Rabu, 06 Juni 2012

Ramalan



Kami mengenal seorang peramal, seorang tua yang pandai sekali meramal. Ramalannya selalu tepat. Apa yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Tapi peramal tetaplah peramal, tetap saja ada yang percaya dan tidak ada yang yakin dan tidak.

Ada sebuah tradisi yang entah sejak kapan dimulai di desa ini dan kembali diadakan tahun ini. Anak-anak yang menginjak usia 17 tahun akan dibawa kehadapan peramal tua itu, untuk diketahui peruntungannya, untuk diketahui jodohnya. Intinya mereka dipertemukan dengan sang peramal untuk mengetahui masa depan mereka.

Aku 17 tahun hari ini dan sedang berhadapan dengan peramal tua yang kuceritakan tadi. Soal umur aku yakin ia lebih tua dari kakekku sekalipun, jenggotnya putih, begitu juga rambutnya. Kelopak matanya terlihat begitu berat untuk membuka karena tertumpuk keriput, kulitnya terlihat kusam dan sepertinya pendengarannya pun sudah tidak baik lagi, karena ayah sibuk mengulang-ngulang namaku hingga nyaris berteriak.

Ini gila. Kenapa aku harus percaya pria tua ini.

“Kamu—“

Aku mengangkat kepalaku dari warna tikar plastik yang sejak tadi menarik perhatianku. Pria tua itu memanggilku dengan suara paraunya. Di usianya yang terlihat begitu tua seperti itu kenapa ia tidak berbaring di dipan dengan tenang dan tak perlu meladeni permintaan yang aneh-aneh dari orang-orang disekitarnya.

“Kamu tidak percaya ramalan.”

Ucapannya terdengar seperti pernyataan. Dan memang benar, jadi aku mengangguk tak peduli, ayah sedang memelototiku, memintaku menggeleng atau diam mungkin.

Pria tua itu terdiam lagi. Ia hanya duduk bersila dihadapanku. Yang membatasi kami hanya jarak, tak seperti peramal yang biasanya membatasi diri dengan tirai agar wajahnya tak terlihat, karena profesi peramal sangat riskan. Sekali ramalan mereka meleset mereka akan dicari-cari, dikejar bahkan dibunuh.

Tanganku tidak ia pegang, ia juga tidak memegang kartu ramalan, tidak pula menanyakan tanggal lahirku, hanya melihat wajahku selama beberapa menit tanpa kata, menatap lurus lurus ke mataku hingga kemudian ia memejamkan mata. Menghela napas.

Ayahku pun tampak mengikuti irama napas pria itu bahkan sempat tertahan beberapa detik disaat pria tua itu menutup mata. Aku menoleh dan mendapati keseriusan dimatanya.

Astaga, ini berlebihan.

“Kamu—adalah calon pemimpin negeri ini.”
Ayahku dan aku sempat tertegun sebelum terdengar suara tepukan tangan dan senyum lebar dari wajah ayah, memelukku memberi selamat dan sepertinya tanpa kusadari senyum juga menghias wajahku. Ada apa ini? Bahkan aku pun bahagia karena sebuah ramalan?

“Tapi—“

Ayahku mengendurkan pelukannya ketika kata itu terdengar.

“Ada 1 orang yang akan menghalangi langkahmu. Lalu—“

Pria tua itu memotong ucapannya. Ayah sudah melepaskan pelukannya, dan sepertinya sedang menahan napas menunggu lanjutan kalimat pria itu dan tanpa sadar aku pun melakukannya.

“Anak setelah ini, dia—dia yang akan menghalangimu.”

Terdengar pintu di gedor berkali-kali ada suara diluar sana yang mulai protes karena kami terlalu lama di dalam. Aku dan ayah terkejut mendengar gedoran pintu itu tapi tidak dengan pria tua itu ia seperti sudah terbiasa mendengar orang yang tidak sabaran di luar sana.

Ayah dan aku bertatapan satu sama lain seperti ingin menanyakan hal lain tapi gedoran pintu memutus semuanya dan daripada di hajar oleh penjaga pintu karena terlalu lama berada di dalam rumah pria tua ini, kami berdua mengalah dan memilih untuk keluar.

Aku menatap penjaga pintu yang berbadan kekar itu dengan pandangan sengit, kemudian memperhatikan sosok yang kukenal yang sedang mengantri di belakang pintu. Seorang anak perempuan seusiaku yang begitu familiar, sosok yang katanya akan menghalangiku untuk menjadi seorang pemimpin negeri, dia—

“Itu dia,” ayahku berbisik padaku, sama denganku matanya mengikuti anak perempuan itu. “Dia Terre.”

Aku mengenalnya dengan sangat baik, ayah tidak perlu menekankan namaku seolah-olah dia benar-benar penghalang masa depanku. Setelah itu aku bisa melihat ekspresi ayah yang benar-benar tampak tidak suka dengan melihatnya.

Terre, sempat melempar senyum padaku sebelu memasuki rumah itu, yang dipadati oleh banyak orang untuk meminta ramalannya. Di hari ke 17 pada bulan ke 1, di usia anak-anak mereka yang genap 17 para orangtua mengantri dengan penuh harap dan keluar dengan penuh rasa puas.

Sementara aku menyimpan kecemasan tentang Terre di mata ayahku.

¨

Ayah dan aku hanya tinggal berdua, di sebuah rumah kecil, terkecil diantara rumah penduduk lainnya. Ibu ku sudah meninggal bertahun-tahun lalu dan aku hanya mengenalnya melalui foto. Ayah adalah seorang pekerja keras yang selalu ingin aku menjadi jauh lebih baik darinya, seperti orang tua lainnya tapi dengan cara yang lebih keras, menyuruhku belajar setiap harinya, mengikuti les dimanapun yang bisa kudatangi, bersekolah di sekolah terbaik yang bisa kucapai, semuanya hanya demi status keluarga yang harus ditingkatkan suatu hari nanti, walaupun membutuhkan banyak uang walaupun ayah harus bekerja seperti orang gila tapi beginilah adanya.

Terlebih ayah mendengar ramalan dari pria tua itu, aku yakin. Sangat yakin. Ayah pasti memikirkan Terre, bukan cuma memikirkan Terre tapi memikirkan bagaimana caranya melenyapkan dia dari hidupku agar tidak menghalangi jalan untuk menjadi pemimpin negeri ini.

Kalau apa yang diramalkan pria itu benar.

“Ayah gak beneran mikirin omongan peramal tadi kan?”

Ayah tampak terkejut ketika aku bertanya. “Bagaimana ayah tidak memikirkannya? Peramal itu selalu benar kau tidak percaya padanya?”

Aku tertawa. “Ayah, untuk apa percaya pada ramalan? Bagaimana hidup seseorang bisa menghalangi hidup orang lain?”

“Bisa.”

Aku bisa mendengar kata itu terucap dengan tegas tanpa keraguan.

“Bisa—“ kemudian kata itu terulang lagi, tapi dengan nada yang tergantung disusul dengan suara pintu yang ditutup.

Aku hanya bisa memandangi pintu kamar ayahku dengan tatapan nanar.

Seseorang mengetuk pintu rumah. Ada tamu, biasanya tamu akan membawa makanan untuk mereka sebagai buah tangan, mungkin makanan enak akan sedikit menghibur ayah dan membuatnya lupa dengan masalah Terre atau ramalan konyol pria itu.

Aku membuka pintu ketika melihat sosok yang sama dengan yang kutemui didepan pintu rumah pria tua itu.

“Terre—“

Namanya tersebut tanpa sadar.

Kemudian ayah keluar dari kamar. Dengan sebuah parang yang memantulkan sinar lampu. Pantulan itu tergantikan oleh warna merah darah. Kemudian teriakan. Kemudian—

Aku hanya bisa berdiri di ambang pintu. Tertegun tak bergerak.

Kemudian suara teriakan berganti dengan suara seruan lain, suara peringatan yang berubah menjadi kemarahan, berubah menjadi kerumunan, berubah menjadi amukan massa. Dan aku masih berdiri dia ambang pintu seperti patung yang memang dipasang disana, terdiam menatap ayahku yang berada di antara kerumunan amukan massa.

Orang-orang tak bertanya alasan ayah menyabetkan parangnya. Dan tidak ada yang berniat untuk bertanya, entah darimana mereka membawa parang dan clurit  yang seharusnya tidak begitu saja di tangan mereka.
Kemudian sayup-sayup kudengar suara ayah diantara teriakan penuh kemarahan dan terjangan emosi setiap orang yang berhasil menyentuh tubuh ayah dengan tangan dan kaki mereka, alat tajam mereka.

“Ibumu—Ibumu dulu adalah penghalang keberhasilan ayah. Cinta ayah pada Ibumu!”

Jika memang benar bisa. Apa yang membuat manusia satu menjadi penghalang manusia lain dalam hidupnya.

Perasaan.

Mungkin benar. Perasaannya pada manusia itu. Dan ayah sedang mencegahku untuk memiliki perasaan yang akan menghalangi masa depanku, walaupun itu mengorbankan nyawanya. Dan aku disini seperti patung batu, yang sudah tertempel di ambang pintu.

Sampai kemudian kerumunan itu berkurang, membiarkan ayah terbaring ditanah berlumuran darah dan tak bergerak. Terre dan tubuhnya yang tak berdaya sudah dibawa massa entah kemana dan aku masih berdiri seperti patung di ambang pintu. Mungkin mereka tidak membunuhku juga karena mereka mengiraku mati membatu di ambang pintu ini.

Kemudian aku terduduk tak berdaya. Menatap tubuh yang tergolek tak bernyawa disana.

Beberapa orang berlalu, melewati mayat ayah dengan tatapan jijik. Kemudian terdengar suara-suara orang-orang yang sibuk bergosip.

“Benar ternyata katanya, dia akan membuat desa ini tidak damai.”

“Padahal aku sering memberikan makanan padanya.

“Dia memang tidak tahu balas budi.”

“Kasihan sekali Terre.”

“Benar kata sang peramal.”

Gigiku menggertak mendengar nama itu.

Sang peramal. Dia—Dia—

Aku berusaha untuk mengangkat tubuhku. Berdiri, walaupun rasanya masih gemetar. Menghampiri tubuh ayahku, mengambil parangya yang masih berbekas darah, entah darah Terre atau darahnya. Dan segera berlari menuju rumah pria itu tinggal.

Pria tua penyebab semua ini.

“Aku sudah menunggu.”

Dia duduk bersila diatas tikar plastik. Dengan segelas teh dan sepotong kue, seperti menunggu seorang tamu.

“Apa maksudmu?”

“Kau kesini untuk membunuhku kan?”

“Apa maksudmu!” Aku membentak pria tua itu. Hingga rasanya bisa saja kuayukan parang ini sekali saja ke kepalanya.

“Kau yang akan membunuhku.”

“Apa?”

“Kau—“ ia menunjukku dengan jarinya yang tampak lemah. “Kau yang telah ditakdirkan akan membunuhku.”

Aku tertawa sinis. “Benarkah? Bersyukurlah! Karena semua ini terjadi akibat ramalanmu!”

Pria tua itu berucap lagi.“Sebenarnya, ramalan itu hanya untuk mempercepat semua ini terjadi.”

“Apa?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Ramalan itu. Untukmu. 20 tahun lagi. Itu memang benar. Wanita itu akan menjadi isterimu dan akan menjadi penghalang bagimu untuk memimpin negeri ini, karena jika kau menjadi pemimpin negeri ini jabatanmu akan jatuh karena kudeta.”

Parang ditanganku tergenggam semakin erat. Pria tua ini. Benar-benar mempermainkan hidupku.

“Tapi karena ramalan itu ayahmu akan membunuh wanita itu. Dan kau akan membunuhku.”

Aku bertanya lagi. Dengan suara yang bergetar. Tenggorokkanku terasa sakit untuk menelan ludah, kepalaku terlalu pusing untuk mencerna semua kalimatnya.

“Jadi apa tujuanmu?”

“20 tahun lagi,” pria tua itu berhenti sejenak. “Waktu itu terlalu lama bagiku untuk menunggu. Aku ingin kau membunuhku sekarang. Saat ini.”

“Kenapa kau tidak membunuh dirimu sendiri saja?” tanyaku dengan teriakan, parang itu terhunus tepat di atas kepala pria itu, siap diayunkan ketika semuanya jelas, terdengar jelas, walaupun tidak masuk akal.

“Tidak bisa. Kau yang akan membunuhku. Itu takdirnya.”

Aku tertawa sinis. Pria ini gila. Terlalu gila sampai membuatnya gila. “Baiklah. Aku akan mengabulkan keinginanmu. Ini takdirku kan? Aku akan mengabulkannya. DENGAR AKU AKAN MENGABULKANNYA.”

Kemudian parang itu kembali basah oleh darah.

25 tahun kemudian lihatlah pria yang akan jatuh karena kudeta. Maju sebagai pemimpin negeri. Tanpa seorang wanita yang menghalangi. Tanpa seorang ayah yang menghilangkan nyawa orang terkasih dan tanpa peramal yang akan memberi tahunya apa yang akan terjadi.

Ah—bahkan ia sudah tahu apa yang akan terjadi.

Negerinya akan jatuh. Kudeta akan berhasil. Dan ia akan menjadi sejarah.

Bersama ayahnya yang mati.

Calon isterinya yang mati.

Dan peramal yang mati.


1 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang