Kedatangan
perempuan itu pada awalnya sama saja dengan pelanggan yang lain. Mendorong
pintu kaca, memasuki lorong penuh barang, mengabaikan ucapan selamat datang
lalu membawa barang yang akan dibayar ke meja kasir. Perempuan itu membeli
sebatang dark chocolate merek
terkenal yang bertuliskan 70% cocoa
serta sebotol air mineral dan membayar dengan selembar uang berwarna biru.
Setelah kuserahkan kembalian dan mengucapkan terimakasih, perempuan itu pergi
meninggalkan minimarket, mendorong pintu kaca dan lepas dari pandanganku.
Kemudian perempuan
itu datang lagi, dengan ritme yang mirip, sebatang dark chocolate dan sebotol air mineral, tanpa kata meninggalkan
mini market. Begitupun dua hari berikutnya, berikutnya dan berikutnya.
Aku baru
menyadari bahwa dia terlalu sering datang, ketika sebatang cokelat dengan kadar
yang sama dan sebotol air mineral kembali berada di atas meja kasir padahal
belum 2 hari berlalu.
Dia selalu membeli
merek yang sama, baik air mineral maupun cokelatnya. Persen cocoanya pun tak pernah berubah, masih
70%.
Aku bukan penggemar
cokelat dan hanya membeli di kala ingin atau mencicipi di kala dapat secara
cuma-cuma, selama ini pun tak pernah kuperhatikan berapa kandungan cocoa dari cokelat yang kucicipi, yang
aku tau benda yang kumakan adalah sebuah cokelat dan pastinya mengandung cocoa, entah berapa persen aku tak
terlalu peduli selama cokelat itu masih nikmat di lidah.
Tapi perempuan itu
berhasil membuatku penasaran. Bagaimana bisa sebatang cokelat membuatnya rutin
datang ke minimarket dan selalu membeli benda yang sama.
Ketika waktu jagaku
habis kujadikan diriku sendiri pelanggan, berjalan ke etalase cokelat mengambil
cokelat yang biasa di beli perempuan itu membayarnya di kasir—menerima
celetukan dari teman sendiri—lalu mencicipi cokelat itu.
Pahit.
Hanya itu yang
kurasakan ketika cokelat itu menyentuh lidah, tak ada rasa manis seperti
cokelat pada umumnya, tak ada pula keinginan untuk mencicipinya lagi. Aku
meletakkan cokelat itu di atas meja tepat di luar minimarket sembari
mengeluhkan uang yang kukeluarkan untuk benda itu.
“Nggak dimakan
lagi?”
Perempuan itu sudah
berdiri di samping mejaku sambil tersenyum. “Padahal enak lho,” ia mengambil
jeda untuk meneguk air mineralnya. “Aku baru aja kehabisan tadi,” ucapnya
sambil mengusap bibir dengan lengan bajunya, lalu mengambil tempat tepat di
depanku.
“Kalau mau,
silahkan,” ujarku sembari mendorong cokelat yang baru dimakan sepotong itu
kepadanya.
“Serius?”
Aku menganggukkan
kepala. “Boleh minta minumnya?”
Dia menyodorkan
botol air minumnya dengan cepat, secepat tangannya meraih cokelat di atas meja.
Perempuan itu
tampak menikmati setiap patahan cokelat yang masuk ke dalam mulutnya, tak ada
yang meleleh di bibir tak ada pula yang membuatnya harus menjilat ujung-ujung
jari. Hingga cokelat itu tandas, mataku terus memperhatikan perempuan itu,
perempuan yang benar-benar tidak biasa, tidak seperti orang lain yang merasa
risih saat diperhatikan ketika sedang makan, dia malah sibuk menawarkan cokelat
yang di nikmatinya sepotong demi sepotong berkali-kali, padaku, seolah
meyakinkan diriku bahawa cokelat pahit itu enak untuk dinikmati.
“Kamu beneran nggak
suka ya?” tanyanya setelah tolakanku entah untuk keberapa kalinya, untuk ikut
menikmati cokelat yang sudah kuberikan padanya.
“Sebenarnya nggak
pernah yang sepahit ini.”
“Terus, ngapain
dibeli?”
Aku tak menjawab,
dia pun tak memaksa. Tangannya sibuk melipat bungkus cokelat menjadi kertas
pipih lalu melemparnya ke tempat sampah. Masuk.
Perempuan itu meraih
botol air minum yang tinggal sedikit, berdiri dari tempat duduk lalu tersenyum
padaku setelah mengucapkan terimakasih.
“Ah ya—“ perempuan
itu berbalik sebelum langkahnya benar-benar jauh, membuatku yang hendak
meninggalkan tempat duduk terhenti
sejenak karena seruannya.
“Lain kali jangan
dibeli kalau nggak suka. Gara-gara kamu stok cokelatnya habis waktu aku mau
beli.”
