“Bukankah semua orang di dunia ini akhirnya meninggalkan kita, katamu?”
Hari itu langit
mendung dan kita menjadi penguasa bangku taman yang sebenarnya muat untuk di isi 3 orang. Kau dan aku hanya menyisakan
ruang di tengah untuk tas punggung milikku dan tas bahu milikmu, kita
berdua duduk di masing-masing sisi seperti menjaga keseimbangan tempat duduk
yang kokoh ini.
Aku sempat
melihat senyummu, senyum sekilas yang berganti dengan keluhan. Dengan tumpuan
kedua tangan di sisi-sisi tubuh kau dorong dirimu ke belakang, mendongak ke
langit.
“Seharusnya aku
tidak pernah mengatakan hal itu padamu.”
Aku mengenalmu beberapa
tahun lalu semenjak kau pertama kali memasuki kelas dengan penuh keraguan.
Rambutmu masih terkuncir kuda dulu, sementara saat ini kau memilih untuk
memotongnya pendek. Aku menyukai rambutmu yang dulu tapi kau keras kepala mempertahankan
model yang sekarang dan aku tak pernah ingin berdebat panjang denganmu hanya
karena masalah penampilan.
Hari pertama aku
melihatmu adalah hari pertama aku menyadari bahwa ekspresimu selalu berubah-ubah,
seperti koin yang diputar di atas meja kau bisa menampakkan senyum dan tawa
yang sedetik kemudian berubah menjadi ekspresi penuh keluhan, helaan napas,
bahkan cemberut yang khas ketika bibirmu terkulum dan kau membuang pandang.
Aku hanya sekedar
mengenalmu melalui ekspresi hari itu, berbeda dengan hari ini, aku bahkan sudah
bisa menebak isi pikiranmu.
“Kita terlalu
mengenal satu sama lain. Tidakkah lebih baik kalau kita berteman saja?”
Itu jawabanmu,
bukan hanya padaku tapi pada semua laki-laki yang mendekatimu. Kau menolak
mereka satu persatu seperti menepuk nyamuk. Mereka mendekatimu, bercanda
denganmu, mengatakan perasaan padamu dan kau menjawab dengan jawaban yang sama
lalu satu persatu dari mereka menghilang, meninggalkanku yang masih saja betah
di status yang sama denganmu sebagai teman.
“Kenapa kamu
nggak pernah nerima cowok yang deketin kamu sih, Ya?”
“Kenapa?”
Aku terbiasa
sesekali mencuri dengar jika itu tentangmu. Apalagi pertanyaan itu sering
terselip dalam pikiranku, walaupun kita sering bercerita satu sama lain tetap
saja pertanyaan itu tak sanggup keluar dari bibirku. Maka kutunggu jawaban
darimu, jawaban yang kau awali dengan tepukan di bahu temanmu.
“Karena semua
orang di dunia ini pada akhirnya akan meninggalkan kita.”
Setelah jawaban
itu aku mengambil kesimpulan di satu titik, dimana urusan kita tak akan lebih
dari teman. Kau tak akan memilih untuk terikat dengan siapapun.
Sampai hari ini
kau memintaku untuk mengulang permintaan yang pernah kutawarkan padamu, entah
berapa tahun yang lalu.
Langit
benar-benar gelap. Sementara aku dan kau masih menguasai bangku yang sama yang
kita duduki sejak satu jam lalu. Kau tampak tak berniat untuk beranjak. Jari handphone
bermain di layar sentuh, helaan napas sesekali terdengar dan kupastikan kau
akan mengeluhkan sesuatu lagi.
“Cuaca
benar-benar tidak menentu sekarang. Menurutmu kalau sebentar lagi hujan akan
sederas apa?”
Aku tertawa,
menertawakan pertanyaanmu yang tak terduga. “Sehabis inikah topik pembicaraan
kita sampai kau membicarakan cuaca?”
Kau mengulum
bibir, mendecakkan lidah kembali menatap layar sentuh yang entah menampilkan
aplikasi apa.
“Mungkin sederas
air matamu nanti malam.”
Kau mengangkat
kepala, memandangiku dengan kedua mata berwarna coklat tua, coklat tua yang
menyerupai hitam hingga butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan warna matamu
yang sebenarnya.
“Siapa yang
bilang aku bakal nangis nanti malam?”
“Jadi penolakanku
tidak berpengaruh banyak padamu?”
Kau tertawa,
sambil menggenggam handphone layar sentuh kau tutupi bibirmu. “Tidak sia-sia
aku bersamamu beberapa tahun ini.”
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, Ya. Sebuah hubungan yang akhirnya
berakhir sekalipun.”
Jawaban itu membawa hening diantara kita, disela dengan suara keriuhan
penikmat taman yang mulai berlari kesana kemari. Hujan. Sekedar rintik tapi
bisa membuat manusia kalang kabut.
Aku mengulurkan tangan memastikan sederas apa air langit yang tumpah,
memperhatikan langit gelap yang berarak-arak. Hanya orang bodoh yang akan
tinggal lebih lama untuk kehujanan.
“Ya, kita berteduh atau pulang?”
“Kamu mau mengantarku pulang?”
“Kenapa tidak?”
“Kalau aku minta kamu untuk mengantarku ke bandara besok kamu juga mau?”
Aku memandangi perempuan di hadapanku dengan alis yang terangkat. Tak
biasanya kau bertanya seperti ini, yang biasa ia lakukan hanya memintaku melakukan
sesuatu tanpa persetujuan dan jika senggang kuturuti saja permintaanya.
“Kebetulan aku kosong sih. Nggak masalah,” tanganku meraih tas punggung
dengan cepat sebelum menarik tanganmu menuju mobil yang terparkir manis di
sebrang jalan, setelah membukakan pintu untukmu dengan berlari kecil kubuka
pintu untuk diri sendiri, menghindari air langit yang mulai tumpah ruah tak
terkendali.
“Ah parah hujannya deras ternyata,” kukibas-kibaskan lengan baju yang basah
terkena hujan, menghidupkan mesin dan memperhatikanmu yang masih memalingkan
wajah, menatap jendela mobil dan hujan diluar sana.
“Berarti nanti malam aku nangisnya parah banget ya, Di?”
“Ha?” aku mengangkat alis, mengenakan seat
belt hujan membuat konsentrasiku menurun. Sama seperti perhatianku padamu
yang jauh menurun dibandingkan beberapa tahun lalu.
“Tadi kamu yang bilang kan, soal sederas apa hujan kali ini.”
Kubiarkan mesin mobil menyala tanpa berniat untuk segera memacu mobil
meninggalkan lokasi. Mataku memperhatikan raut wajahmu, tangan yang bersandar
pada sisi pintu, mata yang memberi perhatian penuh pada hujan.
Jika orang-orang bilang hujan membuat seseorang menjadi sendu aku bisa
melihat hal itu pada dirimu.
“Kau mau pulang kapan?”
“Nanti.”
Aku mengangkat bahu, menurut saja. Menghidupkan radio menjadi satu-satunya
alternatif pemecah sepi. Kau tak ingin bicara aku pun tak bisa menghiburmu.
“Apa yang membuatmu berubah pikiran?”
“Soal apa?”
Beberapa kali kuganti frekuensi radio sebelum kau meminta untuk berhenti. Berita.
Kau memang paling pintar memilih untuk tidak menambah beban dalam emosimu.
“Semua orang akan meninggalkan kita?”
“Ah itu—“ kau memutar volume radio membiarkan suara penelepon yang
mengeluhkan kemacetan di sebuah ruas jalan terdengar sayup-sayup saja. “Kamu
tidak meninggalkanku.”
“Aku bukan pengecualian, Ya. Kebetulan saja aku masih bertahan sampai saat
ini.”
“Kalau begitu,” kau mencari-cari sesuatu di dahsboard yang jelas tak akan
kau temukan. Aku yakin kau sudah berkali-kali melihat isi dashboard mobilku
yang tak pernah benar-benar membantumu untuk mengalihkan perhatian. “Seperti
jawabanmu tadi, tidak ada yang sia-sia sekalipun hubungan kita akan berakhir
suatu hari nanti, sekalipun kau meninggalkanku suatu saat nanti.”
Aku tersenyum, membiarkan suara klik dahsboard dan gerakanmu yang memutar
kembali volume radio. Aku tahu kau malu dari caramu mengalihkan perhatian, dari
caramu membuang muka, mengembalikan perhatian penuh pada hujan yang semakin
deras saja.
“Inikah penolakan pertamamu?”
“Bukan, ini yang kedua.”
“Oh ya? Siapa yang menolakmu sebelum ini?”
“Kamu juga kan?”
Kau berpaling ketika aku mengerutkan dahi, mempertanyakan penjelasan yang
sepertinya berhenti di tenggorokanmu lalu tersimpan kembali ketika kau
memalingkan wajah.
“Ah sudahlah itu masa lalu.”
“Kapan memangnya?”
Kau berpaling kembali, jari telunjukmu terangkat ke atas seperti guru yang
ingin menjelaskan sesuatu, sebelum kau telan kembali katamu dan berpaling.
Ciri-ciri paling khas darimu ketika ragu akan bercerita atau tidak. Tapi akhirnya
selalu tertebak olehku.
“Dulu waktu aku ajak kamu buat ke rumah. Waktu itu aku mau ngenalin kamu ke
mama. Soalnya mama penasaran sama kamu.”
Aku tersenyum, bahkan tertawa hingga membuatmu kembali berpaling dengan
kedua tangan terlipat di depan dada. Menggodamu adalah hal yang menyenangkan,
walaupun jarang bisa berhasil dan malah membuatku menjadi pihak yang
diolok-olok.
“Kenapa kau berpikir bahwa aku akan menerimamu?”
“Entahlah,” kau tidak berpaling, tetap menikmati aliran air di jendela yang
sempat menempel lalu jatuh entah kemana, membentuk sungai-sungai kecil. “Dulu
kau pernah menyukaiku kan?”
“Itu dulu, Ya.”
“Itu dulu, ya?”
“Sebenarnya sekarang pun masih.”
Kau berpaling memperhatikanku dengan sudut mata, menunggu kelanjutan kalimat
yang kugantung entah dimana. Jika menerimamu bukan jawaban yang tepat,
menolakmu pun tak terasa pas lalu apa yang sebenarnya ingin aku katakan.
Kau menundukkan kepala, lalu menghela napas dan tersenyum padaku. Senyum yang
membuat matamu tampak lebih sipit, senyum yang memamerkan lesung pipit di salah
satu sisi, lesung yang katamu muncul karena luka.
“Sudahlah. Besok kau harus mengantarku ke bandara. Setelah itu jangan lupa
menghubungiku setiap hari, kalau absen sehari saja—“ kau membunyikan buku-buku
jari membuatku tertawa mengiyakan saja, kau kadang seolah tak terbantahkan
padahal membuatmu luluh adalah hal yang mudah. Itu yang kupelajari setelah
bertahun-tahun mengenalmu.
“Tenang saja nona Aya.”
Kau mengangguk-anggukkan kepala, tampak puas dengan jawabanku. Sedetik kemudian
kau memintaku melajukan kendaraan meninggalkan kawasan parkir yang sunyi dan
taman yang kosong tertimpa hujan.
“Di, mama masih penasaran sama kamu. Besok mau ketemu sama mama dulu nggak
sebelum nganter aku ke Bandara?”
“Boleh sih. Terus kamu mau ngenalin aku sebagai apa?”
Kau menoleh, aku hanya memandangimu dengan ujung mata, memperhatikan senyum
yang terkulum dan tawa khas yang kemudian terlepas memenuhi seisi mobil.
“Kamu yang harusnya mikir besok mau ngenalin diri sebagai apa.”
NB : Kaku sekali rasanya setelah sekian lama membiarkan blog ini berdebu ...
Sepertinya kurang membaca benar-benar mengurangi kemampuan menulis.
0 komentar :
Posting Komentar