempat menikmati sebungkus pecel, mengobrol dengan seorang ibu yang memulai pembicaraan dengan ramah tanpa menanyakan nama dan pekerjaan apa yang dijalaninya, hanya sekedar menceritakan anak laki-laki yang dibanggakannya dan anak perempuanya yang baru saja menikah.

Perjalanan berakhir di sebuah kota asing yang tak pernah ia kunjungi, entah apa yang dicarinya tapi dia sudah berjanji tak mau banyak berpikir, dia putuskan untuk melangkah saja, bertanya ke sana-sini, singgah dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lainnya, sekedar mengobrol santai dengan penduduk setempat yang kemudian menawarkan tempat untuk tidur baginya.

Dengan senang hati dia menerimanya.

Tinggal di tempat orang lain walaupun hanya semalam membuatnya merasa antara nyaman dan tak nyaman, nyaman karena kebaikan setiap anggota keluarga yang melayaninya dengan ramah, tidak nyaman karena keramahan yang diberikan oleh orang yang masih terbilang asing.

Terbiasa dengan orang-orang yang ramah jika hanya ada maunya saja membuatnya memikirkan banyak hal yang membuatnya terus-terusan lapar, membuatnya melanggar janji dan menikmati makanan yang disajikan dengan lahap dan merasakan malu setelah menyadari kerakusannya.

Menikmati malam yang sedikit lebih dingin daripada kota tempat tinggalnya, menyambut pagi yang terasa terik walaupun baru menunjukkan pukul 6, dia memutuskan untuk mengucapkan terimakasih dan meninggalkan keluarga yang ramah dan baik hati itu dengan perasaan lapang.

Ketika berada di stasiun perasaan bersalahnya muncul, sudah beberapa hari dia pergi, mungkin ada yang berusaha menghubunginya beberapa hari lalu, walaupun dia memang sedang mengambil cuti, mungkin saja atasannya tiba-tiba memerlukannya.

Dia merasa terlalu banyak berpikir dan perutnya kembali lapar. Di loket stasiun dengan perut yang sempat beberapa kali berbunyi nyaring, dia memutuskan untuk memesan tiket pulang kembali ke kotanya lalu memesan makan dan melahapnya hingga benar-benar kenyang.

Ketika berada di dalam kereta yang mengantar kepulangannya, laki-laki yang duduk disebelahnya memandangi kedatangannya dengan tatapan tak suka. Padahal ia tidak merasa begitu besar sehingga memakan tempat dan membuat laki-laki itu tak nyaman, tapi laki-laki itu masih merengut dengan dahi tertekuk-tekuk. Tak ingin mencari masalah dia memutuskan untuk tidur sambil memeluk ransel kecilnya.

Perjalanannya kembali ke kota tempat tinggalnya tak lama, laki-laki yang merengut disebelahnya sudah tak duduk disebelahnya lagi ketika dia bangun dan dia menyadari bahwa tujuannya telah dekat. Pikirannya sedang menimbang-nimbang akan pulang mengendarai apa dari stasiun, haruskah dia jalan kaki seperti beberapa hari lalu atau menaiki mobil dengan argo yang membuatnya harus mengecek isi dompetnya. Awalnya tangannya hanya sekedar merogoh tas, tak menemukan benda yang dicari dia membuka dan bahkan memasukkan kepalanya ke dalam tas.

Nihil.

Dompetnya raib entah kemana. Mungkin diambil orang, mungkin jatuh, mungkin—dia memutuskan tali kemungkinan yang dibuatnya, perutnya akan lapar nanti jika dia terlalu banyak berpikir dan jelas tak ada uang untuk memenuhi perutnya yang lapar nanti.

Keluar dari stasiun dia putuskan untuk memesan taksi, mengobati rasa lelah yang ia alami, lelah mental, lelah pikiran, kehilangan dompet membuatnya berpikir untuk mengurus kehilangan KTP dan SIM.

Di dalam taksi dia mulai memikirkan handphonenya yang berada di dalam selokan, dia harus membeli handphone baru lagi sepertinya, sisa cutinya hanya tinggal besok, mungkin lebih baik kalau dia pulang ke rumah orangtuanya saja hari ini, sekedar menyapa dan mungkin minta dibayarkan untuk biaya taksi.

Setelah mengganti rute kepulangan laki-laki itu menikmati tidur singkatnya di dalam taksi.

Sampai di tujuan, petugas taksi membangunkannya, menanyakan apakah benar rumah bercat putih berpagar hitam yang berada di samping kanan mereka adalah tujuannya. Dia mengiyakan dengan suara serak sehabis bangun tidur, tangannya membuka pintu, meninggalkan taksi, meminta supirnya menunggu, menekan bel rumah dan menyambut ibunya yang tersenyum gembira melihat kedatangannya, dia memutuskan untuk segera menyampaikan permintannya agar supir taksi yang menunggunya tidak menggedor-nggedor pintu rumah orangtuanya.

Ibunya tertawa, padahal kamu udah bisa ngasih uang ke ibu sama ayah sekarang kamu minta uang lagi ke ibu.

Dia hanya menjawab singkat sembari mengecup tangan ibunya, mau bagaimana lagi bu.

Setelah transaksi singkat antara ibunya dan supir taksi, dia melangkahkan kaki memasuki rumah yang hanya ditinggali oleh ayah dan ibunya, rumah yang dibangun dengan penuh perencanaan, dengan kamar yang lebih dari yang dibutuhkan oleh ayah dan ibu saja.

Karena ibunya selalu berkata, jika dia atau adik laki-lakinya sekedar berkunjung bersama keluarga masing-masing.

Kenyataannya hal itu masih merupakan impian, karena dirinya belum berkeluarga, adiknya pun begitu, walaupun adiknya berada di luar kota dan jarang berkunjung karena kesibukannya, dia pun begitu.

Jadi, bagaimana setelah kamu pergi dan tidak bisa dihubungi berhari-hari?

Ibu bertanya setelah menyuguhkan segelas teh hangat dengan madu, ayah menyusul dari ruang tamu membawakan sekaleng kue kering yang hanya boleh dikeluarkan ketika ada tamu datang. Ayah selalu bersemangat ketika ada tamu datang, ayah bisa memakan kue yang manis itu tanpa dimarahi ibu.

Perginya nggak ada masalah bu, aku membuka kaleng dan menikmati sepotong kue kering sebelum ibu menarik kaleng kue itu dan membuat ayah protes, pulangnya itu yang bermasalah.

Makanya kamu pulang kesini, bukan kerumahmu?

Dia terdiam selama beberapa detik, memandangi kedua orangtuanya. Dulu ibunya membangga-banggakan rambutnya yang tak memutih sementara teman-temannya sudah memiliki rambut yang menunjukkan usia senja itu, sekarang bahkan tampak beberapa helai yang belum disemirnya. Sementara ayahnya, tampak sedikit lebih tua daripada ibu walaupun mereka seumuran, karena rambutnya yang menipis, kerutan di dahi dan rambut putih yang sudah mendominasi kumisnya.

Dia menarik kaleng kue kering dari ibunya, memberikan sepotong kue pada ayahnya yang tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.

Kamu harusnya memang sering-sering pulang kesini, ujar ayahnya.

Dia tersenyum, menikmati sepotong kue kering lagi.

Iya yah.





0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang