Selasa, 24 Februari 2015

Sepanjang Galah


Hari itu aku mengambil shift pagi, ketika seorang perempuan yang tampak lebih tua dari ibuku datang didampingi seorang petugas. Kutanyakan ada apa perempuan itu tak menjawab, tampak warna hitam yang menggantung di bawah matanya, kerut di sekitar wajahnya pun tampak jelas.

Sekali lagi kucoba bertanya, ada apa tak ada jawaban darinya, hanya ada keheningan di antara kami. Kulirik petugas yang membawa perempuan itu, meminta jawaban.

“Saya ingin mengakui pembunuhan atas suami saya—“
Perempuan itu mengeluarkan suaranya sebelum petugas yang mendampinginya menjawab, membuatku menoleh ke arahnya, memperhatikan ekspresi wajahnya.

“Pembunuhan atas Djaka Purnomo, suami saya. 8 tahun lalu. Saya yang membunuhnya.”

Kemudian hening kembali, tak ada suara, aku bisa merasakan beberapa pasang mata memperhatikan kami. Memperhatikan perempuan yang tampak sudah berumur mengajukan pengakuan dengan lantang, tanpa keraguan. Mata perempuan itu memang tampak berkantung tapi tidak menyiratkan keletihan yang sama dengan kerut di wajahnya.

Kupersilahkan perempuan itu duduk, menceritakan setiap detail yang dia maksud, setelah menanyakan nama, umur dan apakah dirinya benar-benar yakin dengan apa yang dia katakan.

Dia yakin, dia menceritakannya dengan penuh keyakinan bahwa malam itu pukul 11 malam di tanggal 20 Februari 8 tahun lalu suaminya pulang dalam keadaan mabuk sambil membawa sebotol minuman keras yang telah tandas. Saat itu anak laki-lakinya yang membukakan pintu.

Perempuan itu meletakkan kedua tangannya di atas meja, di atas sebuah kantung plastik berwarna hitam yang belum sempat kutanyakan isinya. Dia menatap mataku lurus-lurus saat menceritakan semuanya, seolah menceritakan hal yang biasa terjadi di masa lalu.

“Saat itu suami saya berteriak-teriak, meminta uang. Dia biasa melakukan itu,” sempat ada senyum getir di bibirnya sebelum ia melanjutkan kembali kalimatnya. “Anak laki-laki saya didorongnya hingga menabrak meja, lalu dia menyusul ayahnya yang sedang membongkar lemari pakaian di kamar. Saat itu pula saya sedang menghalangi suami saya untuk mengambil uang simpanan saya, uang itu sudah saya janjikan untuk membayar tunggakan sekolah anak saya,” dia menghentikan kalimatnya sejenak, mengerutkan dahi, menghela napas, sempat kulihat tangan kanannya mengepal.

“Saya memohon agar uang itu jangan diambil, saya menjelaskan untuk apa uang itu tapi suami saya tidak mendengarkannya, dia malah mendorong saya hingga terjatuh ke belakang. Anak laki-laki saya pun berteriak, meneriaki ayahnya dengan segala macam umpatan,” perempuan itu menyingkirkan rambut yang sempat menutupi wajahnya. “Saya tidak tahu siapa yang mengajarinya mengumpat seperti itu dan saya tidak menyangka dia akan mengatakannya pada ayahnya yang mabuk. Lalu sesaat setelah itu saya mendengar suara botol yang pecah, botol minuman yang dipegang suami saya, dia menahan anak saya dengan tangannya dan mendekatkan pecahan botol itu ke lehernya sambil berkata, berani kau bicara seperti itu pada ayahmu, kubunuh kau, kau bukan anakku.”

Sejenak perempuan itu menghentikkan kalimatnya, meremas kantung plastik yang dibawanya. Aku sempat menawarinya minum untuk meredakan emosi yang tampak jelas di wajahnya tapi perempuan itu menolak dengan  senyuman.

“Dia berteriak seperti itu, berkali-kali. Saya sempat maju sambil memukul-mukul punggungnya, 
memohon, berteriak, jangan sakiti dia, dia anak kita. Tapi dia mabuk, sama seperti malam-malam sebelumnya, telinganya tidak akan cukup baik untuk mendengarkan. Dia mendekatkan pecahan botol itu di wajah anak laki-laki saya, menggores wajahnya hingga berdarah, saya mendengar suara teriakan anak saya, setelah itu semuanya gelap.”

Saat menghela napas perempuan tua itu sempat menutup mata sejenak. “Saat semuanya jelas suami saya sudah terkapar di lantai dan saya memegang seutas tali rafia yang entah saya dapatkan dari mana.”

“Dia mati.”

***

“Lalu apa masalahnya? Dia sudah menyerahkan diri, membawa barang bukti, kasus selesai kan?”

“Begitulah,” aku menyesap segelas teh yang baru saja dihidangkan, meletakkannya kembali dan memperhatikan berkas-berkas milik  perempuan tua yang datang beberapa hari lalu mengakui pembunuhan yang dilakukannya. “Sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja ada hal yang membuatku heran.”

“Soal?”

Seorang petugas yang mengantarkan perempuan itu padaku menanyakan kelanjutan kasusnya hari ini, di saat aku terlihat sedang tidak banyak kerjaan katanya.

“Anak laki-lakinya. Usianya 12 tahun saat pembunuhan itu terjadi, sekarang usianya 20 tahun. Saat aku menemuinya beberapa hari lalu dia tampak tidak berniat membela ibunya. Saat kutanya apakah dia bersedia bersaksi di pengadilan dia menjawab dengan mantap, dia bersedia. Sempat kutanya apakah dia akan bersaksi memberatkan atau sebaliknya dia malah menjawab—“

“Saya akan mengatakan yang sejujurnya.”

“Sejujurnya?”

“Iya, sejujurnya.”

Laki-laki dihadapanku tak seperti berusia 20 tahun, aku bisa melihat tato di pergelangan tangannya, sebuah anting di telinga kirinya, wajahnya tampak gelap, kotor serta memiliki bekas luka memanjang di pipi kanannya dan sejak tadi kucium bau alkohol yang menguar di udara. Saat itu jam 8 pagi dan dia tidak mengijinkanku dan rekanku masuk ke dalam rumahnya untuk sekedar duduk atau menikmati teh manis.

“Ibu saya membunuh ayah saya.”

“Walaupun itu dilakukan untuk melindungi anda?”

Dia tertawa, “Melindungi? Ibu hanya terlalu panik saat itu. Saya tidak memintanya untuk membunuh ayah saat itu. Cukup pukul saja tengkuknya, punggungnya, atau apalah, buat dia pingsan. Untuk apa membunuhnya?”

Mengingat hal itu membuatku bergidik ngeri, anak itu tampak tak memiliki kekhawatiran apapun terhadap ibunya. “Dia akan berkata jujur, itu bagus, tapi tanpa membela ibunya yang menyelamatkan nyawanya,” ujarku kemudian dihadapan rekan kerjaku yang hanya terkekeh pendek.

“Kau terlalu sentimental. Selesaikan saja kasus itu, tak usah kau pikirkan urusan keluarganya. Bukti sudah ada bahkan perempuan itu yang membawanya sendiri, saksi ada bahkan anaknya sendiri. Kau tidak perlu repot-repot memikirkan hal yang menyulitkan,” dia menepuk bahuku lalu pergi kembali ke mejanya meninggalkanku, mengingatkanku kembali pada kelanjutan cerita yang disampaikan perempuan tua itu.

“Saya tidak menyesal membunuh suami saya,” saat itu terdengar kemantapan dalam suara perempuan tua itu, dia mengepalkan kedua tangannya. “Dia sudah menyiksa saya dan anak saya, dia sudah berkali-kali melakukan itu, pulang dalam keadaan mabuk, mencekik saya ketika tidak mendapatkan uang, memukulkan kepala anak saya ke tembok, memukulnya dengan batang kayu, membakar telapak tangannya dengan puntung rokok,” perempuan tua itu terkekeh sedetik sebelum berkata, “Dia hanya belum membunuh kami saja.”

“Saya hanya menyesal kenapa anak saya harus menyaksikan pembunuhan itu dan kenapa saya harus merepotkan kakek To, membuatnya membawa dosa ini hingga kematiannya.”

“Siapa kakek To ini?”

“Tetangga kami, dia sering membantu kami, kadang membela kami ketika suami saya mabuk dan hendak menganiaya kami, dia seorang penggali kubur. Dia yang membantu saya menyembunyikan mayat suami saya di sebuah makam.”

Saat itu sempat kulihat air mata di pelupuk mata perempuan tua itu, sebelum dia mengusapnya cepat-cepat dan kembali berkata. “Saya hanya menyesali itu.”

Hening sejenak, aku sempat kebingungan harus bertanya apalagi sebelum sesuatu menyadarkanku.

“Kenapa ibu menyerahkan diri sekarang?”

Dia tersenyum tipis sekali, menampilkan  kerut-kerut di sekitar bibirnya. “Anak saya yang memintanya. Dia sudah lelah hidup bersama saya.”

***

“Jadi anaknya yang meminta ibunya menyerahkan diri?”

“Begitulah.”

“Wow—“ teman dihadapanku menyeruput kopi yang dia pesan beberapa menit lalu. “Aku dengar memang kalian meminta seorang pengacara dari tempat kerjaku untuk membela seorang perempuan yang didakwa kasus pembunuhan tapi aku baru mendengar detailnya sekarang.”

“Kau belum menerima berkasnya.”

“Sudah, sudah, aku sudah membaca berita acara yang kau buat juga.”

“Lalu kenapa kau masih tampak kaget?”

Perempuan dihadapanku mengangkat bahu. “Entahlah, mendengarnya secara langsung terasa lebih dramatis. Ah ya, aku akan menemui anaknya besok dan alamatnya—“ dia mengecek handphonenya. “Hei, bukankah ini alamat sebuah perumahan?”

“Begitulah,” kujawab singkat saja lalu menikmati sepotong donat di atas meja.

“Dia tidak mampu membayar pengacara untuk membela ibunya?”

Aku bisa melihat kerutan di dahi perempuan itu yang berkata sambil menunjukkan handphone miliknya, berisi alamat lengkap perempuan itu dan anak laki-lakinya.

“Biaya pengacara mahal. Lagipula aku sudah bilang kan, anaknya yang meminta ibunya menyerahkan diri, anaknya bahkan bersedia bersaksi untuk memberatkan ibunya.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah, terimakasih atas infonya, aku harus pergi,” tangannya meraih sepotong donat memasukkannya ke mulut sambil memperhatikan jam di pergelangangan tangannya.

“Hei, seharusnya aku tidak menceritakan ini padamu kan?”

Tangan perempuan itu mengambil donat yang digigitnya. “Tenang saja, aku akan memberikan informasi eksklusif tentang kasus ini padamu,” dia tersenyum sekilas sebelum menggigit kembali donatnya dan mengambil satu kunyahan. “Lagipula kau penasaran dengan akhirnya kan?”

...

Saat itu pukul 10 pagi, ketika sudah kukenakan pakaian resmi dan mengetuk pintu di hadapanku berkali-kali, tak ada jawaban. Beberapa menit lalu aku sudah merasa tidak enak karena harus membuka pagar pintu yang tak terkunci dan masuk ke halaman rumah, sekarang dengan perasaan geram ingin kudobrak saja pintu rumah ini.

Kudengar suara pintu terbuka, pintu di sebelah rumah ini, seorang perempuan paruh baya yang masih mengenakan rol rambut keluar dan menatapku keheranan.

“Mbak nyari siapa?”

“Penghuni rumah ini ada bu?”

“Oh, si Toni. Ada pasti kalau jam segini tapi paling masih teler mbak di dalam. Beberapa hari ini dia sukanya pulang tengah malam, mabuk, bikin gaduh lagi kadang sambil bawa cewek entah dari mana. Haduh—semenjak nggak ada ibunya makin menjadi kelakuan anak itu. Kasian ibunya.”

Aku hanya tersenyum simpul, mendengarkan penjelasan panjang dan informasi lengkap khas ibu-ibu. “Ibu tau ibunya dimana?” tanyaku basa-basi hanya menguji seberapa luas informasi yang dimiliki ibu tetangga ini.

“Katanya si Toni sih dipenjara karena membunuh ayahnya si Toni. Waktu mereka pindah kesini memang ayahnya Toni udah nggak ada katanya sih kabur gitu, tapi saya nggak percaya si ibunya Toni yang baik itu bunuh suaminya sendiri, kalau si Toni nya sih mungkin,” si ibu tetangga terkekeh sambil menutup tangannya, aku tersenyum simpul, mudah sekali baginya menjelaskan dugaan demi dugaan.

“Ah ya—mbak ini siapa?”

Sebelum menjawab terdengar suara pintu terbuka, sosok perempuan muda yang hanya mengenakan kaos longgar dengan rambut berantakan menampilkan wajah tak ramah. Sedetik ibu tetangga sempat melirik ke pintu sebelum menggeleng-gelengkan kepala dan berlalu. Tak mau berurusan langsung dengan kelakuan anak tetangganya sepertinya.

“Siapa?”

“Toni nya ada?”

Perempuan muda itu memperhatikan penampilanku dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi, berhenti di wajahku. “Kau bukan seperti tipe nya Toni.”

“Memang bukan,” jawabku santai. “Saya hanya pengacara yang disewa untuk membela ibunya Toni, saya membutuhkan keterangan dari Toni untuk meringkankan hukuman ibunya.”

Kemudian sosok yang ditunggu-tunggu datang, mendorong pintu memaksaku mundur selangkah. Laki-laki itu berdiri tanpa pakaian memamerkan beberapa bekas luka yang telah menghitam,  hanya mengenakan celana kolor sedengkul, menguap dan membuatku menahan napas, alkohol. Menyengat sekali.

“Saudara Toni saya—“

“Saya sudah tahu dan saya tidak peduli. Saya tidak akan membela ibu saya, saya akan mengatakan sejujurnya, dia sudah membunuh ayah saya. Lagipula siapa yang akan membayar pengacara?”

“Ini bantuan dari negara agar ibu anda tahu hak-haknya di pengadilan, beliau memerlukan pengacara seperti saya dan saya membutuhkan bantuan anda untuk—“

“Untuk apa? Berbohong di bawah sumpah? Saya akan disumpah di bawah kitab suci dan anda meminta saya untuk berbohong bukan?” laki-laki itu sempat meludah, tepat di sebelah sepatu yang kukenakan, meninggalkan gumpalan berlendir berwarna putih.

“Bukan, saya tidak meminta anda untuk berbohong, anda bisa menjelaskan bahwa ibu anda membunuh untuk membela anda yang nyaris terbunuh, anda juga bisa menceritakan bahwa selama ini anda dan ibu anda mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan begitu anda bisa meringankan hukuman ibu anda.”

Sedetik laki-laki itu terdiam, aku sempat menangkap keraguan di matanya memancing senyum di wajahku. Dia pasti luluh, bagaimanapun dia akan menghadapi ibunya sendiri.

“Dia nggak akan mau mbak, kalau ibunya di penjara cuma sebentar dia nggak bakal sebebas ini, iya kan sayang?” perempuan itu meminta persetujuan sambil mengelus pipi laki-laki yang berdiri di sampingnya.

Sedetik kemudian keraguan itu sirna berganti dengan ekspresi wajah sombong seolah hidupnya akan lebih panjang daripada hukuman ibunya. “Iya, saya jadi nggak bisa pakai uang ibu sesuka hati seperti sekarang. Lagipula ibu sepertinya tidak ingin hukumannya diringankan, dia sudah siap menanggung semua dosanya.”

Setelah itu pintu kembali dibanting, meninggalkanku yang mematung di depan pintu, bersama seorang ibu tetangga yang sepertinya sudah mencuri dengar sejak tadi. Saat dia hendak melemparkan pertanyaan lebih lanjut padaku, kulemparkan senyum lebih dulu padanya, berpamitan dan berbalik meninggalkan rumah itu.

...

“Mbaknya bertemu Toni?”

“Iya saya bertemu dengan dia tadi pagi.”

“Bagaimana keadaan dia?”

Aku terdiam selama beberapa detik memperhatikan ekspresi perempuan tua dihadapanku dan berdoa semoga aku tidak akan memiliki anak seperti anaknya di masa depan. “Baik, dia sehat.”

“Syukurlah,” perempuan itu menyentuh dadanya dan tersenyum penuh rasa syukur, membuatku mengumpat sekali lagi, mengumpati anak laki-lakinya.

“Saya datang kesini untuk membantu anda. Saya tahu apa saja yang sudah anda alami dan saya harap—“

“Tidak perlu mbak,” perempuan itu kembali memajukan duduknya, tersenyum. “Saya tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini selain ketenangan dan Toni. Toni sudah dewasa dan saya sudah menyerahkan semua yang saya miliki padanya, sekarang tinggal saya yang menyelesaikan urusan saya dengan hukum.”

“Semuanya? Maksud anda uang?”

“Tentu saja,” perempuan tua itu tersenyum. “Saya hanya bisa meninggalkan beberapa rupiah untuknya tapi itu semua yang saya miliki.”

Aku mengusap dahi sekilas, memperhatikan ekspresi seorang yang penuh keibuan di hadapanku, kebahagiannya hanya berasal dari kabar bahwa anak semata wayangnya baik-baik saja. “Apakah anak anda bekerja?”

“Tidak, dia tidak mau bekerja, saya pernah memaksanya tapi,” perempuan itu menggelengkan kepalanya. “Dia tidak mau, dia berkata sekolah saja sudah membuatnya lelah apalagi bekerja.”

Aku mengerutkan dahi tanda tak setuju, tak setuju dengan kepasrahan seorang ibu dihadapanku yang menyetujui setiap permintaan anaknya. “Tapi, tapi dia sering membantu saya di rumah, walaupun dia tidak bekerja, dia sering membantu, iya sering.”

Perempuan tua itu menganggukkan kepalanya meminta persetujuanku dan aku hanya tersenyum meredakan kegelisahannya, kegelisahan yang muncul ketika aku mengira anaknya adalah anak yang merepotkan. Dia berusaha membuatku mengubah pemikiran itu, ya itu tampak sekali dari sikapnya.

***

Kasus itu berlangsung singkat, sang anak bersaksi dengan sejujur-jujurnya sambil menambahkan bahwa langkah yang diambil ibunya saat itu berlebihan dan sang ibu mengungkapkan bahwa dia memang melakukan pembunuhan atas suaminya lalu pengadilan memutuskan hukuman.

Aku memang mengikuti kasus itu hingga akhir termasuk mendengarkan informasi dari seorang teman yang telah bolak-balik bertemu dengan sang anak dan menerima tolakan berkali-kali. Dia lelah dan sempat mengumpat beberapa kali dihadapanku, mengeluhkan tingkah bebal sang anak dan bagaimana bisa anak itu membiarkan ibunya begitu saja dipenjara dan hanya peduli pada uang yang ditinggalkannya.

“Kau tahu, dia berkata apa saat kutemui terakhir kali. Saya sudah tidak membutuhkan ibu, saya sudah dewasa, sudah 20 tahun. Aku tahu dia memang hanya ingin uang ibunya, makanya dia meminta ibunya menyerahkan diri supaya bisa menguasai semua harta ibunya yang sudah diatas namakan dia. Benar-benar aku tidak habis pikir. Astaga, aku kasihan sekali pada ibunya.”

Aku pun begitu, setahuku tidak ada yang pernah menjenguk perempuan tua itu, tidak anaknya, tidak kerabatnya. Pernah sekali waktu aku datang dan yang dia tanyakan pertama kali adalah kabar anaknya. Saat kujawab baik-baik saja dia menghela napas lega sambil tersenyum.

Sampai kemudian kudengar kabar pagi ini perampokan di alamat yang kukenal, perampokan yang memaksaku untuk datang ke lokasi kejadian dan kembali menemukan wajah yang sempat kutemui sekali, terbujur kaku bersama seorang perempuan yang hanya mengenakan kaos longgar.

Aku tak akan menemukan cara untuk memberi tahu ibunya dalam waktu dekat ini, entah sampai kapan.

Blog ini sepertinya sudah bersarang laba-laba... dan semoga setelah ini saya akan rutin membersihkan blog ini dan mengisinya dengan berbagai cerpen yang akan berterbangan. Mungkin ada beberapa pernyataan atau prosedur yang tidak sesuai dengan fakta yang ada, saya mohon pengertian untuk itu, koreksi sangat terbuka jika ada dan terimakasih karena kesediaannya untuk membaca :) 


0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang