Sabtu, 27 Oktober 2012

Karma Doesn't Exist



Dia cantik sekali, pikirku. Hari ini hari pernikahannya, ia mengenakan gaun berwarna putih selutut,  gaun itu simpel seperti apa yang ia impikan dulu, hanya berwarna putih dengan hiasan pita besar di pinggang belakang, modelnya seperti mini dress tapi entah kenapa aku lebih senang menyebutnya gaun, karena ini hari pernikahannya.

Dia bahagia, aku bisa melihat senyumnya yang merekah lebar, aku bisa melihat gigi kelincinya yang putih, kontras dengan warna kulitnya yang sedikit coklat. Rambutnya di sanggul, menyisakan helai-helai rambut yang jatuh bergelombang, ia tidak mengenakan mahkota, seperti pengantin-pengantin lain karena menurutnya menggunakan mahkota itu norak dan pada akhirnya hari ini aku melihatnya menggunakan pita berwarna putih yang seolah-olah mengikat sanggulnya.

Dia tampak seperti puteri dalam dongeng, sedangkan aku hanya datang mengenakan kemeja bewarna abu-abu dan celana jeans, aku tidak ingin tampak terlalu formal, takut tertukar dengan pengantin pria nya yang mengenakan jas hitam dan kemeja berwarna putih, aku yakin yang dikenakannya hari ini jelas jas mahal, dia orang kaya, dan ini hari pernikahannya.

Berada di pesta kebun di belakang halaman rumah orang kaya yang menjadi suami dari mantan pacar bukanlah hal yang terlalu menyenangkan, tapi cukup terbayar dengan melihat senyumannya, melihat kebahagiannya, tawanya.

Mungkin mereka akan menyebut  ini cinta karena merelakan orang yang dicintai, aku sebut ini kejutan  karena dia tidak pernah memberitahu padaku secara lugas, kalau dia menemukan laki-laki kaya yang bersedia membiayainya kuliah di luar negeri dan meninggalkanku dengan pemikiran, kalau dia masih setia disana, dia baik-baik saja disana, kalau hatinya masih padaku.

Tak ada kata putus sampai undangan pernikahan itu sampai di kolong pintu kamar kos ku. Dan ketika aku menghubunginya dia hanya mengatakan maaf dan kata putus. Jelas saja putus, dia akan menikah.

Ah sudahlah—rasa sedih itu sudah hilang sejak beberapa hari lalu. Dan rasa sebal sudah berganti dengan kerelaan untuk memberikannya pada laki-laki berjas hitam yang tampak tampan itu. Ah, benar—jadi selain kaya, laki-laki itu juga tampan.

Aku menikmati segelas orange juice ketika dia datang menghampiriku perlahan, dengan senyum canggung, seolah-olah dia baru saja melakukan kesalahan besar. Tidak, dia tidak melakukan kesalahan apapun kecuali mematahkan hatiku yang menunggunya selama 2 tahun.

“Hei—“ sapanya. Aku bisa melihat tangannya saling menggenggam satu sama lain, terkepal. Aku mengenalnya selama 4 tahun, aku jelas tahu dia melakukan itu ketika grogi.

Aku tersenyum. “Selamat ya,” tanganku terjulur padanya, dia balas menyalamiku dan tampak kegugupannya mulai mencair.

“Pestanya bagus,” aku memuji akustik yang mengalun live dari gazebo yang berada tak jauh dari kolam kecil berisi ikan koi, memuji dekorasi yang simpel dan aku yakin itu permintaan dari mempelai wanita, memuji makanan yang disajikan di pestanya, memuji mempelai wanita dan pria yang tampak begitu cocok.

Dia tersenyum, masih tampak canggung. “Makasih, dan makasih kamu mau datang,” ujarnya.
Aku tertawa kecil. “Gimana aku mau nolak?” aku mengangkat gelas orange juice. “Ada minuman, makanan gratis, musik live dan senyum kamu,” alasan yang terakhir membuatnya sedikit terkejut, bisa dilihat dari bola matanya yang sempat membesar lalu ia memalingkan wajah.

“Kamu marah?”

Aku menganggukkan kepala. “Tentu saja.”

“Masih marah?”

Aku memutar bola mata. Berpura-pura berpikir. Padahal jawabannya sudah ada di kepalaku sejak kemarin. 
“Udah gak. Kamu menemukan laki-laki yang lebih baik dari aku, kenapa aku harus marah lama-lama?”

Dia tersenyum. Kali ini lebih lepas. “Kamu ingat obrolan kita beberapa tahun lalu?”

“Soal apa?” tanyaku.

“Siapa diantara kita yang akan menikah duluan. Kamu bilang, kamu yang akan menikah duluan baru aku. 
Kamu salah kan?”

Aku hanya tersenyum kecil. “Karena waktu itu aku pikir, aku yang akan melamarmu lebih dulu sebelum kamu jawab ya, jadi aku yang akan menikah lebih dulu.”

Dia terdiam, memalingkan wajahnya lagi. Tangannya kembali terkepal , menggosok telapak tangannya satu sama lain.

“Santai aja. Itu dulu, sudah berlalu. Oh ya, sekali lagi selamat dan sepertinya suamimu sudah memintamu untuk berada disebelahnya lagi, “ aku menunjuk dengan gelas orange juice, laki-laki berjas hitam yang sepertinya sedang mencari seseorang. Ketika yang dicarinya berbalik, laki-laki itu tersenyum dan di saat ia hendak menyusul seorang laki-laki tua mengajaknya mengobrol.

“Dia lagi sibuk,” ujarmu, hening menghentikkan pembicaraan kita sejenak. “Kamu masih marah?”

“Udah gak. Aku udah jawab, kamu lupa?”

Dia menyipitkan matanya, mendekati wajahku, seperti memperhatikan tiap komedo, jerawat dan kerutnya. “Kamu gak bohong. Tapi aku ngerasa kamu bohong.”

Aku tertawa kecil. “Itu perasaanmu aja.”

“Aku ngerasa bersalah sampai sekarang.”

“Kalau begitu, segera bercerai,” aku menjawab asal, dan bisa kulihat matanya membulat. “Bercanda. Kalian harus terus bersama, sampai ajal menjemput.”

Dia menganggukkan kepala.Mantap. “Pasti. Kamu tahu,” ada jeda di kalimatnya. “Aku ngerasa bakal kena karma karena ini.”

Aku tertawa. “Honey,” aku menghentikkan kata-kataku sejenak, kelepasan. “Sorry,” aku menegak orange juice sebelum melanjutkan kalimatku. “Karma doesn’t exist, remember?”

Dia menganggukkan kepala. “Karma doesn’t exist. Right?”

“Yeah. Right.”

Aku dan dia tersenyum, senyum yang sama dengan beberapa tahun lalu. Kemudian ia berbalik setelah mengucapkan terimakasih dan menyusul laki-laki berkemeja hitam yang begitu istimewa hari ini, dia juga tersenyum padanya, pada suaminya. Dia tersenyum pada semua orang, karena dia sedang bahagia, seharusnya aku pun begitu.

Ku hela napas panjang ketika seorang MC datang dengan sebuah kue pernikahan yang didorong menggunakan troli, kue pernikahan itu berwarna putih dengan hiasan berwarna hijau tua dan coklat, aku tahu warna hijau tua kesukannnya sedangkan warna coklat kesukaan suaminya, mungkin.

Semua orang berkumpul, berkerumun, aku berdiri di dekat kue itu, di sampingnya, mungkin saja dia ingin memberikan potongan kue—entah yang keberapa kepadaku—jelas aku akan merasa senang.

Walaupun aku berdiri di sampingnya jelas saja suaminya berdiri lebih dekat, karena mereka akan memegang pisau bersama-sama, memotong kue pernikahan mereka.

MC tampak sibuk memberikan piring kecil, dan dua sendok kue pada kedua mempelai agar mereka bisa saling menyuapi. Aku bisa melihat dia tampak malu-malu melakukannya tapi karena ini hari istimewanya, jelas ia harus menyuapi suaminya dan menerima suapan dari suaminya.

Semua orang bertepuk tangan, aku pun begitu, masih disampingnya, ada jepretan blitz dari sebuah kamera. Momen bahagia pasangan suami isteri ini diabadikan.

Mereka berdua tersenyum bahagia ketika tiba-tiba laki-laki berkemeja hitam menunjukkan wajah aneh, memegangi lehernya dan jatuh, begitu juga dengan dia yang sempat menjerit karena terkejut lalu ikut jatuh sambil memegangi lehernya, terbaring di samping suaminya.

Aku disebelahnya, tapi aku tidak menahan tubuhnya. Sementara orang-orang berteriak dan mulai mencari bantuan—entah bantuan siapa— aku berjongkok disampingnya, melihat matanya yang membulat begitu lebar.

“Karma doesn’t exist. Right?”

“Yeah. But revenge does.”


4 komentar :

Ririt H. at: 28 Desember 2012 pukul 14.15 mengatakan... Reply

Aaaaaaaaaaaa Vaness!
Ga nyangka sama endingnya yang bakalan sesadis itu --__________--
Keren banget Nes cerpennya. TERUSKAN! :D :D :D

Vanessa Praditasari at: 31 Desember 2012 pukul 10.08 mengatakan... Reply

@Ririt Makasih riiit :3

Ilham Sasmita at: 2 Oktober 2013 pukul 08.28 mengatakan... Reply

i wish i could do that..
:')

Vanessa Praditasari at: 24 Oktober 2013 pukul 18.11 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita kamu mau bunuh orang mas? Atau kamu ditinggal nikah? #ups

Posting Komentar

Beo Terbang