Hari itu aku
mengambil shift pagi, ketika seorang
perempuan yang tampak lebih tua dari ibuku datang didampingi seorang petugas.
Kutanyakan ada apa perempuan itu tak menjawab, tampak warna hitam yang menggantung
di bawah matanya, kerut di sekitar wajahnya pun tampak jelas.
Sekali lagi
kucoba bertanya, ada apa tak ada jawaban darinya, hanya ada keheningan di antara
kami. Kulirik petugas yang membawa perempuan itu, meminta jawaban.
“Saya ingin
mengakui pembunuhan atas suami saya—“
Perempuan itu
mengeluarkan suaranya sebelum petugas yang mendampinginya menjawab, membuatku
menoleh ke arahnya, memperhatikan ekspresi wajahnya.
“Pembunuhan atas
Djaka Purnomo, suami saya. 8 tahun lalu. Saya yang membunuhnya.”
Kemudian hening
kembali, tak ada suara, aku bisa merasakan beberapa pasang mata memperhatikan
kami. Memperhatikan perempuan yang tampak sudah berumur mengajukan pengakuan
dengan lantang, tanpa keraguan. Mata perempuan itu memang tampak berkantung tapi tidak
menyiratkan keletihan yang sama dengan kerut di wajahnya.
Kupersilahkan
perempuan itu duduk, menceritakan setiap detail yang dia maksud, setelah
menanyakan nama, umur dan apakah dirinya benar-benar yakin dengan apa yang dia
katakan.
Dia yakin, dia
menceritakannya dengan penuh keyakinan bahwa malam itu pukul 11 malam di
tanggal 20 Februari 8 tahun lalu suaminya pulang dalam keadaan mabuk sambil
membawa sebotol minuman keras yang telah tandas. Saat itu anak laki-lakinya
yang membukakan pintu.
Perempuan itu
meletakkan kedua tangannya di atas meja, di atas sebuah kantung plastik
berwarna hitam yang belum sempat kutanyakan isinya. Dia menatap mataku
lurus-lurus saat menceritakan semuanya, seolah menceritakan hal yang biasa
terjadi di masa lalu.
“Saat itu suami
saya berteriak-teriak, meminta uang. Dia biasa melakukan itu,” sempat ada
senyum getir di bibirnya sebelum ia melanjutkan kembali kalimatnya. “Anak
laki-laki saya didorongnya hingga menabrak meja, lalu dia menyusul ayahnya yang
sedang membongkar lemari pakaian di kamar. Saat itu pula saya sedang
menghalangi suami saya untuk mengambil uang simpanan saya, uang itu sudah saya
janjikan untuk membayar tunggakan sekolah anak saya,” dia menghentikan
kalimatnya sejenak, mengerutkan dahi, menghela napas, sempat kulihat tangan
kanannya mengepal.
“Saya memohon
agar uang itu jangan diambil, saya menjelaskan untuk apa uang itu tapi suami
saya tidak mendengarkannya, dia malah mendorong saya hingga terjatuh ke
belakang. Anak laki-laki saya pun berteriak, meneriaki ayahnya dengan segala
macam umpatan,” perempuan itu menyingkirkan rambut yang sempat menutupi
wajahnya. “Saya tidak tahu siapa yang mengajarinya mengumpat seperti itu dan
saya tidak menyangka dia akan mengatakannya pada ayahnya yang mabuk. Lalu sesaat
setelah itu saya mendengar suara botol yang pecah, botol minuman yang dipegang
suami saya, dia menahan anak saya dengan tangannya dan mendekatkan pecahan
botol itu ke lehernya sambil berkata, berani kau bicara seperti itu pada
ayahmu, kubunuh kau, kau bukan anakku.”
Sejenak perempuan
itu menghentikkan kalimatnya, meremas kantung plastik yang dibawanya. Aku
sempat menawarinya minum untuk meredakan emosi yang tampak jelas di wajahnya
tapi perempuan itu menolak dengan
senyuman.
“Dia berteriak seperti
itu, berkali-kali. Saya sempat maju sambil memukul-mukul punggungnya,
memohon,
berteriak, jangan sakiti dia, dia anak kita. Tapi dia mabuk, sama seperti
malam-malam sebelumnya, telinganya tidak akan cukup baik untuk mendengarkan. Dia
mendekatkan pecahan botol itu di wajah anak laki-laki saya, menggores wajahnya
hingga berdarah, saya mendengar suara teriakan anak saya, setelah itu semuanya
gelap.”
Saat menghela
napas perempuan tua itu sempat menutup mata sejenak. “Saat semuanya jelas suami
saya sudah terkapar di lantai dan saya memegang seutas tali rafia yang entah
saya dapatkan dari mana.”
“Dia mati.”
***
“Lalu apa
masalahnya? Dia sudah menyerahkan diri, membawa barang bukti, kasus selesai
kan?”
“Begitulah,” aku
menyesap segelas teh yang baru saja dihidangkan, meletakkannya kembali dan
memperhatikan berkas-berkas milik
perempuan tua yang datang beberapa hari lalu mengakui pembunuhan yang
dilakukannya. “Sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja ada hal yang membuatku
heran.”
“Soal?”
Seorang petugas yang mengantarkan perempuan itu padaku menanyakan kelanjutan kasusnya hari ini,
di saat aku terlihat sedang tidak banyak kerjaan katanya.
“Anak
laki-lakinya. Usianya 12 tahun saat pembunuhan itu terjadi, sekarang usianya 20
tahun. Saat aku menemuinya beberapa hari lalu dia tampak tidak berniat membela
ibunya. Saat kutanya apakah dia bersedia bersaksi di pengadilan dia menjawab
dengan mantap, dia bersedia. Sempat kutanya apakah dia akan bersaksi
memberatkan atau sebaliknya dia malah menjawab—“
“Saya akan
mengatakan yang sejujurnya.”
“Sejujurnya?”
“Iya, sejujurnya.”
Laki-laki
dihadapanku tak seperti berusia 20 tahun, aku bisa melihat tato di pergelangan
tangannya, sebuah anting di telinga kirinya, wajahnya tampak gelap, kotor serta
memiliki bekas luka memanjang di pipi kanannya dan sejak tadi kucium bau
alkohol yang menguar di udara. Saat itu jam 8 pagi dan dia tidak mengijinkanku
dan rekanku masuk ke dalam rumahnya untuk sekedar duduk atau menikmati teh
manis.
“Ibu saya
membunuh ayah saya.”
“Walaupun itu
dilakukan untuk melindungi anda?”
Dia tertawa, “Melindungi?
Ibu hanya terlalu panik saat itu. Saya tidak memintanya untuk membunuh ayah
saat itu. Cukup pukul saja tengkuknya, punggungnya, atau apalah, buat dia
pingsan. Untuk apa membunuhnya?”
Mengingat hal itu
membuatku bergidik ngeri, anak itu tampak tak memiliki kekhawatiran apapun
terhadap ibunya. “Dia akan berkata jujur, itu bagus, tapi tanpa membela ibunya
yang menyelamatkan nyawanya,” ujarku kemudian dihadapan rekan kerjaku yang
hanya terkekeh pendek.
“Kau terlalu
sentimental. Selesaikan saja kasus itu, tak usah kau pikirkan urusan
keluarganya. Bukti sudah ada bahkan perempuan itu yang membawanya sendiri,
saksi ada bahkan anaknya sendiri. Kau tidak perlu repot-repot memikirkan hal
yang menyulitkan,” dia menepuk bahuku lalu pergi kembali ke mejanya meninggalkanku, mengingatkanku kembali pada kelanjutan cerita yang disampaikan perempuan tua itu.
“Saya tidak
menyesal membunuh suami saya,” saat itu terdengar kemantapan dalam suara
perempuan tua itu, dia mengepalkan kedua tangannya. “Dia sudah menyiksa saya
dan anak saya, dia sudah berkali-kali melakukan itu, pulang dalam keadaan
mabuk, mencekik saya ketika tidak mendapatkan uang, memukulkan kepala anak saya
ke tembok, memukulnya dengan batang kayu, membakar telapak tangannya dengan
puntung rokok,” perempuan tua itu terkekeh sedetik sebelum berkata, “Dia hanya
belum membunuh kami saja.”
“Saya hanya
menyesal kenapa anak saya harus menyaksikan pembunuhan itu dan kenapa saya
harus merepotkan kakek To, membuatnya membawa dosa ini hingga kematiannya.”
“Siapa kakek To
ini?”
“Tetangga kami,
dia sering membantu kami, kadang membela kami ketika suami saya mabuk dan
hendak menganiaya kami, dia seorang penggali kubur. Dia yang membantu saya
menyembunyikan mayat suami saya di sebuah makam.”
Saat itu sempat
kulihat air mata di pelupuk mata perempuan tua itu, sebelum dia mengusapnya
cepat-cepat dan kembali berkata. “Saya hanya menyesali itu.”
Hening sejenak,
aku sempat kebingungan harus bertanya apalagi sebelum sesuatu menyadarkanku.
“Kenapa ibu
menyerahkan diri sekarang?”
Dia tersenyum
tipis sekali, menampilkan kerut-kerut di
sekitar bibirnya. “Anak saya yang memintanya. Dia sudah lelah hidup bersama
saya.”
***
“Jadi anaknya
yang meminta ibunya menyerahkan diri?”
“Begitulah.”
“Wow—“ teman
dihadapanku menyeruput kopi yang dia pesan beberapa menit lalu. “Aku dengar
memang kalian meminta seorang pengacara dari tempat kerjaku untuk membela
seorang perempuan yang didakwa kasus pembunuhan tapi aku baru mendengar
detailnya sekarang.”
“Kau belum
menerima berkasnya.”
“Sudah, sudah,
aku sudah membaca berita acara yang kau buat juga.”
“Lalu kenapa kau
masih tampak kaget?”
Perempuan
dihadapanku mengangkat bahu. “Entahlah, mendengarnya secara langsung terasa
lebih dramatis. Ah ya, aku akan menemui anaknya besok dan alamatnya—“ dia
mengecek handphonenya. “Hei, bukankah ini alamat sebuah perumahan?”
“Begitulah,”
kujawab singkat saja lalu menikmati sepotong donat di atas meja.
“Dia tidak mampu
membayar pengacara untuk membela ibunya?”
Aku bisa melihat
kerutan di dahi perempuan itu yang berkata sambil menunjukkan handphone
miliknya, berisi alamat lengkap perempuan itu dan anak laki-lakinya.
“Biaya pengacara mahal. Lagipula aku sudah bilang kan, anaknya yang meminta ibunya
menyerahkan diri, anaknya bahkan bersedia bersaksi untuk memberatkan ibunya.”
Perempuan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah, terimakasih atas infonya, aku harus pergi,”
tangannya meraih sepotong donat memasukkannya ke mulut sambil memperhatikan jam
di pergelangangan tangannya.
“Hei, seharusnya
aku tidak menceritakan ini padamu kan?”
Tangan perempuan
itu mengambil donat yang digigitnya. “Tenang saja, aku akan memberikan
informasi eksklusif tentang kasus ini padamu,” dia tersenyum sekilas sebelum
menggigit kembali donatnya dan mengambil satu kunyahan. “Lagipula kau penasaran
dengan akhirnya kan?”
...
Saat itu pukul 10
pagi, ketika sudah kukenakan pakaian resmi dan mengetuk pintu di hadapanku berkali-kali,
tak ada jawaban. Beberapa menit lalu aku sudah merasa tidak enak karena harus
membuka pagar pintu yang tak terkunci dan masuk ke halaman rumah, sekarang
dengan perasaan geram ingin kudobrak saja pintu rumah ini.
Kudengar suara
pintu terbuka, pintu di sebelah rumah ini, seorang perempuan paruh baya yang
masih mengenakan rol rambut keluar dan menatapku keheranan.
“Mbak nyari
siapa?”
“Penghuni rumah
ini ada bu?”
“Oh, si Toni. Ada
pasti kalau jam segini tapi paling masih teler mbak di dalam. Beberapa hari ini
dia sukanya pulang tengah malam, mabuk, bikin gaduh lagi kadang sambil bawa
cewek entah dari mana. Haduh—semenjak nggak ada ibunya makin menjadi kelakuan
anak itu. Kasian ibunya.”
Aku hanya
tersenyum simpul, mendengarkan penjelasan panjang dan informasi lengkap khas
ibu-ibu. “Ibu tau ibunya dimana?” tanyaku basa-basi hanya menguji seberapa luas
informasi yang dimiliki ibu tetangga ini.
“Katanya si Toni
sih dipenjara karena membunuh ayahnya si Toni. Waktu mereka pindah kesini memang ayahnya Toni udah nggak ada katanya sih kabur gitu, tapi saya nggak percaya si ibunya Toni
yang baik itu bunuh suaminya sendiri, kalau si Toni nya sih mungkin,” si ibu
tetangga terkekeh sambil menutup tangannya, aku tersenyum simpul, mudah sekali
baginya menjelaskan dugaan demi dugaan.
“Ah ya—mbak ini
siapa?”
Sebelum menjawab
terdengar suara pintu terbuka, sosok perempuan muda yang hanya mengenakan kaos
longgar dengan rambut berantakan menampilkan wajah tak ramah. Sedetik ibu tetangga sempat melirik ke pintu sebelum menggeleng-gelengkan
kepala dan berlalu. Tak mau berurusan langsung dengan kelakuan anak tetangganya
sepertinya.
“Siapa?”
“Toni nya ada?”
Perempuan muda
itu memperhatikan penampilanku dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi,
berhenti di wajahku. “Kau bukan seperti tipe nya Toni.”
“Memang bukan,”
jawabku santai. “Saya hanya pengacara yang disewa untuk membela ibunya Toni,
saya membutuhkan keterangan dari Toni untuk meringkankan hukuman ibunya.”
Kemudian sosok
yang ditunggu-tunggu datang, mendorong pintu memaksaku mundur selangkah.
Laki-laki itu berdiri tanpa pakaian memamerkan beberapa bekas luka yang telah
menghitam, hanya mengenakan celana kolor
sedengkul, menguap dan membuatku menahan napas, alkohol. Menyengat sekali.
“Saudara Toni
saya—“
“Saya sudah tahu
dan saya tidak peduli. Saya tidak akan membela ibu saya, saya akan mengatakan
sejujurnya, dia sudah membunuh ayah saya. Lagipula siapa yang akan membayar
pengacara?”
“Ini bantuan dari
negara agar ibu anda tahu hak-haknya di pengadilan, beliau memerlukan pengacara
seperti saya dan saya membutuhkan bantuan anda untuk—“
“Untuk apa?
Berbohong di bawah sumpah? Saya akan disumpah di bawah kitab suci dan anda
meminta saya untuk berbohong bukan?” laki-laki itu sempat meludah, tepat di
sebelah sepatu yang kukenakan, meninggalkan gumpalan berlendir berwarna putih.
“Bukan, saya
tidak meminta anda untuk berbohong, anda bisa menjelaskan bahwa ibu anda
membunuh untuk membela anda yang nyaris terbunuh, anda juga bisa menceritakan
bahwa selama ini anda dan ibu anda mengalami kekerasan dalam rumah tangga
dengan begitu anda bisa meringankan hukuman ibu anda.”
Sedetik laki-laki
itu terdiam, aku sempat menangkap keraguan di matanya memancing senyum di
wajahku. Dia pasti luluh, bagaimanapun dia akan menghadapi ibunya sendiri.
“Dia nggak akan mau
mbak, kalau ibunya di penjara cuma sebentar dia nggak bakal sebebas ini, iya
kan sayang?” perempuan itu meminta persetujuan sambil mengelus pipi laki-laki
yang berdiri di sampingnya.
Sedetik kemudian
keraguan itu sirna berganti dengan ekspresi wajah sombong seolah hidupnya akan
lebih panjang daripada hukuman ibunya. “Iya, saya jadi nggak bisa pakai uang
ibu sesuka hati seperti sekarang. Lagipula ibu sepertinya tidak ingin hukumannya
diringankan, dia sudah siap menanggung semua dosanya.”
Setelah itu pintu
kembali dibanting, meninggalkanku yang mematung di depan pintu, bersama seorang
ibu tetangga yang sepertinya sudah mencuri dengar sejak tadi. Saat dia hendak
melemparkan pertanyaan lebih lanjut padaku, kulemparkan senyum lebih dulu
padanya, berpamitan dan berbalik meninggalkan rumah itu.
...
“Mbaknya bertemu
Toni?”
“Iya saya bertemu
dengan dia tadi pagi.”
“Bagaimana
keadaan dia?”
Aku terdiam
selama beberapa detik memperhatikan ekspresi perempuan tua dihadapanku dan
berdoa semoga aku tidak akan memiliki anak seperti anaknya di masa depan. “Baik,
dia sehat.”
“Syukurlah,”
perempuan itu menyentuh dadanya dan tersenyum penuh rasa syukur, membuatku
mengumpat sekali lagi, mengumpati anak laki-lakinya.
“Saya datang
kesini untuk membantu anda. Saya tahu apa saja yang sudah anda alami dan saya
harap—“
“Tidak perlu mbak,” perempuan itu kembali memajukan duduknya, tersenyum. “Saya
tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini selain ketenangan dan Toni. Toni
sudah dewasa dan saya sudah menyerahkan semua yang saya miliki padanya,
sekarang tinggal saya yang menyelesaikan urusan saya dengan hukum.”
“Semuanya? Maksud
anda uang?”
“Tentu saja,”
perempuan tua itu tersenyum. “Saya hanya bisa meninggalkan beberapa rupiah
untuknya tapi itu semua yang saya miliki.”
Aku mengusap dahi
sekilas, memperhatikan ekspresi seorang yang penuh keibuan di hadapanku, kebahagiannya
hanya berasal dari kabar bahwa anak semata wayangnya baik-baik saja. “Apakah
anak anda bekerja?”
“Tidak, dia tidak
mau bekerja, saya pernah memaksanya tapi,” perempuan itu menggelengkan
kepalanya. “Dia tidak mau, dia berkata sekolah saja sudah membuatnya lelah
apalagi bekerja.”
Aku mengerutkan
dahi tanda tak setuju, tak setuju dengan kepasrahan seorang ibu dihadapanku
yang menyetujui setiap permintaan anaknya. “Tapi, tapi dia sering membantu saya
di rumah, walaupun dia tidak bekerja, dia sering membantu, iya sering.”
Perempuan tua itu
menganggukkan kepalanya meminta persetujuanku dan aku hanya tersenyum meredakan
kegelisahannya, kegelisahan yang muncul ketika aku mengira anaknya adalah anak
yang merepotkan. Dia berusaha membuatku mengubah pemikiran itu, ya itu tampak
sekali dari sikapnya.
***
Kasus itu berlangsung
singkat, sang anak bersaksi dengan sejujur-jujurnya sambil menambahkan bahwa
langkah yang diambil ibunya saat itu berlebihan dan sang ibu mengungkapkan
bahwa dia memang melakukan pembunuhan atas suaminya lalu pengadilan memutuskan
hukuman.
Aku memang
mengikuti kasus itu hingga akhir termasuk mendengarkan informasi dari seorang
teman yang telah bolak-balik bertemu dengan sang anak dan menerima tolakan
berkali-kali. Dia lelah dan sempat mengumpat beberapa kali dihadapanku,
mengeluhkan tingkah bebal sang anak dan bagaimana bisa anak itu membiarkan
ibunya begitu saja dipenjara dan hanya peduli pada uang yang ditinggalkannya.
“Kau tahu, dia
berkata apa saat kutemui terakhir kali. Saya sudah tidak membutuhkan ibu, saya
sudah dewasa, sudah 20 tahun. Aku tahu dia memang hanya ingin uang ibunya,
makanya dia meminta ibunya menyerahkan diri supaya bisa menguasai semua harta
ibunya yang sudah diatas namakan dia. Benar-benar aku tidak habis pikir.
Astaga, aku kasihan sekali pada ibunya.”
Aku pun begitu,
setahuku tidak ada yang pernah menjenguk perempuan tua itu, tidak anaknya,
tidak kerabatnya. Pernah sekali waktu aku datang dan yang dia tanyakan pertama kali
adalah kabar anaknya. Saat kujawab baik-baik saja dia menghela napas lega
sambil tersenyum.
Sampai kemudian
kudengar kabar pagi ini perampokan di alamat yang kukenal, perampokan yang
memaksaku untuk datang ke lokasi kejadian dan kembali menemukan wajah yang
sempat kutemui sekali, terbujur kaku bersama seorang perempuan yang hanya
mengenakan kaos longgar.
Aku tak akan menemukan
cara untuk memberi tahu ibunya dalam waktu dekat ini, entah sampai kapan.
Blog ini sepertinya sudah bersarang laba-laba... dan semoga setelah ini saya akan rutin membersihkan blog ini dan mengisinya dengan berbagai cerpen yang akan berterbangan. Mungkin ada beberapa pernyataan atau prosedur yang tidak sesuai dengan fakta yang ada, saya mohon pengertian untuk itu, koreksi sangat terbuka jika ada dan terimakasih karena kesediaannya untuk membaca :)
0 komentar :
Posting Komentar