Jam telah
menunjukkan pukul 10 malam ketika seseorang mengetuk pintu kamar, menghentikan
tawaku di depan layar laptop, memberi jeda selama beberapa detik untuk membuka
pintu dan menyambut sang tamu. Mama, melongok ke dalam kamar begitu pintu
kubuka lebar, lalu masuk, memperhatikan layar laptop yang terbuka di atas meja
dan mengambil tempat di ujung kasur.
“Kok belum tidur,
nduk?”
Kuusap tengkuk,
lalu menyusul duduk di samping beliau. “Masih nonton ma, kenapa?”
“Lha besok pagi
kan kamu mau ketemu nak Gala. Kok
masih belum tidur?”
Kuhela napas
berat berusaha untuk memahami keluhan mama tersayang. Beliau selalu memintaku
untuk tidur cepat setiap kali akan ada hal penting keesokan harinya dan kali
ini hal yang beliau anggap penting adalah pertemuanku dengan anak laki-laki
kenalannya. Proses perkenalan katanya, secara kasar kusebut sebagai proses
perjodohan.
“Iya ma, habis
ini tidur kok. Tenang aja, besok Yaya bakal bangun pagi. Dan datang sesuai
waktu janjian.”
“Lho—“ mama
menunjukkan jari telunjuknya, menolak dengan cepat ucapanku. “Jangan sesuai
waktu janjian, harus lebih cepet.”
“Ngapain ma?
Masak cewek yang nunggu lama.”
Mama mendecakkan
lidah, “ Gimana sih, nggak masalah kamu yang sampai duluan. Kamu tunjukkan ke
nak Gala kalau kamu itu orangnya tepat waktu. Jaman sekarang orang yang tepat
waktu kan jarang tuh, kamu bisa membuat dia terkesan,” mama mengucapkannya
dengan nada riang gembira dan penekanan pada kata terkesan, seolah ingin
membuatku terkesan dengan pendapat beliau, agar aku menyetujuinya.
Ya—aku memang
setuju, tak ingin banyak berdebat kali ini kuanggukkan saja kepalaku. “Iya ma,
Yaya bakal dateng 10 menit sebelum waktu janjian. “
“Bagus-bagus,”
mama mengangguk-anggukkan kepala. “Jangan lupa dandan yang cantik.”
“Iya ma,” aku
beranjak dari sisi kasur menuju ke meja tempat aku meletakkan laptop. “Tenang
aja, aku udah sering juga kan ketemu sama anak laki-laki kenalannya mama.”
Mama menepuk
kedua tangannya, membuatku terkejut. “Nah itu ngerti kalau udah sering. Mama
udah capek Ya, udah capek ngenalin kamu. Kali ini harus berhasil pokoknya.”
Aku tertawa
hambar mengingat setiap laki-laki yang dikenalkan oleh mama. Semuanya gagal di
pertemuan pertama, entah karena laki-laki tersebut tidak pernah muncul di waktu janjian, tingkah laki-laki itu menyebalkan
dan tidak sopan, laki-laki itu menolak secara langsung ide perjodohan sambil
berkata—
“Kamu bilang ke
mama kamu ya kalau kamu nggak cocok sama aku, biar perjodohan ini batal. Karena
sebenarnya aku udah punya pacar.”
Sampai ke
pembatalan karena mama dan kenalannya tiba-tiba memiliki masalah yang membuat
mama memutuskan untuk tidak mengenalkan anakku dengan anak kenalannya tersebut
lebih lanjut.
“Umur kamu tuh
udah umur menikah, dulu mama udah punya kakak kamu waktu seumur kamu. Kan mama
takut kalau kamu jadi perawan tua.”
Ucapan itu
terulang kembali minggu lalu, memaksaku menyanggupi paksaan mama untuk menerima
tawaran bertemu dengan anak kenalannya yang lain.
“Ya—gimana lagi
ma. Yaya kan berusaha, tapi kalau sananya nggak cocok sama Yaya gimana?”
“Halah,” mama
mengibaskan tangannya dengan cepat seolah mengusir alasan yang kubuat. “ Mau lah pasti mau,
katanya si Gala ini udah ngerasa cocok kok waktu ngeliat foto kamu.”
Aku tertawa
hambar, mama mengulangi kalimat itu setiap kali aku akan bertemu dengan anak
kenalannya.
“Ya udah sekarang
kamu tidur lho, besok jam 8 kamu ketemu Gala di cafe—“
“Black tea kan?”
“Iya itu, kamu
tahu tempatnya?”
“Tahu ma, itu kan
deket kantor.”
Mama menganggukkan
kepala lalu berjalan menuju pintu kamar, kuikuti langkah beliau dari belakang
sebelum beliau berbalik secara tiba-tiba dan memaksaku untuk mundur selangkah
secara reflek, menyelamatkan diri dari tabrakan dua wajah.
“Ingat lho,
jangan telat. Mama besok mau pergi ke rumah om mu jam 6 jadi mama nggak bisa
bangunin kamu sebelum jam 8.”
“Beres ma.”
Pintu ditutup
perlahan meninggalkanku dan kelegaan yang merambat. sekilas kulirik jam dinding
di atas meja sebelum kuputuskan untuk menikmati drama yang tertunda, satu
episode lagi.
***
Kuambil langkah
cepat, secepat yang kubisa. Mama telah meneleponku beberapa saat lalu dengan
omelan memenuhi telinga ketika aku yang sudah terburu-buru, terseok-seok tak
sempat berdandan berusaha untuk bersiap ke tempat yang dijanjikan. Beliau sudah
mengancam akan berhenti mempertemukanku dengan anak kenalannya, saat aku
berpamitan dan meminta ijin menutup telepon karena harus menyetir. Kepanikan
sempat merambati langkahku ketika tiba di lokasi, selama beberapa detik langkahku
serupa peserta lomba jalan cepat. Butuh beberapa menit sebelum akal sehatku mengambil alih.
Bukankah menjadi
hal yang bagus jika mama berhenti mengenalkanku dengan anak kenalannya.
Kupelankan
langkah seiring ide yang muncul begitu saja. Mensyukuri kebodohan yang
kulakukan pagi ini. Terlambat ketika menemui anak kenalan mama bisa saja
menjadi tiket menuju kebebasan. Senyumku merekah ketika mendorong pintu masuk cafe, tanpa kecemasan kucari laki-laki yang dimaksud mama, yang dipamerkan potretnya oleh beliau dan katanya akan mengenakan kemeja biru muda. Mataku mencari setiap penikmat cafe yang ada dan berusaha
untuk tersenyum manis ketika laki-laki yang kuyakini anak kenalan mama
memperhatikan gerak-gerikku dan bertanya, “Yaya?”
“Gala?”
Dia menganggukkan
kepalanya dan menawarkan kursi kosong dihadapannya. Tak kusangka laki-laki itu
akan menyapa ramah dan mempersilahkanku duduk. Kukira dia akan menatapku dengan
tatapan penuh kebencian karena menyianyiakan satu jam nya yang berharga.
“Kamu telat satu
jam ya?”
Aku tersenyum
miris, meminta kemakluman. Sepertinya senyuman dan sapaan ramah tadi hanyalah
penundaan untuk melempar sinisme yang membuatku merasa bersalah.
“Maaf tadi
ketiduran.”
“Nggak masalah,”
laki-laki dihadapanku memamerkan senyumannya yang tak seimbang, “Satu jam bukan
masalah kok.”
Ucapannya
benar-benar mengandung paksaan agar aku menyesali satu jam yang kusia-siakan.
Kuhela napas,
memperhatikan pemilik tahi lalat di bawah mata yang duduk di hadapanku, dia
yang sekaligus pengguna kemeja biru dan pemilik iphone di atas meja. Matanya tak berpaling dariku, seolah
memperhatikan wajahku dari ujung rambut hingga sebatas meja, mungkin sebentar
lagi dia akan mengomentari wajah tanpa riasan yang kupamerkan padanya pagi
ini.
Aku bertanya
singkat padanya,”Ada masalah?”
Dia menggelengkan
kepala lalu tersenyum, senyumannya tak seimbang, tangan kanannya menahan dagu
dan melalui satu pertanyaan ia membuatku terpaku.
“Apa yang
membuatmu jatuh cinta?”
Sejenak kuperhatikan
ekpsresinya di tengah situasi saat itu yang hening tanpa suara. Aku tak tahu siapa
yang menghentikan lagu yang sejak tadi terputar dari pengeras suara seolah
memaksaku untuk fokus pada pertanyaannya, pada ucapannya.
Apa yang membuatku jatuh cinta
Setelah
memejamkan mata sejenak kujawab pertanyaannya.
“Senyum dan tawa.”
Aku jatuh cinta
beberapa kali di setiap masa sekolah, kuliah dan memasuki dunia kerja hingga pekerjaan
menghabiskan energi dan memaksaku untuk melupakan masalah cinta. Aku jatuh
cinta beberapa kali dan beberapa kali pula harus menyerah atas cinta yang
kumiliki, entah itu cinta monyet yang sekedar mengagumi dari jauh atau cinta
yang kudoakan sebelum tidur.
Ketika menginjak
bangku SMP aku mengenal cinta untuk pertama kali pada seorang kakak kelas yang
tampak keren ketika berjalan melewati kelasku. Bagaimana berjalan melewati
kelas bisa membuatnya tampak keren? Jangan tanyakan pertanyaan itu ketika
usiaku 14 tahun. Aku hanya tau bahwa memperhatikan seorang kakak kelas dari
jauh membuat hari-hari di sekolah menjadi jauh lebih menyenangkan.
Sepertinya jika
diingat-ingat kembali mungkin yang membuatku jatuh cinta pada
kakak kelas itu adalah keriangannya, pada tawanya Dia selalu mampu melempar
tawa pada teman-temannya, sesekali dia tertawa ketika melewatiku, ketika aku
berpapasan dengannya. Tawanya menggelegar, lepas sekali, sesekali dia memegangi
perutnya, sesekali ia tertawa sambil menepuk-nepuk bahu temannya seolah
bersimpati ketika temannya yang menjadi bahan guyonan. Tawa itu membuka
mulutnya lebar-lebar, memaksanya untuk berhenti sejenak kadang, membuatku ingin
tertawa bersamanya, mengerti yang ditertawakannya.
Usiaku 14 tahun
dan aku duduk di bangku kelas 2 SMP, tapi seseorang dengan tawa yang lepas
telah membuat masa-masa SMPku berwarna.
Setelah itu dia
lulus dan aku berpacaran dengan laki-laki yang satu kelas denganku sebelum
akhirnya kami putus karena dia mengeluhkan ketidakperhatianku padanya. Jika
ditanya apakah aku jatuh cinta pada pacar pertamaku itu? Sepertinya tidak. Aku tidak
pernah mengagumi tawanya seperti aku mengagumi tawa kakak kelasku dulu.
Menginjak bangku
SMA seorang teman sekelas membuatku jatuh cinta dengan senyumannya yang kukira
hanya untukku. Butuh waktu sekitar 6 bulan bagiku untuk menyadari bahwa senyum
simpulnya yang memamerkan lesung pipi itu adalah trademark yang memang ia miliki sebagai laki-laki yang baik pada
semua perempuan. Setelah patah hati karena mengetahui laki-laki dengan senyum
simpul itu baru saja memiliki pacar, kuputuskan untuk menerima laki-laki yang
menembakku secara tiba-tiba melalui telpon.
Dia yang menjadi
pacarku saat SMA adalah laki-laki yang baik tapi senyum dan perhatiannya tak
pernah membuatku berpaling dari senyum simpul laki-laki berlesung pipi. Pada
akhirnya dia memutuskanku di saat kelulusan, berkata bahwa dia tahu hatiku
bukan untuknya.
Dipenuhi rasa
bersalah, kuputuskan untuk fokus di bangku kuliah, perasaan seolah penjahat
membuatku memilih untuk baru akan benar-benar menerima laki-laki jika aku
benar-benar jatuh cinta padanya. Dan ternyata di bangku kuliah hatiku jatuh
pada laki-laki yang telah menjatuhkan hatinya pada perempuan lain. Laki-laki
yang bermain basket di lapangan kampus dan tertawa gembira setiap kali berhasil
mencetak angka, menepuk tangan teman-temannya yang menyodorkan ucapan selamat
dan tertawa sambil berteriak yes
dengan penuh semangat.
Aku jatuh cinta
padanya sore itu dan patah hati keesokan harinya, tapi sayangnya hati yang
patah tidak memberikanku kesempatan untuk melepas perhatian dari tawa dan
kegembiraannya di lapangan. Tawanya menarik sudut matanya ke belakang,
membentuk kerutan-kerutan yang mungkin akan membekas di hari tuanya. Tak
masalah pikirku saat itu, aku akan menerima kerutan bekas kebahagiaan itu
dengan penuh cinta. Aku berdoa untuknya sebelum lelap dan berharap dia akan
menyadari keberadaanku suatu saat nanti.
Sayangnya, hingga
bertambah gelar di belakang namaku dia tak pernah mengenalku dan aku tak pernah
berani mengenalkan diri padanya. Masa perkulihanku berakhir dengan seorang laki-laki
yang kemudian mengisi statusku setelah berkali-kali kutolak kehadirannya. Aku
memang mengingkari janji yang pernah ku ikrarkan pada diri sendiri untuk tidak
menerima laki-laki yang tidak membuatku jatuh cinta, mungkin karena itu pula hubunganku
dengannya hanya bertahan beberapa bulan, dia menyadari betapa aku tak pernah
menerima dirinya sepenuhnya dan dia menyerah. Meninggalkanku dengan pekerjaanku.
Menginjak usia ke
23 tahun aku pernah jatuh cinta sekali lagi dengan rekan kerjaku yang akhirnya
memutuskan untuk resign, berwirausaha
dan menikah dengan perempuan yang ia kenal secara kebetulan. Meninggalkanku yang
jatuh cinta pada senyumnya setiap kali memberiku nasehat, setiap kali dia
menceritakan cita-citanya padaku, menceritakan masa depan yang ia rencanakan dengan matang. Senyuman penuh keyakinan yang membuatku sempat percaya bahwa
kali ini aku akan berhasil, berhasil mendapatkan seseorang yang telah membuatku
jatuh cinta.
Kemudian aku kembali
patah hati dan memutuskan untuk tenggelam dalam pekerjaan. Baru saja kuhadiri
pernikahan laki-laki mantan rekan kerjaku itu dan masih jelas dalam ingatan bahwa senyumannya
masih menimbulkan perasaan kagum saat ia menyalami tanganku, mengucapkan
terimakasih atas kedatanganku.
Kuhela napas
berat yang sedikit menyesakkan dada, mengingat semua itu membuatku merasa kecewa sekaligus puas, tahun-tahun
penuh perasaan cinta dan perasaan patah hati yang silih berganti. Memori yang tak
bisa melenyapkan senyum yang muncul, seringai khas milikku ketika mengingat
masa lalu. Lengkungan tak seimbang yang kata temanku seolah meremehkan, seperti
milik laki-laki yang duduk di hadapanku.
“Lalu bagaimana
denganmu?”
Kulihat mulutnya
terbuka, hendak mengeluarkan suara sebelum pengeras suara cafe mengeluarkan
suara keras yang berulang-ulang, peringatan yang familiar, melengking, nyaring.
Sedetik kemudian
aku membuka mata. Tersadar di atas tempat tidur saat alarm pukul 06.30 berbunyi
membangunkan dari mimpi penuh nostalgia. Selama beberapa detik kupandangi
langit-langit kamar sebelum handphoneku berdering kembali dengan kata Mama di
layar.
***
07.50, aku telah
duduk manis di cafe black tea menikmati secangkir earl grey dan harumnya yang mewarnai
pagi. Memperhatikan pemandangan di luar jendela yang dipenuhi lalu lalang
kendaraan. Mengingat kembali mimpi yang mulai samar-samar.
Kuperhatikan
pintu masuk cafe yang dijaga seorang pramusaji, siap menyapa dan
menanyakan akan duduk bersama berapa orang. Beberapa menit pramusaji itu
berdiri sendirian, beberapa menit pula dia mengobrol dengan pramusaji lain yang
berada di dekatnya. Kualihkan pandangan ke jam di pergelangan tangan ketika tepat
pukul 08.00 dan pintu kaca didorong
seorang laki-laki yang mengenakan kemeja biru muda.
Laki-laki itu
membalas pertanyaan sang pelayan dengan senyuman dan jawaban singkat.
Sedetik mataku
terpaku pada keberadaannya, pada senyuman ramah yang dia perlihatkan pada
pramusaji itu. Detik berikutnya dia menangkap keberadaanku dan memamerkan
senyuman yang berbeda— senyuman tak seimbang yang seolah mengerti sesuatu.
Sesuatu yang
membuatku mengalihkan pandangan dengan cepat berusaha menyembunyikan rasa malu yang tiba-tiba datang
2 komentar :
kenapa cowoknya nge-smirk terus............ #plak
tapi aku suka pertanyaannya. suka. banget.
Apa yang membuatmu jatuh cinta?
*seketika langsung bernostalgia*
@Hilwy Al Hanin Biar keren, hahaha nggak nin. Nggak tau tuh, mungkin salah satu sisi birinya sariawan ._.
Aih~ nostalgianya boleh lama-lama nin siapa tau bisa jadi inspirasi nulis :3
Posting Komentar