Sabtu, 20 September 2014

Mencari


“Silahkan isi buku tamunya.”

Aku berusaha untuk tetap memasang senyum paling manis sekalipun pendingin udara tidak membantu mengusir rasa gerah dalam ruangan yang dipadati orang-orang. Mataku melirik salah satu sepupu mempelai wanita yang beberapa kali menghela napas setelah memberikan sovenir pernikahan pada tamu yang datang, kurasa dia merasakan perasaan yang sama denganku.

“Silahkan isi—“ kuhentikan kalimat di udara ketika melihat pemilik wajah yang menjadi salah satu penyebab semua rasa lelah ini. Putri berdiri menggenggam tas tangan yang berwarna senada dengan kebaya yang dikenakannya, aku yakin warna sepatunya pun sama dengan warna tasnya. Biru muda.

“Ngapain kesini?”

Dia tertawa, tampak puas sekali melihatku dan titik-titik keringat yang bisa jadi merusak riasan. Seharusnya dia yang menjadi penerima tamu hari ini, maka kukutuk dirinya yang menjadikan perjalanan dinas sebagai alasan untuk mengoper tugas.

“Jangan salahin aku dong. Salahin si mempelai wanita tuh, dia yang nyuruh aku buat minta kamu jadi pengganti penerima tamu.”

“Tadi dia udah bilang juga,” aku tersenyum pada sepasang suami isteri yang tampak ragu ingin mengisi buku tamu, “Silahkan Bu, Pak, buku tamunya diisi dulu.”

“Pfft—“

Putri menahan tawanya, bisa kudengar itu dengan jelas, kulirik dia dengan ujung mata memintanya menjelaskan maksud tawanya itu.

“Maaf-maaf. Kamu minta gantiin orang lain dulu gih, aku mau ngobrol sebentar sama kamu.”

“Kenapa nggak kamu yang gantiin aku aja dulu Put, ini kan tugas kamu.”

“Yee—jangan lah gimana caranya kita ngobrol kalau aku sibuk ngatur senyum kayak kamu.”

Kuhela napas, sebenarnya tidak enak juga kalau harus meminta sepupu mempelai wanita yang lain untuk menjaga tempat ini tapi—kulirik Putri yang masih menunggu, keberadaannya yang berdiri di dekat pintu jelas-jelas mengganggu— “Dek, aku istirahat sebentar ya, habis ini kita gantian deh.”

“Eh, nggakpapa mbak, nggakpapa,” ujarnya berkali-kali, sejak awal memang keberadaanku dianggap sangat membantu dan malah menimbulkan rasa tidak enak dari pihak keluarga mempelai wanita. Tapi apa boleh buat kami sudah berjanji di masa kuliah dulu, jika ada yang menikah diantara kami bertiga maka yang lain harus mau bantu-bantu tenaga.

Setelah meninggalkan meja penerima tamu dengan mengenakan kain batik dan sepatu hak tinggi kulangkahkan kakiku terseok-seok.

“Heh! Percuma kamu pakai pakaian anggun kayak gini kalau jalanmu kayak gitu, langkahnya biasa aja dong. Kayak mau jalan sehat aja,” Putri menegurku di tengah perjalanan kami menuju spot es buah. Kudecakkan lidah, melangkah mengabaikannya.

Langkah kakiku terhenti di depan meja yang menyajikan minuman, segera kuraih segelas es buah yang langsung kunikmati tanpa pikir panjang, duduk terlalu lama membuatku tak ingin menikmati kursi tamu sekalipun. Setelah meneguk sirup berwarna hijau tanpa memikirkan buah yang tertinggal kutarik napas lega. Mungkinkah ini surga dunia.

“Nggak enak banget ya jadi penerima tamu, itu es buah jadi keliatan nikmat luar biasa waktu kamu minum.”

“Capek Put. Capek. Senyum mulu— dan entah kenapa dingin AC nya nggak sampai tempatku.”

“Senyum aja capek.”

“Ya capek lah, setengah hari lho, setengah hari—“ kutunjuk-tunjuk jam tangan yang kukenakan di lengan kiri. “Mau ngobrolin apa sih Put, nggak enak aku sama sepupunya Anggi kalau kelamaan.”

“Santai, habis ini aku nggantiin kamu kok. Ini aku mau nemenin kamu rehat aja.”

Kuisi kembali gelas yang telah tandas isinya, kali ini dengan komposisi buah yang banyak sekali dan air yang sedikit saja. “Penebusan rasa bersalah kah?”

“Bisa dibilang begitu. Eh lihat tuh si Anggi, bahagia banget keliatannya.”

Kupalingkan wajah ke arah yang ditunjukkan oleh Putri. Hari ini Anggi berdiri di sebelah laki-laki yang ia taksir sejak semester 1 di perkuliahan, laki-laki yang kukira hanya akan menjadi satu dari beberapa laki yang sempat ia taksir tanpa bisa berlanjut ke hubungan yang lebih serius. Ya, perkiraanku memang sering salah.

“Inget nggak dulu pas si Anggi minta nomor hanpdhone si Tio, terus kirim sms ke dia pertama kali.”

“Inget lah, orang dia mintanya bareng kita. Smsnya juga pas ada kita berdua,” kukunyah beberapa potong buah yang baru saja kumasukkan ke dalam mulut, “dia heboh banget pas itu kan.”

“Heh telan dulu baru ngomong.”

Kuanggukkan kepala dan tertawa singkat, “Heboh banget sampai kita ikutan heboh, siapa kira sekarang cowok yang bahkan Anggi tahu namanya melalui orang lain itu bisa jadi mempelai prianya hari ini?”

“Padahal waktu itu sms pertama mereka juga nggak terlalu penting, bentar-bentar tapi aku lupa persisnya tentang apa.”

“Tentang dosen bukan sih?”

“Nah! Penting nggak?”

“Nggak,” kugelengkan kepala sambil tertawa. “Tapi beberapa hal penting berasal dari hal nggak penting kan.”

Putri mengangguk-anggukan kepala, kedua tangannya terlipat di depan dada. Dalam hening kuperhatikan wajah Anggi yang berseri-seri ketika seseorang menyalami dan mengucapkan selamat padanya, kurasa aku dan Anggi pun mengalami rasa lelah yang sama, bedanya lelah di diri Anggi pasti lenyap tak berbekas, bahkan tak terasa.

“Kayaknya jilbabnya si Anggi ribet banget tuh, butuh berapa pentul?”

“Mana aku tahu Put. Tadi aja aku telat dan di dandanin sekedarnya.”

Putri berpaling memperhatikanku sekejap. “Pantes aja masih keliatan itemnya.”

“Sialan nih bocah,” kusentuh cepat pinggang Putri hingga sahabatku itu menggeliat tanda protes dan membuatku tertawa terbahak-bahak. Kelemahannya yang paling fatal memang sudah kukenali sejak lama.

“Tapi beneran, aku masih ngerasa ajaib banget. Setelah sms pertama itu pun si Anggi nggak jadi deket kan sama si Tio,” Putri melanjutkan kembali obrolan mengenai sejarah Tio dan Anggi yang entah bagaimana masih kuanggap sebagai bentuk keajaiban dan anugrah Anggi sebagai anak soleh—berlebihan memang tapi apakah semua orang bisa mendapatkan laki-laki yang dia sukai tanpa perlu menempel-nempel seperti perangko.

“Nggak sih, orang mereka sempat lost contact. Baru mulai kontak lagi kapan gitu, kayaknya menjelang lulus deh.”

“Dan ajaibnya yang ngontak si Tio nya dulu.”

“Heran aku, tiba-tiba banget. Mungkin si Tio habis shalat Istikharah terus dapat ilham kalau si Anggi jodohnya.”

“Ya iya kali—“ aku menyenggol bahu Putri dan kembali memperhatikan kedua mempelai yang sempat mengobrol sejenak. Tangan Tio menggenggam tangan Anggi dan mereka tertawa entah menertawakan apa, bahkan Anggi tak melepaskan tangannya ketika membalas lambaian Putri dan melalui isyarat yang diberikannya kami diminta untuk menghampiri mereka.

Ingatanku kembali ke saat Tio dan Anggi bertemu di kantin kampus, pertemuan mereka terjadi dengan alasan Tio membutuhkan ucapan ulangtahun sebagai hadiah untuk temannya dan kebetulan sekali Anggi adalah teman dari teman Tio yang berulangtahun. Walaupun bukan teman dekat dari temannya itu, anehnya Tio meminta Anggi untuk memberikan ucapan selamat melalui rekaman suara. Basa-basi permintaan tolong itu berkembang menjadi obrolan yang berlanjut dan terus berlanjut.  

Dan kami—maksudku aku dan Putri, mengawasi mereka berdua dari jarak aman. Menghindari kecanggungan Tio jelas mengenali wajah kami berdua yang selalu bersama Anggi dimana-mana dan kemana-mana. Bahkan kalau diingat-ingat juga, Tio selalu memandang ke arah salah satu dari kami dengan penuh selidik jika ada Anggi ataupun tidak ada Anggi.

Kami tertawa-tawa bahagia saat itu, memukul-mukul meja berkali-kali bahkan merutuki seorang teman Tio yang datang tiba-tiba dan menjadi orang ketiga diantara Tio dan Anggi.
Kuhela napas, masa-masa itu benar-benar sudah terlewat, bahkan sekarang keduanya berada di pelaminan. Anggi dengan setelan kebaya  tanpa payet berwarna hijau muda dengan aksen kuning emas yang melingkari pinggang lengkap dengan jilbab berwarna senada bersama Tio yang berdiri di sampingnya.

Mereka berdua bahagia, tampak benar dari senyum keduanya seperti senyum yang terlihat dengan jelas ketika mereka berdua pertama kali berbincang berdua di kantin kampus. Mengingat komentar Anggi setelah perbincangan itu membuatku terkekeh geli.

“Aku seneng aja bisa dengar suaranya.”

Dan sekarang Anggi bisa mendengar suara laki-laki yang dicintainya itu, setiap hari.

“Heh. Nih orang malah ketawa-tawa sendiri. Itu lho mempelai prianya ngajak salaman.”

“Ah ya—“ kusodorkan tanganku mengucapkan selamat dan terimakasih karena sudah membuat sahabatku menjadi perempuan paling bahagia, memintanya menjaganya selalu dan terakhir berdoa agar mereka segera mempunyai momongan.

“Terus kamu kapan?”

“Ha?”

Tanganku yang menyalami Anggi tergantung diudara, aku masih mencerna pertanyaannya selama beberapa detik sebelum Putri menjelaskan. “Kamu kapan nyusul di pelaminan?”

“Lha kok aku? Si Putri dong yang ditagih.”

“Kalau aku kan tanggal udah fix. Kamu calon aja belum ada—“

Aku tertawa hambar, diikuti oleh tawa Anggi yang tampak puas sekali, seandainya dia tidak sedang dalam acara pernikahannya sendiri dia pasti sudah tertawa terbahak-bahak, menertawakan status single yang masih kupertahankan saja.

“Apa mau aku kenalin sama temenku? Ada beberapa yang masih single,” tawar Tio dengan santainya, dia entah telah menjadi orang keberapa yang menawarkan temannya padaku dan jawabanku akan selalu sama—

“Nggak-nggak. Makasih Yo, sudah cukup dengan tawaran seperti itu.”

“Memang Yo, nih anak dibantuin nyari nggak mau, ditawarin nggak mau, mungkin nunggu pangeran naik kuda putih yang jatuh dari langit,” Putri mengomel sambil mendorong bahuku dengan jari telunjuknya berkali-kali, kutanggapi saja dengan tawa hambar.

Anggi terkekeh lagi, mungkin tingkah kedua sahabatnya di usia yang tak lagi remaja memang sangat-sangat pantas untuk ditertawakan. “Padahal aku nyuruh kamu jadi penerima tamu biar bisa ketemu satu atau dua laki-laki yang siapa tau bisa nyantol.”

“Astaga yang bener aja deh.”

Putri, Anggi bahkan Tio terkekeh-kekeh, memaksaku untuk ikut tertawa hambar dengan wajah datar.

“Tuh si Anggi aja udah bantuin kamu, kurang baik apa kita coba? Apa perlu kamu aku jadiin penerima tamu di pernikahanku juga?”

Kukibaskan tangan cepat-cepat. Menolak dengan mantap.

“Atau mungkin dia masih nunggu si itu Put.”

“Si itu?” aku mengangkat alis, apakah yang di maksud si itu adalah benda, atau manusia.

“Ah demi?”

“Maaf mbak—“

Aku, Putri dan Anggi menoleh ke arah suara, seorang fotografer yang tampak sungkan menegur kami membuat kami menyadari situasi, ada keluarga lain yang hendak menaiki panggung untuk memberi selamat. Dengan kesadaran penuh akhirnya kami menyingkir setelah Anggi mengucapkan sebuah kalimat yang terlalu sering kudengar.

“Segeralah mencari.”

Apa yang harus kucari?

Kami berdua melangkah melewati beberapa orang yang lalu lalang, kebanyakan yang datang di siang hari seperti ini memang teman kedua orangtua mempelai pria dan wanita. Teman-teman Tio dan Anggi yang beberapa diantaranya juga teman-temanku sudah datang pagi tadi dan mungkin akan datang sore nanti. Dan entah mungkin aku akan menemukan satu atau dua laki-laki yang nyantol seperti yang dikatakan Anggi sebelum acara ini berakhir. Siapa yang tahu.

Langkah kami berdua terhenti di meja penerima tamu, Putri menempatkan diri di balik meja sementara aku berada di depannya, bingung harus melakukan apa.

Teman penerima tamu Putri telah berganti menjadi sepupu Anggi yang lain.

“Mau ngapain kamu?”

“Bingung aku mau ngapain.”

“Pulang aja sana.”

“Ya nggak—“

“Ehem—”

Aku menyingkir, meminta maaf, tapi tamu yang kumintai maaf tak segera maju mengisi buku tamu seperti yang aku kira. Dia hanya tersenyum sementara bisa kulihat diujung mata, Putri sudah menganga seperti ikan koi.

Sekarang aku mengerti kenapa aku merasa familiar dengan aroma yang sempat menguar di sekitar kami.

“Halo Far.”

“Halo Len.”

Anggi seolah mengejekku ketika memintaku mencari. Aku sudah menemukannya.


Cerpen ini memang saya tulis spesial untuk seorang teman, I wish the best for you, girl!!! 
Dan sekaligus memberikan penjelasan bahwa, cerpen ini masih berlanjut. Cerpen berjudul "Mencari" ini adalah bagian dari 2 cerpen "Mencari-Menemukan."
Terimakasih telah membaca, saya masih mengharapkan komentar dari anda :) 
 
   

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang