Kamis, 24 Mei 2012

Whatever Will Be Will Be


Que sera sera, whatever will be, will be~

Aku menoleh mendengar nyanyian itu mengalun pelan bersamaan dengan tawa anak-anak kecil yang berlarian bersama layangan mereka. Desa ini adalah tempat aku dilahirkan, dan disinilah aku kembali lari dari kepenatan kota yang membesarkan namaku sebagai seorang pembunuh bayaran.

Pembunuh bayaran? Mungkin beberapa orang segera mengambil jarak jika mendengar pekerjaan itu.

Tapi disini, di desa ini dengan pengetahuan mereka yang terbatas mereka menganggap pekerjaanku bukanlah hal yang mengerikan.

Mungkin mereka berpikir pekerjaan ini seperti meleyapkan orang-orang jahat, membela kebenaran. Dengan pikiran mereka yang lugu aku sangat berbahagia bisa kembali tanpa perlu memikirkan bagaimana orang melihatku setelah memutuskan sedikit mengambil liburan dari pekerjaan yang penuh dengan intrik, resiko, dan darah tentunya.

"Hatyara sudah pulang!" suara itu yang pertama kali menyambutku ketika berada di halaman sebuah rumah kecil yang terlihat begitu teduh dari luar.

Seorang anak kecil berumur 10 tahun berlari ke arahku, tangannya masih memegang layangan tak peduli layangan itu akan terkoyak atau tidak, ia berlari memelukku. "Kak Hatya pulang!"

Aku tersenyum, menggendong satu-satunya adikku dan mengusap rambutnya pelan. Lalu dari beranda rumah, ibuku menghampiri. Setelah menurunkan adikku dari gendongan aku menyalami ibuku dengan penuh hormat.

"Tumben kamu pulang. Kamu ambil libur dari pekerjaanmu?"

Aku menganggukkan kepala."Hatya bawa oleh-oleh bu," kuangkat sebuah tas plastik berisi makanan dan beberapa baju untuk ibu serta adikku. Aku bisa melihat senyum bahagia terpancar dari wajah ibu yang kemudian menuntunku masuk bersama celotehan-celotehan yang terdengar dari bibir adikku. "Kakak gak usah balik ke kota disini aja sama aku sama ibu."

Aku hanya menganggukkan kepala sembari tertawa."Tapi nanti kamu susah buat minta mainan yang ada di kota lho."

"Gakpapa yang penting kakak disini sama ibu. Kasian ibu sendirian di rumah setiap aku berangkat sekolah. Kalau aku mau bolos biar bisa nemenin ibu, gak dibolehin," jelas adikku, ia memasang ekspresi sedih tapi ibuku hanya tersenyum dan mengelus pelan rambut adikku. "Sudah, itu dibahas nanti saja kamu istirahat dulu ya Hatya. Ibu siapin makan siang buat kamu."

Aku menganggukkan kepala. Menurut. Masuk ke dalam kamar lalu merebahkan kepala dan menatap langit-langit kamar. Tidak terlalu memperhatikan perubahan ruangan yang sudah sangat lama tidak ku tempati. Sudah berapa tahun? 5 atau 6 mungkin. Aku tidak pandai mengingat angka sama seperti tidak pandai mengingat berapa orang yang sudah kehilangan nyawa ditanganku 10, 20?

Entahlah-- aku sedang berlibur seharusnya tidak kupikirkan hal yang tidak penting seperti itu.

Que sera sera whatever will be will be~

Lagu itu lagi. Lagu yang berputar saat aku harus membunuh seorang wanita. Wanita itu pun ikut menyanyikannya tanpa suara ketika pelatuk pistol menyentuh pelipisnya. Lagu itu lagi--

"Kak Hatya!"

Mataku terbuka secara tiba-tiba begitu mendengar suara adikku yang terasa begitu dekat dan ternyata benar dia sudah berdiri disamping tempat tidur tersenyum lebar dengan layangan di tangannya. Aku mengambil posisi duduk sembari memegangi kepala, sudah berapa jam aku terlelap?

"Kakak kan udah tidur, temenin aku main ya?"

Aku memijat pelan pelipisku. Kepalaku pusing. "Main apa?"

"Layangan kak," adikku menjawab dengan bersemangat. "Sekarang anginnya lagi baguuuus banget, ayo kak," pintanya lagi sembari menarik-narik tanganku dengan gembira.

Aku menurut saja dan mengikuti langkah adikku yang menarik-narik tanganku gembira. Ia terlihat begitu bahagia ketika menerbangkan layangannya di lapangan bersama anak-anak lain.

Benar katanya, angin hari ini sangat bagus, sehingga banyak layangan yang meliuk-liuk di langit mulai dari yang besar hingga yang kecil mulai dari yang berbentuk kupu-kupu hingga yang berbentuk elang.

Beberapa anak sibuk berlari untuk menerbangkan layangannya beberapa yang lain sudah berdiri dengan tenang menjaga agar layangannya tidak jatuh. Aku hanya memperhatikan adikku yang terlihat begitu bahagia menerbangkan layangannya hingga kemudian ada satu hal yang menarik perhatianku, tangan kiri dan kanannya dipenuhi dengan bercak berwarna merah dan ia terlihat sangat kurus.

Dan sejak tadi tidak ada anak-anak yang mendekati adikku. Padahal seingatku terakhir kali aku pulang ia masih memiliki banyak teman.

"Dek, tangan kamu kenapa?"

Ia memperhatikan tangan kirinya sejenak lalu memamerkan giginya yang kecil dan rapi."Kata ibu cuma merah-merah biasa."

Aku menganggukkan kepala lalu berbalik.

Melihat beberapa anak yang lebih tua dari adikku berbisik-bisik dengan pandangan curiga.

Lalu aku berbalik lagi melihat adikku yang asik menerbangkan layangan. Sesekali ia terbatuk lalu kembali berkonsentrasi lagi dengan layangannya.

Aku mulai berpikir. Sepertinya pernah melihat ruam-ruam merah seperti itu di suatu tempat entah di mana. Dimana--

"Kakak!"

Aku berbalik begitu mendengar teriakan adikku. Sepertinya layangannya putus dan terbang. Aku segera mengejar layangannya dan meninggalkan adikku di lapangan rumput itu.

Aku terus mengejar tapi layangan itu tak kunjung mendarat di suatu tempat hingga kemudian aku memilih menyerah dan membelikan layangan baru sebagai gantinya.

Kembali ke lapangan itu. Adikku menunggu dibawah pohon duduk sendirian. Seperti habis menangis, atau memang benar dia habis menangis.

Di saat aku mengajaknya pulang dia malah menepis tanganku dan berlari ke arah rumah. Aku mengejarnya tapi ia sudah menutup pintu kamarnya terlebih dahulu. Aku minta maaf tapi tak terdengar suara apapun di dalam kamar.

Ibuku sudah berada disampingku ketika aku mengetuk pintu sekali lagi. Ia menggelengkan kepala dan mengajakku duduk membicarakan sesuatu.

"Kamu-- tahu penyakit yang dialami adikmu?"

"Itu, penyakit biasa kan? Cuma bercak merah kata ibu."

Ibuku menggeleng. "Itu penyakit yang kata dokter tidak bisa disembuhkan, katanya akan menggerogoti organ dalam adikmu perlahan-lahan. Beberapa hari lalu ia baru saja kehilangan fungsi salah satu ginjalnya," jelas ibuku lagi.

Kemudian semua terasa seperti de javu.

Ayah wanita itu memanggilku ke ruangannya, dia adalah orang kaya sangat kaya, memiliki perusahaan di berbagai tempat memiliki kekuasaan yang besar tapi aku melihatnya di hadapanku menangis memohon agar aku membunuh anaknya yang sedang sakit, menderita dan tak bisa disembuhkan.

Dia orang kaya. Jauh lebih kaya dariku dan tak sanggup menemukan dokter untuk menyembuhkan anaknya yang menderita.

Lalu bagaimana dengan adikku yang sedang digerogoti penyakit yang sama?

"Teman-temannya menjauhinya. Karena bercak-bercak itu semakin tampak mengerikan. Rambutnya rontok, beratnya terus turun, ia selalu menangis di malam hari menahan rasa sakit, ibu--ibu--" ibuku nenutupi wajahnya. Menangis. Aku hanya bisa terpaku pada kenyataan bahwa mungkin aku harus mengulangi hal yang sama.

"Dia pengen kamu pulang. Dia pengen kamu disini. Tapi itu jelas tidak akan mengurangi penderitaannya. Kamu tahu cara mengakhiri penderitaannya?"

Kamu tahu cara mengakhiri penderitaannya?

Suara orang kaya itu terdengar kembali di telingaku dengan pertanyaan yang sama.

Aku melangkah menuju kamar. Mengambil pistol, mengisi pelurunya dan kembali berdiri di depan pintu kamar adikku.

Aku memasuki kamar inap wanita itu, yang sedang duduk di kasur dengan selimut menutupi kakinya. Ia memandangi jendela dan bersenandung kecil ketika sebuah lagu diperdengarkan di radio.

Que sera sera~

Kubuka pintu yang sudah tak terkunci. Disana adikku berbaring diatas kasur dengan mulut penuh darah. Sepertinya dia baru saja memuntahkan sesuatu.

Wanita itu menoleh. Ia sudah tidak memiliki rambut yang tersisa di wajahnya. Tidak di kepala. Tidak di atas matanya yang  sebagai alis tidak di kelopak matanya sebagai bulu mata.

Adikku berusaha mengangkat wajahnya yang belepotan darah, ia menutup mulutnya dengan tangan yang juga berlumuran darah. Ia menangis menahan rasa sakit. Aku tak tahu sesakit apa tapi aku tak tahan melihatnya.

Aku melihat senyum di wajah wanita itu. Walaupun wajahnya berkerut- kerut tapi senyuman itu masih nampak.

"Kamu-- orang suruhan ayahku kan? Tolong ya."

"Kakak-- mau tinggal disini kan? Jaga ibu ya."

Aku menganggukkan kepala.

Kemudian terdengar bunyi tembakan memecah udara.

Que sera sera~ whatever will be will be~



Published with Blogger-droid v2.0.4

2 komentar :

Ilham Sasmita at: 23 September 2013 pukul 13.16 mengatakan... Reply

trus besoknya si kakak dapet ikigami..
hiks..
sedih ya

Vanessa Praditasari at: 23 September 2013 pukul 19.13 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita sakjane aku ngantu googling buat nyari tahu apa itu ikigami. Tapi bisa juga ya seri ini dilanjutin dengan kakaknya dapet ikigami *kemudian ide cerita muncul*


Makasih lagi, lagi dan lagi *nggak tau udah berapa kali bilang makasih * buat komennya~

Posting Komentar

Beo Terbang