Rabu, 05 Agustus 2015

Awal


Malam itu adalah malam yang panjang bagi sekelompok laki-laki bersetelan rapi yang memilih untuk menikmati malam dengan bersenang-senang di balkon. Bermain-main dengan kekuatan yang mereka miliki, terpisah dari para penikmat pesta yang seolah berbaur akrab satu sama lain, mengakrabkan diri tanpa terpautkan oleh status ataupun kasta. Seolah-olah.

Mata biru itu sibuk mengawasi penikmat musik, tawa dan minuman yang disajikan, beberapa wajah tampak familiar namun berbeda dalam situasi malam ini. Pakaian mereka, cara mereka berbicara. Para kasta rendah berbaur dengan kasta-kasta di atasnya dan berusaha menyesuaikan diri.

“Hei! Arco apa yang kau lamunkan disana? Kau ingin bergabung dengan mereka?”

Laki-laki bermata biru yang dipanggil Arco menoleh, memperhatikan teman-temannya yang melempar perhatian ke arahnya, ia hanya menggelengkan kepala lalu ikut bergabung. Bersandar pada sisi pagar yang membatasi lantai dan langit.

“Giliranmu,” salah satu dari mereka menepuk bahu Arco, memberinya tempat duduk. “Kau belum bermain sejak tadi.”

“Aku sedang malas,” dia menolehkan kepalanya, membuang pandangan dari teman-temannya ke arah lain, tanpa bermaksud menangkap mata berwarna coklat tua yang tak berjarak jauh darinya.

“Hei-hei, ada apa denganmu, duduk saja,” laki-laki yang memanggilnya tadi yang kali ini mengambil bagian, memaksanya untuk duduk di kursi dan berhadapan dengan seorang temannya yang lain. “Walaupun kita tidak bisa menikmati pesta ini, setidaknya kita berkumpul bersama.”

Arco memperhatikan temannya yang lain menganggukkan kepala setuju, ia menghela napas dan memutuskan untuk bergabung, sekedarnya saja. Kalah pun tak akan jadi masalah, pikirnya.

Di tengah pesta yang meriah, mereka memilih untuk duduk di balkon bersama angin musim gugur dan gelas sampanye yang telah tandas. Setelah mengeluhkan bagaimana mereka datang dipaksa oleh kedua orangtua mereka yang berharap mendapatkan perempuan dari kasta yang lebih tinggi.

“Bagaimana bisa mendapatkan mereka, mana mau mereka hidup susah bersama kita dan menurunkan derajat mereka,” keluh Brendan yang sempat membentak seorang pelayan yang ia anggap melayaninya dengan tatapan sinis. Pelayan itu pergi meninggalkan Brendan dengan gerutuan yang menggerakkan cepat bibirnya serupa desisan. Dari desisan itu terdengar kata-kata rendahan yang sempat membuat darah Brendan mendidih sebelum Gelindo menahannya dan mengusulkan permainan ini untuk melepaskan amarah.

Arco menempelkan sikunya di atas meja begitu pula Gelindo. Kedua tangan mereka saling menggenggam seolah terbalur perekat. Brendan bertindak sebagai juri meletakkan tangannya di atas kepalan tangan itu, sekejap ketika ia melepaskan tangannya kedua laki-laki yang duduk berhadapan saling memberikan aksi dan reaksi untuk mempertahankan posisi.

“Sedangkan perempuan-perempuan dari kasta seperti kita memilih untuk mencari laki-laki dengan kasta lebih tinggi,” Ivar menegak isi gelas yang sejak tadi berada di tangannya, senyum sinisnya terlukis jelas di bibir tipisnya. “Padahal jika mereka berhasil menggoda laki-laki bangsawan itu malam ini, esok pagi mereka sudah dilupakan.”

“Mereka termakan dongeng,” Arco menimpali obrolan itu sebelum memilih untuk memperhatikan penghuni ruang pesta satu-persatu. “Mereka termakan dongeng tentang bangsawan Vincent.”

“Maksudmu bangsawan yang mati itu?”

Tangan Arco tak sanggup lagi menahan Gelindo yang sejak tadi mendesaknya, niatnya untuk mengalah saja pupus oleh pembelaan diri yang datang ketika Gelindo mendesak tangannya untuk terkulai di detik pertama. Ketika Brendan mengatakan berhenti, posisi Arco jelas tak berada di tengah ataupun daerah kekuasaannya. Ia kalah dalam posisi bertahan.

“Kau kalah Arco. Kau kalah,” Gelindo tersenyum puas melihat titik-titik keringat yang muncul di pelipis Arco. Udara musim gugur belum sempat meniup bulir yang muncul sebagai tanda perjuangan tubuhnya mengerahkan setiap tenaga yang ia miliki untuk mengalahkan sosok yang memang lebih besar darinya. Arco sempat berpikir akan berolahraga lagi esok, otot-ototnya mulai kendur.
Pemilik mata biru itu mengangkat kedua tangannya ke udara. “Ya, lalu apa yang kalian minta?”

Brendan, Ivar dan Gelindo berpandangan satu sama lain, seolah berkompromi harus memberikan hukuman apa pada Arco yang tampak tak peduli pada perintah apapun yang mereka ucapkan. Mata Brendan berputar sekali lalu terhenti pada sosok perempuan bergaun biru muda yang menghadap ke arah mereka, sedikit tertutupi oleh perempuan lain dengan gaun yang tak kalah mewahnya. Sesekali para perempuan tertawa-tawa sambil menutupi mulut mereka, tawa sopan ala bangsawan yang pantang memperlihatkan dengan jelas kebahagiaan mereka.

“Kau sempat membicarakan bangsawan Vincent kan?”

Ivar dan Gelindo menoleh cepat dari Brendan ke arah pintu, mencari-cari orang yang dimaksud oleh Brendan hingga mereka menemukan pemilik rambut hitam kelam yang mengenakan gaun berwarna biru muda. Ketika kedua laki-laki itu menemukannya ia memandang Brendan dengan penuh tanya, begitupun Arco.

“Ya, lalu?”

“Ajaklah dia berdansa.”

Tak ada suara dari Ivar ataupun Gelindo, sementara Arco memutuskan untuk bereaksi dengan alis yang terangkat sekilas memastikan permintaan Brendan yang terdengar gila. Menyadari permintaan itu adalah nyata yang tergambar jelas di senyum penuh kemenangan Brendan.

“Kau gila.”

“Ya, benar kata Ivar. Kau gila,” Gelindo menyandarkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya di depan dada, menggelengkan kepala penuh ketidaksetujuan.

Mata biru Arco berpindah dari teman-temannya ke arah pintu untuk menemukan perempuan yang di maksud oleh Brendan. Menangkap mata coklatnya yang juga memperhatikan mata birunya, sedetik mereka bertukar pandang sebelum panggilan Brendan menyadarkannya.

“Bagaimana Arco? Aku hanya memberikan tawaran, kau bisa menolak jika kau mau,” Brendan tampak puas dengan tawarannya yang ia kira akan ditolak mentah-mentah oleh Arco. Menolak tawaran seperti ini bukan berarti pengecut, hanya demi mempertahankan harga diri. Mengajak seorang keluarga bangsawan sekelas bangsawan Vincent untuk berdansa, mengingat kasta yang melekat pada mereka jelas-jelas sebuah kebodohan. Perempuan itu pasti menjatuhkan harga diri orang-orang seperti mereka dengan tatapan hina.

Brendan hanya ingin melihat ekspresi Arco ketika ia menyerah dan menolak permintaan ini. Eskpresi penuh kekalahan.

“Baiklah” Arco berdiri, “Ada lagi yang harus kulakukan?”

Seketika Brendan membelalakkan matanya, tubuhnya terdoyong ke depan memastikan ia mendengar dengan benar jawaban dari Arco.

“Kau serius Arco? Kami tidak akan berada di sana membantumu jika dia menolakmu,” Ivar menatap Arco dan anak perempuan bangsawan Vincent bergantian dengan cepat, tangannya terentang seolah menggapai tubuh Arco yang tak tergapai jangkauannya.

Gelindo yang masih duduk dengan posisi yang sama menimpali dengan cepat. “Dan kalau mereka menyingkirkanmu karena kau dianggap berbuat kurang ajar aku tak akan ikut campur. Aku masih mau di sini menikmati makanan dan minuman yang mereka hidangkan.”

Arco hanya mengangkat bahu seolah memberi isyarat bahwa ia tak peduli.

Brendan kemudian tertawa, tertawa lebar sekali. Jelas tawanya tak menunjukkan tawa para pemegang kasta tertinggi, bangsawan yang menjaga perilaku mereka tanpa cela. Ia menepuk bahu Arco dan berkata dengan penuh keyakinan, “Aku memperhatikanmu dari sini.”

Arco mendengus lalu berpaling meninggalkan teman-temannya yang menatapnya dengan tatapan tetaplah tegar walaupun nanti dia menolakmu. Langkahnya tak mengandung keraguan ketika melewati para penikmat pesta dan obrolan basa-basi mereka. Ia tak sempat gentar ketika berada di sisi anak perempuan bangsawan Vincent dan temannya yang menghentikan obrolan mereka demi memperhatikan laki-laki dari kasta yang lebih rendah berada di dekat mereka.

Sebelum Arco menundukkan pandangannya, membuat sikap hormat dengan kedua lutut yang sedikit menekuk ia sempat menangkap pandangan jijik dari teman anak perempuan bangsawan Vincent dan ekspresi terkejut dari perempuan yang akan diajaknya berdansa.

“Maukah anda berdansa denganku nona Vincent?” tangan Arco terulur menunggu tangan perempuan bermata coklat di hadapannya, tanpa mempedulikan keterkejutan perempuan lain di sampingnya—sangat terkejut hingga menutup mulutnya dan keheningan yang seolah tiba-tiba menyorotnya dengan lilin di antara kegelapan. Arco menatap lekat-lekat pemilik mata coklat itu yang kemudian tertawa kecil dan mengulurkan tangan padanya.

“Dengan senang hati Tuan Helmut.”

Seketika itu keheningan berganti dengan bisik-bisik, setelah mengucapkan permintaan maaf pada teman yang menemaninya mengobrol sejak tadi, pasangan dansa Arco mengikuti langkah laki-laki yang membawanya ke lantai dansa. Membiarkan perhatian orang-orang tertuju padanya dan pada laki-laki yang tampak tak terganggu pada suara desis dan tanya yang merebak.

“Astaga Arco berhasil,” Brendan hanya mampu menggumam dengan perhatian penuh pada Arco Helmut dan Audelia Vincent. Gelindo mengangguk-anggukkan kepala puas dan Ivor seolah nyaris menjatuhkan gelas kosong yang dipegangnya ke lantai.

“Kenapa kau menyetujui ajakanku?”

Pertanyaan itu yang pertama kali terdengar di telinga Audelia ketika tangan mereka bersentuhan dan kaki mereka mengikuti irama musik lembut yang mengalun. Audelia tertawa kecil dan menjawab, “Tidakkah akan lebih baik jika kau memperkenalkan dirimu terlebih dahulu?”

Arco mengalihkan pandangannya cepat sebelum ia berdehem sekali dan menyebut namanya.

“Aku Audelia Vincent. Sejak tadi keberadaan kalian menarik perhatianku dan membuatku bertanya pada nona Agusta. Dia  benar-benar hapal nama keluarga kalian seperti menghapal percakapan dasar.”

Arco tertawa hambar. “Aku bisa melihat itu dari ekspresinya,” Mata Arco memperhatikan Audelia dan gerakannya yang benar-benar terlatih, mengimbangi kepayahannya dalam berdansa, ketika tangannya menarik tubuh Audelia saat itu pula ia melanjutkan pertanyaannya. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Ah ya, kenapa. Aku rasa kalian sedang bertaruh untuk mengajakku berdansa tadi dan selama kalian memandangiku bergantian, aku bertaruh salah satu dari kalian tidak akan berani melakukannya.”

Dahi Arco berkerut.

“Aku kalah. Kau menghampiriku, memintaku berdansa denganmu, maka kuterima tawaranmu. Sebagai konsekuensi dari taruhan yang kubuat dengan diriku sendiri.”

Arco mendengus lalu merapatkan tubuhnya pada perempuan yang ia genggam kedua tangannya. “Kau benar-benar aneh.”

“Dan apakah kau menyukai perempuan aneh?”

Mata Arco sempat melebar sedetik sebelum ia menangkap senyum Audelia yang tipis tergurat di wajahnya seolah menyimpan sesuatu yang membuat Arco ingin menggali perempuan itu lebih dalam lagi.

“Lumayan.”

“Kalau begitu anggaplah dansa ini adalah awal.”

Ketika musik berakhir, Audelia memisahkan diri dari Arco yang masih terpana, membalas gestur hormat perempuan itu dalam gerakan kaku dan membiarkannya berbalik pergi meninggalkannya. Bertanya-tanya mengenai awal yang dimaksud perempuan itu.

Mengabaikan kedatangan teman-temannya yang menepuk-nepuk bahunya dengan bangga Arco tak bisa melepaskan pandangan dari sosok Audelia yang menjauh, bergabung dengan teman-teman perempuannya yang tampak cemas dan prihatin. Sesekali mata perempuan-perempuan itu meliriknya dengan tatapan sinis.

“Kau hebat Arco! Kau berhasil mengajak salah satu anak perempuan dari keluarga blue blood.”

 ***

Inilah awal dari sebuah cerita bersambung yang entah akan diupdate setiap kapan sekali. Konsep dasar dari kasta diambil dari cerpen Biru yang ada di blog ini dengan sedikit modifikasi untuk menyesuaikan ceritannya. Untuk setting, cerita berlatar di negeri antah berantah. Detailnya akan dijelaskan di sub bab selanjutnya.
Untuk judul keseluruhan belum ditentukan, untuk sementara ini judul akan dibuat sesuai dengan judul sub bab ceritanya.
Semoga series ini benar-benar bisa selesai.
Akhir kata, selamat menunggu~ 

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang