Sabtu, 12 Mei 2012

Perang



“Jadi sudah dipastikan?”

“Sudah.”

Pria itu menoleh ke arah wanita yang ada disebelahnya. Wanita itu menggigit bibirnya. Hanya sedetik ia menemukan kesedihan di wanita itu lalu lenyap seperti tertiup angin.

“Baiklah. Kalian bisa pergi,” ia mengibaskan tangannya dan membiarkan dua orang yang baru saja member hormat padanya pergi dan meninggalkan mereka berdua. Wanita yang berada disebelahnya berbalik sebelum pria itu berbicara.

“Kau tidak ingin melihatnya? Kau mencari-carinya selama ini kan?”

Tanpa berbalik lagi wanita itu berlalu dan menjawab. “Tidak. Walaupun aku menemukannya dalam keadaan hidup mereka pun harus membunuhnya.”

Pria itu mengejar si wanita, berusaha menyamakan langkah dengan wanita paruh baya yang usianya terpaut 10 tahun dengan dirinya. “Kau yakin tidak mau melihat mayatnya? Tidakkah itu akan membuatmu lega?”
Wanita itu tidak menghentikkan langkahnya, membuka sebuah pintu dan kembali duduk di meja kerjanya bersama dengan kumpulan-kumpulan komputer di ruangan itu dan semua kesibukan yang ada.

Mengawasi adalah tugasnya, mengawasi situasi dimana yang aman bagi pasukan negara dan yang tidak aman bagi mereka, dimana para pemberontak berada dan melenyapkan mereka, berjaga-jaga agar singgasana kepala pemerintahan aman dari para pemberontak. Mereka adalah mata bagi militer dan alat bagi pemerintah untuk mempertahankan kekuasannya, mereka anjing pemerintahan dan semua hal sensitif yang baru saja dialami wanita itu hanyalah sebuah halangan kecil bagi sang anjing yang harus segera dilenyapkan.

“Kembali ke tugasmu, aku tidak ingin kau meributkan hal yang bukan urusanmu,” ujar wanita itu sembari mengibaskan tangannya dan membuat pria yang ada dihadapnnya merengut sebelum kembali ke tempat duduknya.

Baru setengah jam berlalu dan kemudian wanita itu pergi.

Pria itu hendak berdiri, menyusul sebelum seorang wanita lain yang dikenalnya menahan pundaknya dan meminta pria itu untuk duduk. Ia tersenyum, menempelkan jarinya di bibir. “Tidak baik ikut campur urusan rumah tangga orang lain.”

Wanita yang keluar dari ruangan itu berlari. Menuju ke sebuah tempat yang terus menerus berputar di kepalanya. Ia harus melihat mayatnya sekalipun, sekalipun mayat dari orang itu dia harus melihatnya. Harus.

“Kita buat negeri ini kembali ke masa kejayaan. Kita gulingkan pemerintahan yang sekarang. Itu satu-satunya cara,” dia mengulurkan tangannya pada wanita itu. Hari itu adalah tepat 1 tahun pernikahan mereka, keadaan politik negeri itu sedang tidak bagus, terjadi pemberontakkan dimana-mana pembunuhan dimana-mana pembantaian terhadap aparat pemeritah dimana-mana.

Wanita itu menatap suaminya dengan mata terbelalak. Tak sanggup menerima uluran tangan suaminya dan tak sanggup pula untuk menepisnya.”Kenapa kita harus ikut campur untuk masalah yang merepotkan seperti ini?” wanita itu berusaha untuk tetap tertawa walaupun suaminya mengerutkan dahi, menunjukkan wajah tidak senang.

“Kau bilang ini masalah yang merepotkan? Bayangkan bagaimana kehidupan anak-anak kita apabila negara ini masih dipimpin oleh orang tidak berguna seperti dia?”

Wanita itu hanya terdiam, tak sanggup menjawab, apalagi membantah. Ia tidak terlalu peduli dengan keadaan politik negeri ini sampai suaminya sendiri hendak menarik dirinya menjadi salah satu kelompok yang disebut pemberontak, yang dijatuhi hukum tembak di tempat begitu ditemukan.

“Bagaimana? Kau mau kan?”

Wanita itu menggigit bibirnya.

Suaminya tersenyum. Tertawa. “Aku lupa apa pekerjaanmu. Kenapa aku bisa melupakannya?” ia kembali tertawa, meraih tas yang sudah ia persiapkan sejak tadi di atas meja. Ia berbalik sebelum menutup pintu. 

“Sekali anjing tetap anjing bukan?”
Kemudian pintu rumahnya tertutup. Perang memisahkannya bukan dengan kematian tapi dengan jalan 
pikiran yang berbeda.

Jadi disinilah dirinya terengah-engah setelah berlari, ditumpukkan kantung jenazah dan beberapa orang yang mondar-mandir siap untuk melakukan kremasi. Ia sekarang sibuk membuka kantung jenazah satu persatu, mencari wajah yang ia kenali, ada 12 kantung jenazah disana, di kantung jenazah terakhir lah ia menemukan wajah itu.

Tembakan di kepala. Tangannya menyentuh dahi suaminya dan menyibakkan poni yang menutupi dahinya. 

“Akhirnya kau benar-benar mati.”

“Aku hanya ingin hidup dengan damai di negeri ini. Dan kedamaian hanya bisa dikembalikan jika negeri ini utuh.”

Ia menulusuri wajah suaminya dan hingga ke dagu. “Aku masih mencintaimu. Masih sangat mencintaimu.”
Seseorang dari pihak rumah sakit berdiri di hadapan wanita itu. “Nona, kami akan melakukan kremasi.”

Wanita itu berdiri dan membiarkan beberapa orang mengangkat jenazah suaminya menjauh dari pandangannya menuju ke tumpukan kayu yang berada di tengah-tengah lapangan, bersama beberapa jenazah lain berjejer-jejer.

Api dinyalakan tinggi sekali hingga membakar masing-masing jenazah, tidak ada penghormatan bagi mereka karena mereka mati sebagai pemberontak. Menyedihkan memang, tapi bahkan dirinya tidak berhak untuk meminta jenazah suaminya dimakamkan secara layak.

“Hei—“

Wanita itu berbalik.

“Dia, benar-benar suamimu?”

Wanita itu kembali memandangi api yang berkobar begitu besar. “Begitulah.”

“Kenapa kau tidak memintanya di makamkan secara layak?”

Wanita itu berbalik dan tersenyum. “Untuk apa? Tak akan ada yang bisa merubah statusnya. Pemakaman 
yang layak sekalipun.”

“Untuk menghormatinya terakhir kali.”

Wanita itu menghela napas. “Dia pernah bilang padaku kalau aku menemukannya dalam keadaan mati aku diminta untuk tidak mengakuinya sebagai suami. Tidak memakamkannya sebagaimana mestinya. Tidak mengenalinya. Karena hal itu juga yang akan dia lakukan padaku ketika aku mati dihadapannya,”

Ia mulai melangkahkan kaki menjauh dari tempat kremasi. “Sudahlah. Kami sudah berbeda pendapat sejak dulu. Hal ini hanya salah satu alasan yang memisahkan kami.”

Pria itu ingin menyusul wanita itu ketika dia berhenti. Tapi ia menyadari sesuatu. Wanita itu mengusap sesuatu di wajahnya dan kembali berjalan menjauh.

1 komentar :

Ilham Sasmita at: 2 Oktober 2013 pukul 09.58 mengatakan... Reply

nante da yooo..!!
*trus nangis

Posting Komentar

Beo Terbang