Seorang perempuan
mendesah lelah ketika keluar dari sebuah ruangan yang hendak dimasuki laki-laki
berkemeja biru tua, kepalanya sempat berputar beberapa derajat memperhatikan
langkah lunglai perempuan yang ia kenal sebagai seorang karyawan baru. Tanpa sempat
menyapa dan menanyakan keadaannya untuk berbasa-basi—laki-laki itu sebenarnya
lupa nama perempuan yang berpapasan dengannya, ia memilih untuk mengetuk pintu
kaca dan masuk sebelum mendengar jawaban.
Penghuni ruangan
mengangkat kepalanya dari tumpukan kertas di atas meja, sekilas ia memberikan
tatapan terganggu sebelum menutup map berwarna merah kusam dan meletakkan kedua
tangannya di atas meja. “Apakah tadi aku sudah memintamu untuk masuk?”
“Apakah itu
perlu?” sosok laki-laki yang sudah melinting lengan kemejanya hingga ke siku
dan menyampirkan dasi ke dalam saku duduk di kursi tepat di hadapan penghuni
ruangan tanpa diberi aba-aba. “Tidak kah kau melihat jam? Sudah waktunya
istirahat.”
“Benarkah?”
Perempuan yang mengenakan kacamata itu tidak mengangkat kepalanya dari berkas
lain, sedetik ia meneliti berkas itu sebelum mendongakkan kepala, melipat kedua
tangan di depan dada dan bertanya, “Sepertinya kau tidak akan pergi sampai aku
memberikan perhatian padamu sepenuhnya.”
“Tepat sekali,”
laki-laki itu menjentikkan jarinya. “Ayo kita makan di luar.”
Perempuan itu
menghela napas sembari memperhatikan jam di balik pergelangan tangannya.
Sedetik ia tersenyum—hingga membuat laki-laki dihadapannya mengerutkan dahi
sekilas. Perempuan itu lalu menopang
dagunya dan menatap laki-laki itu lurus-lurus. “Kuiyakan jika kau sebut ini
kencan.”
Laki-laki itu
memajukan kepalanya beberapa senti dengan dahi berkerut, memastikan apa yang ia
dengar dan ia lihat. Senyum perempuan itu dan caranya meminta benar-benar penuh
percaya diri.
“Baiklah. Hanya itu?”
Bersandar pada
kursinya, melipat tangan di depan dada ia mengedikkan bahunya sekilas.
“Sepertinya tidak. Apakah permintaan itu sedikit aneh?”
“Tidak. Mungkin
kau memang butuh teman kencan.”
“Aku mendengar
ejekan dalam pernyataanmu.”
Laki-laki itu
mengangkat bahunya dan meminta sang perempuan untuk bergegas meninggalkan
kantor sebelum jam istirahat mereka habis karena obrolan tak berujung.
“Mau kemana
kita?” perempuan itu meraih tas hitamnya dan segera menyusul sang laki-laki
yang sudah berada di depan pintu, mempersilahkannya untuk keluar lebih dahulu.
Saat mereka hendak melangkah memasuki lift,
sosok perempuan pertama yang ditemui si laki-laki sebelum memasuki ruangan
tepat berada di dalam lift dan hendak
keluar. Senyum canggung terulas jelas di wajahnya dan perempuan yang saat ini
menjadi teman kencan laki-laki itu membalas senyumnya dengan senyum yang lebih ‘bersahabat’
. “Tidak istirahat?”
“Nggak mbak.
Nanti aja.”
Mereka berpisah
setelah pintu lift tertutup dan hanya tinggal pasangan kencan makan siang yang
tinggal di dalamnya.
“Kau habis
memarahinya kan tadi?”
“Tebakan dari
mana itu?”
“Aku masuk tepat
saat dia keluar, wajahnya lelah sekali. Kau minta dia melakukan apa?”
Perempuan yang
mengenakan blouse biru tua itu hanya
melirik laki-laki disampingnya. “Mengulang apa yang dia kerjakan dan
menyerahkannya padaku sebelum pulang nanti. Dia melakukan sedikit kesalahan.”
Laki-laki itu
tertawa sinis sambil berucap, “Kau benar-benar kejam dan kaku.”
“Aku setuju pada
istilah kaku, tapi tidak pada istilah lainnya, kejam—“ dia mencibir sinis.
“Yang benar saja, aku punya seekor sugar
glider yang menyayangiku.”
“Kau hanya baik
pada binatang, bukan manusia.”
Perempuan itu
tampak terkesima sedetik sebelum berkata, “Mungkin kau benar.”
Pintu lift
terbuka bersamaan dengan beberapa karyawan yang menyapa sekedarnya, mereka
berdua melewati pintu keluar dan menuju sebuah cafe yang terkenal dengan pancake nya. Ya—pancake, bukan makanan berat seperti nasi ataupun mie, steak ataupun spaghetti.
Perempuan itu
memandang menu dengan dahi berkerut. “Kau yakin tidak ingin makan di tempat
lain?”
“Kita sedang
kencan kan. Tidak asik kalau aku mengajakmu ke restoran keluarga.”
Setelah
membentuk “O” dengan mulutnya perempuan itu memutuskan untuk memesan pancake dengan toping buah plus jus strawberry, sementara sang laki-laki
hanya memesan segelas susu dan basic
pancake.
Selama beberapa
menit menunggu pesanan datang mereka berdua terlibat dalam pembicaraan standar
tentang pekerjaan, masalah dalam kantor, gosip-gosip kecil. Hingga 10 menit
berlalu sang laki-laki merasa mendominasi pembicaraan sementara perempuan yang
ia sebut kaku dan kejam hanya menopang dagu menjawab beberapa kali, menanggapi
dan menarik topik lagi dari laki-laki di hadapannya. Satu tambahan lagi,
perempuan itu selalu menatap lurus-lurus sang lawan bicara dan tersenyum ataupun
tertawa sesekali.
Ketika makanan
datang pembicaraan terhenti dan sang laki-laki memperhatikan saat perempuan itu
tersenyum pada pelayan dan mengucapkan terimakasih.
“Aku heran kenapa
kau masih single hingga saat ini.”
Perempuan itu
memiringkan kepalanya. “Apa yang membuatmu heran?”
“Kau cukup
menarik walaupun tidak cantik dan benar-benar tahu caranya membuat lawan bicaramu bercerita banyak.
Kau tahu cara menempatkan diri, lalu—“
“Bukankah kau
baru saja mengatakan kalau aku kaku, kejam dan apa tadi, tidak cantik?” perempuan itu memotong pancakenya dan menikmati potongan
kecilnya dengan ekspresi riang. “Pancake disini benar-benar enak.”
“Ya itu hanyalah
beberapa kekuranganmu.”
Perempuan itu
mengubah belahan rambut pendeknya dalam sekali sisiran jari, menarik sisi
kanannya ke kiri dan membuatnya mengembang tebal di sisi lain. “Kau tahu, aku
tidak selalu membuat lawan bicaraku bercerita banyak. Hanya mereka yang
memiliki wajah menarik atau topik yang menarik.”
Laki-laki itu
menghentikan gerakan pisaunya, lalu menatap perempuan di hadapannya yang mulai
tersenyum tipis—senang melihat reaksi laki-laki itu, “Lalu aku yang mana?”
“Yang pertama.
Kau jelas berwajah menarik.”
Laki-laki itu
meletakkan pisaunya tepat di atas piring sebelum menengok ke kiri dan kanan,
mengusap tengkuknya dan berkata, “Jarang ada perempuan yang mengatakan hal itu
secara langsung.”
“Aku hanya
mencoba jujur,” perempuan itu memotong potongan pancake dan memasukkannya ke dalam mulut. Setelah kunyahannya
selesai ia melanjutkan kembali, “Jangan pikir hanya laki-laki yang menggoda
perempuan menarik, perempuan pun akan lebih tertarik jika kau berwajah menarik
atau memiliki topik yang menarik.”
“Jadi topik
pembicaraanku tidak menarik?”
“Sejujurnya?”
perempuan itu mendengus dan mengalihkan pandangan sekilas. “Apakah aku terlalu
jujur?”
“Ya—mungkin itu
salah satu alasanmu masih single
hingga saat ini.”
Perempuan itu
mengedikkan bahunya sambil memotong potongan yang lain, sebelum ia memasukkan
potongan itu ke dalam mulutnya ia sempat berkata sambil menatap laki-laki di
hadapannya, “Siapa tahu.”
Laki-laki itu
terdiam sejenak ketika sang perempuan memutuskan untuk menikmati pancakenya sekali lagi tersenyum bahagia
sambil memuji rasanya di setiap gigitan.
“Tapi, topikmu memang
tidak menarik, maaf soal itu.”
Laki-laki di hadapannya
hanya tertawa hambar dan berterimakasih untuk penekanan yang diberikan perempuan itu.
“Jadi kau belum
menemukan laki-laki berwajah menarik dengan topik yang menarik?”
Perempuan itu
mengangkat pisaunya ke udara, lalu memutar-mutarnya pelan. “Sudah, beberapa.
Sayangnya mereka tidak tertarik padaku.”
“Sayang sekali.”
“Begitulah.
Mungkin karena aku kaku, kejam dan tidak cantik.”
Sang laki-laki
menghentikan gerakan pisaunya dan menatap perempuan itu. “Kau benar-benar tidak
terima dengan pernyataanku ya?”
“Tidak aku
menerimanya dengan senang hati,” perempuan itu memanjangkan kata tidak lalu tertawa, “Aku tahu kau jujur.”
“Lalu bagaimana
nasib laki-laki yang tidak berwajah menarik dan tidak memberikanmu topik yang
menarik?”
“Aku menolak
mereka.”
“Kau
mengatakannya dengan mudah.”
“Sepertinya kau bersimpati pada mereka. Memangnya kau
tahu rasanya ditolak?” Perempuan itu menopang sisi kepalanya sambil
memperhatikan reaksi laki-laki di hadapannya yang menggeleng sambil menjawab, “Tidak.”
“Sudah kuduga. Kau ingin merasakannya?”
“Ditolak? Boleh
juga. Kau akan menolakku?”
“Coba saja.”
“Baiklah,”
laki-laki itu berdehem sekali lalu setelah meletakkan pisau dan garpu di atas
piring yang telah tandas isinya, ia berkata perlahan. “Maukah kau menjadi
pacarku.”
“Boleh.”
Laki-laki di hadapan
perempuan itu melongo sejenak tepat ketika perempuan itu berdiri dan berkata. “Kau
yang membayar tagihannya karena sekarang kau adalah pacarku,” senyum perempuan
itu tersungging jelas sebelum ia meninggalkan sang laki-laki yang kemudian
berdiri terburu-buru mengejarnya hingga meja kasir.
“Hei! Kau bilang
ini percobaan.”
Perempuan itu
terkekeh geli melihat ekspresi sang laki-laki, panik dan penuh ketakutan. “Tenang
saja, aku yang bayar dan aku hanya bercanda, tunanganmu bisa membunuhku kalau tahu
aku menjebakmu.”
Laki-laki itu
menghela napas lega sampai ia mendengar sang perempuan berkata.
“Terimakasih atas
kencannya. Mungkin lebih baik tunanganmu tidak tahu mengenai hal ini.”
Tawa kaku
laki-laki itu mengundang senyuman di wajah sang perempuan.
“Aku tidak akan
mengajakmu kencan lain kali.”
0 komentar :
Posting Komentar