“Jika perkenalan
singkat saja bisa membuatmu jatuh cinta, bagaimana dengan perkenalan yang telah
berlalu lama satu minggu penuh, satu bulan penuh, satu tahun penuh.”
“364 hari?”
“365 hari.”
Ralatku
menimbulkan tawa bagimu.
“Tapi aku heran deh,
kamu nggak memilih yang lama kenal denganmu, seolah ada yang salah dengan orang
itu dan kamu lebih memilih orang yang baru kamu temui beberapa hari lalu secara
tidak sengaja.”
Sahabatku itu
kembali tertawa. Mengangkat bahu. “Kuantitas tak menjamin kualitas kan. Siapa yang
tahu orang yang aku kenal lama akan lebih baik yang baru aku kenal?”
“Tapi kan—“ aku
menggaruk kepala yang tak gatal. “Gimana ya, kan kamu udah kenal lebih lama,
udah tau busuk-busuknya gimana, daripada yang ini, yang baru kamu temui satu minggu
lalu mana kamu tahu dia hobinya ngupil pakai jari apa.”
“Heh—“ sebuah katalog
melayang ke wajahku, menimbulkan suara tawa yang tersendat-sendat dariku tawa
khas yang jika ditiru terdengar jelek sekali. “Ngapain aku tahu soal dia ngupil
pakai jari apa. Aku juga nggak tahu Andre kalau ngupil pake jari apa.”
“Masak? Kamu
nggak tahu? Kalian kan deketnya udah lama, kalian sahabat karib kan?”
“Ya iya sih—“
sahabatku berbaring memeluk bantal bertotol-totol hitam putih yang sering kami
perdebatkan bermotif sapi atau dalmatian. “Tapi kami jarang ketemu, ngobrol
doang yang sering.”
Aku
mengangguk-anggukkan kepala, tangan kanan meraih gelas air minum, mata melirik
ke arah sahabat yang sedang membuka handphone layar sentuhnya, menangkap
segaris senyum di wajahnya yang berubah ketika ia mematikan sinar di layar. Aku
berani bertaruh itu bukan pacar barunya.
“Siapa? Andre.”
Dia menganggukkan
kepala. “Biasalah dia kan kalau lagi nggak ada kerjaan ngehubunginnya aku.”
Kuanggukkan
kepala sebagai tanda mengerti, tanganku yang lain meraih katalog sebuah MLM di
atas meja sementara mengembalikan gelas yang tandas isinya. Disaat membalik
setiap halaman dengan jari yang kadang disentuhkan ke lidah ketika halamannya
terlalu sulit dibalik kutemukan beberapa lipatan di sudut halaman, penanda yang
tampak salah tempat.
“Kok dibagian
dompet cowok, kamu mau beliin buat siapa?”
Sahabatku
terdiam, hanya menatap langit-langit tanpa menjawab, sekilas kulihat dia mempererat
pelukannya pada bantal yang masih diperdebatkan motifnya itu.
“Andre ya?”
Tak ada jawaban,
kuanggap iya.
Sahabatku itu
memiliki seorang sahabat laki-laki yang disebutnya sebagai teman akrab yang
terlalu akrab, hingga setiap orang mengira mereka akan sangat cocok menjadi
sepasang kekasih, sahabat yang menjadi sepasang kekasih, banyak kisah yang
begitu.
“Ya anggap aja kamu
menemukan kisah yang berbeda kali ini.”
“Tapi—“ kuhindari
sebuah tiang yang sempat memisahkan kami sedetik sebelum kembali berjalan
berdampingan lagi. “Kalian kelewat mesra buat jadi sahabat. Kalian berdua
bukannya udah berapa kali yang, yangan?”
“Biasa kalau dia
lagi iseng.”
“Jalan bareng?”
“Setiap kali dia
balik kesini dia ngajak jalan sih.”
“Telpon-telponan?”
“Paling lama 1
jam setengah itu pun keputus gara-gara dia kebelet boker.”
Aku terhenti
sejenak, mengira-ngira hubungan apa yang sebenarnya akan berlanjut diantara
mereka. Sahabatku pun menghentikkan langkahnya.
“Jangan-jangan
salah satu dari kalian sebenarnya suka tapi—“
Dia tertawa,
sahabatku itu tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mana mungkin, aku
kan punya Yanuar.”
“Aku bahkan nggak
bilang itu kamu kan?”
Beberapa detik
tak ada yang melanjutkan pembicaraan aku memilih untuk mengangkat bahu, sambil
menarik lengannya, berusaha menepis kegamangan di dalam hatinya yang tampak
jelas dalam gerakan matanya, menghindari kecurigaanku.
Itu beberapa
bulan lalu sebelum ia memutuskan Yanuar dan menerima Riko.
“Komentarnya si
Andre begitu tahu kamu jadian lagi?”
“Biasalah dia
ketawa terus ngajak aku taruhan, yang ini bakal bertahan berapa lama.”
“Dia taruhan buat
berapa bulan.”
“Boro-boro bulan,”
tangannya menepuk udara. “Dia bilang 2-3 minggu doang coba.”
“Aku ikut taruhan
deh. 1 bulan.”
“Heh—“
“Dulu kamu sama
Yanuar juga segitu kan?”
“Ya emang, tapi
kan—“
“Tapi apa?”
“Tapi Yanuar kan
nyebelin, nyebelin banget ternyata, makanya aku putusin. Kalau Riko ini anaknya
asik kok, asik banget.”
Aku
mengangguk-anggukkan kepala, setuju-setuju saja, perkatannya sama saja dengan
beberapa bulan lalu tinggal mengganti Yanuar dengan mantannya sebelum sebelum
ini dan Riko dengan nama Yanuar.
“Kamu heran nggak
kenapa kamu suka gonta-ganti pacar?”
Dia mengangkat
bahu. “Entahlah.”
“Karena kamu
sebenarnya suka sama Andre tapi nggak bisa dapetin dia makanya kamu lampiaskan
ke orang lain.”
Hening. Aku memperhatikan
ekspresi sahabatku, datar di awal dan tawa kerasnya di akhir, aku sempat
mengingat-ingat apakah dia pernah tertawa selebar dan sekeras itu sebelumnya. Tak
pernah. Dia terlalu kaget dengan tebakanku yang tepat sasaran mungkin, dia
terlalu terkejut sampai tak bisa mengontrol diri, mungkin setelah ini dia akan
membuat pengakuan.
“Astaga—, kamu
lapar ya? Yuk kita makan di bawah.”
Aku menepuk
jidatnya sebelum membuka pintu meninggalkan suara penuh protes yang ia
lontarkan.
**
Menginjak 6 bulan
hubungan Riko dan sahabatku. Sebuah keajaiban yang jarang terjadi dalam diri
sahabatku semenjak ia menjalin hubungan semasa semester 1 bangku perkuliahan,
hubungannya biasanya hanya kurang dari umur jagung, 1-3 bulan dengan jeda
paling lama 1 tahun.
“Akhirnya bisa
dapat hadiah taruhan juga.”
“Nggakpapa nih
aku ikutan?” tanyaku ragu menerima semangkuk mie ayam yang sudah dihidangkan
dengan harum yang menggoda perut, sempat kudengar sayup sayup suara perut yang
kuharap tak didengar oleh siapapun.
“Nggakpapa,
nggakpapa. Santai ajalah.”
Laki-laki yang duduk
dihadapanku bernama Andre, sahabat dari sahabatku. Aku baru pertama kali
bertemu dengannya hingga kebiasaan anehnya ketika makan membuat dahiku
mengkerut-kerut, seperti saat ia menuangkan saos tomat berlebih-lebih hingga
membuat kuah mie ayam nyaris meluap.
“Hih! Saosnya,”
sahabatku bergidik ngeri melihat warna oranye bercampur gelapnya kuah mie ayam.
“Nggak sehat banget sih.”
“Biarin,”
jawabnya acuh yang memicu tawaku.
“Oh ya, Pon.”
Aku mengangkat
kepala, meneleng heran, hanya orang-orang terdekat yang biasanya memanggilku
seperti itu.
“Kalau aku cerita
soal kamu aku nyebut kamu Pon,” sahabatku menjelaskan sebelum menyeruput mie
ayamnya dengan nikmat. Aku mengangguk-anggukkan kepala mengerti.
“Kenapa emangnya?”
tanya Andre tak mengerti. “Itu panggilan sayang cuma diantara kalian berdua ya?”
“Nggak-nggak,
jarang aja aku dipanggil kayak gitu selain sama si Cencen atau keluarga deket.”
Dia
mengangguk-anggukan kepala. “Pon, habis ini bisa nemenin aku bentar mau nyari
kado buat adekku. Si Cencen nggak bisa nemenin soalnya.”
“Eh?”
“Aku mau jalan
sama Riko, ngerayain 6 bulanan.”
“Oh—“ aku menoleh
kembali ke Andre. “Kapan?”
“Langsung aja.
Gimana?”
“Ya, ayo aja sih.”
**
Andre adalah
orang yang cerewet, dia sibuk menyerbuku dengan berbagai macam pertanyaan yang
membuat obrolan diantara kami cair begitu saja, menyelamatkanku yang sulit
memulai pembicaraan, membuatku larut dalam tawa. Tak heran jika Cencen nyaman
bersamanya.
“Adekmu
ulangtahun kapan memangnya?”
“Masih 1 tahun
lagi,” jawabnya sambil melihat-lihat beberapa dompet perempuan di etalase. Pertanyaanku
tergantung di udara, menunggu ia meminta penjaga toko mengeluarkan dompet
berwarna cream keluar dari etalase.
“Lha kok beli
sekarang?”
“Buat Cencen.”
“Ah ya—“ aku
menepuk dahiku sendiri.
“Bener kata
Cencen, kamu payah mengingat tanggal ya Pon?” dia menunjukkan dompet warna cream yang aku jawab dengan gelengan
kepala, warna seperti itu rentan dengan noda.
“Pas ulangtahunmu
dia beliin kamu dompet juga kan Ndre?”
“Ya begitulah.”
“Kamu pake?”
Andre
menganggukkan kepala sembari menunjuk dompet lain di etalase, memintanya untuk
dikeluarkan.
Aku terdiam,
memperhatikan raut serius Andre memilih kado. Penting sekali sepertinya.
“Kalian udah
kenal lama kan?”
“Lumayan dari SMA
sih.”
“Terus menurutmu
kenapa dia nggak milih kamu?”
Gerakan Andre
terputus di udara, seolah ada tombol pause dalam perkataanku. Sedetik dia melirikku
dengan tatapan apa-yang-sedang-kau-tanyakan.
Aku menutup
mulut, menepuk dahi berkali-kali, mendesis menyesali pertanyaan bodoh yang
kulontarkan. Kebiasaan buruk.
“Cencen pernah
cerita katanya kamu juga pernah ngira dia suka sama aku.”
“Ah itu—“ aku
mengibas-ngibas angin, menepis kebodohan yang kubuat. “Namanya juga sok tahu.”
“Ya memang sih
aku cakep, nyebelin tapi bikin naksir juga jadi—“
Tawa hambarku
terdengar lirih, memintanya menghentikan pujian yang ia tujukan untuk dirinya
sendiri.
Kami tak
menemukan dompet yang tepat untuk Cencen, mengingat seleranya yang sedikit
sulit aku pun sedikit selektif dalam memilih, langkahku dan langkahnya hendak
berlanjut keluar dari toko sebelum mataku menangkap Cencen dan Riko tak jauh
dari tempat kami berdiri, hendak kusampaikan apa yang kulihat pada Andre
sebelum kutangkap tatapan mata Andre yang lurus ke arah Cencen yang sedang
tertawa dan bergandengan tangan bersama Riko.
Aku tak menemukan
kegamangan dalam tatapan itu, hanya tatapan yang lurus dengan pikiran yang
tampak penuh.
“Jika perkenalan
singkat saja bisa membuatku jatuh cinta, bagaimana dengan perkenalan yang telah
berlalu lama satu minggu penuh, satu bulan penuh, satu tahun penuh.”
“Ha?”
“Cencen yang
bilang kayak gitu ke aku.”
Dahiku
berkerut-kerut seperti kain kusut. Tak akan lagi kucoba memahami perasaan
mereka berdua.
0 komentar :
Posting Komentar