Rabu, 23 April 2014

Dark Chocolate


Kedatangan perempuan itu pada awalnya sama saja dengan pelanggan yang lain. Mendorong pintu kaca, memasuki lorong penuh barang, mengabaikan ucapan selamat datang lalu membawa barang yang akan dibayar ke meja kasir. Perempuan itu membeli sebatang dark chocolate merek terkenal yang bertuliskan 70% cocoa serta sebotol air mineral dan membayar dengan selembar uang berwarna biru. Setelah kuserahkan kembalian dan mengucapkan terimakasih, perempuan itu pergi meninggalkan minimarket, mendorong pintu kaca dan lepas dari pandanganku.

Kemudian perempuan itu datang lagi, dengan ritme yang mirip, sebatang dark chocolate dan sebotol air mineral, tanpa kata meninggalkan mini market. Begitupun dua hari berikutnya, berikutnya dan berikutnya. 

Aku baru menyadari bahwa dia terlalu sering datang, ketika sebatang cokelat dengan kadar yang sama dan sebotol air mineral kembali berada di atas meja kasir padahal belum 2 hari berlalu. 

Dia selalu membeli merek yang sama, baik air mineral maupun cokelatnya. Persen cocoanya pun tak pernah berubah, masih 70%.

Aku bukan penggemar cokelat dan hanya membeli di kala ingin atau mencicipi di kala dapat secara cuma-cuma, selama ini pun tak pernah kuperhatikan berapa kandungan cocoa dari cokelat yang kucicipi, yang aku tau benda yang kumakan adalah sebuah cokelat dan pastinya mengandung cocoa, entah berapa persen aku tak terlalu peduli selama cokelat itu masih nikmat di lidah.

Tapi perempuan itu berhasil membuatku penasaran. Bagaimana bisa sebatang cokelat membuatnya rutin datang ke minimarket dan selalu membeli benda yang sama.

Ketika waktu jagaku habis kujadikan diriku sendiri pelanggan, berjalan ke etalase cokelat mengambil cokelat yang biasa di beli perempuan itu membayarnya di kasir—menerima celetukan dari teman sendiri—lalu mencicipi cokelat itu.

Pahit.

Hanya itu yang kurasakan ketika cokelat itu menyentuh lidah, tak ada rasa manis seperti cokelat pada umumnya, tak ada pula keinginan untuk mencicipinya lagi. Aku meletakkan cokelat itu di atas meja tepat di luar minimarket sembari mengeluhkan uang yang kukeluarkan untuk benda itu.

“Nggak dimakan lagi?”

Perempuan itu sudah berdiri di samping mejaku sambil tersenyum. “Padahal enak lho,” ia mengambil jeda untuk meneguk air mineralnya. “Aku baru aja kehabisan tadi,” ucapnya sambil mengusap bibir dengan lengan bajunya, lalu mengambil tempat tepat di depanku.

“Kalau mau, silahkan,” ujarku sembari mendorong cokelat yang baru dimakan sepotong itu kepadanya.

“Serius?”

Aku menganggukkan kepala. “Boleh minta minumnya?”

Dia menyodorkan botol air minumnya dengan cepat, secepat tangannya meraih cokelat di atas meja.

Perempuan itu tampak menikmati setiap patahan cokelat yang masuk ke dalam mulutnya, tak ada yang meleleh di bibir tak ada pula yang membuatnya harus menjilat ujung-ujung jari. Hingga cokelat itu tandas, mataku terus memperhatikan perempuan itu, perempuan yang benar-benar tidak biasa, tidak seperti orang lain yang merasa risih saat diperhatikan ketika sedang makan, dia malah sibuk menawarkan cokelat yang di nikmatinya sepotong demi sepotong berkali-kali, padaku, seolah meyakinkan diriku bahawa cokelat pahit itu enak untuk dinikmati.

“Kamu beneran nggak suka ya?” tanyanya setelah tolakanku entah untuk keberapa kalinya, untuk ikut menikmati cokelat yang sudah kuberikan padanya.

“Sebenarnya nggak pernah yang sepahit ini.”

“Terus, ngapain dibeli?”

Aku tak menjawab, dia pun tak memaksa. Tangannya sibuk melipat bungkus cokelat menjadi kertas pipih lalu melemparnya ke tempat sampah. Masuk.

Perempuan itu meraih botol air minum yang tinggal sedikit, berdiri dari tempat duduk lalu tersenyum padaku setelah mengucapkan terimakasih.

“Ah ya—“ perempuan itu berbalik sebelum langkahnya benar-benar jauh, membuatku yang hendak meninggalkan tempat duduk  terhenti sejenak karena seruannya.

“Lain kali jangan dibeli kalau nggak suka. Gara-gara kamu stok cokelatnya habis waktu aku mau beli.”

Aku memamerkan jempolku, dia melambaikan tangannya sambil berjalan mundur beberapa langkah lalu berbalik.

Itu pertemuan entah keberapa kami, bagiku. Baginya mungkin itu adalah pertemuan pertama dan tidak berlanjut lagi ke pertemuan-pertemuan selanjutnya karena aku memutuskan untuk berhenti mengambil waktu jaga di mini market itu dan fokus pada kuliahku yang sudah menginjak semester akhir. Ketika satu persatu teman sudah meninggalkan kampus dan mendoakanku agar segera menyusul mereka.

Semenjak tak menikmati waktu jaga sore di mini market itu aku terbiasa untuk menikmati sore di lantai 1 kampus dengan sebuah laptop di atas meja, mencari-cari yang perlu dicari untuk melengkapi apa yang kurang, seperti mencari potongan puzzle  di mesin pencari bernama Google.

Tapi sore itu aku sudah lelah mencari, tak ada yang ingin ku download pula, beberapa menit termenung di depan layar akhirnya kuketikkan pertanyaan yang sempat membuatku penasaran beberapa bulan lalu.

“Disini kosong?”

Kudongakkan kepala, menatap wajah perempuan yang sempat menjadi perhatianku beberapa bulan lalu, membawa sebungkus plastik bertuliskan mini market tempatku bekerja. Kuperhatikan dahinya yang mulai tampak berkerut dan senyumnya yang muncul kemudian. “Kosong kan?”

Aku melirik ke 2 meja lain yang berada di sudut kanan dan sebrangku, keuda meja itu sudah dipenuhi oleh beberapa orang yang duduk dan sibuk dengan laptop mereka masing-masing. Tak ada kursi kosong memang saat itu, hanya kursi yang berada tepat di depanku, hanya kursi itu.

“Aku anggap iya, ya.”

Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sana sebelum aku menjawab iya dengan terbata-bata. Saat ia mengambil isi plastik itu dan mengeluarkannya, pertanyaan di kepalaku muncul tak terkendali tentang bagaimana bisa perempuan itu ada disini, dari jurusan apakah dia, angkatan berapa, dan bagaimana aku bisa tidak menyadari keberadaan perempuan itu selama ini.

Posisi kami berdua hanya terpisahkan layar laptop yang terbuka di atas meja, aku masih bisa melihat benda apa yang ia keluarkan dari kantong plastik dan sedang ia nikmati saat ini. Apalagi kalau bukan cokelat dengan kadar yang biasanya dan sebotol air mineral yang biasanya juga. Perempuan itu sesekali menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga, rambutnya yang tak terlalu panjang itu hanya diikat sekedarnya menyisakan anak rambut yang tampak cukup mengganggunya ketika tertiup angin dan kebetulan sekali angin sore itu bertiup beberapa kali melewati pintu kaca lantai 1.

Mata kami bertemu ketika dia memotong cokelat miliknya dan hendak memasukkannya ke dalam mulut, ia menyodorkan coklat dan bungkusnya dengan tangan kiri kepadaku. “Mau?”

Aku menggelengkan kepala, segera kualihkan mataku ke layar, menekan salah satu link yang bisa menjawab pertanyaanku.

“Kenapa 70%?”

Mata perempuan itu menatapku, ketika kutanyakan sebuah pertanyaan yang membuatku penasaran sejak melihatnya berkali-kali membeli cokelat itu di mini market tempatku bekerja. Kalau diingat-ingat hanya dia yang begitu rutin membelinya, bahkan beberapa kali orang menyentuh dan memperhatikan cokelat itu sambil bertanya pada temannya, apakah cokelat ini enak, dan pasti mereka akan menjawab—

“Pahit. Cokelat ini pahit—“

Perempuan itu sedang menggantung kalimatnya kurasa, maka coba kutebak manfaat dari cokelat pahit yang mana yang akan dia sebutkan. Tab di browserku masih membuka blog yang mengulas hal itu, pasti tidak akan melesat jauh dari salah satu yang disebutkan di sana.

“Mungkin lebih tepatnya karena rasa pahit cokelat lebih bertahan daripada rasa manisnya.”

Dahiku mengkerut ketika mendengar jawaban itu, tak kutemukan kalimat itu dalam tab yang kubuka, tak terpikirkan pula jawaban itu di kepalaku. Perempuan itu seperti menertawai kebingunganku dengan senyumannya. Sampai dia meninggalkan tempat itu setelah mengucapkan terimakasih masih tak bisa kutanyai penjelasan lebih lanjut mengenai jawabannya.

Kujawab ucapannya dengan sama-sama dan membiarkan jawabannya menjadi pertanyaan baru bagiku.

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang