Malam itu adalah
malam yang panjang bagi sekelompok laki-laki bersetelan rapi yang memilih untuk
menikmati malam dengan bersenang-senang di balkon. Bermain-main dengan kekuatan
yang mereka miliki, terpisah dari para penikmat pesta yang seolah berbaur akrab
satu sama lain, mengakrabkan diri tanpa terpautkan oleh status ataupun kasta.
Seolah-olah.
Mata biru itu
sibuk mengawasi penikmat musik, tawa dan minuman yang disajikan, beberapa wajah
tampak familiar namun berbeda dalam situasi malam ini. Pakaian mereka, cara
mereka berbicara. Para kasta rendah berbaur dengan kasta-kasta di atasnya dan
berusaha menyesuaikan diri.
“Hei! Arco apa
yang kau lamunkan disana? Kau ingin bergabung dengan mereka?”
Laki-laki bermata
biru yang dipanggil Arco menoleh, memperhatikan teman-temannya yang melempar
perhatian ke arahnya, ia hanya menggelengkan kepala lalu ikut bergabung.
Bersandar pada sisi pagar yang membatasi lantai dan langit.
“Giliranmu,”
salah satu dari mereka menepuk bahu Arco, memberinya tempat duduk. “Kau belum
bermain sejak tadi.”
“Aku sedang
malas,” dia menolehkan kepalanya, membuang pandangan dari teman-temannya ke
arah lain, tanpa bermaksud menangkap mata berwarna coklat tua yang tak berjarak
jauh darinya.
“Hei-hei, ada apa
denganmu, duduk saja,” laki-laki yang memanggilnya tadi yang kali ini mengambil
bagian, memaksanya untuk duduk di kursi dan berhadapan dengan seorang temannya
yang lain. “Walaupun kita tidak bisa menikmati pesta ini, setidaknya kita
berkumpul bersama.”
Arco memperhatikan
temannya yang lain menganggukkan kepala setuju, ia menghela napas dan
memutuskan untuk bergabung, sekedarnya saja. Kalah pun tak akan jadi masalah,
pikirnya.
Di tengah pesta
yang meriah, mereka memilih untuk duduk di balkon bersama angin musim gugur dan
gelas sampanye yang telah tandas. Setelah mengeluhkan bagaimana mereka datang
dipaksa oleh kedua orangtua mereka yang berharap mendapatkan perempuan dari
kasta yang lebih tinggi.
“Bagaimana bisa
mendapatkan mereka, mana mau mereka hidup susah bersama kita dan menurunkan
derajat mereka,” keluh Brendan yang sempat membentak seorang pelayan yang ia
anggap melayaninya dengan tatapan sinis. Pelayan itu pergi meninggalkan Brendan
dengan gerutuan yang menggerakkan cepat bibirnya serupa desisan. Dari desisan itu terdengar kata-kata rendahan
yang sempat membuat darah Brendan mendidih sebelum Gelindo menahannya dan
mengusulkan permainan ini untuk melepaskan amarah.
Arco menempelkan
sikunya di atas meja begitu pula Gelindo. Kedua tangan mereka saling menggenggam
seolah terbalur perekat. Brendan bertindak sebagai juri meletakkan tangannya di
atas kepalan tangan itu, sekejap ketika ia melepaskan tangannya kedua laki-laki
yang duduk berhadapan saling memberikan aksi dan reaksi untuk mempertahankan
posisi.
“Sedangkan
perempuan-perempuan dari kasta seperti kita memilih untuk mencari laki-laki
dengan kasta lebih tinggi,” Ivar menegak isi gelas yang sejak tadi berada di
tangannya, senyum sinisnya terlukis jelas di bibir tipisnya. “Padahal jika
mereka berhasil menggoda laki-laki bangsawan itu malam ini, esok pagi mereka
sudah dilupakan.”
“Mereka termakan
dongeng,” Arco menimpali obrolan itu sebelum memilih untuk memperhatikan
penghuni ruang pesta satu-persatu. “Mereka termakan dongeng tentang bangsawan
Vincent.”
“Maksudmu
bangsawan yang mati itu?”
Tangan Arco tak
sanggup lagi menahan Gelindo yang sejak tadi mendesaknya, niatnya untuk
mengalah saja pupus oleh pembelaan diri yang datang ketika Gelindo mendesak
tangannya untuk terkulai di detik pertama. Ketika Brendan mengatakan berhenti,
posisi Arco jelas tak berada di tengah ataupun daerah kekuasaannya. Ia kalah dalam
posisi bertahan.
“Kau kalah Arco.
Kau kalah,” Gelindo tersenyum puas melihat titik-titik keringat yang muncul di
pelipis Arco. Udara musim gugur belum sempat meniup bulir yang muncul sebagai
tanda perjuangan tubuhnya mengerahkan setiap tenaga yang ia miliki untuk
mengalahkan sosok yang memang lebih besar darinya. Arco sempat berpikir akan
berolahraga lagi esok, otot-ototnya mulai kendur.
Pemilik mata biru itu mengangkat
kedua tangannya ke udara. “Ya, lalu apa yang kalian minta?”
Brendan, Ivar dan
Gelindo berpandangan satu sama lain, seolah berkompromi harus memberikan
hukuman apa pada Arco yang tampak tak peduli pada perintah apapun yang mereka
ucapkan. Mata Brendan berputar sekali lalu terhenti pada sosok perempuan
bergaun biru muda yang menghadap ke arah mereka, sedikit tertutupi oleh perempuan
lain dengan gaun yang tak kalah mewahnya. Sesekali para perempuan tertawa-tawa
sambil menutupi mulut mereka, tawa sopan ala bangsawan yang pantang
memperlihatkan dengan jelas kebahagiaan mereka.
“Kau sempat
membicarakan bangsawan Vincent kan?”
Ivar dan Gelindo
menoleh cepat dari Brendan ke arah pintu, mencari-cari orang yang dimaksud oleh
Brendan hingga mereka menemukan pemilik rambut hitam kelam yang mengenakan gaun
berwarna biru muda. Ketika kedua laki-laki itu menemukannya ia memandang
Brendan dengan penuh tanya, begitupun Arco.
“Ya, lalu?”
“Ajaklah dia
berdansa.”
Tak ada suara
dari Ivar ataupun Gelindo, sementara Arco memutuskan untuk bereaksi dengan alis
yang terangkat sekilas memastikan permintaan Brendan yang terdengar gila. Menyadari
permintaan itu adalah nyata yang tergambar jelas di senyum penuh kemenangan
Brendan.
“Kau gila.”
“Ya, benar kata
Ivar. Kau gila,” Gelindo menyandarkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya di
depan dada, menggelengkan kepala penuh ketidaksetujuan.
Mata biru Arco
berpindah dari teman-temannya ke arah pintu untuk menemukan perempuan yang di maksud
oleh Brendan. Menangkap mata coklatnya yang juga memperhatikan mata birunya,
sedetik mereka bertukar pandang sebelum panggilan Brendan menyadarkannya.
“Bagaimana Arco?
Aku hanya memberikan tawaran, kau bisa menolak jika kau mau,” Brendan tampak
puas dengan tawarannya yang ia kira akan ditolak mentah-mentah oleh Arco.
Menolak tawaran seperti ini bukan berarti pengecut, hanya demi
mempertahankan harga diri. Mengajak seorang keluarga bangsawan sekelas
bangsawan Vincent untuk berdansa, mengingat kasta yang melekat pada mereka
jelas-jelas sebuah kebodohan. Perempuan itu pasti menjatuhkan harga diri orang-orang
seperti mereka dengan tatapan hina.
Brendan hanya ingin melihat ekspresi Arco ketika ia menyerah dan menolak permintaan ini. Eskpresi penuh kekalahan.
“Baiklah” Arco
berdiri, “Ada lagi yang harus kulakukan?”
Seketika Brendan membelalakkan matanya, tubuhnya terdoyong ke depan memastikan ia mendengar dengan benar jawaban dari Arco.
“Kau serius Arco?
Kami tidak akan berada di sana membantumu jika dia menolakmu,” Ivar menatap
Arco dan anak perempuan bangsawan Vincent bergantian dengan cepat, tangannya terentang
seolah menggapai tubuh Arco yang tak tergapai jangkauannya.
Gelindo yang
masih duduk dengan posisi yang sama menimpali dengan cepat. “Dan kalau mereka
menyingkirkanmu karena kau dianggap berbuat kurang ajar aku tak akan ikut
campur. Aku masih mau di sini menikmati makanan dan minuman yang mereka
hidangkan.”
Arco hanya
mengangkat bahu seolah memberi isyarat bahwa ia tak peduli.
Brendan kemudian tertawa,
tertawa lebar sekali. Jelas tawanya tak menunjukkan tawa para pemegang kasta
tertinggi, bangsawan yang menjaga perilaku mereka tanpa cela. Ia menepuk bahu
Arco dan berkata dengan penuh keyakinan, “Aku memperhatikanmu dari sini.”
Arco mendengus
lalu berpaling meninggalkan teman-temannya yang menatapnya dengan tatapan tetaplah tegar walaupun nanti dia menolakmu.
Langkahnya tak mengandung keraguan ketika melewati para penikmat pesta dan
obrolan basa-basi mereka. Ia tak sempat gentar ketika berada di sisi anak
perempuan bangsawan Vincent dan temannya yang menghentikan obrolan mereka demi
memperhatikan laki-laki dari kasta yang lebih rendah berada di dekat mereka.
Sebelum Arco
menundukkan pandangannya, membuat sikap hormat dengan kedua lutut yang sedikit
menekuk ia sempat menangkap pandangan jijik dari teman anak perempuan bangsawan
Vincent dan ekspresi terkejut dari perempuan yang akan diajaknya berdansa.
“Maukah anda
berdansa denganku nona Vincent?” tangan Arco terulur menunggu tangan perempuan
bermata coklat di hadapannya, tanpa mempedulikan keterkejutan perempuan lain di
sampingnya—sangat terkejut hingga menutup mulutnya dan keheningan yang seolah
tiba-tiba menyorotnya dengan lilin di antara kegelapan. Arco menatap
lekat-lekat pemilik mata coklat itu yang kemudian tertawa kecil dan mengulurkan
tangan padanya.
“Dengan senang
hati Tuan Helmut.”
Seketika itu
keheningan berganti dengan bisik-bisik, setelah mengucapkan permintaan maaf
pada teman yang menemaninya mengobrol sejak tadi, pasangan dansa Arco mengikuti
langkah laki-laki yang membawanya ke lantai dansa. Membiarkan perhatian
orang-orang tertuju padanya dan pada laki-laki yang tampak tak terganggu pada
suara desis dan tanya yang merebak.
“Astaga Arco berhasil,”
Brendan hanya mampu menggumam dengan perhatian penuh pada Arco Helmut dan
Audelia Vincent. Gelindo mengangguk-anggukkan kepala puas dan Ivor seolah
nyaris menjatuhkan gelas kosong yang dipegangnya ke lantai.
“Kenapa kau
menyetujui ajakanku?”
Pertanyaan itu
yang pertama kali terdengar di telinga Audelia ketika tangan mereka bersentuhan
dan kaki mereka mengikuti irama musik lembut yang mengalun. Audelia tertawa
kecil dan menjawab, “Tidakkah akan lebih baik jika kau memperkenalkan dirimu
terlebih dahulu?”
Arco mengalihkan pandangannya cepat sebelum ia berdehem sekali dan menyebut namanya.
“Aku Audelia
Vincent. Sejak tadi keberadaan kalian menarik perhatianku dan membuatku
bertanya pada nona Agusta. Dia
benar-benar hapal nama keluarga kalian seperti menghapal percakapan
dasar.”
Arco tertawa
hambar. “Aku bisa melihat itu dari ekspresinya,” Mata Arco memperhatikan
Audelia dan gerakannya yang benar-benar terlatih, mengimbangi kepayahannya
dalam berdansa, ketika tangannya menarik tubuh Audelia saat itu pula ia
melanjutkan pertanyaannya. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Ah ya, kenapa.
Aku rasa kalian sedang bertaruh untuk mengajakku berdansa tadi dan selama
kalian memandangiku bergantian, aku bertaruh salah satu dari kalian tidak akan
berani melakukannya.”
Dahi Arco
berkerut.
“Aku kalah. Kau
menghampiriku, memintaku berdansa denganmu, maka kuterima tawaranmu. Sebagai konsekuensi
dari taruhan yang kubuat dengan diriku sendiri.”
Arco mendengus
lalu merapatkan tubuhnya pada perempuan yang ia genggam kedua tangannya. “Kau
benar-benar aneh.”
“Dan apakah kau
menyukai perempuan aneh?”
Mata Arco sempat
melebar sedetik sebelum ia menangkap senyum Audelia yang tipis tergurat di
wajahnya seolah menyimpan sesuatu yang membuat Arco ingin menggali perempuan
itu lebih dalam lagi.
“Lumayan.”
“Kalau begitu anggaplah
dansa ini adalah awal.”
Ketika musik
berakhir, Audelia memisahkan diri dari Arco yang masih terpana, membalas gestur
hormat perempuan itu dalam gerakan kaku dan membiarkannya berbalik pergi
meninggalkannya. Bertanya-tanya mengenai awal yang dimaksud perempuan itu.
Mengabaikan
kedatangan teman-temannya yang menepuk-nepuk bahunya dengan bangga Arco tak
bisa melepaskan pandangan dari sosok Audelia yang menjauh, bergabung dengan
teman-teman perempuannya yang tampak cemas dan prihatin. Sesekali mata
perempuan-perempuan itu meliriknya dengan tatapan sinis.
“Kau hebat Arco!
Kau berhasil mengajak salah satu anak perempuan dari keluarga blue blood.”
***
Inilah awal dari sebuah cerita bersambung yang entah akan diupdate setiap kapan sekali. Konsep dasar dari kasta diambil dari cerpen Biru yang ada di blog ini dengan sedikit modifikasi untuk menyesuaikan ceritannya. Untuk setting, cerita berlatar di negeri antah berantah. Detailnya akan dijelaskan di sub bab selanjutnya.
Untuk judul keseluruhan belum ditentukan, untuk sementara ini judul akan dibuat sesuai dengan judul sub bab ceritanya.
Semoga series ini benar-benar bisa selesai.
Akhir kata, selamat menunggu~
0 komentar :
Posting Komentar