“Silahkan isi
buku tamunya.”
Aku berusaha
untuk tetap memasang senyum paling manis sekalipun pendingin udara tidak
membantu mengusir rasa gerah dalam ruangan yang dipadati orang-orang. Mataku melirik
salah satu sepupu mempelai wanita yang beberapa kali menghela napas setelah
memberikan sovenir pernikahan pada tamu yang datang, kurasa dia merasakan
perasaan yang sama denganku.
“Silahkan isi—“
kuhentikan kalimat di udara ketika melihat pemilik wajah yang menjadi salah
satu penyebab semua rasa lelah ini. Putri berdiri menggenggam tas tangan yang berwarna
senada dengan kebaya yang dikenakannya, aku yakin warna sepatunya pun sama
dengan warna tasnya. Biru muda.
“Ngapain kesini?”
Dia tertawa,
tampak puas sekali melihatku dan titik-titik keringat yang bisa jadi merusak
riasan. Seharusnya dia yang menjadi penerima tamu hari ini, maka kukutuk
dirinya yang menjadikan perjalanan dinas sebagai alasan untuk mengoper tugas.
“Jangan salahin
aku dong. Salahin si mempelai wanita tuh, dia yang nyuruh aku buat minta kamu
jadi pengganti penerima tamu.”
“Tadi dia udah
bilang juga,” aku tersenyum pada sepasang suami isteri yang tampak ragu ingin
mengisi buku tamu, “Silahkan Bu, Pak, buku tamunya diisi dulu.”
“Pfft—“
Putri menahan
tawanya, bisa kudengar itu dengan jelas, kulirik dia dengan ujung mata
memintanya menjelaskan maksud tawanya itu.
“Maaf-maaf. Kamu
minta gantiin orang lain dulu gih, aku mau ngobrol sebentar sama kamu.”
“Kenapa nggak
kamu yang gantiin aku aja dulu Put, ini kan tugas kamu.”
“Yee—jangan lah
gimana caranya kita ngobrol kalau aku sibuk ngatur senyum kayak kamu.”
Kuhela napas,
sebenarnya tidak enak juga kalau harus meminta sepupu mempelai wanita yang lain
untuk menjaga tempat ini tapi—kulirik Putri yang masih menunggu, keberadaannya yang
berdiri di dekat pintu jelas-jelas mengganggu— “Dek, aku istirahat sebentar ya,
habis ini kita gantian deh.”
“Eh, nggakpapa
mbak, nggakpapa,” ujarnya berkali-kali, sejak awal memang keberadaanku dianggap
sangat membantu dan malah menimbulkan rasa tidak enak dari pihak keluarga
mempelai wanita. Tapi apa boleh buat kami sudah berjanji di masa kuliah dulu,
jika ada yang menikah diantara kami bertiga maka yang lain harus mau
bantu-bantu tenaga.
Setelah
meninggalkan meja penerima tamu dengan mengenakan kain batik dan sepatu hak
tinggi kulangkahkan kakiku terseok-seok.
“Heh! Percuma
kamu pakai pakaian anggun kayak gini kalau jalanmu kayak gitu, langkahnya biasa
aja dong. Kayak mau jalan sehat aja,” Putri menegurku di tengah perjalanan kami
menuju spot es buah. Kudecakkan lidah, melangkah mengabaikannya.
Langkah kakiku
terhenti di depan meja yang menyajikan minuman, segera kuraih segelas es buah
yang langsung kunikmati tanpa pikir panjang, duduk terlalu lama membuatku tak
ingin menikmati kursi tamu sekalipun. Setelah meneguk sirup berwarna hijau
tanpa memikirkan buah yang tertinggal kutarik napas lega. Mungkinkah ini surga
dunia.
“Nggak enak
banget ya jadi penerima tamu, itu es buah jadi keliatan nikmat luar biasa waktu
kamu minum.”
“Capek Put.
Capek. Senyum mulu— dan entah kenapa dingin AC nya nggak sampai tempatku.”
“Senyum aja
capek.”
“Ya capek lah,
setengah hari lho, setengah hari—“ kutunjuk-tunjuk jam tangan yang kukenakan di
lengan kiri. “Mau ngobrolin apa sih Put, nggak enak aku sama sepupunya Anggi
kalau kelamaan.”
“Santai, habis
ini aku nggantiin kamu kok. Ini aku mau nemenin kamu rehat aja.”
Kuisi kembali
gelas yang telah tandas isinya, kali ini dengan komposisi buah yang banyak sekali
dan air yang sedikit saja. “Penebusan rasa bersalah kah?”
“Bisa dibilang
begitu. Eh lihat tuh si Anggi, bahagia banget keliatannya.”
Kupalingkan wajah
ke arah yang ditunjukkan oleh Putri. Hari ini Anggi berdiri di sebelah
laki-laki yang ia taksir sejak semester 1 di perkuliahan, laki-laki yang kukira
hanya akan menjadi satu dari beberapa laki yang sempat ia taksir tanpa bisa
berlanjut ke hubungan yang lebih serius. Ya, perkiraanku memang sering salah.
“Inget nggak dulu
pas si Anggi minta nomor hanpdhone si Tio, terus kirim sms ke dia pertama kali.”
“Inget lah, orang
dia mintanya bareng kita. Smsnya juga pas ada kita berdua,” kukunyah beberapa
potong buah yang baru saja kumasukkan ke dalam mulut, “dia heboh banget pas itu
kan.”
“Heh telan dulu
baru ngomong.”
Kuanggukkan kepala
dan tertawa singkat, “Heboh banget sampai kita ikutan heboh, siapa kira
sekarang cowok yang bahkan Anggi tahu namanya melalui orang lain itu bisa jadi mempelai
prianya hari ini?”
“Padahal waktu
itu sms pertama mereka juga nggak terlalu penting, bentar-bentar tapi aku lupa
persisnya tentang apa.”
“Tentang dosen
bukan sih?”
“Nah! Penting nggak?”
“Nggak,”
kugelengkan kepala sambil tertawa. “Tapi beberapa hal penting berasal dari hal
nggak penting kan.”
Putri
mengangguk-anggukan kepala, kedua tangannya terlipat di depan dada. Dalam hening
kuperhatikan wajah Anggi yang berseri-seri ketika seseorang menyalami dan
mengucapkan selamat padanya, kurasa aku dan Anggi pun mengalami rasa lelah yang
sama, bedanya lelah di diri Anggi pasti lenyap tak berbekas, bahkan tak terasa.
“Kayaknya
jilbabnya si Anggi ribet banget tuh, butuh berapa pentul?”
“Mana aku tahu
Put. Tadi aja aku telat dan di dandanin sekedarnya.”
Putri berpaling memperhatikanku
sekejap. “Pantes aja masih keliatan itemnya.”
“Sialan nih
bocah,” kusentuh cepat pinggang Putri hingga sahabatku itu menggeliat tanda
protes dan membuatku tertawa terbahak-bahak. Kelemahannya yang paling fatal
memang sudah kukenali sejak lama.
“Tapi beneran, aku
masih ngerasa ajaib banget. Setelah sms pertama itu pun si Anggi nggak jadi
deket kan sama si Tio,” Putri melanjutkan kembali obrolan mengenai sejarah Tio
dan Anggi yang entah bagaimana masih kuanggap sebagai bentuk keajaiban dan
anugrah Anggi sebagai anak soleh—berlebihan memang tapi apakah semua orang bisa
mendapatkan laki-laki yang dia sukai tanpa perlu menempel-nempel seperti
perangko.
“Nggak sih, orang
mereka sempat lost contact. Baru mulai
kontak lagi kapan gitu, kayaknya menjelang lulus deh.”
“Dan ajaibnya
yang ngontak si Tio nya dulu.”
“Heran aku,
tiba-tiba banget. Mungkin si Tio habis shalat Istikharah terus dapat ilham
kalau si Anggi jodohnya.”
“Ya iya kali—“
aku menyenggol bahu Putri dan kembali memperhatikan kedua mempelai yang sempat
mengobrol sejenak. Tangan Tio menggenggam tangan Anggi dan mereka tertawa entah
menertawakan apa, bahkan Anggi tak melepaskan tangannya ketika membalas
lambaian Putri dan melalui isyarat yang diberikannya kami diminta untuk
menghampiri mereka.
Ingatanku kembali
ke saat Tio dan Anggi bertemu di kantin kampus, pertemuan mereka terjadi dengan
alasan Tio membutuhkan ucapan ulangtahun sebagai hadiah untuk temannya dan
kebetulan sekali Anggi adalah teman dari teman Tio yang berulangtahun. Walaupun
bukan teman dekat dari temannya itu, anehnya Tio meminta Anggi untuk memberikan
ucapan selamat melalui rekaman suara. Basa-basi permintaan tolong itu
berkembang menjadi obrolan yang berlanjut dan terus berlanjut.
Dan kami—maksudku
aku dan Putri, mengawasi mereka berdua dari jarak aman. Menghindari kecanggungan
Tio jelas mengenali wajah kami berdua yang selalu bersama Anggi dimana-mana dan
kemana-mana. Bahkan kalau diingat-ingat juga, Tio selalu memandang ke arah salah
satu dari kami dengan penuh selidik jika ada Anggi ataupun tidak ada Anggi.
Kami tertawa-tawa
bahagia saat itu, memukul-mukul meja berkali-kali bahkan merutuki seorang teman
Tio yang datang tiba-tiba dan menjadi orang ketiga diantara Tio dan Anggi.
Kuhela napas,
masa-masa itu benar-benar sudah terlewat, bahkan sekarang keduanya berada di
pelaminan. Anggi dengan setelan kebaya
tanpa payet berwarna hijau muda dengan aksen kuning emas yang melingkari
pinggang lengkap dengan jilbab berwarna senada bersama Tio yang berdiri di
sampingnya.
Mereka berdua
bahagia, tampak benar dari senyum keduanya seperti senyum yang terlihat dengan
jelas ketika mereka berdua pertama kali berbincang berdua di kantin kampus.
Mengingat komentar Anggi setelah perbincangan itu membuatku terkekeh geli.
“Aku seneng aja
bisa dengar suaranya.”
Dan sekarang
Anggi bisa mendengar suara laki-laki yang dicintainya itu, setiap hari.
“Heh. Nih orang
malah ketawa-tawa sendiri. Itu lho mempelai prianya ngajak salaman.”
“Ah ya—“
kusodorkan tanganku mengucapkan selamat dan terimakasih karena sudah membuat
sahabatku menjadi perempuan paling bahagia, memintanya menjaganya selalu dan
terakhir berdoa agar mereka segera mempunyai momongan.
“Terus kamu
kapan?”
“Ha?”
Tanganku yang
menyalami Anggi tergantung diudara, aku masih mencerna pertanyaannya selama
beberapa detik sebelum Putri menjelaskan. “Kamu kapan nyusul di pelaminan?”
“Lha kok aku? Si
Putri dong yang ditagih.”
“Kalau aku kan
tanggal udah fix. Kamu calon aja
belum ada—“
Aku tertawa
hambar, diikuti oleh tawa Anggi yang tampak puas sekali, seandainya dia tidak
sedang dalam acara pernikahannya sendiri dia pasti sudah tertawa
terbahak-bahak, menertawakan status single yang masih kupertahankan saja.
“Apa mau aku
kenalin sama temenku? Ada beberapa yang masih single,” tawar Tio dengan
santainya, dia entah telah menjadi orang keberapa yang menawarkan temannya
padaku dan jawabanku akan selalu sama—
“Nggak-nggak.
Makasih Yo, sudah cukup dengan tawaran seperti itu.”
“Memang Yo, nih
anak dibantuin nyari nggak mau, ditawarin nggak mau, mungkin nunggu pangeran
naik kuda putih yang jatuh dari langit,” Putri mengomel sambil mendorong bahuku
dengan jari telunjuknya berkali-kali, kutanggapi saja dengan tawa hambar.
Anggi terkekeh
lagi, mungkin tingkah kedua sahabatnya di usia yang tak lagi remaja memang
sangat-sangat pantas untuk ditertawakan. “Padahal aku nyuruh kamu jadi penerima
tamu biar bisa ketemu satu atau dua laki-laki yang siapa tau bisa nyantol.”
“Astaga yang
bener aja deh.”
Putri, Anggi
bahkan Tio terkekeh-kekeh, memaksaku untuk ikut tertawa hambar dengan wajah
datar.
“Tuh si Anggi aja
udah bantuin kamu, kurang baik apa kita coba? Apa perlu kamu aku jadiin penerima
tamu di pernikahanku juga?”
Kukibaskan tangan
cepat-cepat. Menolak dengan mantap.
“Atau mungkin dia
masih nunggu si itu Put.”
“Si itu?” aku
mengangkat alis, apakah yang di maksud si itu adalah benda, atau manusia.
“Ah demi?”
“Maaf mbak—“
Aku, Putri dan
Anggi menoleh ke arah suara, seorang fotografer yang tampak sungkan menegur
kami membuat kami menyadari situasi, ada keluarga lain yang hendak menaiki
panggung untuk memberi selamat. Dengan kesadaran penuh akhirnya kami menyingkir
setelah Anggi mengucapkan sebuah kalimat yang terlalu sering kudengar.
“Segeralah
mencari.”
Apa yang harus
kucari?
Kami berdua
melangkah melewati beberapa orang yang lalu lalang, kebanyakan yang datang di siang
hari seperti ini memang teman kedua orangtua mempelai pria dan wanita. Teman-teman
Tio dan Anggi yang beberapa diantaranya juga teman-temanku sudah datang pagi
tadi dan mungkin akan datang sore nanti. Dan entah mungkin aku akan menemukan
satu atau dua laki-laki yang nyantol
seperti yang dikatakan Anggi sebelum acara ini berakhir. Siapa yang tahu.
Langkah kami
berdua terhenti di meja penerima tamu, Putri menempatkan diri di balik meja
sementara aku berada di depannya, bingung harus melakukan apa.
Teman penerima
tamu Putri telah berganti menjadi sepupu Anggi yang lain.
“Mau ngapain
kamu?”
“Bingung aku mau
ngapain.”
“Pulang aja sana.”
“Ya nggak—“
“Ehem—”
Aku menyingkir,
meminta maaf, tapi tamu yang kumintai maaf tak segera maju mengisi buku tamu
seperti yang aku kira. Dia hanya tersenyum sementara bisa kulihat diujung mata,
Putri sudah menganga seperti ikan koi.
Sekarang aku mengerti kenapa aku merasa
familiar dengan aroma yang sempat menguar di sekitar kami.
“Halo Far.”
“Halo Len.”
Anggi seolah
mengejekku ketika memintaku mencari. Aku sudah menemukannya.
Cerpen ini memang saya tulis spesial untuk seorang teman, I wish the best for you, girl!!!
Dan sekaligus memberikan penjelasan bahwa, cerpen ini masih berlanjut. Cerpen berjudul "Mencari" ini adalah bagian dari 2 cerpen "Mencari-Menemukan."
Terimakasih telah membaca, saya masih mengharapkan komentar dari anda :)
0 komentar :
Posting Komentar