Dulu setiap kali aku pulang larut dia akan bertanya dengan nada menuduh kalau aku sudah berselingkuh. Lalu menjerit sembari melemparkan barang-barang didekatnya tak peduli itu pisau ataupun gunting yang bisa membunuhku. Dan keesokan harinya dia akan tersenyum, melepas kepergianku dengan ancaman.
Kemudian malam berikutnya dia kembali berteriak memaki-maki, melempar semua barang tak peduli bagaimana aku mencari uang untuk membeli barang itu, saat dia masih menjerit padaku aku masih setia padanya. Masih pulang larut karena pekerjaan, hanya tersenyum padanya, hanya menjadi kekasihnya.
Tapi kemudian jenuh melanda diriku, kejenuhan ketika tuduhan tak beralasannya selalu datang bertubi-tubi. Disaat semua itu terjadi seorang wanita datang padaku dengan senyum yang mempesona, kata-kata yang manis, gerakan tubuh yang mengundang hingga aku benar-benar terjerat dalam tuduhannya. Tapi aku merasa kalau mungkin lebih baik tuduhannya menjadi benar, mungkin itu yang diharapkannya dariku.
Wanita lain datang dan pergi. Datang dan pergi. Datang dan pergi. Dan dia sudah mulai tak menjerit lagi, hanya menyambutku di depan pintu dengan kecupan dan segelas teh hangat. Dia menanyakan kenapa aku pulang malam dan dia hanya tersenyum setiap kali aku menceritakan seorang wanita baru yang datang dan pergi. Dia tak pernah protes lagi, tidak pernah mengancam lagi, hanya tersenyum seperti boneka dan mengangguk sesekali.
Dia tidak pernah meminta perpisahan dan aku pun tak mengharapkan hal itu, dia boleh melakukan hal yang sama denganku kalau dia mau, tapi perpisahan bukanlah hal yang tepat saat ini walaupun perpisahan adalah hal yang mudah untuk hubungan tanpa ikatan.
Suatu hari aku pulang dengan bau parfum dua wanita yang bercampur di kemeja putih yang kukenakan. Ada bekas lipstik yang menempel di bibir tapi aku tak berniat menghapusnya. Jam sudah menunjukkan pukul 1, sudah 5 jam berlalu sejak dia mengirimkan sms untuk memintaku pulang cepat, entah dalam rangka apa.
Dia menyambutku seperti biasanya, tak protes walaupun aku sudah pulang terlambat. Menawarkan teh hangat dan cemilan kecil, aku menolaknya dan melewati meja makan yang dipenuhi menu spesial dengan lilin di tengahnya. Kulirik kalender, ternyata benar ini hari anniversary kami. Aku berlalu melupakannya tak ada, selera untuk makan dan tak ada keinginan untuk merayakan sesuatu yang telah usang.
Lalu dia memelukku dari belakang membisikkan sesuatu yang membuatku menggiringnya ke dalam kamar. Dia mengunci kamar dan tersenyum.
"Kau tahu aku mengandung anak kita."
Aku tak tahu harus berkata apa ketika dia mengatakan hal itu. Tersenyum pun tak sanggup, berita itu seperti sirine yang memperingatkan tanggung jawab lainnya untuk dipikul.
Dia pun hanya diam melihat ekspresiku. Maju dari pintu berjalan mendekatiku dan aku baru menyadari sesuatu yang aneh sejak tadi tubuhnya berbau menyengat.
"Kamu tahu. Hari ini hari yang spesial kan. Dulu kamu mengungkapkan perasaanmu di depan lilin di atas meja di sebuah cafe. Sekarang aku ingin mengungkapkan sesuatu padamu," dia maju beberapa langkah dan di setiap langkahnya aku mundur hingga menabrak lemari .Dia mengeluarkan korek api, menyalakan api yang seketika membakar dirinya bersama dengan bayi dalam kandungannya. Tak ada tempat untuk lari tak ada tenpat untuk sembunyi. Dalam konbaran api ia memeluk dan berbisik padaku. " Aku mencintaimu."
Dan setelah itu kami bertiga bersama dalam api. Menelan teriakanku. Menelan senyumannya.
Published with Blogger-droid v2.0.1
0 komentar :
Posting Komentar