Aku memamerkan
jempolku, dia melambaikan tangannya sambil berjalan mundur beberapa langkah
lalu berbalik.
Itu pertemuan entah
keberapa kami, bagiku. Baginya mungkin itu adalah pertemuan pertama dan tidak
berlanjut lagi ke pertemuan-pertemuan selanjutnya karena aku memutuskan untuk
berhenti mengambil waktu jaga di mini market itu dan fokus pada kuliahku yang
sudah menginjak semester akhir. Ketika satu persatu teman sudah meninggalkan
kampus dan mendoakanku agar segera menyusul mereka.
Semenjak tak
menikmati waktu jaga sore di mini market itu aku terbiasa
untuk menikmati sore di lantai 1 kampus dengan sebuah laptop di atas meja,
mencari-cari yang perlu dicari untuk melengkapi apa yang kurang, seperti
mencari potongan puzzle di mesin pencari bernama Google.
Tapi sore itu aku
sudah lelah mencari, tak ada yang ingin ku download
pula, beberapa menit termenung di depan layar akhirnya kuketikkan pertanyaan
yang sempat membuatku penasaran beberapa bulan lalu.
“Disini kosong?”
Kudongakkan kepala,
menatap wajah perempuan yang sempat menjadi perhatianku beberapa bulan lalu,
membawa sebungkus plastik bertuliskan mini market tempatku bekerja.
Kuperhatikan dahinya yang mulai tampak berkerut dan senyumnya yang muncul
kemudian. “Kosong kan?”
Aku melirik ke 2
meja lain yang berada di sudut kanan dan sebrangku, keuda meja itu sudah
dipenuhi oleh beberapa orang yang duduk dan sibuk dengan laptop mereka
masing-masing. Tak ada kursi kosong memang saat itu, hanya kursi yang berada
tepat di depanku, hanya kursi itu.
“Aku anggap iya,
ya.”
Perempuan itu
menarik kursi dan duduk di sana sebelum aku menjawab iya dengan terbata-bata.
Saat ia mengambil isi plastik itu dan mengeluarkannya, pertanyaan di kepalaku
muncul tak terkendali tentang bagaimana bisa perempuan itu ada disini, dari
jurusan apakah dia, angkatan berapa, dan bagaimana aku bisa tidak menyadari
keberadaan perempuan itu selama ini.
Posisi kami berdua
hanya terpisahkan layar laptop yang terbuka di atas meja, aku masih bisa
melihat benda apa yang ia keluarkan dari kantong plastik dan sedang ia nikmati
saat ini. Apalagi kalau bukan cokelat dengan kadar yang biasanya dan sebotol
air mineral yang biasanya juga. Perempuan itu sesekali menyisipkan anak
rambutnya ke belakang telinga, rambutnya yang tak terlalu panjang itu hanya
diikat sekedarnya menyisakan anak rambut yang tampak cukup mengganggunya ketika
tertiup angin dan kebetulan sekali angin sore itu bertiup beberapa kali
melewati pintu kaca lantai 1.
Mata kami bertemu
ketika dia memotong cokelat miliknya dan hendak memasukkannya ke dalam mulut,
ia menyodorkan coklat dan bungkusnya dengan tangan kiri kepadaku. “Mau?”
Aku menggelengkan
kepala, segera kualihkan mataku ke layar, menekan salah satu link yang bisa
menjawab pertanyaanku.
“Kenapa 70%?”
Mata perempuan itu menatapku, ketika kutanyakan sebuah pertanyaan yang
membuatku penasaran sejak melihatnya berkali-kali membeli cokelat itu di mini
market tempatku bekerja. Kalau diingat-ingat hanya dia yang begitu rutin
membelinya, bahkan beberapa kali orang menyentuh dan memperhatikan cokelat itu
sambil bertanya pada temannya, apakah cokelat ini enak, dan pasti mereka akan
menjawab—
“Pahit. Cokelat ini
pahit—“
Perempuan itu
sedang menggantung kalimatnya kurasa, maka coba kutebak manfaat dari cokelat
pahit yang mana yang akan dia sebutkan. Tab di browserku masih membuka blog
yang mengulas hal itu, pasti tidak akan melesat jauh dari salah satu yang
disebutkan di sana.
“Mungkin lebih
tepatnya karena rasa pahit cokelat lebih bertahan daripada rasa manisnya.”
Dahiku mengkerut
ketika mendengar jawaban itu, tak kutemukan kalimat itu dalam tab yang kubuka,
tak terpikirkan pula jawaban itu di kepalaku. Perempuan itu seperti menertawai
kebingunganku dengan senyumannya. Sampai dia meninggalkan tempat itu setelah
mengucapkan terimakasih masih tak bisa kutanyai penjelasan lebih lanjut
mengenai jawabannya.
Kujawab ucapannya
dengan sama-sama dan membiarkan jawabannya menjadi pertanyaan baru bagiku.
0 komentar :
Posting Komentar