Minggu, 05 Oktober 2014

Berharap


“Maukah kau berjanji pada ibu untuk tidak mengulanginya lagi?”

Perempuan itu diam, tak menggerakkan kepalanya sebagai tanda. Diamnya bukan persetujuan, gelengannya pun tak tampak. Jawabannya mengambang seperti pikirannya saat itu, melayang-layang.

“Kalau begitu, nak—“ tangan ibunya menggenggam erat salah satu tangan miliknya yang tertusuk jarum infus. Mata perempuan paruh baya itu penuh harap pada satu-satunya anak perempuan yang ia miliki, satu-satunya orang yang membuatnya merasa masih menjadi seorang ibu. “Tak maukah kau hidup lebih lama?”

Anak perempuannya diam, tak menjawab. Dia lupa alasannya ingin pergi lebih cepat dari kehidupan yang kata banyak orang, fana ini. Dia lupa siapa yang memberinya keberanian untuk mendahului tugas malaikat pencabut nyawa, mengalahkan Tuhan dalam permainan-Nya [1]

“Tak maukah kau menceritakan alasannya pada ibu?”

Perempuan itu melirik dengan ujung matanya, melirik ibu yang telah membesarkannya selama bertahun-tahun. Merawatnya ketika dirinya bahkan tak tahu siapa ayah kandungnya, membiayai sekolahnya, membelikannya baju, mendidiknya seperti anak dari keluarga baik-baik, padahal bukan.

“Apa kau lelah dengan pekerjaan ibu?”

Dia tak menjawab.

“Apa kau malu memiliki ibu sepertiku?

Dia menggeleng. Jika rasa malu membuatnya memilih mengakhiri hidup, seharusnya sudah ia lakukan hal itu sejak dulu. Sejak SD dulu, sejak ibunya memiliki julukan baru diantara teman-temannya yang bahkan memasang tali sepatu sendiri pun belum sanggup, tapi seolah sudah mengerti apa yang dikerjakan ibunya.

Dirinya hanya ingin pergi, pergi saja. Mendahului ibunya yang mungkin akan segera pergi. Dirinya tak mau hidup sendiri, tak ingin merasakan hal itu.

“Ibu tak mengerti. Tapi ibu tak ingin kau seperti ini. Bukankah kau bercerita memiliki janji dengan temanmu lusa nanti? Kau akan mengembalikan kaset  atau apa itu, ibu tak mengerti. Tapi kau berniat mengingkari janji itu?”

Diam. Tak ada jawaban, janji itu sempat membuatnya ragu, takut-takut barang yang belum dikembalikan akan menghambat proses kematiannya dan ternyata benar saja—bahkan kematiannya gagal tercapai.

“Mengingkari janji adalah hal yang akan menghambat hidup dan kematianmu. Bahkan sampai saat ini ibu masih jelas mengingat janji ayahmu yang telah ia ingkari. Bisa kau bayangkan bagaimana jika kami nanti bertemu—“sempat ada tawa dalam kalimatnya, tawa kecil yang membayangkan pertemuan itu. “Ibu jelas akan menagih janjinya untuk yang pertama kali.”

“Karena itu berjanjilah kau akan selalu menepati janji yang kau buat dengan orang lain, janji yang kau setujui, janji yang kau sanggupi. Jangan pernah lari dari janji itu. Bayangkan betapa kecewanya temanmu karena kau mengabaikan janjinya,” ucapan itu terputus, air mata milik perempuan paruh baya yang bahkan kepayahan untuk bertahan hidup itu pun tak tertahankan lagi.

Ketika itu dia menoleh, memperhatikan gerakan lemah sesenggukan milik ibunya yang terbata-bata. Mungkin ia harus memanggil perawat, atau cukup menyanggupi keinginan ibunya.  Keinginan itu simpel, dia hanya tak perlu menjanjikan apapun pada siapapun.


Usianya 25 tahun, 5 tahun berlalu sejak percobaan bunuh diri pertamanya, hanya berjarak 1 tahun setelah itu ibunya meninggal, dengan cibiran seolah-olah kematiannya adalah hal terwajar yang dialami oleh perempuan berusia 45 tahun. Perempuan paruh baya yang menyuapi anaknya dengan uang pemberian banyak lelaki.

Fisik ibunya yang tak sebaik ketika hidup dulu pun menjadi bahan perbincangan, seolah-olah Tuhan membisikkan hukuman apa yang telah diberikan kepada ibunya tepat di telinga para penggunjing, yang sibuk membuat kesimpulan lebih cepat daripada tarikan napas.

Penyakit yang membuat ibunya begitu.

Dan janji kepada ibunya yang membuatnya bertahan hingga saat ini.

“Fir, minggu depan kita makan di Lotus yuk, katanya cake disana enaaaaak banget—“ seorang teman kerja perempuan menghampirinya. Menghampiri perempuan yang telah pandai memainkan 10 jari di atas keyboard dan seringkali mengabaikan seseorang yang berbicara dengannya.

“Harus banget?”

“Harus lah, aku traktir deh. Aku baru aja dapat bonus nih soalnya. Minggu ya, aku jemput deh. Bosen nih sama kerjaan. Oke ya.”

Firas belum sempat menjawab ketika teman kerjanya telah pergi menawarkan tawaran yang sama pada temannya yang lain. Ia ingin menolak karena seharusnya ia tidak memiliki janji hingga minggu depan dan ternyata—

Tangannya menuliskan sebuah nama dalam agenda. Dirinya menghela napas memperhatikan tanggal-tanggal yang tak terisi janji apapun,  penundaan lainnya.

“Kamu memang selalu nulis agenda kayak gitu ya?”

Firas tak menjerit walaupun hanya  tampak sebagian kepala seseorang yang mengintip dari balik kubikel miliknya, ia sudah mengenal pemilik suara itu sebaik mengenal alfabet di atas keyboard. Lagipula walaupun sering muncul secara tiba-tiba, laki-laki itu jelas bukan mahluk gaib, hanya seorang rekan kerja yang terlalu sering kepo.

“Begitulah—“ Firas menjawab singkat sebelum menutup agenda biru miliknya. Ibunya yang pertama kali mengajarkannya untuk mencatat setiap janji yang dibuat. Firas menyetujui ide itu untuk memudahkannya menentukan tanggal kapan dirinya harus menyusul kepergian ibunya.

“Hmm—“ laki-laki dibalik kubikelnya bergumam panjang, seperti memikirkan sesuatu yang sulit. Firas sempat mendongakkan kepala sejenak memperhatikan ekspresinya yang seolah harus memilih makanan dalam menu. Laki-laki itu memang selalu lama menentukan harus makan apa jika sedang berada di restoran.

“Bagaimana kalau kita makan malam, lusa? Aku nggak ngeliat ada janji di agenda kamu tadi.”

Belum sempat Firas menolak laki-laki dibalik kubikel itu sudah menghilang. Meninggalkan Firas yang terpaksa menuliskan namanya di agenda.

Kemudian satu minggu yang Firas kira kosong terisi satu persatu,  janji makan malam salah satunya, yang lainnya adalah menemani temannya untuk pergi kemanapun, membeli bingkisan pernikahan, membeli baju bayi, mencari rumah kontrakan dan lain sebagainya hingga sore  sepulang kerja tak menjadi milik Firas. Seolah semua orang tahu dia merencanakan sesuatu jika janji-janji itu tak pernah ada.

Padahal hanya beberapa orang yang tahu, hanya beberapa teman yang menjadi dekat dengannya setelah kematian ibunya, yang tahu. Orang-orang baik yang mau menerima permintaan merepotkan ibunya untuk menjaganya, memenuhi dirinya dengan janji-janji yang menghambat kematiannya. Awalnya mereka memang bertindak sangat merepotkan, secara bergantian membuat dirinya menjanjikan A, B dan C. Namun setelah kelulusan, janji itu semakin jarang dan Firas mulai berpikir kalau inilah kesempatan yang ia nanti-nantikan.

Sampai kemudian rekan-rekan kerjanya mulai senang sekali mengajaknya bepergian.

Seperti salah satu tetangga kubikelnya yang hobi sekali mengajaknya makan malam, berpindah dari satu restoran ke restoran lain, mengomentari makanan yang ia nikmati seolah dirinya adalah juri acara masak bergengsi.

“Menurut aku sih, ini keasinan.”

“Masak sih?” Firas meraih sendok dan mengambil sedikit kuah sop buntut yang menjadi hidangan malam ini. Setelah satu kecapan, perempuan itu menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nggak lah biasa aja.”

“Dagingnya overcooked nih.”

Firas hanya mengangguk-anggukkan kepala, membiarkan laki-laki di hadapannya terus mengoceh soal setiap suapan yang masuk ke dalam mulut. Tangannya meraih handphone yang bergetar di atas meja, membaca pesan sebelum menghela napas.

“Kenapa?”

“Nggakpapa, si Kristi minta temenin nyariin mobil bekas. Dia mau ganti Fiat tuanya dengan mobil yang lebih tua kayaknya,” tangan Firas merogoh isi tas, mengeluarkan agenda berwarna biru. Menandai sebuah tanggal lalu menuliskan nama Kristi disana. Sejenak matanya memperhatikan tanggal-tanggal yang kosong menuju tanggal janjiannya dengan Kristi.

Perhatiannya belum beralih ketika secara tiba-tiba agendanya bergeser, meninggalkan pemiliknya lalu menjadi perhatian mata laki-laki yang duduk dihadapannya. Seolah memahami penuh isi agenda itu, laki-laki itu menganggukan kepala berkali-kali, “Berarti dua minggu ke depan kamu kosong?”

“Ya begitulah—“ Firas menjawab sekenanya sambil menikmati sate yang baru saja datang, ia tak sempat protes ketika laki-laki itu meraih bulpen miliknya dan menulis entah apa di buku agendanya.

“Heh! Ya! Jangan dicoret-coret lah,” tangan Firas berusaha meraih buku yang berada di luar jangkauannya sebelum buku itu diangkat ke udara dan di pamerkan kepadanya.

Agendanya di bulan Oktober tiba-tiba saja berisi di setiap minggunya, bahkan tak cuma sekali, dua kali dalam seminggu ada nama Yahya dalam agenda itu.

“Jadi tiap tanggal-tanggal ini kamu harus nyediain waktu buat nemenin aku makan.”

Tangan Firas yang menggapai udara terjatuh lemas, tiba-tiba kepalanya pusing dan bertusuk-tusuk sate di atas mejanya tak menggiurkan lagi.


Firas memperhatikan buku agenda miliknya, yang dipenuhi nama Yahya bahkan hingga menginjak akhir bulan. Jika memang dirinya harus memenuhi janji pada laki-laki itu, dirinya hanya bisa menunggu kekosongan di bulan berikutnya. Di bulan berikutnya—dirinya enggan memikirkan selama itu ia harus menunggu. Jika ternyata hingga bulan berikutnya Yahya melakukan perbuatan yang sama lagi apa yang harus ia perbuat.

Menunggu lagi?

Berharap pada bulan berikutnya.

Astaga—Firas mengusap dahinya yang tak berpeluh. Pelipisnya tiba-tiba terasa nyeri, perutnya seolah menampung terlalu banyak makanan yang membuatnya mual, tulisan di agendanya tampak buram tak jelas, kenapa semua terasa lebih, lebih lama daripada biasanya.

“Firas! Firas!”

Tubuh Firas tersentak, sosok rekan kerja yang menepuk bahunya dengan dahi berkerut-kerut membuat ia sadar dimana dirinya saat ini. Tak seharusnya ia jatuh pingsan atau muntah secara tiba-tiba disini, di kubikelnya, di kantor tempatnya bekerja.

“Kamu nggakpapa Fir, kamu pucat lho.”

Firas menggelengkan kepala, tangannya berayun cepat di udara. Setelah menanyakan ada apa, Firas mendapat jawaban yang tanpa sengaja memunculkan senyum di wajahnya. Janji mereka untuk makan dibatalkan, alasan teman kerjanya itu tak terdengar jelas di telinga Firas, respon tak apa yang ia sampaikan pun hanya sekedarnya, di kepalanya dia sudah mencoret sebuah agenda yang membuat minggu depan menjadi minggu tanpa janji.

Beberapa jam kemudian handphone yang bergetar mengalihkan perhatiannya, janji lain dibatalkan dan senyumnya tak bisa lebih mengembang dari saat ini. Janji lain pun terbatalkan.
2 minggu tanpa janji dan seolah langit berkonspirasi untuk memberinya waktu, memilih tanggal yang tepat untuk menyusul kepergian ibunya. Tangannya membuka agenda, mencoreti beberapa nama hingga tertinggal satu nama yang tersebar banyak menghiasi agendanya.

Janji itu tak pernah ia setujui. Seharusnya tak mudah mengingkarinya. Tangan Firas mencoret nama Yahya satu persatu.



Angin yang melintasi jendela apartemennya memang selalu terasa sejuk, mengundangnya untuk jatuh dan menikmati udara yang akan dilewatinya hingga menyentuh keramaian di bawah sana. Dirinya memang  tak sengaja mengambil jatah di lantai ini, di lantai tertinggi apartemen yang memiliki lebih dari 10 lantai. Tapi tak ada penyesalan, ia tak mengeluhkan rasa malas memasuki lift dan menunggu ketika harus menghampiri seseorang di lobi, ia tak mengeluhkan angin yang katanya bertiup terlalu kencang ketika pintu kaca miliknya terbuka lebar. Ia tak mengeluh, tak ada yang bisa ia keluhkan selain waktu yang berjalan terlalu lambat ketika dirinya menunggu kehadiran minggu-minggu tanpa janji.

Dan hari ini, dirinya memutuskan untuk mengakhiri, mengakhiri penantiannya yang terlalu lama. 5 tahun—demi janji kepada ibunya, dia menunda keinginannya.

Tanpa alas kaki dirinya melangkah melewati pintu kaca yang terbuka lebar, melewati gorden yang melambai-lambai, menuju beranda yang membatasi diri dengan kebebasan, sebatas dinding setinggi dada.

Firas duduk disana, di atas dinding, memperhatikan pemandangan di bawah sana, keramaian lalu lalang yang sempat membuat bulu kuduknya berdiri.

Dingin, dingin. Angin meniup rambut sebahu miliknya, hingga menutupi pandangannya.

Gelap, gelap. Sekilas langit mengintip dari helaian rambutnya.

Tangannya meraih hampa, tak akan ada yang menyelamatkannya. Ibunya yang dulu menyelamatkannya sudah pergi.

Jadi tak ada lagi—

Tubuh Firas maju, mengikuti tangannya yang menggapai entah apa. Sejenak ia merasakan hembusan angin yang kencang sebelum sebuah hentakan menahan tubuhnya.

Ada Yahya disana, menempel di dinding beranda, menahan tangannya yang terasa akan terlepas dari engselnya. Lalu ada rekan kerjanya, teman kuliahnya. Berusaha menggapai-nggapai tangannya yang lain yang masih bebas di udara.

 “Apa yang kau lakukan?”

“Aku yang seharusnya bertanya! Bagaimana kalian bisa masuk?”

“Apa kau sudah gila?”

Laki-laki itu berusaha keras untuk menarik tubuh Firas, begitu pula rekan kerja dan teman kuliahnya yang terus menerus memintanya untuk kembali. Awalnya semua suara itu terdengar jelas, sebelum menghilang sama sekali ketika dirinya kembali membuka mata, mendapati hanya langit yang bisa ia pandang sementara gravitasi menarik tubuhnya, meninggalkan angan yang tetap tinggal.

Jauh-jauh. Lalu menghilangkan kesadarannya.

Meninggalkan senyum di bibir yang seolah berkata. Tak mungkin dirinya tak berharap, tak mungkin.


[1] Suicide is a sin because you're beating God at his own game 

Baru aware masalah suicide setelah ada beberapa post yang membahas masalah ini di Tumblr, quote di atas itu pun dapatnya dari sana. Dan baru tahu juga kalau ada World Suicide Prevention Day (WSPD) di tanggal 10 September. Di cerpen ini cuma mau menyelipkan pesan bahwa perhatian anda bisa jadi menyelamatkan orang lain dengan memenuhi harapannya yang sederhana, misalnya harapan untuk diselamatkan.   

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang