Senin, 13 Juli 2015

Kencan


Seorang perempuan mendesah lelah ketika keluar dari sebuah ruangan yang hendak dimasuki laki-laki berkemeja biru tua, kepalanya sempat berputar beberapa derajat memperhatikan langkah lunglai perempuan yang ia kenal sebagai seorang karyawan baru. Tanpa sempat menyapa dan menanyakan keadaannya untuk berbasa-basi—laki-laki itu sebenarnya lupa nama perempuan yang berpapasan dengannya, ia memilih untuk mengetuk pintu kaca dan masuk sebelum mendengar jawaban.

Penghuni ruangan mengangkat kepalanya dari tumpukan kertas di atas meja, sekilas ia memberikan tatapan terganggu sebelum menutup map berwarna merah kusam dan meletakkan kedua tangannya di atas meja. “Apakah tadi aku sudah memintamu untuk masuk?”

“Apakah itu perlu?” sosok laki-laki yang sudah melinting lengan kemejanya hingga ke siku dan menyampirkan dasi ke dalam saku duduk di kursi tepat di hadapan penghuni ruangan tanpa diberi aba-aba. “Tidak kah kau melihat jam? Sudah waktunya istirahat.”

“Benarkah?” Perempuan yang mengenakan kacamata itu tidak mengangkat kepalanya dari berkas lain, sedetik ia meneliti berkas itu sebelum mendongakkan kepala, melipat kedua tangan di depan dada dan bertanya, “Sepertinya kau tidak akan pergi sampai aku memberikan perhatian padamu sepenuhnya.”

“Tepat sekali,” laki-laki itu menjentikkan jarinya. “Ayo kita makan di luar.”

Perempuan itu menghela napas sembari memperhatikan jam di balik pergelangan tangannya. Sedetik ia tersenyum—hingga membuat laki-laki dihadapannya mengerutkan dahi sekilas. Perempuan itu  lalu menopang dagunya dan menatap laki-laki itu lurus-lurus. “Kuiyakan jika kau sebut ini kencan.”

Laki-laki itu memajukan kepalanya beberapa senti dengan dahi berkerut, memastikan apa yang ia dengar dan ia lihat. Senyum perempuan itu dan caranya meminta benar-benar penuh percaya diri. 

“Baiklah. Hanya itu?”

Bersandar pada kursinya, melipat tangan di depan dada ia mengedikkan bahunya sekilas. “Sepertinya tidak. Apakah permintaan itu sedikit aneh?”

“Tidak. Mungkin kau memang butuh teman kencan.”

“Aku mendengar ejekan dalam pernyataanmu.”

Laki-laki itu mengangkat bahunya dan meminta sang perempuan untuk bergegas meninggalkan kantor sebelum jam istirahat mereka habis karena obrolan tak berujung.

“Mau kemana kita?” perempuan itu meraih tas hitamnya dan segera menyusul sang laki-laki yang sudah berada di depan pintu, mempersilahkannya untuk keluar lebih dahulu. Saat mereka hendak melangkah memasuki lift, sosok perempuan pertama yang ditemui si laki-laki sebelum memasuki ruangan tepat berada di dalam lift dan hendak keluar. Senyum canggung terulas jelas di wajahnya dan perempuan yang saat ini menjadi teman kencan laki-laki itu membalas senyumnya dengan senyum yang lebih ‘bersahabat’ . “Tidak istirahat?”

“Nggak mbak. Nanti aja.”

Mereka berpisah setelah pintu lift tertutup dan hanya tinggal pasangan kencan makan siang yang tinggal di dalamnya.

“Kau habis memarahinya kan tadi?”

“Tebakan dari mana itu?”

“Aku masuk tepat saat dia keluar, wajahnya lelah sekali. Kau minta dia melakukan apa?”

Perempuan yang mengenakan blouse biru tua itu hanya melirik laki-laki disampingnya. “Mengulang apa yang dia kerjakan dan menyerahkannya padaku sebelum pulang nanti. Dia melakukan sedikit kesalahan.”

Laki-laki itu tertawa sinis sambil berucap, “Kau benar-benar kejam dan kaku.”

“Aku setuju pada istilah kaku, tapi tidak pada istilah lainnya, kejam—“ dia mencibir sinis. “Yang benar saja, aku punya seekor sugar glider yang menyayangiku.”

“Kau hanya baik pada binatang, bukan manusia.”

Perempuan itu tampak terkesima sedetik sebelum berkata, “Mungkin kau benar.”

Pintu lift terbuka bersamaan dengan beberapa karyawan yang menyapa sekedarnya, mereka berdua melewati pintu keluar dan menuju sebuah cafe yang terkenal dengan pancake nya. Ya—pancake, bukan makanan berat seperti nasi ataupun mie, steak ataupun spaghetti.

Perempuan itu memandang menu dengan dahi berkerut. “Kau yakin tidak ingin makan di tempat lain?”

“Kita sedang kencan kan. Tidak asik kalau aku mengajakmu ke restoran keluarga.”

Setelah membentuk “O” dengan mulutnya perempuan itu memutuskan untuk memesan pancake dengan toping buah plus jus strawberry, sementara sang laki-laki hanya memesan segelas susu dan basic pancake.

Selama beberapa menit menunggu pesanan datang mereka berdua terlibat dalam pembicaraan standar tentang pekerjaan, masalah dalam kantor, gosip-gosip kecil. Hingga 10 menit berlalu sang laki-laki merasa mendominasi pembicaraan sementara perempuan yang ia sebut kaku dan kejam hanya menopang dagu menjawab beberapa kali, menanggapi dan menarik topik lagi dari laki-laki di hadapannya. Satu tambahan lagi, perempuan itu selalu menatap lurus-lurus sang lawan bicara dan tersenyum ataupun tertawa sesekali.

Ketika makanan datang pembicaraan terhenti dan sang laki-laki memperhatikan saat perempuan itu tersenyum pada pelayan dan mengucapkan terimakasih.

“Aku heran kenapa kau masih single  hingga saat ini.”

Perempuan itu memiringkan kepalanya. “Apa yang membuatmu heran?”

“Kau cukup menarik walaupun tidak cantik dan benar-benar tahu caranya membuat lawan bicaramu bercerita banyak. Kau tahu cara menempatkan diri, lalu—“

“Bukankah kau baru saja mengatakan kalau aku kaku, kejam dan apa tadi, tidak cantik?” perempuan itu memotong pancakenya dan menikmati potongan kecilnya dengan ekspresi riang. “Pancake disini benar-benar enak.”

“Ya itu hanyalah beberapa kekuranganmu.”

Perempuan itu mengubah belahan rambut pendeknya dalam sekali sisiran jari, menarik sisi kanannya ke kiri dan membuatnya mengembang tebal di sisi lain. “Kau tahu, aku tidak selalu membuat lawan bicaraku bercerita banyak. Hanya mereka yang memiliki wajah menarik atau topik yang menarik.”
Laki-laki itu menghentikan gerakan pisaunya, lalu menatap perempuan di hadapannya yang mulai tersenyum tipis—senang melihat reaksi laki-laki itu, “Lalu aku yang mana?”

“Yang pertama. Kau jelas berwajah menarik.”

Laki-laki itu meletakkan pisaunya tepat di atas piring sebelum menengok ke kiri dan kanan, mengusap tengkuknya dan berkata, “Jarang ada perempuan yang mengatakan hal itu secara langsung.”

“Aku hanya mencoba jujur,” perempuan itu memotong potongan pancake dan memasukkannya ke dalam mulut. Setelah kunyahannya selesai ia melanjutkan kembali, “Jangan pikir hanya laki-laki yang menggoda perempuan menarik, perempuan pun akan lebih tertarik jika kau berwajah menarik atau memiliki topik yang menarik.”

“Jadi topik pembicaraanku tidak menarik?”

“Sejujurnya?” perempuan itu mendengus dan mengalihkan pandangan sekilas. “Apakah aku terlalu jujur?”

“Ya—mungkin itu salah satu alasanmu masih single hingga saat ini.”

Perempuan itu mengedikkan bahunya sambil memotong potongan yang lain, sebelum ia memasukkan potongan itu ke dalam mulutnya ia sempat berkata sambil menatap laki-laki di hadapannya, “Siapa tahu.”

Laki-laki itu terdiam sejenak ketika sang perempuan memutuskan untuk menikmati pancakenya sekali lagi tersenyum bahagia sambil memuji rasanya di setiap gigitan. 

“Tapi, topikmu memang tidak menarik, maaf soal itu.”

Laki-laki di hadapannya hanya tertawa hambar dan berterimakasih untuk penekanan yang diberikan perempuan itu.

“Jadi kau belum menemukan laki-laki berwajah menarik dengan topik yang menarik?”

Perempuan itu mengangkat pisaunya ke udara, lalu memutar-mutarnya pelan. “Sudah, beberapa. Sayangnya mereka tidak tertarik padaku.”

“Sayang sekali.”

“Begitulah. Mungkin karena aku kaku, kejam dan tidak cantik.”

Sang laki-laki menghentikan gerakan pisaunya dan menatap perempuan itu. “Kau benar-benar tidak terima dengan pernyataanku ya?”

“Tidak aku menerimanya dengan senang hati,” perempuan itu memanjangkan kata tidak lalu tertawa, “Aku tahu kau jujur.”

“Lalu bagaimana nasib laki-laki yang tidak berwajah menarik dan tidak memberikanmu topik yang menarik?”

“Aku menolak mereka.”

“Kau mengatakannya dengan mudah.”

“Sepertinya kau bersimpati pada mereka. Memangnya kau tahu rasanya ditolak?” Perempuan itu menopang sisi kepalanya sambil memperhatikan reaksi laki-laki di hadapannya yang menggeleng sambil menjawab, “Tidak.”

“Sudah kuduga.  Kau ingin merasakannya?”

“Ditolak? Boleh juga. Kau akan menolakku?”

“Coba saja.”

“Baiklah,” laki-laki itu berdehem sekali lalu setelah meletakkan pisau dan garpu di atas piring yang telah tandas isinya, ia berkata perlahan. “Maukah kau menjadi pacarku.”

“Boleh.”

Laki-laki di hadapan perempuan itu melongo sejenak tepat ketika perempuan itu berdiri dan berkata. “Kau yang membayar tagihannya karena sekarang kau adalah pacarku,” senyum perempuan itu tersungging jelas sebelum ia meninggalkan sang laki-laki yang kemudian berdiri terburu-buru mengejarnya hingga meja kasir.

“Hei! Kau bilang ini percobaan.”

Perempuan itu terkekeh geli melihat ekspresi sang laki-laki, panik dan penuh ketakutan. “Tenang saja, aku yang bayar dan aku hanya bercanda, tunanganmu bisa membunuhku kalau tahu aku menjebakmu.”

Laki-laki itu menghela napas lega sampai ia mendengar sang perempuan berkata.

“Terimakasih atas kencannya. Mungkin lebih baik tunanganmu tidak tahu mengenai hal ini.”

Tawa kaku laki-laki itu mengundang senyuman di wajah sang perempuan.

“Aku tidak akan mengajakmu kencan lain kali.”

  

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang