Sabtu, 20 April 2013

Pohon Merah



“Tuh lihat,”

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Raya, dibalik pagar batu yang sedikit lebih tinggi dari kami, diantara pepohonan berwarna hijau. “Kenapa? Bukannya kita udah biasa lihat ya,” ujarku, kembali berpaling pada Raya.

“Katanya, dibawah pohon itu isinya mayat-mayat manusia,” bisiknya. “Bayangin deh kalau beneran dibawah pohon itu isinya mayat semua, hii—“ Raya memeluk dirinya sendiri seolah-olah merinding.

Aku menggaruk kepala, tak terlalu peduli. “Kamu percaya Ray?” tanyaku kemudian, memastikan seberapa sehat logika Raya. “Lagian kenapa kabarnya baru muncul sekarang, pohon itu kan udah ada sejak kita SD.”

Raya menyentuh dahinya dengan jari telunjuk. “Iya sih. Tapi semenjak pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Mungkin—“ dahi Raya mengkerut, ia menghela napas. “Ah sudahlah kenapa dipikirkan juga,” gumamnya.

“Ya, kan kamu yang mikirin Ray.”

Kami berdua kembali melangkah dalam diam, aku tak terlalu memperhatikan siapa yang kami lewati sampai Raya menyenggol bahuku berkali-kali, membuatku memperhatikan apa yang berusaha ia tunjukkan.

Laki-laki pemilik pohon merah, melewati kami dengan senyuman yang sama seperti yang kami lihat setiap kali berpapasan dengannya. Dengan ragu aku membalas senyumannya, Raya pun begitu. Setelah laki-laki itu berlalu Raya sempat menolehkan kepalanya sekali.

“Itu, pemilik pohon merah kan. Aneh nggak sih, senyum-senyum kayak gitu?”

“Aneh apanya sih Ray?” aku berusaha mengabaikan spekulasi lain yang bisa saja semakin kacau.

“Kamu dengar nggak, kabar kalau anak perempuan dan isteri laki-laki tadi udah meninggal?”

“Kabar lama Ray. Kabar lama,” aku berbelok, berhenti tepat di depan pagar berwarna hitam—rumahku.

Raya masih berdiri disampingku ketika pintu pagar rumahku sudah terbuka, melihat dahinya yang berkerut dan ekspresi wajahnya yang terlipat-lipat aku yakin dia masih memikirkan pohon merah yang tak jauh dari rumah kami itu. “Ray, mau masuk atau tetap disitu?” tanyaku setelah beberapa detik berlalu dan dia tak berpindah juga dari tempat yang sama.

“Kamu nggak penasaran?” tanyanya kemudian, wajahnya mendekat, mendesakku untuk mundur beberapa langkah. Pemaksaan seperti biasanya.

“Nggak,” jawabku enteng. Masuk melewati pagar setinggi dada dan menguncinya kembali, membiarkan Raya berdiri di luar, bibirnya mengerucut tampak tidak senang.

Aku menghela napas, menghadapi tingkah Raya memang sedikit menyulitkan. “Kamu mau ngapain memangnya? Mau kamu gali tanah disekitar pohonnya?”

“Ya nggak juga sih—“ jawabnya ragu. “Tapi aku pengen lihat pohonnya lebih dekat deh. Temenin ya—ya—“ Raya menyatukan kedua teapak tangannnya di depan dada, kepalanya menunduk penuh permohonan.

Aku terdiam selama beberapa detik memikirkan hal buruk yang mungkin saja terjadi, sepertinya tidak ada, seharusnya tidak ada. “Oke, oke. Lihat doang kan? Mungkin kita bisa bikin alasan ada tugas praktik Biologi.”

Raya bertepuk-tepuk tangan lalu mengangkat tangannya mengajak high five, dan aku menyambutnya. “Besok ya!”

Aku menganggukkan kepala, setelahnya Raya berlari untuk pulang walaupun jarak rumahnya dan rumahku hanya terpisah dua rumah, menuruti permintaan anehnya saja sudah bisa membuatnya segembira itu.

***
“Jadi, kalian ingin meneliti pohon merah ini?”

Aku menganggukkan kepala. “Tugas biologi Om, karena pohon ini menarik kami ingin menjadikannya sebagai bahan penelitian,” ucapku meyakinkan.

Tampak ekspresi tidak senang dari laki-laki paruh baya yang berdiri dihadapanku, senyumnya yang biasa ia tunjukan kepada kami menghilang entah kemana. “Apa yang kalian butuhkan sebagai bahan penelitian?” tanyanya kemudian, seperti mempertimbangkan apakah pantas dua remaja sepertiku dan Raya melihat satu-
satunya pohon merah yang berbeda itu.

“Kami cuma butuh foto dan sampel daun Om,” jawab Raya. “Kalau misalnya kita nggak boleh lihat pohonnya secara langsung mungkin Om bisa kasih foto sama daunnya sehelai atau dua helai,” pintanya lagi, berusaha meyakinkan.

Hening selama beberapa detik sebelum laki-laki itu akhirnya berkata. “Kalian bisa melihat langsung, tapi jangan ambil fotonya,” ujar laki-laki itu kemudian.

Aku menatap Raya yang menatapku. Rencana kami berhasil.

Laki-laki itu mengantar kami ke halaman samping, tempat pohon merah berdiam.

Pohon itu secara bentuk sama seperti pohon pada umumnya. Memiliki daun, batang, ranting, dahan, bahkan jika warnanya tidak merah aku yakin akan memasukkan pohon ini ke jenis yang sama dengan pohon di dekatnya, tapi warna daunnya, warna kulit kayunya yang seperti campuran antara cokelat dan merah, bahkan rantingnya yang tampak rapuh lebih memiliki warna dominan merah, membuatku mulai menebak-nebak jenis pohon apa ini.

Raya menunjukkan sehelai daun pohon itu padaku, sembari berbisik. “Bener-bener merah.”

Aku meraih daun yang ada di tangannya, memperhatikan daun berwarna merah itu, merahnya begitu pekat 
namun tidak menyatu dengan daunnya, seperti daun itu tercelup ke sesuatu yang berwarna merah pekat  dan langsung diangkat begitu saja, bahkan tulang daunnya pun tak tampak lagi. Aku membolak-balik daun itu dan hendak memetik daun yang lain.

“Hei. Kalian mau memetik berapa banyak?”

Aku menghentikkan jariku yang sudah hendak memetik sehelai. Mataku melirik Raya, tangannya sudah memegang dua helai daun.

“Sudah cukup kan?” laki-laki itu mendekat ke arah kami, tampak gusar, matanya bergantian menatapku dan Raya. “Kalian sudah mendapatkan sehelai dua helai daun, sudah melihat pohon ini, sebaiknya kalian pulang.”
Raya menatapku, menunggu jawaban. Wajahnya tampak bimbang dan sedikit takut, laki-laki pemilik pohon ini benar-benar mengawasi kami sejak tadi sepertinya.

“Sudah Om, kami hanya butuh daun-daun ini untuk diteliti di sekolah,” jawabku kemudian. Percuma meneliti saat ini, aku yakin pemilik pohon ini tidak akan mengalihkan pandangannya dari kami sedetikpun.

“Terimakasih Om,” ujar Raya.

Laki-laki itu hanya berbalik, meminta kami untuk segera keluar mengikuti langkah kakinya.

Setelah keluar dari rumah itu aku dan Raya memilih untuk langsung pulang. Tidak mendiskusikan apapun karena aku yakin di kepala kami masing-masing pun terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar.
Aku memegang sehelai daun sementara Raya memegang dua helai. Aku melambaikan tangan ketika ia berjalan pelan melewati pagar rumah.

***

Lampu tidur baru akan kunyalakan setelah tugas untuk besok selesai. Aku menutup buku dan segera membuka laci meja belajar, disana aku menyembunyikan daun berwarna merah yang kudapat pagi tadi, diantara halaman-halaman buku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam ketika aku membuka halaman tengah buku dan menemukan daun berwarna—hijau.

Dahiku berkerut, tanganku meraih daun itu, membolak-baliknya berkali-kali. Daun ditanganku berwarna hijau, sama seperti daun-daun di pohon biasa.

Dalam gerakan cepat tanganku membolak-balik halaman buku, membukanya, membalik bagian halamannya dan berharap ada daun berwarna merah yang jatuh dari sana.

Tak ada apapun.

Mataku kembali memperhatikan daun berwarna hijau diatas meja.

Daun itu berubah warna.

Tanganku meraih handphone, sebelum aku menyadari kalau Raya pasti sudah tertidur lelap. Kuputuskan untuk keluar rumah, rasa penasaranku tak terbendung lagi, siapa tahu jika aku beruntung aku bisa menemukan sesuatu dari pohon aneh itu.

Kulangkahkan kaki diantara dingin angin yang menusuk, jaketku kurapatkan lagi. Tak ada yang berjalan di jalanan yang sama selain diriku, dan tampaknya hampir semua penghuni rumah telah terlelap atau tidak memilih keluar dari rumah sama sekali.

Aku menghentikkan langkah tepat di depan pohon merah itu, warna daunnya masih sama, tak berubah seperti daun yang kupetik pagi tadi. Kutolehkan kepala ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada siapapun selain diriku dan tak ada seorang pun yang akan mendugaku sebagai maling,

Kuletakkan tanganku di pagar batu, sementara kedua kakiku berusaha berpinjak pada batu yang menonjol. 

Gelap. Tapi ada suara yang terdengar, bersamaan dengan bayangan seseorang.

“Memang sulit mencari bahan untuk membuatmu tetap indah,” ada hening kemudian entah apa yang dilakukan bayangan itu. “Dan kalian tidak sebau dulu, tidak sia-sia aku mengganti bahan untuk menyiram kalian.”

Aku menelan ludah, bayangan itu membawa sebuah ember, menuangkan isinya ke tanah tempat pohon itu menancapkan diri, aku memang tidak bisa melihat warna cairan yang dituangkan ke pohon itu, tapi bisa kupastikan cairan itu kental, bukan air.

“Istri dan anakku pasti senang jika melihatmu. Mereka suka warna merah dan mereka suka bermain di bawah pohon, pasti mereka akan bahagia kalau melihat—“

Aku masih terpaku memperhatikan sesosok bayangan itu, ketika matanya menemukanku.



4 komentar :

Ilham Sasmita at: 23 September 2013 pukul 10.17 mengatakan... Reply

alternate ending versi ilham..

jantungku berdetak cepat namun waktu terasa melambat. dapat kurasakan binar kebencian yang ia tunjukkan saat melihatku. aku tak gentar. tak kulepaskan matanya dari pandanganku.
aku tak tau apa yang menarikku, aku tidak segera pergi, namun aku justru melompati pagar itu. dan aku mulai berjalan mendekatinya.

langkahku terasa lambat. kedipan matanya, daun-daun yang terjatuh, seakan ikut melambat berangsur-angsur mengikuti binarnya yang semakin meredup saat aku makin mendekat.

aku berhenti di depannya. menangkap satu daun merah yang jatuh perlahan.

dengan lirih kukatakan padanya,"tahukah kamu, kecepatan daun yang jatuh ke tanah adalah 5cm persecond?"


*eeaaa jadi romantis

Vanessa Praditasari at: 23 September 2013 pukul 19.04 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita massss asli aku ngekek yaaaak ngeliat komenmu yg ini. Kamu suka pair cowok sama cowok ya mas, kok ada tanda kesana? #eaaaaa

Makasih buat komennya, makasih buat alternatif endingnya :))))

Ilham Sasmita at: 24 September 2013 pukul 15.06 mengatakan... Reply

lhaaa... karakter "aku" itu cowok ya?? tak kira cewek.. -___-"

Vanessa Praditasari at: 26 September 2013 pukul 16.39 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita Itu cowok... ._____.

Posting Komentar

Beo Terbang