Dia cantik sekali, pikirku. Hari ini hari pernikahannya, ia
mengenakan gaun berwarna putih selutut, gaun itu simpel seperti apa yang ia impikan
dulu, hanya berwarna putih dengan hiasan pita besar di pinggang belakang,
modelnya seperti mini dress tapi entah kenapa aku lebih senang menyebutnya gaun,
karena ini hari pernikahannya.
Dia bahagia, aku bisa melihat senyumnya yang merekah lebar,
aku bisa melihat gigi kelincinya yang putih, kontras dengan warna kulitnya yang
sedikit coklat. Rambutnya di sanggul, menyisakan helai-helai rambut yang jatuh
bergelombang, ia tidak mengenakan mahkota, seperti pengantin-pengantin lain
karena menurutnya menggunakan mahkota itu norak dan pada akhirnya hari ini aku
melihatnya menggunakan pita berwarna putih yang seolah-olah mengikat
sanggulnya.
Dia tampak seperti puteri dalam dongeng, sedangkan aku hanya
datang mengenakan kemeja bewarna abu-abu dan celana jeans, aku tidak ingin
tampak terlalu formal, takut tertukar dengan pengantin pria nya yang mengenakan
jas hitam dan kemeja berwarna putih, aku yakin yang dikenakannya hari ini jelas
jas mahal, dia orang kaya, dan ini hari pernikahannya.
Berada di pesta kebun di belakang halaman rumah orang kaya
yang menjadi suami dari mantan pacar bukanlah hal yang terlalu menyenangkan,
tapi cukup terbayar dengan melihat senyumannya, melihat kebahagiannya, tawanya.
Mungkin mereka akan menyebut ini cinta karena merelakan orang yang
dicintai, aku sebut ini kejutan karena
dia tidak pernah memberitahu padaku secara lugas, kalau dia menemukan laki-laki
kaya yang bersedia membiayainya kuliah di luar negeri dan meninggalkanku dengan
pemikiran, kalau dia masih setia disana, dia baik-baik saja disana, kalau
hatinya masih padaku.
Tak ada kata putus sampai undangan pernikahan itu sampai di
kolong pintu kamar kos ku. Dan ketika aku menghubunginya dia hanya mengatakan
maaf dan kata putus. Jelas saja putus, dia akan menikah.
Ah sudahlah—rasa sedih itu sudah hilang sejak beberapa hari
lalu. Dan rasa sebal sudah berganti dengan kerelaan untuk memberikannya pada
laki-laki berjas hitam yang tampak tampan itu. Ah, benar—jadi selain kaya,
laki-laki itu juga tampan.
Aku menikmati segelas orange juice ketika dia datang
menghampiriku perlahan, dengan senyum canggung, seolah-olah dia baru saja melakukan
kesalahan besar. Tidak, dia tidak melakukan kesalahan apapun kecuali mematahkan
hatiku yang menunggunya selama 2 tahun.
“Hei—“ sapanya. Aku bisa melihat tangannya saling
menggenggam satu sama lain, terkepal. Aku mengenalnya selama 4 tahun, aku jelas
tahu dia melakukan itu ketika grogi.
Aku tersenyum. “Selamat ya,” tanganku terjulur padanya, dia
balas menyalamiku dan tampak kegugupannya mulai mencair.
“Pestanya bagus,” aku memuji akustik yang mengalun live dari
gazebo yang berada tak jauh dari kolam kecil berisi ikan koi, memuji dekorasi
yang simpel dan aku yakin itu permintaan dari mempelai wanita, memuji makanan
yang disajikan di pestanya, memuji mempelai wanita dan pria yang tampak begitu
cocok.
Dia tersenyum, masih tampak canggung. “Makasih, dan makasih
kamu mau datang,” ujarnya.
Aku tertawa kecil. “Gimana aku mau nolak?” aku mengangkat
gelas orange juice. “Ada minuman, makanan gratis, musik live dan senyum kamu,” alasan
yang terakhir membuatnya sedikit terkejut, bisa dilihat dari bola matanya yang
sempat membesar lalu ia memalingkan wajah.
“Kamu marah?”
Aku menganggukkan kepala. “Tentu saja.”
“Masih marah?”
Aku memutar bola mata. Berpura-pura berpikir. Padahal jawabannya
sudah ada di kepalaku sejak kemarin.
“Udah gak. Kamu menemukan laki-laki yang
lebih baik dari aku, kenapa aku harus marah lama-lama?”
Dia tersenyum. Kali ini lebih lepas. “Kamu ingat obrolan
kita beberapa tahun lalu?”
“Soal apa?” tanyaku.
“Siapa diantara kita yang akan menikah duluan. Kamu bilang,
kamu yang akan menikah duluan baru aku.
Kamu salah kan?”
Aku hanya tersenyum kecil. “Karena waktu itu aku pikir, aku
yang akan melamarmu lebih dulu sebelum kamu jawab ya, jadi aku yang akan
menikah lebih dulu.”
Dia terdiam, memalingkan wajahnya lagi. Tangannya kembali
terkepal , menggosok telapak tangannya satu sama lain.
“Santai aja. Itu dulu, sudah berlalu. Oh ya, sekali lagi
selamat dan sepertinya suamimu sudah memintamu untuk berada disebelahnya lagi, “
aku menunjuk dengan gelas orange juice, laki-laki berjas hitam yang sepertinya
sedang mencari seseorang. Ketika yang dicarinya berbalik, laki-laki itu tersenyum
dan di saat ia hendak menyusul seorang laki-laki tua mengajaknya mengobrol.
“Dia lagi sibuk,” ujarmu, hening menghentikkan pembicaraan
kita sejenak. “Kamu masih marah?”
“Udah gak. Aku udah jawab, kamu lupa?”
Dia menyipitkan matanya, mendekati wajahku, seperti
memperhatikan tiap komedo, jerawat dan kerutnya. “Kamu gak bohong. Tapi aku
ngerasa kamu bohong.”
Aku tertawa kecil. “Itu perasaanmu aja.”
“Aku ngerasa bersalah sampai sekarang.”
“Kalau begitu, segera bercerai,” aku menjawab asal, dan bisa
kulihat matanya membulat. “Bercanda. Kalian harus terus bersama, sampai ajal
menjemput.”
Dia menganggukkan kepala.Mantap. “Pasti. Kamu tahu,” ada
jeda di kalimatnya. “Aku ngerasa bakal kena karma karena ini.”
Aku tertawa. “Honey,” aku menghentikkan kata-kataku sejenak,
kelepasan. “Sorry,” aku menegak orange juice sebelum melanjutkan kalimatku. “Karma
doesn’t exist, remember?”
Dia menganggukkan kepala. “Karma doesn’t exist. Right?”
“Yeah. Right.”
Aku dan dia tersenyum, senyum yang sama dengan beberapa
tahun lalu. Kemudian ia berbalik setelah mengucapkan terimakasih dan menyusul
laki-laki berkemeja hitam yang begitu istimewa hari ini, dia juga tersenyum
padanya, pada suaminya. Dia tersenyum pada semua orang, karena dia sedang
bahagia, seharusnya aku pun begitu.
Ku hela napas panjang ketika seorang MC datang dengan sebuah
kue pernikahan yang didorong menggunakan troli, kue pernikahan itu berwarna
putih dengan hiasan berwarna hijau tua dan coklat, aku tahu warna hijau tua
kesukannnya sedangkan warna coklat kesukaan suaminya, mungkin.
Semua orang berkumpul, berkerumun, aku berdiri di dekat kue
itu, di sampingnya, mungkin saja dia ingin memberikan potongan kue—entah yang
keberapa kepadaku—jelas aku akan merasa senang.
Walaupun aku berdiri di sampingnya jelas saja suaminya
berdiri lebih dekat, karena mereka akan memegang pisau bersama-sama, memotong
kue pernikahan mereka.
MC tampak sibuk memberikan piring kecil, dan dua sendok kue
pada kedua mempelai agar mereka bisa saling menyuapi. Aku bisa melihat dia tampak
malu-malu melakukannya tapi karena ini hari istimewanya, jelas ia harus
menyuapi suaminya dan menerima suapan dari suaminya.
Semua orang bertepuk tangan, aku pun begitu, masih
disampingnya, ada jepretan blitz dari sebuah kamera. Momen bahagia pasangan
suami isteri ini diabadikan.
Mereka berdua tersenyum bahagia ketika tiba-tiba laki-laki
berkemeja hitam menunjukkan wajah aneh, memegangi lehernya dan jatuh, begitu
juga dengan dia yang sempat menjerit karena terkejut lalu ikut jatuh sambil memegangi
lehernya, terbaring di samping suaminya.
Aku disebelahnya, tapi aku tidak menahan tubuhnya. Sementara
orang-orang berteriak dan mulai mencari bantuan—entah bantuan siapa— aku
berjongkok disampingnya, melihat matanya yang membulat begitu lebar.
“Karma doesn’t exist. Right?”
“Yeah. But revenge does.”
4 komentar :
Aaaaaaaaaaaa Vaness!
Ga nyangka sama endingnya yang bakalan sesadis itu --__________--
Keren banget Nes cerpennya. TERUSKAN! :D :D :D
@Ririt Makasih riiit :3
i wish i could do that..
:')
@Ilham Sasmita kamu mau bunuh orang mas? Atau kamu ditinggal nikah? #ups
Posting Komentar