Kami mengenal seorang peramal, seorang tua yang pandai
sekali meramal. Ramalannya selalu tepat. Apa yang dikatakannya selalu menjadi
kenyataan. Tapi peramal tetaplah peramal, tetap saja ada yang percaya dan tidak
ada yang yakin dan tidak.
Ada sebuah tradisi yang entah sejak kapan dimulai di desa
ini dan kembali diadakan tahun ini. Anak-anak yang menginjak usia 17 tahun akan
dibawa kehadapan peramal tua itu, untuk diketahui peruntungannya, untuk
diketahui jodohnya. Intinya mereka dipertemukan dengan sang peramal untuk
mengetahui masa depan mereka.
Aku 17 tahun hari ini dan sedang berhadapan dengan peramal
tua yang kuceritakan tadi. Soal umur aku yakin ia lebih tua dari kakekku
sekalipun, jenggotnya putih, begitu juga rambutnya. Kelopak matanya terlihat
begitu berat untuk membuka karena tertumpuk keriput, kulitnya terlihat kusam
dan sepertinya pendengarannya pun sudah tidak baik lagi, karena ayah sibuk
mengulang-ngulang namaku hingga nyaris berteriak.
Ini gila. Kenapa aku harus percaya pria tua ini.
“Kamu—“
Aku mengangkat kepalaku dari warna tikar plastik yang sejak
tadi menarik perhatianku. Pria tua itu memanggilku dengan suara paraunya. Di
usianya yang terlihat begitu tua seperti itu kenapa ia tidak berbaring di dipan
dengan tenang dan tak perlu meladeni permintaan yang aneh-aneh dari orang-orang
disekitarnya.
“Kamu tidak percaya ramalan.”
Ucapannya terdengar seperti pernyataan. Dan memang benar,
jadi aku mengangguk tak peduli, ayah sedang memelototiku, memintaku menggeleng
atau diam mungkin.
Pria tua itu terdiam lagi. Ia hanya duduk bersila
dihadapanku. Yang membatasi kami hanya jarak, tak seperti peramal yang biasanya
membatasi diri dengan tirai agar wajahnya tak terlihat, karena profesi peramal
sangat riskan. Sekali ramalan mereka meleset mereka akan dicari-cari, dikejar
bahkan dibunuh.
Tanganku tidak ia pegang, ia juga tidak memegang kartu
ramalan, tidak pula menanyakan tanggal lahirku, hanya melihat wajahku selama
beberapa menit tanpa kata, menatap lurus lurus ke mataku hingga kemudian ia
memejamkan mata. Menghela napas.
Ayahku pun tampak mengikuti irama napas pria itu bahkan
sempat tertahan beberapa detik disaat pria tua itu menutup mata. Aku menoleh
dan mendapati keseriusan dimatanya.
Astaga, ini berlebihan.
“Kamu—adalah calon pemimpin negeri ini.”
Ayahku dan aku sempat tertegun sebelum terdengar suara
tepukan tangan dan senyum lebar dari wajah ayah, memelukku memberi selamat dan
sepertinya tanpa kusadari senyum juga menghias wajahku. Ada apa ini? Bahkan aku
pun bahagia karena sebuah ramalan?
“Tapi—“
Ayahku mengendurkan pelukannya ketika kata itu terdengar.
“Ada 1 orang yang akan menghalangi langkahmu. Lalu—“
Pria tua itu memotong ucapannya. Ayah sudah melepaskan
pelukannya, dan sepertinya sedang menahan napas menunggu lanjutan kalimat pria
itu dan tanpa sadar aku pun melakukannya.
“Anak setelah ini, dia—dia yang akan menghalangimu.”
Terdengar pintu di gedor berkali-kali ada suara diluar sana
yang mulai protes karena kami terlalu lama di dalam. Aku dan ayah terkejut
mendengar gedoran pintu itu tapi tidak dengan pria tua itu ia seperti sudah
terbiasa mendengar orang yang tidak sabaran di luar sana.
Ayah dan aku bertatapan satu sama lain seperti ingin
menanyakan hal lain tapi gedoran pintu memutus semuanya dan daripada di hajar
oleh penjaga pintu karena terlalu lama berada di dalam rumah pria tua ini, kami
berdua mengalah dan memilih untuk keluar.
Aku menatap penjaga pintu yang berbadan kekar itu dengan
pandangan sengit, kemudian memperhatikan sosok yang kukenal yang sedang
mengantri di belakang pintu. Seorang anak perempuan seusiaku yang begitu
familiar, sosok yang katanya akan menghalangiku untuk menjadi seorang pemimpin
negeri, dia—
“Itu dia,” ayahku berbisik padaku, sama denganku matanya
mengikuti anak perempuan itu. “Dia Terre.”
Aku mengenalnya dengan sangat baik, ayah tidak perlu
menekankan namaku seolah-olah dia benar-benar penghalang masa depanku. Setelah
itu aku bisa melihat ekspresi ayah yang benar-benar tampak tidak suka dengan melihatnya.
Terre, sempat melempar senyum padaku sebelu memasuki rumah
itu, yang dipadati oleh banyak orang untuk meminta ramalannya. Di hari ke 17
pada bulan ke 1, di usia anak-anak mereka yang genap 17 para orangtua mengantri
dengan penuh harap dan keluar dengan penuh rasa puas.
Sementara aku menyimpan kecemasan tentang Terre di mata
ayahku.
¨
Ayah dan aku hanya tinggal berdua, di sebuah rumah kecil,
terkecil diantara rumah penduduk lainnya. Ibu ku sudah meninggal bertahun-tahun
lalu dan aku hanya mengenalnya melalui foto. Ayah adalah seorang pekerja keras
yang selalu ingin aku menjadi jauh lebih baik darinya, seperti orang tua
lainnya tapi dengan cara yang lebih keras, menyuruhku belajar setiap harinya,
mengikuti les dimanapun yang bisa kudatangi, bersekolah di sekolah terbaik yang
bisa kucapai, semuanya hanya demi status keluarga yang harus ditingkatkan suatu
hari nanti, walaupun membutuhkan banyak uang walaupun ayah harus bekerja
seperti orang gila tapi beginilah adanya.
Terlebih ayah mendengar ramalan dari pria tua itu, aku
yakin. Sangat yakin. Ayah pasti memikirkan Terre, bukan cuma memikirkan Terre
tapi memikirkan bagaimana caranya melenyapkan dia dari hidupku agar tidak
menghalangi jalan untuk menjadi pemimpin negeri ini.
Kalau apa yang diramalkan pria itu benar.
“Ayah gak beneran mikirin omongan peramal tadi kan?”
Ayah tampak terkejut ketika aku bertanya. “Bagaimana ayah
tidak memikirkannya? Peramal itu selalu benar kau tidak percaya padanya?”
Aku tertawa. “Ayah, untuk apa percaya pada ramalan?
Bagaimana hidup seseorang bisa menghalangi hidup orang lain?”
“Bisa.”
Aku bisa mendengar kata itu terucap dengan tegas tanpa
keraguan.
“Bisa—“ kemudian kata itu terulang lagi, tapi dengan nada
yang tergantung disusul dengan suara pintu yang ditutup.
Aku hanya bisa memandangi pintu kamar ayahku dengan tatapan
nanar.
Seseorang mengetuk pintu rumah. Ada tamu, biasanya tamu akan
membawa makanan untuk mereka sebagai buah tangan, mungkin makanan enak akan
sedikit menghibur ayah dan membuatnya lupa dengan masalah Terre atau ramalan
konyol pria itu.
Aku membuka pintu ketika melihat sosok yang sama dengan yang
kutemui didepan pintu rumah pria tua itu.
“Terre—“
Namanya tersebut tanpa sadar.
Kemudian ayah keluar dari kamar. Dengan sebuah parang yang
memantulkan sinar lampu. Pantulan itu tergantikan oleh warna merah darah. Kemudian
teriakan. Kemudian—
Aku hanya bisa berdiri di ambang pintu. Tertegun tak
bergerak.
Kemudian suara teriakan berganti dengan suara seruan lain,
suara peringatan yang berubah menjadi kemarahan, berubah menjadi kerumunan,
berubah menjadi amukan massa. Dan aku masih berdiri dia ambang pintu seperti
patung yang memang dipasang disana, terdiam menatap ayahku yang berada di
antara kerumunan amukan massa.
Orang-orang tak bertanya alasan ayah menyabetkan parangnya. Dan
tidak ada yang berniat untuk bertanya, entah darimana mereka membawa parang dan
clurit yang seharusnya tidak begitu saja
di tangan mereka.
Kemudian sayup-sayup kudengar suara ayah diantara teriakan
penuh kemarahan dan terjangan emosi setiap orang yang berhasil menyentuh tubuh
ayah dengan tangan dan kaki mereka, alat tajam mereka.
“Ibumu—Ibumu dulu adalah penghalang keberhasilan ayah. Cinta
ayah pada Ibumu!”
Jika memang benar bisa. Apa yang membuat manusia satu
menjadi penghalang manusia lain dalam hidupnya.
Perasaan.
Mungkin benar. Perasaannya pada manusia itu. Dan ayah sedang
mencegahku untuk memiliki perasaan yang akan menghalangi masa depanku, walaupun
itu mengorbankan nyawanya. Dan aku disini seperti patung batu, yang sudah
tertempel di ambang pintu.
Sampai kemudian kerumunan itu berkurang, membiarkan ayah
terbaring ditanah berlumuran darah dan tak bergerak. Terre dan tubuhnya yang
tak berdaya sudah dibawa massa entah kemana dan aku masih berdiri seperti
patung di ambang pintu. Mungkin mereka tidak membunuhku juga karena mereka
mengiraku mati membatu di ambang pintu ini.
Kemudian aku terduduk tak berdaya. Menatap tubuh yang
tergolek tak bernyawa disana.
Beberapa orang berlalu, melewati mayat ayah dengan tatapan
jijik. Kemudian terdengar suara-suara orang-orang yang sibuk bergosip.
“Benar ternyata katanya, dia akan membuat desa ini tidak
damai.”
“Padahal aku sering memberikan makanan padanya.
“Dia memang tidak tahu balas budi.”
“Kasihan sekali Terre.”
“Benar kata sang peramal.”
Gigiku menggertak mendengar nama itu.
Sang peramal. Dia—Dia—
Aku berusaha untuk mengangkat tubuhku. Berdiri, walaupun
rasanya masih gemetar. Menghampiri tubuh ayahku, mengambil parangya yang masih
berbekas darah, entah darah Terre atau darahnya. Dan segera berlari menuju
rumah pria itu tinggal.
Pria tua penyebab semua ini.
“Aku sudah menunggu.”
Dia duduk bersila diatas tikar plastik. Dengan segelas teh
dan sepotong kue, seperti menunggu seorang tamu.
“Apa maksudmu?”
“Kau kesini untuk membunuhku kan?”
“Apa maksudmu!” Aku membentak pria tua itu. Hingga rasanya
bisa saja kuayukan parang ini sekali saja ke kepalanya.
“Kau yang akan membunuhku.”
“Apa?”
“Kau—“ ia menunjukku dengan jarinya yang tampak lemah. “Kau
yang telah ditakdirkan akan membunuhku.”
Aku tertawa sinis. “Benarkah? Bersyukurlah! Karena semua ini
terjadi akibat ramalanmu!”
Pria tua itu berucap lagi.“Sebenarnya, ramalan itu hanya
untuk mempercepat semua ini terjadi.”
“Apa?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Ramalan itu. Untukmu. 20 tahun lagi. Itu memang benar. Wanita
itu akan menjadi isterimu dan akan menjadi penghalang bagimu untuk memimpin
negeri ini, karena jika kau menjadi pemimpin negeri ini jabatanmu akan jatuh
karena kudeta.”
Parang ditanganku tergenggam semakin erat. Pria tua ini. Benar-benar
mempermainkan hidupku.
“Tapi karena ramalan itu ayahmu akan membunuh wanita itu.
Dan kau akan membunuhku.”
Aku bertanya lagi. Dengan suara yang bergetar. Tenggorokkanku
terasa sakit untuk menelan ludah, kepalaku terlalu pusing untuk mencerna semua
kalimatnya.
“Jadi apa tujuanmu?”
“20 tahun lagi,” pria tua itu berhenti sejenak. “Waktu itu
terlalu lama bagiku untuk menunggu. Aku ingin kau membunuhku sekarang. Saat
ini.”
“Kenapa kau tidak membunuh dirimu sendiri saja?” tanyaku
dengan teriakan, parang itu terhunus tepat di atas kepala pria itu, siap
diayunkan ketika semuanya jelas, terdengar jelas, walaupun tidak masuk akal.
“Tidak bisa. Kau yang akan membunuhku. Itu takdirnya.”
Aku tertawa sinis. Pria ini gila. Terlalu gila sampai
membuatnya gila. “Baiklah. Aku akan mengabulkan keinginanmu. Ini takdirku kan?
Aku akan mengabulkannya. DENGAR AKU AKAN MENGABULKANNYA.”
Kemudian parang itu kembali basah oleh darah.
25 tahun kemudian lihatlah pria yang akan jatuh karena
kudeta. Maju sebagai pemimpin negeri. Tanpa seorang wanita yang menghalangi. Tanpa
seorang ayah yang menghilangkan nyawa orang terkasih dan tanpa peramal yang
akan memberi tahunya apa yang akan terjadi.
Ah—bahkan ia sudah tahu apa yang akan terjadi.
Negerinya akan jatuh. Kudeta akan berhasil. Dan ia akan
menjadi sejarah.
Bersama ayahnya yang mati.
Calon isterinya yang mati.
Dan peramal yang mati.
1 komentar :
this is spartaaa
Posting Komentar