Rabu, 14 Oktober 2015

Sesekali


“Aku bosan.”

Kepala laki-laki yang sejak tadi teralihkan pada pemandangan di luar jendela, berputar. Menaruh penuh perhatian pada perempuan di hadapannya. Perempuan yang menopang dagu dengan tangan kanan dan menghembuskan napas berat.

“Kau yang mengajakku kesini tadi.”

“Iya, tapi aku bosan.”

“Lalu kemana kita sebaiknya?”

Perempuan itu memajukan tubuhnya, hingga menyentuh sisi meja. Ekspresi wajahnya persis seperti anak kecil yang sedang mempromosikan kepada ayahnya, bagaimana sebuah boneka dapat menyenangkan hati.  “Bagaimana kalau kita ke sebuah restoran?”

“Apa bedanya dengan tempat ini?”

“Maksudku restoran mewah. Aku ingin sedikit berdandan, mengenakan pakaian bagus, make up yang tidak biasa dan makan di restoran mewah.”

Laki-laki yang mendengarkan penjelasan perempuan itu mengerutkan dahi. Usul tak biasa itu baru saja membuatnya bertanya-tanya, ada apa dengan perempuan yang dipacarinya tiga tahun belakangan ini. “Begitukah caramu mengatasi kebosanan?”

“Ya—“ Perempuan itu menyandarkan tubuhnya di sofa. “Begitulah. Kau tidak ingin melihatku berdandan cantik sesekali?”

Berkedip sekali, dua kali lalu menggeleng. Reaksi laki-laki itu membuat perempuan di hadapannya melipat kedua tangan di depan dada, dengen bibir mengkerut. “Mungkin akan lebih baik jika aku berdandan untuk lelaki lain.”

“Silahkan, aku tak akan keberatan. Semoga berhasil,” laki-laki itu mengangkat tangannya santai, tanpa ekspresi. Tanpa mempedulikan bibir perempuan di hadapannya yang semakin maju saja.

Helaan napas berat kembali terdengar, perempuan itu menopang dagunya sembari mengeluh bagaimana laki-laki yang ia pacari begitu tidak asik.

Setelahnya pembicaraan mereka berganti ke cuaca hari itu, berita pagi tadi dan apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Perempuan itu tak mengungkit permintaan yang sama dan laki-laki itu pun begitu. Tanpa banyak berharap, sang perempuan mengabaikan idenya sampai sebuah kejutan tiba di depan pintu, pada malam berikutnya.

Laki-laki yang ia pacari tiga tahun belakangan datang dengan kemeja, dasi, lengkap dengan jas yang disampirkan di lengan kanan.

“Apa yang kau pakai?”

“Kemeja.”

Perempuan itu menggelengkan kepala cepat-cepat. “Maksudku, untuk apa?”

“Kau yang mengajakku makan di restoran mewah kan? Aku hanya mengikuti saranmu.”

Mendengus, perempuan itu menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan tak percaya.

“Aku membelikanmu sebuah gaun, soal ukuran aku hanya mengira-ngira dan meminta saran dari Tanya. Kau bisa memakainya untuk makan malam mewah ini,” ada penekanan kata mewah yang membuat gigi perempuan itu bergemeletak. Antara kesal dan tak bisa berkata apa-apa.

Bergeser, ia memberi ruang bagi laki-laki itu untuk masuk ke dalam rumah. Setelah menerima tas kertas berisi gaun yang dimaksud, perempuan itu meminta ijin untuk berganti pakaian. “Jangan salahkan aku jika kau harus menunggu lama. Kau datang mendadak, aku butuh waktu untuk berdandan.”

“Tidak masalah. Di mana ayah dan ibumu?”

Perempuan itu menghentikkan langkahnya pada anak tangga yang ketiga. “Mereka sedang pergi, biar kuminta Kak Arga untuk menemanimu mengobrol.”

Hanya suara yo yang menandakan persetujuan. Memberi tanda pada perempuan itu untuk meneruskan langkahnya, mengetuk kamar kakak laki-lakinya, menjelaskan situasi. Kemudian menuju kamarnya sendiri untuk mempersiapkan diri.

Memastikan gaun berwarna biru gelap itu pas di tubuhnya, yang terasa lebih gendut sejak beberapa bulan lalu. Beruntung dugaan kenaikan berat badan itu hanyalah sekedar dugaan, tea length dress high neck tanpa lengan yang dibelikan untuknya terasa pas di tubuh. Beberapa kali dirinya berputar di depan kaca dan tersenyum,  berpindah ke meja rias dan bertekad untuk membuat laki-laki di lantai satu itu terpesona pada penampilannya malam ini.

Sementara laki-laki yang dimaksud, memutuskan untuk mengikuti saran kakak laki-laki pacarnya untuk bermain video game. Menunggu perempuan yang berdandan akan membosankan jika diisi dengan obrolan saja, begitu kata kakak laki-laki perempuan yang dipacarinya.

Maka setelah melonggarkan dasi dan meletakkan jas sekenanya saja. Ia menggenggam erat konsodan menikmati permainan hingga menit demi menit berlalu, hingga berganti jam.  Hingga suara tok tok ketika ujung hak sepatu bertemu dengan tangga kayu mengalihkan perhatiannya.

“Yuk, udah siap nih aku.”

Senyumnya berpendar, berlapis lipstik merah, pipinya memamerkan rona samar yang membuat wajahnya semakin cerah, alisnya tampak lebih baik dan matanya terlihat lebih cantik dengan hiasan eyeliner berwarna hitam. Dia benar-benar berdandan, pikir laki-laki itu. Laki-laki yang sempat terkesima beberapa detik sebelum menyadari senyum puas yang muncul di bibir pacarnya.

“Ada komentar?”

“Cantik.”

Hanya satu kata yang kemudian berbalik membuat perempuan itu merasa malu, senang, bahagia, bangga. Bercampur menjadi satu. Membuatnya ingin memeluk laki-laki yang mengambil waktu sejenak untuk memperbaiki dasi, mengenakan jas, sebelum memintanya untuk menautkan lengan.
Memasuki mobil, mereka memulai kembali perbincangan.

“Ke restoran mana kita?”

“Enaknya kemana?”

“Lho, kamu belum reservasi?”

Laki-laki itu tertawa, mendengar nada tinggi, terkejut, perempuan di sampingnya membuat kotak tertawanya terbuka.

“Udahlah.”

Perempuan itu menghela napas lega. “Siapa yang ngasih ide ke kamu soal ini? Tanya?”

“Kamu kan kemaren bilang sendiri pengen ke restoran mewah.”

“Maksudku, siapa yang membujukmu melakukan ini? Kau tidak mengiyakan atau menolak saranku kemarin. Tanya kan, yang nyuruh?”

“Begitulah.”

Anggukkan kepala perempuan itu seolah menyimpan ungkapan sudah kuduga.

“Dia bilang, aku terlalu sering menolak ajakanmu. Dan bisa jadi kau benar-benar melakukan niatmu untuk berdandan demi laki-laki lain jadi ya—“

Senyum terukir jelas di bibir perempuan itu, sembari menyandarkan kepala ia mengirimkan gumaman terimakasih pada Tanya yang begitu pengertian. “Untung aja kamu punya temen macam Tanya.”

“Ya dan untungnya aku punya kamu.”

Mobil telah berada di tempat parkir, ketika laki-laki itu mengucapkan kalimat terakhirnya. Kalimat yang membuat sang perempuan mengalihkan pandangannya malu-malu, bergumam gombal. Mengundang lengkungan sabit sempurna di bibir laki-laki itu.

Tangan sang perempuan hendak menarik tuas pintu sebelum laki-laki itu mencegahnya, cepat-cepat keluar dari mobil dan membuka pintu untuk perempuan yang memperhatikan gerak-gerik tergesa-gesa itu dari dalam mobil.

Seketika tawa perempuan itu pecah. “Siapa yang ngajarin kamu kayak gini sih?”

“Lho, biasanya kayak gini kan?”

Perempuan itu terkekeh, menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya menyambut uluran tangan laki-laki di hadapan, menautkan lengan ke lengan laki-laki itu dan menyandarkan kepala pada bahunya.

“Mungkin kita harus sering-sering kayak gini.”

“Yang bener aja. Bisa bangkrut aku.”



0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang