Jumat, 25 Juli 2014

Tinggal


“Bukankah semua orang di dunia ini akhirnya meninggalkan kita, katamu?”             

Hari itu langit mendung dan kita menjadi penguasa bangku taman yang sebenarnya muat untuk di isi 3 orang. Kau dan aku hanya menyisakan ruang di tengah untuk tas punggung milikku dan tas bahu milikmu, kita berdua duduk di masing-masing sisi seperti menjaga keseimbangan tempat duduk yang kokoh ini.

Aku sempat melihat senyummu, senyum sekilas yang berganti dengan keluhan. Dengan tumpuan kedua tangan di sisi-sisi tubuh kau dorong dirimu ke belakang, mendongak ke langit.

“Seharusnya aku tidak pernah mengatakan hal itu padamu.”

Aku mengenalmu beberapa tahun lalu semenjak kau pertama kali memasuki kelas dengan penuh keraguan. Rambutmu masih terkuncir kuda dulu, sementara saat ini kau memilih untuk memotongnya pendek. Aku menyukai rambutmu yang dulu tapi kau keras kepala mempertahankan model yang sekarang dan aku tak pernah ingin berdebat panjang denganmu hanya karena masalah penampilan.

Hari pertama aku melihatmu adalah hari pertama aku menyadari bahwa ekspresimu selalu berubah-ubah, seperti koin yang diputar di atas meja kau bisa menampakkan senyum dan tawa yang sedetik kemudian berubah menjadi ekspresi penuh keluhan, helaan napas, bahkan cemberut yang khas ketika bibirmu terkulum dan kau membuang pandang.

Aku hanya sekedar mengenalmu melalui ekspresi hari itu, berbeda dengan hari ini, aku bahkan sudah bisa menebak isi pikiranmu.

“Kita terlalu mengenal satu sama lain. Tidakkah lebih baik kalau kita berteman saja?”

Itu jawabanmu, bukan hanya padaku tapi pada semua laki-laki yang mendekatimu. Kau menolak mereka satu persatu seperti menepuk nyamuk. Mereka mendekatimu, bercanda denganmu, mengatakan perasaan padamu dan kau menjawab dengan jawaban yang sama lalu satu persatu dari mereka menghilang, meninggalkanku yang masih saja betah di status yang sama denganmu sebagai teman.

“Kenapa kamu nggak pernah nerima cowok yang deketin kamu sih, Ya?”

“Kenapa?”

Aku terbiasa sesekali mencuri dengar jika itu tentangmu. Apalagi pertanyaan itu sering terselip dalam pikiranku, walaupun kita sering bercerita satu sama lain tetap saja pertanyaan itu tak sanggup keluar dari bibirku. Maka kutunggu jawaban darimu, jawaban yang kau awali dengan tepukan di bahu temanmu.

“Karena semua orang di dunia ini pada akhirnya akan meninggalkan kita.”

Setelah jawaban itu aku mengambil kesimpulan di satu titik, dimana urusan kita tak akan lebih dari teman. Kau tak akan memilih untuk terikat dengan siapapun.

Sampai hari ini kau memintaku untuk mengulang permintaan yang pernah kutawarkan padamu, entah berapa tahun yang lalu.

Langit benar-benar gelap. Sementara aku dan kau masih menguasai bangku yang sama yang kita duduki sejak satu jam lalu. Kau tampak tak berniat untuk beranjak. Jari handphone bermain di layar sentuh, helaan napas sesekali terdengar dan kupastikan kau akan mengeluhkan sesuatu lagi.

“Cuaca benar-benar tidak menentu sekarang. Menurutmu kalau sebentar lagi hujan akan sederas apa?”

Aku tertawa, menertawakan pertanyaanmu yang tak terduga. “Sehabis inikah topik pembicaraan kita sampai kau membicarakan cuaca?”

Kau mengulum bibir, mendecakkan lidah kembali menatap layar sentuh yang entah menampilkan aplikasi apa.

“Mungkin sederas air matamu nanti malam.”

Kau mengangkat kepala, memandangiku dengan kedua mata berwarna coklat tua, coklat tua yang menyerupai hitam hingga butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan warna matamu yang sebenarnya.

“Siapa yang bilang aku bakal nangis nanti malam?”

“Jadi penolakanku tidak berpengaruh banyak padamu?”

Kau tertawa, sambil menggenggam handphone layar sentuh kau tutupi bibirmu. “Tidak sia-sia aku bersamamu beberapa tahun ini.”

“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, Ya. Sebuah hubungan yang akhirnya berakhir sekalipun.”

Jawaban itu membawa hening diantara kita, disela dengan suara keriuhan penikmat taman yang mulai berlari kesana kemari. Hujan. Sekedar rintik tapi bisa membuat manusia kalang kabut.

Aku mengulurkan tangan memastikan sederas apa air langit yang tumpah, memperhatikan langit gelap yang berarak-arak. Hanya orang bodoh yang akan tinggal lebih lama untuk kehujanan.

“Ya, kita berteduh atau pulang?”

“Kamu mau mengantarku pulang?”

“Kenapa tidak?”

“Kalau aku minta kamu untuk mengantarku ke bandara besok kamu juga mau?”

Aku memandangi perempuan di hadapanku dengan alis yang terangkat. Tak biasanya kau bertanya seperti ini, yang biasa ia lakukan hanya memintaku melakukan sesuatu tanpa persetujuan dan jika senggang kuturuti saja permintaanya.

“Kebetulan aku kosong sih. Nggak masalah,” tanganku meraih tas punggung dengan cepat sebelum menarik tanganmu menuju mobil yang terparkir manis di sebrang jalan, setelah membukakan pintu untukmu dengan berlari kecil kubuka pintu untuk diri sendiri, menghindari air langit yang mulai tumpah ruah tak terkendali.

“Ah parah hujannya deras ternyata,” kukibas-kibaskan lengan baju yang basah terkena hujan, menghidupkan mesin dan memperhatikanmu yang masih memalingkan wajah, menatap jendela mobil dan hujan diluar sana.

“Berarti nanti malam aku nangisnya parah banget ya, Di?”

“Ha?” aku mengangkat alis, mengenakan seat belt hujan membuat konsentrasiku menurun. Sama seperti perhatianku padamu yang jauh menurun dibandingkan beberapa tahun lalu.

“Tadi kamu yang bilang kan, soal sederas apa hujan kali ini.”

Kubiarkan mesin mobil menyala tanpa berniat untuk segera memacu mobil meninggalkan lokasi. Mataku memperhatikan raut wajahmu, tangan yang bersandar pada sisi pintu, mata yang memberi perhatian penuh pada hujan.

Jika orang-orang bilang hujan membuat seseorang menjadi sendu aku bisa melihat hal itu pada dirimu.

“Kau mau pulang kapan?”

“Nanti.”

Aku mengangkat bahu, menurut saja. Menghidupkan radio menjadi satu-satunya alternatif pemecah sepi. Kau tak ingin bicara aku pun tak bisa menghiburmu.

“Apa yang membuatmu berubah pikiran?”

“Soal apa?”

Beberapa kali kuganti frekuensi radio sebelum kau meminta untuk berhenti. Berita. Kau memang paling pintar memilih untuk tidak menambah beban dalam emosimu.

“Semua orang akan meninggalkan kita?”

“Ah itu—“ kau memutar volume radio membiarkan suara penelepon yang mengeluhkan kemacetan di sebuah ruas jalan terdengar sayup-sayup saja. “Kamu tidak meninggalkanku.”

“Aku bukan pengecualian, Ya. Kebetulan saja aku masih bertahan sampai saat ini.”

“Kalau begitu,” kau mencari-cari sesuatu di dahsboard yang jelas tak akan kau temukan. Aku yakin kau sudah berkali-kali melihat isi dashboard mobilku yang tak pernah benar-benar membantumu untuk mengalihkan perhatian. “Seperti jawabanmu tadi, tidak ada yang sia-sia sekalipun hubungan kita akan berakhir suatu hari nanti, sekalipun kau meninggalkanku suatu saat nanti.”

Aku tersenyum, membiarkan suara klik dahsboard dan gerakanmu yang memutar kembali volume radio. Aku tahu kau malu dari caramu mengalihkan perhatian, dari caramu membuang muka, mengembalikan perhatian penuh pada hujan yang semakin deras saja.

“Inikah penolakan pertamamu?”

“Bukan, ini yang kedua.”

“Oh ya? Siapa yang menolakmu sebelum ini?”

“Kamu juga kan?”

Kau berpaling ketika aku mengerutkan dahi, mempertanyakan penjelasan yang sepertinya berhenti di tenggorokanmu lalu tersimpan kembali ketika kau memalingkan wajah.

“Ah sudahlah itu masa lalu.”

“Kapan memangnya?”

Kau berpaling kembali, jari telunjukmu terangkat ke atas seperti guru yang ingin menjelaskan sesuatu, sebelum kau telan kembali katamu dan berpaling.

Ciri-ciri paling khas darimu ketika ragu akan bercerita atau tidak. Tapi akhirnya selalu tertebak olehku.

“Dulu waktu aku ajak kamu buat ke rumah. Waktu itu aku mau ngenalin kamu ke mama. Soalnya mama penasaran sama kamu.”

Aku tersenyum, bahkan tertawa hingga membuatmu kembali berpaling dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Menggodamu adalah hal yang menyenangkan, walaupun jarang bisa berhasil dan malah membuatku menjadi pihak yang diolok-olok.

“Kenapa kau berpikir bahwa aku akan menerimamu?”

“Entahlah,” kau tidak berpaling, tetap menikmati aliran air di jendela yang sempat menempel lalu jatuh entah kemana, membentuk sungai-sungai kecil. “Dulu kau pernah menyukaiku kan?”

“Itu dulu, Ya.”

“Itu dulu, ya?”

“Sebenarnya sekarang pun masih.”

Kau berpaling memperhatikanku dengan sudut mata, menunggu kelanjutan kalimat yang kugantung entah dimana. Jika menerimamu bukan jawaban yang tepat, menolakmu pun tak terasa pas lalu apa yang sebenarnya ingin aku katakan.

Kau menundukkan kepala, lalu menghela napas dan tersenyum padaku. Senyum yang membuat matamu tampak lebih sipit, senyum yang memamerkan lesung pipit di salah satu sisi, lesung yang katamu muncul karena luka.

“Sudahlah. Besok kau harus mengantarku ke bandara. Setelah itu jangan lupa menghubungiku setiap hari, kalau absen sehari saja—“ kau membunyikan buku-buku jari membuatku tertawa mengiyakan saja, kau kadang seolah tak terbantahkan padahal membuatmu luluh adalah hal yang mudah. Itu yang kupelajari setelah bertahun-tahun mengenalmu.

“Tenang saja nona Aya.”

Kau mengangguk-anggukkan kepala, tampak puas dengan jawabanku. Sedetik kemudian kau memintaku melajukan kendaraan meninggalkan kawasan parkir yang sunyi dan taman yang kosong tertimpa hujan.

“Di, mama masih penasaran sama kamu. Besok mau ketemu sama mama dulu nggak sebelum nganter aku ke Bandara?”

“Boleh sih. Terus kamu mau ngenalin aku sebagai apa?”

Kau menoleh, aku hanya memandangimu dengan ujung mata, memperhatikan senyum yang terkulum dan tawa khas yang kemudian terlepas memenuhi seisi mobil.

“Kamu yang harusnya mikir besok mau ngenalin diri sebagai apa.”


NB : Kaku sekali rasanya setelah sekian lama membiarkan blog ini berdebu ...
 Sepertinya kurang membaca benar-benar mengurangi kemampuan menulis. 




0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang