Selasa, 09 September 2014

Rumit


“Jika perkenalan singkat saja bisa membuatmu jatuh cinta, bagaimana dengan perkenalan yang telah berlalu lama satu minggu penuh, satu bulan penuh, satu tahun penuh.”

“364 hari?”

“365 hari.”

Ralatku menimbulkan tawa bagimu.

“Tapi aku heran deh, kamu nggak memilih yang lama kenal denganmu, seolah ada yang salah dengan orang itu dan kamu lebih memilih orang yang baru kamu temui beberapa hari lalu secara tidak sengaja.”

Sahabatku itu kembali tertawa. Mengangkat bahu. “Kuantitas tak menjamin kualitas kan. Siapa yang tahu orang yang aku kenal lama akan lebih baik yang baru aku kenal?”

“Tapi kan—“ aku menggaruk kepala yang tak gatal. “Gimana ya, kan kamu udah kenal lebih lama, udah tau busuk-busuknya gimana, daripada yang ini, yang baru kamu temui satu minggu lalu mana kamu tahu dia hobinya ngupil pakai jari apa.”

“Heh—“ sebuah katalog melayang ke wajahku, menimbulkan suara tawa yang tersendat-sendat dariku tawa khas yang jika ditiru terdengar jelek sekali. “Ngapain aku tahu soal dia ngupil pakai jari apa. Aku juga nggak tahu Andre kalau ngupil pake jari apa.”

“Masak? Kamu nggak tahu? Kalian kan deketnya udah lama, kalian sahabat karib kan?”

“Ya iya sih—“ sahabatku berbaring memeluk bantal bertotol-totol hitam putih yang sering kami perdebatkan bermotif sapi atau dalmatian. “Tapi kami jarang ketemu, ngobrol doang yang sering.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala, tangan kanan meraih gelas air minum, mata melirik ke arah sahabat yang sedang membuka handphone layar sentuhnya, menangkap segaris senyum di wajahnya yang berubah ketika ia mematikan sinar di layar. Aku berani bertaruh itu bukan pacar barunya.

“Siapa? Andre.”

Dia menganggukkan kepala. “Biasalah dia kan kalau lagi nggak ada kerjaan ngehubunginnya aku.”

Kuanggukkan kepala sebagai tanda mengerti, tanganku yang lain meraih katalog sebuah MLM di atas meja sementara mengembalikan gelas yang tandas isinya. Disaat membalik setiap halaman dengan jari yang kadang disentuhkan ke lidah ketika halamannya terlalu sulit dibalik kutemukan beberapa lipatan di sudut halaman, penanda yang tampak salah tempat.

“Kok dibagian dompet cowok, kamu mau beliin buat siapa?”

Sahabatku terdiam, hanya menatap langit-langit tanpa menjawab, sekilas kulihat dia mempererat pelukannya pada bantal yang masih diperdebatkan motifnya itu.

“Andre ya?”

Tak ada jawaban, kuanggap iya.

Sahabatku itu memiliki seorang sahabat laki-laki yang disebutnya sebagai teman akrab yang terlalu akrab, hingga setiap orang mengira mereka akan sangat cocok menjadi sepasang kekasih, sahabat yang menjadi sepasang kekasih, banyak kisah yang begitu.

“Ya anggap aja kamu menemukan kisah yang berbeda kali ini.”

“Tapi—“ kuhindari sebuah tiang yang sempat memisahkan kami sedetik sebelum kembali berjalan berdampingan lagi. “Kalian kelewat mesra buat jadi sahabat. Kalian berdua bukannya udah berapa kali yang, yangan?”

“Biasa kalau dia lagi iseng.”

“Jalan bareng?”

“Setiap kali dia balik kesini dia ngajak jalan sih.”

“Telpon-telponan?”

“Paling lama 1 jam setengah itu pun keputus gara-gara dia kebelet boker.”

Aku terhenti sejenak, mengira-ngira hubungan apa yang sebenarnya akan berlanjut diantara mereka. Sahabatku pun menghentikkan langkahnya.

“Jangan-jangan salah satu dari kalian sebenarnya suka tapi—“

Dia tertawa, sahabatku itu tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mana mungkin, aku kan punya Yanuar.”

“Aku bahkan nggak bilang itu kamu kan?”

Beberapa detik tak ada yang melanjutkan pembicaraan aku memilih untuk mengangkat bahu, sambil menarik lengannya, berusaha menepis kegamangan di dalam hatinya yang tampak jelas dalam gerakan matanya, menghindari kecurigaanku.
Itu beberapa bulan lalu sebelum ia memutuskan Yanuar dan menerima Riko.

“Komentarnya si Andre begitu tahu kamu jadian lagi?”

“Biasalah dia ketawa terus ngajak aku taruhan, yang ini bakal bertahan berapa lama.”

“Dia taruhan buat berapa bulan.”

“Boro-boro bulan,” tangannya menepuk udara. “Dia bilang 2-3 minggu doang coba.”

“Aku ikut taruhan deh. 1 bulan.”

“Heh—“

“Dulu kamu sama Yanuar juga segitu kan?”

“Ya emang, tapi kan—“

“Tapi apa?”

“Tapi Yanuar kan nyebelin, nyebelin banget ternyata, makanya aku putusin. Kalau Riko ini anaknya asik kok, asik banget.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala, setuju-setuju saja, perkatannya sama saja dengan beberapa bulan lalu tinggal mengganti Yanuar dengan mantannya sebelum sebelum ini dan Riko dengan nama Yanuar.

“Kamu heran nggak kenapa kamu suka gonta-ganti pacar?”

Dia mengangkat bahu. “Entahlah.”

“Karena kamu sebenarnya suka sama Andre tapi nggak bisa dapetin dia makanya kamu lampiaskan ke orang lain.”

Hening. Aku memperhatikan ekspresi sahabatku, datar di awal dan tawa kerasnya di akhir, aku sempat mengingat-ingat apakah dia pernah tertawa selebar dan sekeras itu sebelumnya. Tak pernah. Dia terlalu kaget dengan tebakanku yang tepat sasaran mungkin, dia terlalu terkejut sampai tak bisa mengontrol diri, mungkin setelah ini dia akan membuat pengakuan.

“Astaga—, kamu lapar ya? Yuk kita makan di bawah.”

Aku menepuk jidatnya sebelum membuka pintu meninggalkan suara penuh protes yang ia lontarkan.

**

Menginjak 6 bulan hubungan Riko dan sahabatku. Sebuah keajaiban yang jarang terjadi dalam diri sahabatku semenjak ia menjalin hubungan semasa semester 1 bangku perkuliahan, hubungannya biasanya hanya kurang dari umur jagung, 1-3 bulan dengan jeda paling lama 1 tahun.

“Akhirnya bisa dapat hadiah taruhan juga.”

“Nggakpapa nih aku ikutan?” tanyaku ragu menerima semangkuk mie ayam yang sudah dihidangkan dengan harum yang menggoda perut, sempat kudengar sayup sayup suara perut yang kuharap tak didengar oleh siapapun.

“Nggakpapa, nggakpapa. Santai ajalah.”

Laki-laki yang duduk dihadapanku bernama Andre, sahabat dari sahabatku. Aku baru pertama kali bertemu dengannya hingga kebiasaan anehnya ketika makan membuat dahiku mengkerut-kerut, seperti saat ia menuangkan saos tomat berlebih-lebih hingga membuat kuah mie ayam nyaris meluap.

“Hih! Saosnya,” sahabatku bergidik ngeri melihat warna oranye bercampur gelapnya kuah mie ayam. 
“Nggak sehat banget sih.”

“Biarin,” jawabnya acuh yang memicu tawaku.

“Oh ya, Pon.”

Aku mengangkat kepala, meneleng heran, hanya orang-orang terdekat yang biasanya memanggilku seperti itu.

“Kalau aku cerita soal kamu aku nyebut kamu Pon,” sahabatku menjelaskan sebelum menyeruput mie ayamnya dengan nikmat. Aku mengangguk-anggukkan kepala mengerti.

“Kenapa emangnya?” tanya Andre tak mengerti. “Itu panggilan sayang cuma diantara kalian berdua ya?”

“Nggak-nggak, jarang aja aku dipanggil kayak gitu selain sama si Cencen atau keluarga deket.”

Dia mengangguk-anggukan kepala. “Pon, habis ini bisa nemenin aku bentar mau nyari kado buat adekku. Si Cencen nggak bisa nemenin soalnya.”

“Eh?”

“Aku mau jalan sama Riko, ngerayain 6 bulanan.”

“Oh—“ aku menoleh kembali ke Andre. “Kapan?”

“Langsung aja. Gimana?”

“Ya, ayo aja sih.”
**

Andre adalah orang yang cerewet, dia sibuk menyerbuku dengan berbagai macam pertanyaan yang membuat obrolan diantara kami cair begitu saja, menyelamatkanku yang sulit memulai pembicaraan, membuatku larut dalam tawa. Tak heran jika Cencen nyaman bersamanya.

“Adekmu ulangtahun kapan memangnya?”

“Masih 1 tahun lagi,” jawabnya sambil melihat-lihat beberapa dompet perempuan di etalase. Pertanyaanku tergantung di udara, menunggu ia meminta penjaga toko mengeluarkan dompet berwarna cream keluar dari etalase.

“Lha kok beli sekarang?”

“Buat Cencen.”

“Ah ya—“ aku menepuk dahiku sendiri.

“Bener kata Cencen, kamu payah mengingat tanggal ya Pon?” dia menunjukkan dompet warna cream yang aku jawab dengan gelengan kepala, warna seperti itu rentan dengan noda.

“Pas ulangtahunmu dia beliin kamu dompet juga kan Ndre?”

“Ya begitulah.”

“Kamu pake?”

Andre menganggukkan kepala sembari menunjuk dompet lain di etalase, memintanya untuk dikeluarkan.

Aku terdiam, memperhatikan raut serius Andre memilih kado. Penting sekali sepertinya.

“Kalian udah kenal lama kan?”

“Lumayan dari SMA sih.”

“Terus menurutmu kenapa dia nggak milih kamu?”

Gerakan Andre terputus di udara, seolah ada tombol pause dalam perkataanku. Sedetik dia melirikku dengan tatapan apa-yang-sedang-kau-tanyakan.

Aku menutup mulut, menepuk dahi berkali-kali, mendesis menyesali pertanyaan bodoh yang kulontarkan. Kebiasaan buruk.

“Cencen pernah cerita katanya kamu juga pernah ngira dia suka sama aku.”

“Ah itu—“ aku mengibas-ngibas angin, menepis kebodohan yang kubuat. “Namanya juga  sok tahu.”

“Ya memang sih aku cakep, nyebelin tapi bikin naksir juga jadi—“

Tawa hambarku terdengar lirih, memintanya menghentikan pujian yang ia tujukan untuk dirinya sendiri.

Kami tak menemukan dompet yang tepat untuk Cencen, mengingat seleranya yang sedikit sulit aku pun sedikit selektif dalam memilih, langkahku dan langkahnya hendak berlanjut keluar dari toko sebelum mataku menangkap Cencen dan Riko tak jauh dari tempat kami berdiri, hendak kusampaikan apa yang kulihat pada Andre sebelum kutangkap tatapan mata Andre yang lurus ke arah Cencen yang sedang tertawa dan bergandengan tangan bersama Riko.

Aku tak menemukan kegamangan dalam tatapan itu, hanya tatapan yang lurus dengan pikiran yang tampak penuh.

“Jika perkenalan singkat saja bisa membuatku jatuh cinta, bagaimana dengan perkenalan yang telah berlalu lama satu minggu penuh, satu bulan penuh, satu tahun penuh.”

“Ha?”

“Cencen yang bilang kayak gitu ke aku.”

Dahiku berkerut-kerut seperti kain kusut. Tak akan lagi kucoba memahami perasaan mereka berdua.


0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang