Kerajaan berbahagia
ketika sang ratu melahirkan anak kembar perempuan yang kelak akan menjadi calon pemimpin kerajaan. Anak kembar yang diperlakukan sama sejak mereka terlahir di dunia,
sebagai seorang putri kerajaan, tanpa membedakan siapa yang akan memegang tahta
dan siapa yang tidak, raja dan ratu mengasihi keduanya dengan cinta yang sama.
Tahun demi tahun
berlalu, para putri telah berusia 15 tahun ketika seorang pengawal tergopoh
mengabarkan kematian raja dan ratu yang tertimbun runtuhan istana perbatasan
Utara, setelah sebuah gempa bumi mengguncang salah satu wilayah kerajaan. Gempa
bumi yang meruntuhkan hati anak-anak perempuan mereka, hati seisi istana dan
rakyat yang mencintai raja nya.
Saat kabar itu
datang, kerajaan berduka berbulan-bulan hingga masa itu lewat. Tanpa raja dan ratu pemerintahan dipegang oleh perdana menteri tak merisaukan siapapun, tahta yang dulu
tak sempat disinggung kemudian menjadi bahan pembicaraan. Setelah 3 tahun
berlalu, isu tahta menjadi topik yang tak terhindarkan, karena para putri
dianggap telah cukup dewasa untuk mengambil alih pemerintahan.
“Bukankah lebih baik jika Putri Luna yang
memimpin kerajaan ini. Dia cerdas, baik hati dan lembut. Dia akan menjadi Ratu
yang sempurna bagi kerajaan ini.”
“Tentu saja tidak.
Putri Liena akan memimpin dengan lebih baik. Putri Liena memang tidak secerdas
Putri Luna tapi dia tegas dan bisa membawa diri. Dia mampu membawa kerajaan
kita menjadi lebih hebat dengan ketegasannya.”
Perdebatan ini
menginjak hari kedua, Luna dan Liena yang duduk berdampingan hanya mendengarkan
tanpa menimpali atau memberi komentar. Mereka sepakat, sekalipun salah satu
dari mereka dihina yang lain tak boleh membela. Suasana akan semakin panas
dengan sumbangan suara dari mereka.
“Kerajaan ini tak
butuh orang lembut, kita harus mulai memperluas kerajaan ini. Kita butuh Putri
Liena.”
“Apa bagusnya
memperluas kerajaan? Negeri ini sudah cukup luas yang kita butuhkan hanya
membuatnya lebih makmur. Kita butuh kecerdasan Putri Luna untuk itu.”
Perdebatan itu
terjadi hingga membuat telinga Liena pengang. Sejak tadi tangannya sudah
menggenggam gelas erat-erat, seolah akan meremukkannya menjadi
berkeping-keping.
“Mereka benar-benar
menghabiskan waktuku,” desis Liena.
“Sabar Liena,
sebentar lagi rapat ini akan berakhir,” Luna mengelus tangan kiri Liena yang
terkepal erat. “Aku rasa kita akan berakhir tanpa kesimpulan lagi hari ini.”
“Ya dan mereka akan
melanjutkannya lagi besok. Astaga. Bagaimana mereka bisa sepakat untuk membelah
suara seperti ini. Seharusnya mereka lebih banyak memberikan suara padamu
Luna.”
Luna menoleh,
matanya menatap lurus saudara perempuannya. “Kita sudah membicarakan hal ini
kan Liena. Aku tidak ingin memimpin kerajaan.”
“Ya, aku tahu. Dan
walaupun kau sudah mengatakannya, mereka tetap ngotot mendukungmu. Apa mau
mereka sebenarnya,” Liena menghela napas lalu meneguk isi gelasnya hingga
tersisa sedikit, cepat-cepat seorang pelayan mengisi kembali gelas hingga
penuh.
“Astaga. Ini
melelahkan.”
Suara ramai riuh,
perdebatan antar menteri dan tetua terputus oleh suara tongkat yang beradu
dengan lantai. Tetua yang tertua dan paling dihormati oleh kerajaan mencuri
keramaian, menarik perhatian seluruh penghuni ruangan termasuk sepasang putri
di ujung meja.
“Perdebatan ini
tidak akan berakhir. Kalian tidak akan mengalah dan para putri sama-sama
memiliki kemampuan untuk memimpin kerajaan.”
Anggukan dan
gumaman setuju memenuhi ruangan, sementara itu kedua putri tak memberikan
reaksi apapun kecuali perhatian penuh, pada sosok tua yang masih memiliki tatapan
setajam elang. Sosok tua yang merupakan mantan panglima perang di masa lalu
dengan pengalaman menghadapi kematian yang tak terhitung.
“Kita serahkan saja
persoalan ini pada Tuhan. Bertarung di hadapan Tuhan akan menjadi alternatif
terbaik.”
Semua dahi
berkerut, termasuk dahi Liena yang menggumamkan kata Tuhan dengan nada penuh
tanya. Berbeda dengan Luna yang tiba-tiba berkeringat dingin dan berusaha
menelan bongkahan batu, seolah menyusup ke dalam tenggorokannya.
“Maksud tuan,
bertarung di hadapan Tuhan itu—” pertanyaan itu lirih namun berhasil memecah
keheningan. Semua mata bergantian menatap Luna dan sang tetua.
“Sungguh Putri Luna
begitu berpengetahuan luas, hingga ia pun mengetahui aturan lama yang telah
usang ini.”
Tetua mengatakannya
bersama senyuman di akhir kalimat, senyuman yang membuat Luna merasakan
ketakutan yang luar biasa hingga tubuhnya bergetar hebat. Liena menggenggam
tangan saudara perempuannya sambil bertanya ada apa berkali-kali, matanya
bergantian melirik Luna yang berusaha menenangkan diri dengan menarik napas
panjang berkali-kali. Tanpa mendengarkan penjelasan sang tetua, Luna berusaha untuk
tenang dan berharap mereka semua akan menolak usulan tolol tadi. Usulan yang
benar-benar tolol.
“Maksudmu aku harus
bertarung dengan Luna sampai salah satu dari kami mati? Itu yang kau sebut
dengan bertarung di hadapan Tuhan?” Liena menggebrak meja di hadapannya,
membuat semua penghuni ruangan berdesis, setuju tak setuju, menghina tak menghina.
Bagaimana seorang putri bisa berlaku sedemikian kasar.
“Tidak, Putri. Tidak
mungkin kami membiarkan para putri menyentuh pedang dan mengorbankan darah demi
tahta yang dahulu dipegang sang raja. Kami tak akan membiarkan hal itu.”
“Di masa lalu,
pertarungan memperebutkan tahta pun tak dilakukan langsung oleh calon pemegang
tahta. Tapi oleh orang kepercayaan mereka.”
“Maksud kalian?”
Liena mendesis, tangannya terkepal di atas meja, Luna menggenggam tangan itu.
Tangan yang terasa lebih hangat daripada tangannya yang membeku.
“Orang kepercayaan
kalian. Pengawal setia kalian. Kami rasa Escanor dan Guwain bisa menjadi wakil
kalian dalam penentuan tahta. Untuk bertarung di hadapan Tuhan.”
Luna membeku,
tangan dan tubuhnya berhenti gemetar. Mata Liena terbelalak. Seisi ruangan tak
bersuara, hanya mata dan telinga mereka yang terpaku pada Luna dan Liena.
“Kalian pasti
gila.”
Setelah itu riuh
ramai menghujat Liena. Para tetua dan menteri merasa terhina. Luna berdiri dari
duduknya, menelan ludah, lirih ia berkata dengan suara bergetar. “Kalian tidak
bisa meminta salah satu dari mereka mengorbankan nyawa untuk penentuan tahta.”
“Tentu saja kami
bisa. Cara ini akan terasa lebih adil bagi kami,” salah satu dari menteri
meminta persetujuan, beberapa yang lain mengangguk-anggukkan kepala setuju.
“Kami yakin kedua pengawal putri akan menyetujuinya. Lagipula Guwain dan
Escanor telah kami kenal sebagai ksatria yang handal di medan perang, kemampuan
mereka setara.”
Gebrakan meja
kembali terdengar, menghantam seisi ruangan dalam keheningan. “Aku tidak
menyetujui usulan ini.”
“Aku juga,” Luna menekan kedua telapak tangannya di atas meja, menunjukkan dengan jelas ketidaksetujuannya.
“Sayang sekali putri,
anda tidak memiliki suara dalam rapat ini hingga anda memegang tahta.”
***
“Apanya yang di
hadapan Tuhan. Tuhan tak akan melihat pertarungan sebodoh ini. Pertarungan demi
tahta!” Liena tertawa sinis. “Lebih baik aku pergi dari istana ini dan
menyerahkan semuanya pada Luna. Guwain kau tidak menyetujui usul gila mereka
kan?” Liena menoleh pada seorang lelaki berseragam ksatria kerajaan tanpa armor yang berdiri tak jauh darinya.
Lelaki yang kemudian berlutut di hadapan sang putri dan memberikan jawaban yang
tak terkira.
“Saya tidak
memiliki hak untuk menolak permintaan para menteri, demi kerajaan ini.”
“Apa?” Liena
mendesiskan kata tanya, menghampiri Guwain tergesa-gesa tanpa sempat mengangkat
gaunnya yang menyentuh lantai. “Apa kau gila? Kau mau bertarung dengan Escanor
demi menentukan tahta. Kau pikir aku rela mempertaruhkan nyawamu demi tahta?”
“Escanor pun telah
menyetujui hal ini Putri Liena. Kami telah sepakat akan melakukannya.”
Liena mundur
selangkah, tangannya menyentuh kepala, berbalik cepat ia meninggalkan ruangan
dan memerintahkan Guwain untuk tak mengikutinya.
“Sangat ksatria sekali
dirimu Guwain. Kerajaan benar-benar nomor satu dalam hidupmu ya?”
Tak ada jawaban,
hingga pintu ruangan Liena tertutup.
Istana sunyi
seperti biasanya, hanya langkah kaki terburu-buru Liena yang terdengar cepat
beritme. Kepala Liena bekerja begitu keras, berusaha menemukan cara untuk
mencegah pertarungan yang dianggapnya begitu bodoh itu. Ia tidak pernah meminta
tahta, seharusnya mereka tak perlu memaksakan tahta padanya ataupun pada Luna.
Dengan mengorbankan nyawa orang lain pula.
Liena terhenti,
tangan kanannya menyentuh pelipis kanan, berandai-andai raja dan ratu masih
hidup tak akan menyelesaikan masalahnya. Matanya menangkap seseorang yang ia
kenali di depan pintu kamar Luna. Ada Escanor di sana berdiri di depan pintu
kamar Luna. Menunggu tanpa lengah menanti tanpa lelah. Berdiri tegak di sisi
pintu siap menyambut Putri Luna kapan saja.
Escanor benar-benar
tampak telah terbiasa menghadapi para putri sejak mengenal mereka 10 tahun
lalu. Ia tak terlihat lusuh seperti dulu ketika menunggu mereka berdandan,
menyambut keduanya dengan ekspresi cemberut.
Liena tersenyum
sekilas, mengingat masa lalu, mengingat kedua orangtuanya. Masa di mana
dirinya, Luna dan Escanor menjadi tiga serangkai yang tak terpisahkan. Escanor yang
merupakan anak kedua dari panglima kerajaan, dipilih untuk menjadi pengawal para
putri sejak mereka kecil. Hingga Liena memutuskan untuk meminta Guwain menjadi
pengawalnya.
“Saya kira anda
ingin menemui Putri Luna, bukan hanya berdiri di sana dan tersenyum tanpa
alasan yang jelas bukan, Putri Liena?”
Liena terkesiap, suara
itu mengembalikannya ke masa kini dengan permasalahan yang rumit. Escanor
sempat memamerkan senyum yang ditangkap Liena sekilas, sebelum ia menghela
napas dan mengambil langkah mendekatinya.
“Aku ingin bicara denganmu sebentar.”
“Dengan saya?”
Sang Putri yang
hari itu memilih untuk mengepang rambutnya menganggukkan kepala cepat. Escanor
tak segera menjawab, matanya mengerling ragu lalu melirik ke pintu di
belakangnya yang tak kunjung terbuka.
“Ketuk saja
pintunya dan katakan kau harus ke kamar mandi. Dia pasti mengerti.”
“Baiklah. Terserah anda
saja, jika Putri bertanya apa saya benar-benar ke kamar mandi akan saya beritahu
yang sebenarnya, anda yang meminta saya meninggalkannya.”
Liena tertawa
kecil. “Sebaiknya jangan, dia bisa cemburu karenanya.”
Mendengar celutakan
itu, Escanor mengerutkan dahi tanpa sempat memberi tanggapan pada Liena yang
telah berbalik, menjauhinya. Tak lama, terdengar suara sepatu Escanor mengejar,
menyamai langkah ringan Liena.
“Kemana Guwain? Apakah
dia meninggalkan anda?”
“Aku yang
memintanya tidak mengikutiku. Pelankan langkahmu kita akan bicara seperti ini
saja, mengingat sudah tidak ada tempat aman di istana ini.”
“Anda ingin
membicarakan masalah bertarung di hadapan Tuhan?”
“Salah satunya. Reaksi
Luna benar-benar membuatku cemas waktu itu. Apa yang dia katakan padamu?”
Liena melirik lawan
bicaranya yang sempat tertunduk, sebelum menjawab pertanyaan, di awali dengan helaan
napas. “Putri Luna meminta saya untuk mundur dari pertarungan.”
“Dan kau tidak
ingin mundur?”
“Tidak. Saya siap
mengorbankan saya demi kerajaan. Demi tahta yang ditentukan secara adil.”
“Astaga, kau sama gilanya dengan Guwain”
Liena menutup mulut dengan tangan kanannya. “ Keinginanku sama dengan Luna, aku
ingin kau dan Guwain mundur dari pertarungan ini.Tapi para menteri bersikeras,
seolah mereka saja yang akan mendapatkan tahta.”
Escanor mendengus,
tampak jelas cibiran di raut wajahnya. “Para menteri akan berteriak betapa tidak
sopannya anda, Putri. Jika anda mengatakan hal seperti itu di depan wajah
mereka.”
“Ya begitulah,” Liena
mengibaskan sedikit gaunnya. “Aku terlalu sering berlaku manis di hadapan
mereka. Mereka pasti akan terkejut jika kukatakan semua itu pada mereka.”
“Saya dengar anda
sempat memukul meja berkali-kali di tengah-tengah rapat.”
“Tentu saja,” Liena
menghentikkan langkah. Tangannya terkibas cepat seolah membelah angin, serupa
mengeluarkan pedang dari sarungnya. “Keputusan mereka benar-benar gila. Meminta
Guwain dan kau bertarung demi menentukan siapa pemegang tahta selanjutnya.
Hanya karena suara mereka terbelah dua untuk memilihku atau Luna,” ia menghela
napas panjang. “Aku benar-benar berharap roh ayahanda dan ibunda menghardik mereka.”
Liena melanjutkan
langkah. Escanor menyusul dengan langkah yang dibuat pendek-pendek untuk
mengimbangi pembicaraan. “Ratu dan Raja pasti akan menentang jika hal seperti
ini terjadi.”
“Tentu saja!
Sayangnya mereka meninggal sebelum sempat meninggalkan wasiat kepada para
menteri itu untuk memberikan tahta pada siapa,” kepala Liena tertunduk
memperhatikan kedua tangannya yang tertaut satu sama lain. “Ya, mereka bahkan
tidak sempat menyampaikan salam perpisahan padaku dan Luna.”
Hening. Kesedihan
seketika menyeruak di antara keduanya. Sekalipun bagi Liena mengharapkan
kehadiran kedua orangtuanya yang telah tiada adalah hal yang percuma, tetap
saja. Baginya mengingat kedua orangtua yang telah tiada adalah hal yang
menyedihkan, selalu menyedihkan.
“Dulu tahta tak
pernah menjadi pembahasan kan?”
“Kalian tidak
pernah membahas itu, baik anda maupun Putri Luna.”
“Astaga,” Liena
menekan dahinya, frustasi. “Kau tahu, sebenarnya Luna telah mengatakannya
padaku. Tepat sebelum pertemuan para menteri bahwa ia tidak menginginkan tahta.
Ia lebih ingin berpetualang bersamamu menjelajahi negeri ini. Dia ingin aku
menjadi Ratu,” Liena melirik Escanor yang tak memberikan ekspresi apapun. “Kau
pasti sudah mengetahuinya.”
“Ya Putri Luna
mengatakan hal itu pada saya, sebelum pertemuan para menteri.”
“Apa dia
mengungkitnya setelah itu. Setelah keputusan untuk bertarung di hadapan Tuhan?
Setelah tahu bahwa Guwain dan kau yang akan menjadi wakil dalam pertarungan
bagi aku dan Luna?”
Escanor
menggelengkan kepala. Tangannya terkepal, penuh dengan emosi yang dirasakannya.
“Setelah mengetahui saya tidak akan mundur. Putri Luna hanya meminta saya untuk
hidup.”
Liena menghentikan
langkah lalu berbalik, memperhatikan sosok Escanor. Sosok yang dikenalnya sejak
usianya dan Luna menginjak angka 8 tahun dan Escanor berusia 9 tahun dulu. Sosoknya
telah banyak berubah dari anak laki-laki pengeluh menjadi sosok ksatria yang dapat
diandalkan.
“Dulu ketika usiaku
12 tahun, ketika Ayahanda bertanya padaku apakah aku memerlukan seorang
pengawal untuk diriku sendiri. Kujawab iya dengan mantap. Aku tak berani
memintamu karena aku tahu jika memintamu sebagai pengawalku saat itu, maka aku
akan melukai hati Luna dan hatimu. Saat itu aku masih tak mengerti darimana
firasat itu muncul,” Liena menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. “Aku tak
tahu apa istilah yang tepat bagi kalian berdua saat itu, tapi di masa kini, di
saat aku mengenal Pangeran Kai dan melihat bagaimana Guwain begitu bahagia
ketika menceritakan calon isterinya padaku. Aku tahu istilah apa yang tepat
untuk kalian berdua.”
Liena mengambil
langkah lebih dekat, tanpa mengalihkan pandangan pada wajah Escanor yang tak
mundur selangkahpun. “Apakah kau mencintai Luna?”
“Apakah pantas
seorang ksatria mencintai putrinya?”
“Kubalik saja
pertanyaanya. Apakah Luna mencintaimu?”
Escanor mengalihkan
pandangannya cepat.
Bibir Liena
tertarik ke kedua sisi, tipis namun jelas. “Sebenarnya setelah mengetahui hal
ini, membuat masalahnya semakin runyam saja,” Liena menghela napas, entah untuk
keberapa kalinya.“Lalu, saat ini, siapa yang ingin kau lindungi? Keberadaanmu
disamping Luna atau keinginannya untuk melepaskan tahta?”
Pertanyaan itu
membuat Escanor menundukkan kepala. Memunculkan firasat buruk dalam hati Liena.
Seolah nyanyian penuh tragedi mengalun di antara kisah saudara perempuan dan
teman sejak kecilnya.
Liena melangkah
kembali mendekati Escanor. Sangat dekat hingga reflek, Escanor mengambil satu
langkah menjauh sebelum Liena cengkram bahunya erat. “Jangan berbuat bodoh. Ini
perintah dariku sebagai seorang putri dan saudara dari orang yang kau cintai,”
mata Liena tak lepas dari mata Escanor yang tampak masih terkejut dengan ucapan
sang putri. Dengan bagaimana cara sang putri mengucapkannya.
Hanya beberapa
detik cengkraman itu semakin erat sebelum Liena berbalik, meninggalkan Escanor.
Dalam langkah cepat Liena berusaha mengenyahkan pikiran buruk yang terbersit. Memohon
kepada kedua orangtuanya di surga agar tragedi tak terjadi pada saudara
perempuannya, pada teman sejak kecilnya.
Langit hari itu
berwarna oranye, kepala Liena mendongak. Menghadap langit ia mempertanyakan,
apakah tahta harus selalu ditebus dengan nyawa.
***
Luna dan Liena
duduk berdampingan di singgasana arena pertarungan. Saling menggenggam tangan
satu sama lain dan mendoakan keselamatan mereka yang bertarung sengit. Guwain
dan Escanor telah di sana selama satu jam, menyerang satu sama lain tanpa ragu,
demi putri mereka.
Semua orang mengira
begitu, semua yakin bahwa keduanya menyerang tanpa ragu. Ketika pedang Guwain
menembus tubuh Escanor pun tampaknya semua terjadi secara alami, tanpa
kebetulan. Hanya Luna, Liena dan Guwain yang menyadari bahwa Escanor sengaja
melakukannya, sengaja tak menghindar. Menerima serangan itu dengan sedikit
perlawanan.
Ketika tubuh
Escanor rubuh dan tepuk tangan untuk kemenangan Guwain membahana. Para menteri
dan tetua pendukung Liena bersorai-sorai. Mengabaikan Luna yang berlari
memasuki area, meninggalkan Liena yang mengumpat bodoh, tolol, idiot, berkali-kali.
Guwain menundukkan
kepala, meneteskan air mata yang serupa keringat di wajahnya. Tak ada kebanggaan,
tak ada kebahagiaan, perlahan ia melangkah melewati tubuh Escanor yang
terbaring berdarah sembari mengucapkan kata maaf.
Meninggalkan Luna
yang terduduk, membaringkan kepala Escanor di pahanya, menggenggam tangan
lelaki yang dicintainya. Mengelus pelan wajah lelaki yang ia minta untuk
menemaninya pergi, pergi dari kerajaan ini demi menjelajahi negeri.
Tangis itu tak
bersuara, tangis Luna seolah lenyap di antara riuh ucapan selamat kepada Liena.
Ketika Guwain berdiri di hadapan Liena, menyerahkan pedangnya yang berlumuran
darah. Lirih Liena mengucapkan kata maaf. Menumpahkan rasa bersalahnya dalam
kibasan pedang bernoda darah teman sejak kecilnya.
***
“Kau yakin tak
ingin tinggal di istana?”
Luna menggelengkan kepala
lalu tersenyum. Senyumnya dipenuhi kesedihan yang membuat Liena ingin memutar
waktu demi menyelamatkan perasaan saudara perempuannya.
“Aku akan
membantumu di luar istana, aku akan menjadi matamu Ratuku, aku akan menjadi
telingamu. Aku akan mengirimkan kabar dari setiap rakyatmu.”
Liena mendekati
saudara kembarnya, yang hanya berbeda sedikit perawakannya. Luna sedikit lebih
kurus dan tinggi dibandingkan Liena. Luna memiliki tahi lalat di bawah mata
kirinya sementara Liena memiliki tahi lalat di bawah bibirnya. Kedua saudara
kembar itu berpelukan, lalu dengan tangan saling tergenggam erat, dahi mereka
saling bersentuhan. “Jangan panggil aku Ratu, panggil aku seperti biasanya. Dan
aku meminta maaf atas semua yang terjadi padamu,”
Luna terkesiap
sejenak sebelum ia memejamkan matanya dan membalas erat genggaman tangan
saudaranya. “Tak ada yang perlu dimaafkan Liena ini sudah menjadi takdirku.
Menjadi takdir kami, takdirku dan Escanor. Aku hanya perlu melanjutkan
keinginanku karena Escanor telah memberikan jalannya.”
Setelah itu Luna
melepaskan genggaman tangannya dan tersenyum pada Liena. Memberikan hormatnya.
Menarik sisi-sisi gaunnya dan menekuk lututnya sekilas.
“Semoga kau
berbahagia Luna.”
“Kau pun begitu
Liena.”
0 komentar :
Posting Komentar