“Jadi sudah dipastikan?”
“Sudah.”
Pria itu menoleh ke arah wanita yang ada disebelahnya.
Wanita itu menggigit bibirnya. Hanya sedetik ia menemukan kesedihan di wanita
itu lalu lenyap seperti tertiup angin.
“Baiklah. Kalian bisa pergi,” ia mengibaskan tangannya dan
membiarkan dua orang yang baru saja member hormat padanya pergi dan
meninggalkan mereka berdua. Wanita yang berada disebelahnya berbalik sebelum
pria itu berbicara.
“Kau tidak ingin melihatnya? Kau mencari-carinya selama ini
kan?”
Tanpa berbalik lagi wanita itu berlalu dan menjawab. “Tidak.
Walaupun aku menemukannya dalam keadaan hidup mereka pun harus membunuhnya.”
Pria itu mengejar si wanita, berusaha menyamakan langkah
dengan wanita paruh baya yang usianya terpaut 10 tahun dengan dirinya. “Kau
yakin tidak mau melihat mayatnya? Tidakkah itu akan membuatmu lega?”
Wanita itu tidak menghentikkan langkahnya, membuka sebuah
pintu dan kembali duduk di meja kerjanya bersama dengan kumpulan-kumpulan
komputer di ruangan itu dan semua kesibukan yang ada.
Mengawasi adalah tugasnya, mengawasi situasi dimana yang
aman bagi pasukan negara dan yang tidak aman bagi mereka, dimana para
pemberontak berada dan melenyapkan mereka, berjaga-jaga agar singgasana kepala
pemerintahan aman dari para pemberontak. Mereka adalah mata bagi militer dan
alat bagi pemerintah untuk mempertahankan kekuasannya, mereka anjing
pemerintahan dan semua hal sensitif yang baru saja dialami wanita itu hanyalah sebuah
halangan kecil bagi sang anjing yang harus segera dilenyapkan.
“Kembali ke tugasmu, aku tidak ingin kau meributkan hal yang
bukan urusanmu,” ujar wanita itu sembari mengibaskan tangannya dan membuat pria
yang ada dihadapnnya merengut sebelum kembali ke tempat duduknya.
Baru setengah jam berlalu dan kemudian wanita itu pergi.
Pria itu hendak berdiri, menyusul sebelum seorang wanita
lain yang dikenalnya menahan pundaknya dan meminta pria itu untuk duduk. Ia
tersenyum, menempelkan jarinya di bibir. “Tidak baik ikut campur urusan rumah
tangga orang lain.”
Wanita yang keluar dari ruangan itu berlari. Menuju ke
sebuah tempat yang terus menerus berputar di kepalanya. Ia harus melihat
mayatnya sekalipun, sekalipun mayat dari orang itu dia harus melihatnya. Harus.
“Kita buat negeri ini
kembali ke masa kejayaan. Kita gulingkan pemerintahan yang sekarang. Itu
satu-satunya cara,” dia mengulurkan tangannya pada wanita itu. Hari itu adalah
tepat 1 tahun pernikahan mereka, keadaan politik negeri itu sedang tidak bagus,
terjadi pemberontakkan dimana-mana pembunuhan dimana-mana pembantaian terhadap
aparat pemeritah dimana-mana.
Wanita itu menatap
suaminya dengan mata terbelalak. Tak sanggup menerima uluran tangan suaminya
dan tak sanggup pula untuk menepisnya.”Kenapa kita harus ikut campur untuk
masalah yang merepotkan seperti ini?” wanita itu berusaha untuk tetap tertawa
walaupun suaminya mengerutkan dahi, menunjukkan wajah tidak senang.
“Kau bilang ini masalah
yang merepotkan? Bayangkan bagaimana kehidupan anak-anak kita apabila negara
ini masih dipimpin oleh orang tidak berguna seperti dia?”
Wanita
itu hanya terdiam, tak sanggup menjawab, apalagi membantah. Ia tidak terlalu
peduli dengan keadaan politik negeri ini sampai suaminya sendiri hendak menarik
dirinya menjadi salah satu kelompok yang disebut pemberontak, yang dijatuhi
hukum tembak di tempat begitu ditemukan.
“Bagaimana?
Kau mau kan?”
Wanita
itu menggigit bibirnya.
Suaminya
tersenyum. Tertawa. “Aku lupa apa pekerjaanmu. Kenapa aku bisa melupakannya?”
ia kembali tertawa, meraih tas yang sudah ia persiapkan sejak tadi di atas
meja. Ia berbalik sebelum menutup pintu.
“Sekali anjing tetap anjing bukan?”
Kemudian
pintu rumahnya tertutup. Perang memisahkannya bukan dengan kematian tapi dengan
jalan
pikiran yang berbeda.
Jadi disinilah dirinya
terengah-engah setelah berlari, ditumpukkan kantung jenazah dan beberapa orang
yang mondar-mandir siap untuk melakukan kremasi. Ia sekarang sibuk membuka
kantung jenazah satu persatu, mencari wajah yang ia kenali, ada 12 kantung
jenazah disana, di kantung jenazah terakhir lah ia menemukan wajah itu.
Tembakan di kepala. Tangannya
menyentuh dahi suaminya dan menyibakkan poni yang menutupi dahinya.
“Akhirnya
kau benar-benar mati.”
“Aku hanya ingin hidup dengan
damai di negeri ini. Dan kedamaian hanya bisa dikembalikan jika negeri ini
utuh.”
Ia menulusuri wajah suaminya dan
hingga ke dagu. “Aku masih mencintaimu. Masih sangat mencintaimu.”
Seseorang dari pihak rumah sakit
berdiri di hadapan wanita itu. “Nona, kami akan melakukan kremasi.”
Wanita itu berdiri dan membiarkan
beberapa orang mengangkat jenazah suaminya menjauh dari pandangannya menuju ke
tumpukan kayu yang berada di tengah-tengah lapangan, bersama beberapa jenazah
lain berjejer-jejer.
Api dinyalakan tinggi sekali
hingga membakar masing-masing jenazah, tidak ada penghormatan bagi mereka
karena mereka mati sebagai pemberontak. Menyedihkan memang, tapi bahkan dirinya
tidak berhak untuk meminta jenazah suaminya dimakamkan secara layak.
“Hei—“
Wanita itu berbalik.
“Dia, benar-benar suamimu?”
Wanita itu kembali memandangi api
yang berkobar begitu besar. “Begitulah.”
“Kenapa kau tidak memintanya di
makamkan secara layak?”
Wanita itu berbalik dan
tersenyum. “Untuk apa? Tak akan ada yang bisa merubah statusnya. Pemakaman
yang
layak sekalipun.”
“Untuk menghormatinya terakhir
kali.”
Wanita itu menghela napas. “Dia
pernah bilang padaku kalau aku menemukannya dalam keadaan mati aku diminta
untuk tidak mengakuinya sebagai suami. Tidak memakamkannya sebagaimana
mestinya. Tidak mengenalinya. Karena hal itu juga yang akan dia lakukan padaku
ketika aku mati dihadapannya,”
Ia mulai melangkahkan kaki
menjauh dari tempat kremasi. “Sudahlah. Kami sudah berbeda pendapat sejak dulu.
Hal ini hanya salah satu alasan yang memisahkan kami.”
Pria itu ingin menyusul wanita
itu ketika dia berhenti. Tapi ia menyadari sesuatu. Wanita itu mengusap sesuatu
di wajahnya dan kembali berjalan menjauh.
1 komentar :
nante da yooo..!!
*trus nangis
Posting Komentar