Rabu, 18 Maret 2015

Apa yang Membuatmu Jatuh Cinta?


Jam telah menunjukkan pukul 10 malam ketika seseorang mengetuk pintu kamar, menghentikan tawaku di depan layar laptop, memberi jeda selama beberapa detik untuk membuka pintu dan menyambut sang tamu. Mama, melongok ke dalam kamar begitu pintu kubuka lebar, lalu masuk, memperhatikan layar laptop yang terbuka di atas meja dan mengambil tempat di ujung kasur.

“Kok belum tidur, nduk?”

Kuusap tengkuk, lalu menyusul duduk di samping beliau. “Masih nonton ma, kenapa?”

“Lha besok pagi kan kamu mau ketemu nak Gala. Kok masih belum tidur?”

Kuhela napas berat berusaha untuk memahami keluhan mama tersayang. Beliau selalu memintaku untuk tidur cepat setiap kali akan ada hal penting keesokan harinya dan kali ini hal yang beliau anggap penting adalah pertemuanku dengan anak laki-laki kenalannya. Proses perkenalan katanya, secara kasar kusebut sebagai proses perjodohan.

“Iya ma, habis ini tidur kok. Tenang aja, besok Yaya bakal bangun pagi. Dan datang sesuai waktu janjian.”

“Lho—“ mama menunjukkan jari telunjuknya, menolak dengan cepat ucapanku. “Jangan sesuai waktu janjian, harus lebih cepet.”

“Ngapain ma? Masak cewek yang nunggu lama.”

Mama mendecakkan lidah, “ Gimana sih, nggak masalah kamu yang sampai duluan. Kamu tunjukkan ke nak Gala kalau kamu itu orangnya tepat waktu. Jaman sekarang orang yang tepat waktu kan jarang tuh, kamu bisa membuat dia terkesan,” mama mengucapkannya dengan nada riang gembira dan penekanan pada kata terkesan, seolah ingin membuatku terkesan dengan pendapat beliau, agar aku menyetujuinya.

Ya—aku memang setuju, tak ingin banyak berdebat kali ini kuanggukkan saja kepalaku. “Iya ma, Yaya bakal dateng 10 menit sebelum waktu janjian. “

“Bagus-bagus,” mama mengangguk-anggukkan kepala. “Jangan lupa dandan yang cantik.”

“Iya ma,” aku beranjak dari sisi kasur menuju ke meja tempat aku meletakkan laptop. “Tenang aja, aku udah sering juga kan ketemu sama anak laki-laki kenalannya mama.”

Mama menepuk kedua tangannya, membuatku terkejut. “Nah itu ngerti kalau udah sering. Mama udah capek Ya, udah capek ngenalin kamu. Kali ini harus berhasil pokoknya.”

Aku tertawa hambar mengingat setiap laki-laki yang dikenalkan oleh mama. Semuanya gagal di pertemuan pertama, entah karena laki-laki tersebut tidak pernah muncul di  waktu janjian, tingkah laki-laki itu menyebalkan dan tidak sopan, laki-laki itu menolak secara langsung ide perjodohan sambil berkata—

“Kamu bilang ke mama kamu ya kalau kamu nggak cocok sama aku, biar perjodohan ini batal. Karena sebenarnya aku udah punya pacar.”

Sampai ke pembatalan karena mama dan kenalannya tiba-tiba memiliki masalah yang membuat mama memutuskan untuk tidak mengenalkan anakku dengan anak kenalannya tersebut lebih lanjut. 

“Umur kamu tuh udah umur menikah, dulu mama udah punya kakak kamu waktu seumur kamu. Kan mama takut kalau kamu jadi perawan tua.”

Ucapan itu terulang kembali minggu lalu, memaksaku menyanggupi paksaan mama untuk menerima tawaran bertemu dengan anak kenalannya yang lain.

“Ya—gimana lagi ma. Yaya kan berusaha, tapi kalau sananya nggak cocok sama Yaya gimana?”

“Halah,” mama mengibaskan tangannya dengan cepat seolah mengusir  alasan yang kubuat. “ Mau lah pasti mau, katanya si Gala ini udah ngerasa cocok kok waktu ngeliat foto kamu.”

Aku tertawa hambar, mama mengulangi kalimat itu setiap kali aku akan bertemu dengan anak kenalannya.

“Ya udah sekarang kamu tidur lho, besok jam 8 kamu ketemu Gala di cafe—“

“Black tea kan?”

“Iya itu, kamu tahu tempatnya?”

“Tahu ma, itu kan deket kantor.”

Mama menganggukkan kepala lalu berjalan menuju pintu kamar, kuikuti langkah beliau dari belakang sebelum beliau berbalik secara tiba-tiba dan memaksaku untuk mundur selangkah secara reflek, menyelamatkan diri dari tabrakan dua wajah.

“Ingat lho, jangan telat. Mama besok mau pergi ke rumah om mu jam 6 jadi mama nggak bisa bangunin kamu sebelum jam 8.”

“Beres ma.”

Pintu ditutup perlahan meninggalkanku dan kelegaan yang merambat. sekilas kulirik jam dinding di atas meja sebelum kuputuskan untuk menikmati drama yang tertunda, satu episode lagi.

***
Kuambil langkah cepat, secepat yang kubisa. Mama telah meneleponku beberapa saat lalu dengan omelan memenuhi telinga ketika aku yang sudah terburu-buru, terseok-seok tak sempat berdandan berusaha untuk bersiap ke tempat yang dijanjikan. Beliau sudah mengancam akan berhenti mempertemukanku dengan anak kenalannya, saat aku berpamitan dan meminta ijin menutup telepon karena harus menyetir. Kepanikan sempat merambati langkahku ketika tiba di lokasi, selama beberapa detik langkahku serupa peserta lomba jalan cepat. Butuh beberapa menit sebelum akal sehatku mengambil alih.

Bukankah menjadi hal yang bagus jika mama berhenti mengenalkanku dengan anak kenalannya.

Kupelankan langkah seiring ide yang muncul begitu saja. Mensyukuri kebodohan yang kulakukan pagi ini. Terlambat ketika menemui anak kenalan mama bisa saja menjadi tiket menuju kebebasan. Senyumku merekah ketika mendorong pintu masuk cafe, tanpa kecemasan kucari laki-laki yang dimaksud mama, yang dipamerkan potretnya oleh beliau dan katanya akan mengenakan kemeja biru muda. Mataku mencari setiap penikmat cafe yang ada dan berusaha untuk tersenyum manis ketika laki-laki yang kuyakini anak kenalan mama memperhatikan gerak-gerikku dan bertanya, “Yaya?”

“Gala?”

Dia menganggukkan kepalanya dan menawarkan kursi kosong dihadapannya. Tak kusangka laki-laki itu akan menyapa ramah dan mempersilahkanku duduk. Kukira dia akan menatapku dengan tatapan penuh kebencian karena menyianyiakan satu jam nya yang berharga.

“Kamu telat satu jam ya?”

Aku tersenyum miris, meminta kemakluman. Sepertinya senyuman dan sapaan ramah tadi hanyalah penundaan untuk melempar sinisme yang membuatku merasa bersalah.

“Maaf tadi ketiduran.”

“Nggak masalah,” laki-laki dihadapanku memamerkan senyumannya yang tak seimbang, “Satu jam bukan masalah kok.”

Ucapannya benar-benar mengandung paksaan agar aku menyesali satu jam yang kusia-siakan.
Kuhela napas, memperhatikan pemilik tahi lalat di bawah mata yang duduk di hadapanku, dia yang sekaligus pengguna kemeja biru dan pemilik iphone di atas meja. Matanya tak berpaling dariku, seolah memperhatikan wajahku dari ujung rambut hingga sebatas meja, mungkin sebentar lagi dia akan mengomentari wajah tanpa riasan yang kupamerkan padanya pagi ini.

Aku bertanya singkat padanya,”Ada masalah?”

Dia menggelengkan kepala lalu tersenyum, senyumannya tak seimbang, tangan kanannya menahan dagu dan melalui satu pertanyaan ia membuatku terpaku.

“Apa yang membuatmu jatuh cinta?”

Sejenak kuperhatikan ekpsresinya di tengah situasi saat itu yang hening tanpa suara. Aku tak tahu siapa yang menghentikan lagu yang sejak tadi terputar dari pengeras suara seolah memaksaku untuk fokus pada pertanyaannya, pada ucapannya.

Apa yang membuatku jatuh cinta

Setelah memejamkan mata sejenak kujawab pertanyaannya.

“Senyum dan tawa.”

Aku jatuh cinta beberapa kali di setiap masa sekolah, kuliah dan memasuki dunia kerja hingga pekerjaan menghabiskan energi dan memaksaku untuk melupakan masalah cinta. Aku jatuh cinta beberapa kali dan beberapa kali pula harus menyerah atas cinta yang kumiliki, entah itu cinta monyet yang sekedar mengagumi dari jauh atau cinta yang kudoakan sebelum tidur.

Ketika menginjak bangku SMP aku mengenal cinta untuk pertama kali pada seorang kakak kelas yang tampak keren ketika berjalan melewati kelasku. Bagaimana berjalan melewati kelas bisa membuatnya tampak keren? Jangan tanyakan pertanyaan itu ketika usiaku 14 tahun. Aku hanya tau bahwa memperhatikan seorang kakak kelas dari jauh membuat hari-hari di sekolah menjadi jauh lebih menyenangkan.

Sepertinya jika diingat-ingat kembali mungkin yang membuatku jatuh cinta pada kakak kelas itu adalah keriangannya, pada tawanya Dia selalu mampu melempar tawa pada teman-temannya, sesekali dia tertawa ketika melewatiku, ketika aku berpapasan dengannya. Tawanya menggelegar, lepas sekali, sesekali dia memegangi perutnya, sesekali ia tertawa sambil menepuk-nepuk bahu temannya seolah bersimpati ketika temannya yang menjadi bahan guyonan. Tawa itu membuka mulutnya lebar-lebar, memaksanya untuk berhenti sejenak kadang, membuatku ingin tertawa bersamanya, mengerti yang ditertawakannya.

Usiaku 14 tahun dan aku duduk di bangku kelas 2 SMP, tapi seseorang dengan tawa yang lepas telah membuat masa-masa SMPku berwarna.

Setelah itu dia lulus dan aku berpacaran dengan laki-laki yang satu kelas denganku sebelum akhirnya kami putus karena dia mengeluhkan ketidakperhatianku padanya. Jika ditanya apakah aku jatuh cinta pada pacar pertamaku itu? Sepertinya tidak. Aku tidak pernah mengagumi tawanya seperti aku mengagumi tawa kakak kelasku dulu.

Menginjak bangku SMA seorang teman sekelas membuatku jatuh cinta dengan senyumannya yang kukira hanya untukku. Butuh waktu sekitar 6 bulan bagiku untuk menyadari bahwa senyum simpulnya yang memamerkan lesung pipi itu adalah trademark yang memang ia miliki sebagai laki-laki yang baik pada semua perempuan. Setelah patah hati karena mengetahui laki-laki dengan senyum simpul itu baru saja memiliki pacar, kuputuskan untuk menerima laki-laki yang menembakku secara tiba-tiba melalui telpon.

Dia yang menjadi pacarku saat SMA adalah laki-laki yang baik tapi senyum dan perhatiannya tak pernah membuatku berpaling dari senyum simpul laki-laki berlesung pipi. Pada akhirnya dia memutuskanku di saat kelulusan, berkata bahwa dia tahu hatiku bukan untuknya.

Dipenuhi rasa bersalah, kuputuskan untuk fokus di bangku kuliah, perasaan seolah penjahat membuatku memilih untuk baru akan benar-benar menerima laki-laki jika aku benar-benar jatuh cinta padanya. Dan ternyata di bangku kuliah hatiku jatuh pada laki-laki yang telah menjatuhkan hatinya pada perempuan lain. Laki-laki yang bermain basket di lapangan kampus dan tertawa gembira setiap kali berhasil mencetak angka, menepuk tangan teman-temannya yang menyodorkan ucapan selamat dan tertawa sambil berteriak yes dengan penuh semangat.

Aku jatuh cinta padanya sore itu dan patah hati keesokan harinya, tapi sayangnya hati yang patah tidak memberikanku kesempatan untuk melepas perhatian dari tawa dan kegembiraannya di lapangan. Tawanya menarik sudut matanya ke belakang, membentuk kerutan-kerutan yang mungkin akan membekas di hari tuanya. Tak masalah pikirku saat itu, aku akan menerima kerutan bekas kebahagiaan itu dengan penuh cinta. Aku berdoa untuknya sebelum lelap dan berharap dia akan menyadari keberadaanku suatu saat nanti.

Sayangnya, hingga bertambah gelar di belakang namaku dia tak pernah mengenalku dan aku tak pernah berani mengenalkan diri padanya. Masa perkulihanku berakhir dengan seorang laki-laki yang kemudian mengisi statusku setelah berkali-kali kutolak kehadirannya. Aku memang mengingkari janji yang pernah ku ikrarkan pada diri sendiri untuk tidak menerima laki-laki yang tidak membuatku jatuh cinta, mungkin karena itu pula hubunganku dengannya hanya bertahan beberapa bulan, dia menyadari betapa aku tak pernah menerima dirinya sepenuhnya dan dia menyerah. Meninggalkanku dengan pekerjaanku.

Menginjak usia ke 23 tahun aku pernah jatuh cinta sekali lagi dengan rekan kerjaku yang akhirnya memutuskan untuk resign, berwirausaha dan menikah dengan perempuan yang ia kenal secara kebetulan. Meninggalkanku yang jatuh cinta pada senyumnya setiap kali memberiku nasehat, setiap kali dia menceritakan cita-citanya padaku, menceritakan masa depan yang ia rencanakan dengan matang. Senyuman penuh keyakinan yang membuatku sempat percaya bahwa kali ini aku akan berhasil, berhasil mendapatkan seseorang yang telah membuatku jatuh cinta.

Kemudian aku kembali patah hati dan memutuskan untuk tenggelam dalam pekerjaan. Baru saja kuhadiri pernikahan laki-laki mantan rekan kerjaku  itu dan masih jelas dalam ingatan bahwa senyumannya masih menimbulkan perasaan kagum saat ia menyalami tanganku, mengucapkan terimakasih atas kedatanganku.

Kuhela napas berat yang sedikit menyesakkan dada, mengingat semua itu membuatku  merasa kecewa sekaligus puas, tahun-tahun penuh perasaan cinta dan perasaan patah hati yang silih berganti. Memori yang tak bisa melenyapkan senyum yang muncul, seringai khas milikku ketika mengingat masa lalu. Lengkungan tak seimbang yang kata temanku seolah meremehkan, seperti milik laki-laki yang duduk di hadapanku.

“Lalu bagaimana denganmu?”

Kulihat mulutnya terbuka, hendak mengeluarkan suara sebelum pengeras suara cafe mengeluarkan suara keras yang berulang-ulang, peringatan yang familiar, melengking, nyaring.

Sedetik kemudian aku membuka mata. Tersadar di atas tempat tidur saat alarm pukul 06.30 berbunyi membangunkan dari mimpi penuh nostalgia. Selama beberapa detik kupandangi langit-langit kamar sebelum handphoneku berdering kembali dengan kata Mama di layar.

*** 
07.50, aku telah duduk manis di cafe black tea menikmati secangkir earl grey dan harumnya yang mewarnai pagi. Memperhatikan pemandangan di luar jendela yang dipenuhi lalu lalang kendaraan. Mengingat kembali mimpi yang mulai samar-samar.

Kuperhatikan pintu masuk cafe  yang dijaga seorang pramusaji, siap menyapa dan menanyakan akan duduk bersama berapa orang. Beberapa menit pramusaji itu berdiri sendirian, beberapa menit pula dia mengobrol dengan pramusaji lain yang berada di dekatnya. Kualihkan pandangan ke jam di pergelangan tangan ketika tepat pukul 08.00  dan pintu kaca didorong seorang laki-laki yang mengenakan kemeja biru muda.

Laki-laki itu membalas pertanyaan sang pelayan dengan senyuman dan jawaban singkat.
Sedetik mataku terpaku pada keberadaannya, pada senyuman ramah yang dia perlihatkan pada pramusaji itu. Detik berikutnya dia menangkap keberadaanku dan memamerkan senyuman yang berbeda— senyuman tak seimbang yang seolah mengerti sesuatu.

Sesuatu yang membuatku mengalihkan pandangan dengan cepat berusaha menyembunyikan rasa malu yang tiba-tiba datang




2 komentar :

Unknown at: 4 April 2015 pukul 16.29 mengatakan... Reply

kenapa cowoknya nge-smirk terus............ #plak
tapi aku suka pertanyaannya. suka. banget.

Apa yang membuatmu jatuh cinta?

*seketika langsung bernostalgia*

Vanessa Praditasari at: 13 Juli 2015 pukul 20.44 mengatakan... Reply

@Hilwy Al Hanin Biar keren, hahaha nggak nin. Nggak tau tuh, mungkin salah satu sisi birinya sariawan ._.
Aih~ nostalgianya boleh lama-lama nin siapa tau bisa jadi inspirasi nulis :3

Posting Komentar

Beo Terbang