“Aku bosan.”
Kepala laki-laki
yang sejak tadi teralihkan pada pemandangan di luar jendela, berputar. Menaruh
penuh perhatian pada perempuan di hadapannya. Perempuan yang menopang dagu
dengan tangan kanan dan menghembuskan napas berat.
“Kau yang
mengajakku kesini tadi.”
“Iya, tapi aku
bosan.”
“Lalu kemana kita
sebaiknya?”
Perempuan itu
memajukan tubuhnya, hingga menyentuh sisi meja. Ekspresi wajahnya persis
seperti anak kecil yang sedang mempromosikan kepada ayahnya, bagaimana sebuah
boneka dapat menyenangkan hati. “Bagaimana
kalau kita ke sebuah restoran?”
“Apa bedanya
dengan tempat ini?”
“Maksudku
restoran mewah. Aku ingin sedikit berdandan, mengenakan pakaian bagus, make up
yang tidak biasa dan makan di restoran mewah.”
Laki-laki yang
mendengarkan penjelasan perempuan itu mengerutkan dahi. Usul tak biasa itu baru
saja membuatnya bertanya-tanya, ada apa dengan perempuan yang dipacarinya tiga
tahun belakangan ini. “Begitukah caramu mengatasi kebosanan?”
“Ya—“ Perempuan
itu menyandarkan tubuhnya di sofa. “Begitulah. Kau tidak ingin melihatku
berdandan cantik sesekali?”
Berkedip sekali,
dua kali lalu menggeleng. Reaksi laki-laki itu membuat perempuan di hadapannya
melipat kedua tangan di depan dada, dengen bibir mengkerut. “Mungkin akan lebih
baik jika aku berdandan untuk lelaki lain.”
“Silahkan, aku
tak akan keberatan. Semoga berhasil,” laki-laki itu mengangkat tangannya santai,
tanpa ekspresi. Tanpa mempedulikan bibir perempuan di hadapannya yang semakin
maju saja.
Helaan napas
berat kembali terdengar, perempuan itu menopang dagunya sembari mengeluh
bagaimana laki-laki yang ia pacari begitu tidak asik.
Setelahnya pembicaraan
mereka berganti ke cuaca hari itu, berita pagi tadi dan apa yang akan mereka
lakukan setelah ini. Perempuan itu tak mengungkit permintaan yang sama dan
laki-laki itu pun begitu. Tanpa banyak berharap, sang perempuan mengabaikan
idenya sampai sebuah kejutan tiba di depan pintu, pada malam berikutnya.
Laki-laki yang ia
pacari tiga tahun belakangan datang dengan kemeja, dasi, lengkap dengan jas
yang disampirkan di lengan kanan.
“Apa yang kau
pakai?”
“Kemeja.”
Perempuan itu
menggelengkan kepala cepat-cepat. “Maksudku, untuk apa?”
“Kau yang
mengajakku makan di restoran mewah kan? Aku hanya mengikuti saranmu.”
Mendengus,
perempuan itu menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan tak percaya.
“Aku membelikanmu
sebuah gaun, soal ukuran aku hanya mengira-ngira dan meminta saran dari Tanya. Kau
bisa memakainya untuk makan malam mewah ini,” ada penekanan kata mewah yang membuat gigi perempuan itu
bergemeletak. Antara kesal dan tak bisa berkata apa-apa.
Bergeser, ia memberi
ruang bagi laki-laki itu untuk masuk ke dalam rumah. Setelah menerima tas
kertas berisi gaun yang dimaksud, perempuan itu meminta ijin untuk berganti
pakaian. “Jangan salahkan aku jika kau harus menunggu lama. Kau datang
mendadak, aku butuh waktu untuk berdandan.”
“Tidak masalah. Di mana ayah dan ibumu?”
Perempuan itu
menghentikkan langkahnya pada anak tangga yang ketiga. “Mereka sedang pergi,
biar kuminta Kak Arga untuk menemanimu mengobrol.”
Hanya suara yo yang menandakan persetujuan. Memberi tanda
pada perempuan itu untuk meneruskan langkahnya, mengetuk kamar kakak
laki-lakinya, menjelaskan situasi. Kemudian menuju kamarnya sendiri untuk
mempersiapkan diri.
Memastikan gaun
berwarna biru gelap itu pas di tubuhnya, yang terasa lebih gendut sejak
beberapa bulan lalu. Beruntung dugaan kenaikan berat badan itu hanyalah sekedar dugaan, tea length dress high neck tanpa lengan yang dibelikan untuknya terasa pas di tubuh.
Beberapa kali dirinya berputar di depan kaca dan tersenyum, berpindah
ke meja rias dan bertekad untuk membuat laki-laki di lantai satu itu terpesona
pada penampilannya malam ini.
Sementara laki-laki
yang dimaksud, memutuskan untuk mengikuti saran kakak laki-laki pacarnya untuk
bermain video game. Menunggu
perempuan yang berdandan akan membosankan jika diisi dengan obrolan saja,
begitu kata kakak laki-laki perempuan yang dipacarinya.
Maka setelah
melonggarkan dasi dan meletakkan jas sekenanya saja. Ia menggenggam erat konsol dan menikmati permainan hingga menit demi menit berlalu, hingga berganti
jam. Hingga suara tok tok ketika ujung hak sepatu bertemu dengan tangga kayu
mengalihkan perhatiannya.
“Yuk, udah siap
nih aku.”
Senyumnya berpendar,
berlapis lipstik merah, pipinya memamerkan rona samar yang membuat wajahnya semakin
cerah, alisnya tampak lebih baik dan matanya terlihat lebih cantik dengan hiasan eyeliner
berwarna hitam. Dia benar-benar berdandan, pikir laki-laki itu. Laki-laki yang sempat
terkesima beberapa detik sebelum menyadari senyum puas yang muncul di bibir pacarnya.
“Ada komentar?”
“Cantik.”
Hanya satu kata
yang kemudian berbalik membuat perempuan itu merasa malu, senang, bahagia,
bangga. Bercampur menjadi satu. Membuatnya ingin memeluk laki-laki yang
mengambil waktu sejenak untuk memperbaiki dasi, mengenakan jas, sebelum
memintanya untuk menautkan lengan.
Memasuki mobil,
mereka memulai kembali perbincangan.
“Ke restoran mana
kita?”
“Enaknya kemana?”
“Lho, kamu belum
reservasi?”
Laki-laki itu
tertawa, mendengar nada tinggi, terkejut, perempuan di sampingnya membuat kotak
tertawanya terbuka.
“Udahlah.”
Perempuan itu
menghela napas lega. “Siapa yang ngasih ide ke kamu soal ini? Tanya?”
“Kamu kan kemaren bilang sendiri pengen ke restoran mewah.”
“Maksudku, siapa
yang membujukmu melakukan ini? Kau tidak mengiyakan atau menolak saranku
kemarin. Tanya kan, yang nyuruh?”
“Begitulah.”
Anggukkan kepala
perempuan itu seolah menyimpan ungkapan sudah
kuduga.
“Dia bilang, aku
terlalu sering menolak ajakanmu. Dan bisa jadi kau benar-benar melakukan niatmu
untuk berdandan demi laki-laki lain jadi ya—“
Senyum terukir
jelas di bibir perempuan itu, sembari menyandarkan kepala ia mengirimkan gumaman
terimakasih pada Tanya yang begitu pengertian. “Untung aja kamu punya temen
macam Tanya.”
“Ya dan untungnya
aku punya kamu.”
Mobil telah
berada di tempat parkir, ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat terakhirnya. Kalimat
yang membuat sang perempuan mengalihkan pandangannya malu-malu, bergumam gombal. Mengundang lengkungan sabit
sempurna di bibir laki-laki itu.
Tangan sang
perempuan hendak menarik tuas pintu sebelum laki-laki itu mencegahnya,
cepat-cepat keluar dari mobil dan membuka pintu untuk perempuan yang memperhatikan
gerak-gerik tergesa-gesa itu dari dalam mobil.
Seketika tawa
perempuan itu pecah. “Siapa yang ngajarin kamu kayak gini sih?”
“Lho, biasanya
kayak gini kan?”
Perempuan itu
terkekeh, menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya menyambut uluran tangan
laki-laki di hadapan, menautkan lengan ke lengan laki-laki itu dan menyandarkan
kepala pada bahunya.
“Mungkin kita
harus sering-sering kayak gini.”
“Yang bener aja. Bisa
bangkrut aku.”
0 komentar :
Posting Komentar