Rabu, 21 Oktober 2015

Tahta


Kerajaan berbahagia ketika sang ratu melahirkan anak kembar perempuan yang kelak akan menjadi calon pemimpin kerajaan. Anak kembar yang diperlakukan sama sejak mereka terlahir di dunia, sebagai seorang putri kerajaan, tanpa membedakan siapa yang akan memegang tahta dan siapa yang tidak, raja dan ratu mengasihi keduanya dengan cinta yang sama.

Tahun demi tahun berlalu, para putri telah berusia 15 tahun ketika seorang pengawal tergopoh mengabarkan kematian raja dan ratu yang tertimbun runtuhan istana perbatasan Utara, setelah sebuah gempa bumi mengguncang salah satu wilayah kerajaan. Gempa bumi yang meruntuhkan hati anak-anak perempuan mereka, hati seisi istana dan rakyat yang mencintai raja nya.

Saat kabar itu datang, kerajaan berduka berbulan-bulan hingga masa itu lewat. Tanpa raja dan ratu pemerintahan dipegang oleh perdana menteri tak merisaukan siapapun, tahta yang dulu tak sempat disinggung kemudian menjadi bahan pembicaraan. Setelah 3 tahun berlalu, isu tahta menjadi topik yang tak terhindarkan, karena para putri dianggap telah cukup dewasa untuk mengambil alih pemerintahan.

 “Bukankah lebih baik jika Putri Luna yang memimpin kerajaan ini. Dia cerdas, baik hati dan lembut. Dia akan menjadi Ratu yang sempurna bagi kerajaan ini.”

“Tentu saja tidak. Putri Liena akan memimpin dengan lebih baik. Putri Liena memang tidak secerdas Putri Luna tapi dia tegas dan bisa membawa diri. Dia mampu membawa kerajaan kita menjadi lebih hebat dengan ketegasannya.”

Perdebatan ini menginjak hari kedua, Luna dan Liena yang duduk berdampingan hanya mendengarkan tanpa menimpali atau memberi komentar. Mereka sepakat, sekalipun salah satu dari mereka dihina yang lain tak boleh membela. Suasana akan semakin panas dengan sumbangan suara dari mereka.

“Kerajaan ini tak butuh orang lembut, kita harus mulai memperluas kerajaan ini. Kita butuh Putri Liena.”

“Apa bagusnya memperluas kerajaan? Negeri ini sudah cukup luas yang kita butuhkan hanya membuatnya lebih makmur. Kita butuh kecerdasan Putri Luna untuk itu.”

Perdebatan itu terjadi hingga membuat telinga Liena pengang. Sejak tadi tangannya sudah menggenggam gelas erat-erat, seolah akan meremukkannya menjadi berkeping-keping.

“Mereka benar-benar menghabiskan waktuku,” desis Liena.

“Sabar Liena, sebentar lagi rapat ini akan berakhir,” Luna mengelus tangan kiri Liena yang terkepal erat. “Aku rasa kita akan berakhir tanpa kesimpulan lagi hari ini.”

“Ya dan mereka akan melanjutkannya lagi besok. Astaga. Bagaimana mereka bisa sepakat untuk membelah suara seperti ini. Seharusnya mereka lebih banyak memberikan suara padamu Luna.”

Luna menoleh, matanya menatap lurus saudara perempuannya. “Kita sudah membicarakan hal ini kan Liena. Aku tidak ingin memimpin kerajaan.”

“Ya, aku tahu. Dan walaupun kau sudah mengatakannya, mereka tetap ngotot mendukungmu. Apa mau mereka sebenarnya,” Liena menghela napas lalu meneguk isi gelasnya hingga tersisa sedikit, cepat-cepat seorang pelayan mengisi kembali gelas hingga penuh.

“Astaga. Ini melelahkan.”

Suara ramai riuh, perdebatan antar menteri dan tetua terputus oleh suara tongkat yang beradu dengan lantai. Tetua yang tertua dan paling dihormati oleh kerajaan mencuri keramaian, menarik perhatian seluruh penghuni ruangan termasuk sepasang putri di ujung meja.

“Perdebatan ini tidak akan berakhir. Kalian tidak akan mengalah dan para putri sama-sama memiliki kemampuan untuk memimpin kerajaan.”

Anggukan dan gumaman setuju memenuhi ruangan, sementara itu kedua putri tak memberikan reaksi apapun kecuali perhatian penuh, pada sosok tua yang masih memiliki tatapan setajam elang. Sosok tua yang merupakan mantan panglima perang di masa lalu dengan pengalaman menghadapi kematian yang tak terhitung.

“Kita serahkan saja persoalan ini pada Tuhan. Bertarung di hadapan Tuhan akan menjadi alternatif terbaik.”

Semua dahi berkerut, termasuk dahi Liena yang menggumamkan kata Tuhan dengan nada penuh tanya. Berbeda dengan Luna yang tiba-tiba berkeringat dingin dan berusaha menelan bongkahan batu, seolah menyusup ke dalam tenggorokannya.

“Maksud tuan, bertarung di hadapan Tuhan itu—” pertanyaan itu lirih namun berhasil memecah keheningan. Semua mata bergantian menatap Luna dan sang tetua.

“Sungguh Putri Luna begitu berpengetahuan luas, hingga ia pun mengetahui aturan lama yang telah usang ini.”

Tetua mengatakannya bersama senyuman di akhir kalimat, senyuman yang membuat Luna merasakan ketakutan yang luar biasa hingga tubuhnya bergetar hebat. Liena menggenggam tangan saudara perempuannya sambil bertanya ada apa berkali-kali, matanya bergantian melirik Luna yang berusaha menenangkan diri dengan menarik napas panjang berkali-kali. Tanpa mendengarkan penjelasan sang tetua, Luna berusaha untuk tenang dan berharap mereka semua akan menolak usulan tolol tadi. Usulan yang benar-benar tolol.

“Maksudmu aku harus bertarung dengan Luna sampai salah satu dari kami mati? Itu yang kau sebut dengan bertarung di hadapan Tuhan?” Liena menggebrak meja di hadapannya, membuat semua penghuni ruangan berdesis, setuju tak setuju, menghina tak menghina. Bagaimana seorang putri bisa berlaku sedemikian kasar.

“Tidak, Putri. Tidak mungkin kami membiarkan para putri menyentuh pedang dan mengorbankan darah demi tahta yang dahulu dipegang sang raja. Kami tak akan membiarkan hal itu.”

“Di masa lalu, pertarungan memperebutkan tahta pun tak dilakukan langsung oleh calon pemegang tahta. Tapi oleh orang kepercayaan mereka.”

“Maksud kalian?” Liena mendesis, tangannya terkepal di atas meja, Luna menggenggam tangan itu. Tangan yang terasa lebih hangat daripada tangannya yang membeku.

“Orang kepercayaan kalian. Pengawal setia kalian. Kami rasa Escanor dan Guwain bisa menjadi wakil kalian dalam penentuan tahta. Untuk bertarung di hadapan Tuhan.”

Luna membeku, tangan dan tubuhnya berhenti gemetar. Mata Liena terbelalak. Seisi ruangan tak bersuara, hanya mata dan telinga mereka yang terpaku pada Luna dan Liena.

“Kalian pasti gila.”

Setelah itu riuh ramai menghujat Liena. Para tetua dan menteri merasa terhina. Luna berdiri dari duduknya, menelan ludah, lirih ia berkata dengan suara bergetar. “Kalian tidak bisa meminta salah satu dari mereka mengorbankan  nyawa untuk penentuan tahta.”

“Tentu saja kami bisa. Cara ini akan terasa lebih adil bagi kami,” salah satu dari menteri meminta persetujuan, beberapa yang lain mengangguk-anggukkan kepala setuju. “Kami yakin kedua pengawal putri akan menyetujuinya. Lagipula Guwain dan Escanor telah kami kenal sebagai ksatria yang handal di medan perang, kemampuan mereka setara.”

Gebrakan meja kembali terdengar, menghantam seisi ruangan dalam keheningan. “Aku tidak menyetujui usulan ini.”

“Aku juga,” Luna menekan kedua telapak tangannya di atas meja, menunjukkan dengan jelas ketidaksetujuannya.

“Sayang sekali putri, anda tidak memiliki suara dalam rapat ini hingga anda memegang tahta.”

***

“Apanya yang di hadapan Tuhan. Tuhan tak akan melihat pertarungan sebodoh ini. Pertarungan demi tahta!” Liena tertawa sinis. “Lebih baik aku pergi dari istana ini dan menyerahkan semuanya pada Luna. Guwain kau tidak menyetujui usul gila mereka kan?” Liena menoleh pada seorang lelaki berseragam ksatria kerajaan tanpa armor yang berdiri tak jauh darinya. Lelaki yang kemudian berlutut di hadapan sang putri dan memberikan jawaban yang tak terkira.

“Saya tidak memiliki hak untuk menolak permintaan para menteri, demi kerajaan ini.”

“Apa?” Liena mendesiskan kata tanya, menghampiri Guwain tergesa-gesa tanpa sempat mengangkat gaunnya yang menyentuh lantai. “Apa kau gila? Kau mau bertarung dengan Escanor demi menentukan tahta. Kau pikir aku rela mempertaruhkan nyawamu demi tahta?”

“Escanor pun telah menyetujui hal ini Putri Liena. Kami telah sepakat akan melakukannya.”

Liena mundur selangkah, tangannya menyentuh kepala, berbalik cepat ia meninggalkan ruangan dan memerintahkan Guwain untuk tak mengikutinya.

“Sangat ksatria sekali dirimu Guwain. Kerajaan benar-benar nomor satu dalam hidupmu ya?”

Tak ada jawaban, hingga pintu ruangan Liena tertutup.

Istana sunyi seperti biasanya, hanya langkah kaki terburu-buru Liena yang terdengar cepat beritme. Kepala Liena bekerja begitu keras, berusaha menemukan cara untuk mencegah pertarungan yang dianggapnya begitu bodoh itu. Ia tidak pernah meminta tahta, seharusnya mereka tak perlu memaksakan tahta padanya ataupun pada Luna. Dengan mengorbankan nyawa orang lain pula.

Liena terhenti, tangan kanannya menyentuh pelipis kanan, berandai-andai raja dan ratu masih hidup tak akan menyelesaikan masalahnya. Matanya menangkap seseorang yang ia kenali di depan pintu kamar Luna. Ada Escanor di sana berdiri di depan pintu kamar Luna. Menunggu tanpa lengah menanti tanpa lelah. Berdiri tegak di sisi pintu siap menyambut Putri Luna kapan saja.

Escanor benar-benar tampak telah terbiasa menghadapi para putri sejak mengenal mereka 10 tahun lalu. Ia tak terlihat lusuh seperti dulu ketika menunggu mereka berdandan, menyambut keduanya dengan ekspresi cemberut.

Liena tersenyum sekilas, mengingat masa lalu, mengingat kedua orangtuanya. Masa di mana dirinya, Luna dan Escanor menjadi tiga serangkai yang tak terpisahkan. Escanor yang merupakan anak kedua dari panglima kerajaan, dipilih untuk menjadi pengawal para putri sejak mereka kecil. Hingga Liena memutuskan untuk meminta Guwain menjadi pengawalnya.

“Saya kira anda ingin menemui Putri Luna, bukan hanya berdiri di sana dan tersenyum tanpa alasan yang jelas bukan, Putri Liena?”

Liena terkesiap, suara itu mengembalikannya ke masa kini dengan permasalahan yang rumit. Escanor sempat memamerkan senyum yang ditangkap Liena sekilas, sebelum ia menghela napas dan mengambil langkah mendekatinya.

“Aku ingin bicara denganmu sebentar.”

“Dengan saya?”

Sang Putri yang hari itu memilih untuk mengepang rambutnya menganggukkan kepala cepat. Escanor tak segera menjawab, matanya mengerling ragu lalu melirik ke pintu di belakangnya yang tak kunjung terbuka.

“Ketuk saja pintunya dan katakan kau harus ke kamar mandi. Dia pasti mengerti.”

“Baiklah. Terserah anda saja, jika Putri bertanya apa saya benar-benar ke kamar mandi akan saya beritahu yang sebenarnya, anda yang meminta saya meninggalkannya.”

Liena tertawa kecil. “Sebaiknya jangan, dia bisa cemburu karenanya.”

Mendengar celutakan itu, Escanor mengerutkan dahi tanpa sempat memberi tanggapan pada Liena yang telah berbalik, menjauhinya. Tak lama, terdengar suara sepatu Escanor mengejar, menyamai langkah ringan Liena.

“Kemana Guwain? Apakah dia meninggalkan anda?”

“Aku yang memintanya tidak mengikutiku. Pelankan langkahmu kita akan bicara seperti ini saja, mengingat sudah tidak ada tempat aman di istana ini.”

“Anda ingin membicarakan masalah bertarung di hadapan Tuhan?”

“Salah satunya. Reaksi Luna benar-benar membuatku cemas waktu itu. Apa yang dia katakan padamu?”

Liena melirik lawan bicaranya yang sempat tertunduk, sebelum menjawab pertanyaan, di awali dengan helaan napas. “Putri Luna meminta saya untuk mundur dari pertarungan.”

“Dan kau tidak ingin mundur?”

“Tidak. Saya siap mengorbankan saya demi kerajaan. Demi tahta yang ditentukan secara adil.”

“Astaga, kau sama gilanya dengan Guwain” Liena menutup mulut dengan tangan kanannya. “ Keinginanku sama dengan Luna, aku ingin kau dan Guwain mundur dari pertarungan ini.Tapi para menteri bersikeras, seolah mereka saja yang akan mendapatkan tahta.”

Escanor mendengus, tampak jelas cibiran di raut wajahnya. “Para menteri akan berteriak betapa tidak sopannya anda, Putri. Jika anda mengatakan hal seperti itu di depan wajah mereka.”

“Ya begitulah,” Liena mengibaskan sedikit gaunnya. “Aku terlalu sering berlaku manis di hadapan mereka. Mereka pasti akan terkejut jika kukatakan semua itu pada mereka.”

“Saya dengar anda sempat memukul meja berkali-kali di tengah-tengah rapat.”

“Tentu saja,” Liena menghentikkan langkah. Tangannya terkibas cepat seolah membelah angin, serupa mengeluarkan pedang dari sarungnya. “Keputusan mereka benar-benar gila. Meminta Guwain dan kau bertarung demi menentukan siapa pemegang tahta selanjutnya. Hanya karena suara mereka terbelah dua untuk memilihku atau Luna,” ia menghela napas panjang. “Aku benar-benar berharap roh ayahanda dan ibunda menghardik mereka.”

Liena melanjutkan langkah. Escanor menyusul dengan langkah yang dibuat pendek-pendek untuk mengimbangi pembicaraan. “Ratu dan Raja pasti akan menentang jika hal seperti ini terjadi.”

“Tentu saja! Sayangnya mereka meninggal sebelum sempat meninggalkan wasiat kepada para menteri itu untuk memberikan tahta pada siapa,” kepala Liena tertunduk memperhatikan kedua tangannya yang tertaut satu sama lain. “Ya, mereka bahkan tidak sempat menyampaikan salam perpisahan padaku dan Luna.”

Hening. Kesedihan seketika menyeruak di antara keduanya. Sekalipun bagi Liena mengharapkan kehadiran kedua orangtuanya yang telah tiada adalah hal yang percuma, tetap saja. Baginya mengingat kedua orangtua yang telah tiada adalah hal yang menyedihkan, selalu menyedihkan.

“Dulu tahta tak pernah menjadi pembahasan kan?”

“Kalian tidak pernah membahas itu, baik anda maupun Putri Luna.”

“Astaga,” Liena menekan dahinya, frustasi. “Kau tahu, sebenarnya Luna telah mengatakannya padaku. Tepat sebelum pertemuan para menteri bahwa ia tidak menginginkan tahta. Ia lebih ingin berpetualang bersamamu menjelajahi negeri ini. Dia ingin aku menjadi Ratu,” Liena melirik Escanor yang tak memberikan ekspresi apapun. “Kau pasti sudah mengetahuinya.”

“Ya Putri Luna mengatakan hal itu pada saya, sebelum pertemuan para menteri.”

“Apa dia mengungkitnya setelah itu. Setelah keputusan untuk bertarung di hadapan Tuhan? Setelah tahu bahwa Guwain dan kau yang akan menjadi wakil dalam pertarungan bagi aku dan Luna?”
Escanor menggelengkan kepala. Tangannya terkepal, penuh dengan emosi yang dirasakannya. “Setelah mengetahui saya tidak akan mundur. Putri Luna hanya meminta saya untuk hidup.”

Liena menghentikan langkah lalu berbalik, memperhatikan sosok Escanor. Sosok yang dikenalnya sejak usianya dan Luna menginjak angka 8 tahun dan Escanor berusia 9 tahun dulu. Sosoknya telah banyak berubah dari anak laki-laki pengeluh menjadi sosok ksatria yang dapat diandalkan.

“Dulu ketika usiaku 12 tahun, ketika Ayahanda bertanya padaku apakah aku memerlukan seorang pengawal untuk diriku sendiri. Kujawab iya dengan mantap. Aku tak berani memintamu karena aku tahu jika memintamu sebagai pengawalku saat itu, maka aku akan melukai hati Luna dan hatimu. Saat itu aku masih tak mengerti darimana firasat itu muncul,” Liena menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. “Aku tak tahu apa istilah yang tepat bagi kalian berdua saat itu, tapi di masa kini, di saat aku mengenal Pangeran Kai dan melihat bagaimana Guwain begitu bahagia ketika menceritakan calon isterinya padaku. Aku tahu istilah apa yang tepat untuk kalian berdua.”

Liena mengambil langkah lebih dekat, tanpa mengalihkan pandangan pada wajah Escanor yang tak mundur selangkahpun. “Apakah kau mencintai Luna?”

“Apakah pantas seorang ksatria mencintai putrinya?”

“Kubalik saja pertanyaanya. Apakah Luna mencintaimu?”

Escanor mengalihkan pandangannya cepat.

Bibir Liena tertarik ke kedua sisi, tipis namun jelas. “Sebenarnya setelah mengetahui hal ini, membuat masalahnya semakin runyam saja,” Liena menghela napas, entah untuk keberapa kalinya.“Lalu, saat ini, siapa yang ingin kau lindungi? Keberadaanmu disamping Luna atau keinginannya untuk melepaskan tahta?”

Pertanyaan itu membuat Escanor menundukkan kepala. Memunculkan firasat buruk dalam hati Liena. Seolah nyanyian penuh tragedi mengalun di antara kisah saudara perempuan dan teman sejak kecilnya.

Liena melangkah kembali mendekati Escanor. Sangat dekat hingga reflek, Escanor mengambil satu langkah menjauh sebelum Liena cengkram bahunya erat. “Jangan berbuat bodoh. Ini perintah dariku sebagai seorang putri dan saudara dari orang yang kau cintai,” mata Liena tak lepas dari mata Escanor yang tampak masih terkejut dengan ucapan sang putri. Dengan bagaimana cara sang putri mengucapkannya.

Hanya beberapa detik cengkraman itu semakin erat sebelum Liena berbalik, meninggalkan Escanor. Dalam langkah cepat Liena berusaha mengenyahkan pikiran buruk yang terbersit. Memohon kepada kedua orangtuanya di surga agar tragedi tak terjadi pada saudara perempuannya, pada teman sejak kecilnya.

Langit hari itu berwarna oranye, kepala Liena mendongak. Menghadap langit ia mempertanyakan, apakah tahta harus selalu ditebus dengan nyawa.

***

Luna dan Liena duduk berdampingan di singgasana arena pertarungan. Saling menggenggam tangan satu sama lain dan mendoakan keselamatan mereka yang bertarung sengit. Guwain dan Escanor telah di sana selama satu jam, menyerang satu sama lain tanpa ragu, demi putri mereka.

Semua orang mengira begitu, semua yakin bahwa keduanya menyerang tanpa ragu. Ketika pedang Guwain menembus tubuh Escanor pun tampaknya semua terjadi secara alami, tanpa kebetulan. Hanya Luna, Liena dan Guwain yang menyadari bahwa Escanor sengaja melakukannya, sengaja tak menghindar. Menerima serangan itu dengan sedikit perlawanan.

Ketika tubuh Escanor rubuh dan tepuk tangan untuk kemenangan Guwain membahana. Para menteri dan tetua pendukung Liena bersorai-sorai. Mengabaikan Luna yang berlari memasuki area, meninggalkan Liena yang mengumpat bodoh, tolol, idiot, berkali-kali.

Guwain menundukkan kepala, meneteskan air mata yang serupa keringat di wajahnya. Tak ada kebanggaan, tak ada kebahagiaan, perlahan ia melangkah melewati tubuh Escanor yang terbaring berdarah sembari mengucapkan kata maaf.

Meninggalkan Luna yang terduduk, membaringkan kepala Escanor di pahanya, menggenggam tangan lelaki yang dicintainya. Mengelus pelan wajah lelaki yang ia minta untuk menemaninya pergi, pergi dari kerajaan ini demi menjelajahi negeri.

Tangis itu tak bersuara, tangis Luna seolah lenyap di antara riuh ucapan selamat kepada Liena. Ketika Guwain berdiri di hadapan Liena, menyerahkan pedangnya yang berlumuran darah. Lirih Liena mengucapkan kata maaf. Menumpahkan rasa bersalahnya dalam kibasan pedang bernoda darah teman sejak kecilnya.

 ***

“Kau yakin tak ingin tinggal di istana?”

Luna menggelengkan kepala lalu tersenyum. Senyumnya dipenuhi kesedihan yang membuat Liena ingin memutar waktu demi menyelamatkan perasaan saudara perempuannya.

“Aku akan membantumu di luar istana, aku akan menjadi matamu Ratuku, aku akan menjadi telingamu. Aku akan mengirimkan kabar dari setiap rakyatmu.”

Liena mendekati saudara kembarnya, yang hanya berbeda sedikit perawakannya. Luna sedikit lebih kurus dan tinggi dibandingkan Liena. Luna memiliki tahi lalat di bawah mata kirinya sementara Liena memiliki tahi lalat di bawah bibirnya. Kedua saudara kembar itu berpelukan, lalu dengan tangan saling tergenggam erat, dahi mereka saling bersentuhan. “Jangan panggil aku Ratu, panggil aku seperti biasanya. Dan aku meminta maaf atas semua yang terjadi padamu,”

Luna terkesiap sejenak sebelum ia memejamkan matanya dan membalas erat genggaman tangan saudaranya. “Tak ada yang perlu dimaafkan Liena ini sudah menjadi takdirku. Menjadi takdir kami, takdirku dan Escanor. Aku hanya perlu melanjutkan keinginanku karena Escanor telah memberikan jalannya.”

Setelah itu Luna melepaskan genggaman tangannya dan tersenyum pada Liena. Memberikan hormatnya. Menarik sisi-sisi gaunnya dan menekuk lututnya sekilas.

“Semoga kau berbahagia Luna.”

“Kau pun begitu Liena.”







0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang