“Tuh lihat,”
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Raya, dibalik pagar batu yang sedikit
lebih tinggi dari kami, diantara pepohonan berwarna hijau. “Kenapa? Bukannya
kita udah biasa lihat ya,” ujarku, kembali berpaling pada Raya.
“Katanya, dibawah pohon itu isinya mayat-mayat manusia,” bisiknya.
“Bayangin deh kalau beneran dibawah pohon itu isinya mayat semua, hii—“ Raya
memeluk dirinya sendiri seolah-olah merinding.
Aku menggaruk kepala, tak terlalu peduli. “Kamu percaya Ray?” tanyaku
kemudian, memastikan seberapa sehat logika Raya. “Lagian kenapa kabarnya baru
muncul sekarang, pohon itu kan udah ada sejak kita SD.”
Raya menyentuh dahinya dengan jari telunjuk. “Iya sih. Tapi
semenjak pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Mungkin—“ dahi Raya
mengkerut, ia menghela napas. “Ah sudahlah kenapa dipikirkan juga,” gumamnya.
“Ya, kan kamu yang mikirin Ray.”
Kami berdua kembali melangkah dalam diam, aku tak terlalu
memperhatikan siapa yang kami lewati sampai Raya menyenggol bahuku
berkali-kali, membuatku memperhatikan apa yang berusaha ia tunjukkan.
Laki-laki pemilik pohon merah, melewati kami dengan senyuman yang
sama seperti yang kami lihat setiap kali berpapasan dengannya. Dengan ragu aku
membalas senyumannya, Raya pun begitu. Setelah laki-laki itu berlalu Raya
sempat menolehkan kepalanya sekali.
“Itu, pemilik pohon merah kan. Aneh nggak sih, senyum-senyum kayak
gitu?”
“Aneh apanya sih Ray?” aku berusaha mengabaikan spekulasi lain
yang bisa saja semakin kacau.
“Kamu dengar nggak, kabar kalau anak perempuan dan isteri laki-laki
tadi udah meninggal?”
“Kabar lama Ray. Kabar lama,” aku berbelok, berhenti tepat di
depan pagar berwarna hitam—rumahku.
Raya masih berdiri disampingku ketika pintu pagar rumahku sudah
terbuka, melihat dahinya yang berkerut dan ekspresi wajahnya yang
terlipat-lipat aku yakin dia masih memikirkan pohon merah yang tak jauh dari
rumah kami itu. “Ray, mau masuk atau tetap disitu?” tanyaku setelah beberapa
detik berlalu dan dia tak berpindah juga dari tempat yang sama.
“Kamu nggak penasaran?” tanyanya kemudian, wajahnya mendekat,
mendesakku untuk mundur beberapa langkah. Pemaksaan seperti biasanya.
“Nggak,” jawabku enteng. Masuk melewati pagar setinggi dada dan
menguncinya kembali, membiarkan Raya berdiri di luar, bibirnya mengerucut
tampak tidak senang.
Aku menghela napas, menghadapi tingkah Raya memang sedikit
menyulitkan. “Kamu mau ngapain memangnya? Mau kamu gali tanah disekitar
pohonnya?”
“Ya nggak juga sih—“ jawabnya ragu. “Tapi aku pengen lihat
pohonnya lebih dekat deh. Temenin ya—ya—“ Raya menyatukan kedua teapak
tangannnya di depan dada, kepalanya menunduk penuh permohonan.
Aku terdiam selama beberapa detik memikirkan hal buruk yang
mungkin saja terjadi, sepertinya tidak ada, seharusnya tidak ada. “Oke, oke.
Lihat doang kan? Mungkin kita bisa bikin alasan ada tugas praktik Biologi.”
Raya bertepuk-tepuk tangan lalu mengangkat tangannya mengajak high five, dan aku menyambutnya. “Besok
ya!”
Aku menganggukkan kepala, setelahnya Raya berlari untuk pulang
walaupun jarak rumahnya dan rumahku hanya terpisah dua rumah, menuruti
permintaan anehnya saja sudah bisa membuatnya segembira itu.
***
“Jadi, kalian ingin meneliti pohon merah ini?”
Aku menganggukkan kepala. “Tugas biologi Om, karena pohon ini
menarik kami ingin menjadikannya sebagai bahan penelitian,” ucapku meyakinkan.
Tampak ekspresi tidak senang dari laki-laki paruh baya yang
berdiri dihadapanku, senyumnya yang biasa ia tunjukan kepada kami menghilang
entah kemana. “Apa yang kalian butuhkan sebagai bahan penelitian?” tanyanya
kemudian, seperti mempertimbangkan apakah pantas dua remaja sepertiku dan Raya
melihat satu-
satunya pohon merah yang berbeda
itu.
“Kami cuma butuh foto dan sampel daun Om,” jawab Raya. “Kalau
misalnya kita nggak boleh lihat pohonnya secara langsung mungkin Om bisa kasih
foto sama daunnya sehelai atau dua helai,” pintanya lagi, berusaha meyakinkan.
Hening selama beberapa detik sebelum laki-laki itu akhirnya
berkata. “Kalian bisa melihat langsung, tapi jangan ambil fotonya,” ujar
laki-laki itu kemudian.
Aku menatap Raya yang menatapku. Rencana kami berhasil.
Laki-laki itu mengantar kami ke halaman samping, tempat pohon
merah berdiam.
Pohon itu secara bentuk sama seperti pohon pada umumnya. Memiliki daun,
batang, ranting, dahan, bahkan jika warnanya tidak merah aku yakin akan
memasukkan pohon ini ke jenis yang sama dengan pohon di dekatnya, tapi warna
daunnya, warna kulit kayunya yang seperti campuran antara cokelat dan merah,
bahkan rantingnya yang tampak rapuh lebih memiliki warna dominan merah,
membuatku mulai menebak-nebak jenis pohon apa ini.
Raya menunjukkan sehelai daun pohon itu padaku, sembari berbisik. “Bener-bener
merah.”
Aku meraih daun yang ada di tangannya, memperhatikan daun berwarna
merah itu, merahnya begitu pekat
namun tidak menyatu dengan daunnya, seperti
daun itu tercelup ke sesuatu yang berwarna merah pekat dan langsung diangkat begitu saja, bahkan
tulang daunnya pun tak tampak lagi. Aku membolak-balik daun itu dan hendak
memetik daun yang lain.
“Hei. Kalian mau memetik berapa banyak?”
Aku menghentikkan jariku yang sudah hendak memetik sehelai. Mataku
melirik Raya, tangannya sudah memegang dua helai daun.
“Sudah cukup kan?” laki-laki itu mendekat ke arah kami, tampak
gusar, matanya bergantian menatapku dan Raya. “Kalian sudah mendapatkan sehelai
dua helai daun, sudah melihat pohon ini, sebaiknya kalian pulang.”
Raya menatapku, menunggu jawaban. Wajahnya tampak bimbang dan
sedikit takut, laki-laki pemilik pohon ini benar-benar mengawasi kami sejak
tadi sepertinya.
“Sudah Om, kami hanya butuh daun-daun ini untuk diteliti di sekolah,”
jawabku kemudian. Percuma meneliti saat ini, aku yakin pemilik pohon ini tidak
akan mengalihkan pandangannya dari kami sedetikpun.
“Terimakasih Om,” ujar Raya.
Laki-laki itu hanya berbalik, meminta kami untuk segera keluar
mengikuti langkah kakinya.
Setelah keluar dari rumah itu aku dan Raya memilih untuk langsung
pulang. Tidak mendiskusikan apapun karena aku yakin di kepala kami
masing-masing pun terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar.
Aku memegang sehelai daun sementara Raya memegang dua helai. Aku melambaikan
tangan ketika ia berjalan pelan melewati pagar rumah.
***
Lampu tidur baru akan kunyalakan setelah tugas untuk besok
selesai. Aku menutup buku dan segera membuka laci meja belajar, disana aku
menyembunyikan daun berwarna merah yang kudapat pagi tadi, diantara
halaman-halaman buku.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam ketika aku membuka halaman
tengah buku dan menemukan daun berwarna—hijau.
Dahiku berkerut, tanganku meraih daun itu, membolak-baliknya
berkali-kali. Daun ditanganku berwarna hijau, sama seperti daun-daun di pohon
biasa.
Dalam gerakan cepat tanganku membolak-balik halaman buku,
membukanya, membalik bagian halamannya dan berharap ada daun berwarna merah
yang jatuh dari sana.
Tak ada apapun.
Mataku kembali memperhatikan daun berwarna hijau diatas meja.
Daun itu berubah warna.
Tanganku meraih handphone, sebelum aku menyadari kalau Raya pasti
sudah tertidur lelap. Kuputuskan untuk keluar rumah, rasa penasaranku tak
terbendung lagi, siapa tahu jika aku beruntung aku bisa menemukan sesuatu dari
pohon aneh itu.
Kulangkahkan kaki diantara dingin angin yang menusuk, jaketku
kurapatkan lagi. Tak ada yang berjalan di jalanan yang sama selain diriku, dan
tampaknya hampir semua penghuni rumah telah terlelap atau tidak memilih keluar
dari rumah sama sekali.
Aku menghentikkan langkah tepat di depan pohon merah itu, warna
daunnya masih sama, tak berubah seperti daun yang kupetik pagi tadi. Kutolehkan
kepala ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada siapapun selain diriku dan tak
ada seorang pun yang akan mendugaku sebagai maling,
Kuletakkan tanganku di pagar batu, sementara kedua kakiku berusaha
berpinjak pada batu yang menonjol.
Gelap. Tapi ada suara yang terdengar,
bersamaan dengan bayangan seseorang.
“Memang sulit mencari bahan untuk membuatmu tetap indah,” ada
hening kemudian entah apa yang dilakukan bayangan itu. “Dan kalian tidak sebau
dulu, tidak sia-sia aku mengganti bahan untuk menyiram kalian.”
Aku menelan ludah, bayangan itu membawa sebuah ember, menuangkan
isinya ke tanah tempat pohon itu menancapkan diri, aku memang tidak bisa
melihat warna cairan yang dituangkan ke pohon itu, tapi bisa kupastikan cairan
itu kental, bukan air.
“Istri dan anakku pasti senang jika melihatmu. Mereka suka warna
merah dan mereka suka bermain di bawah pohon, pasti mereka akan bahagia kalau
melihat—“
Aku masih terpaku memperhatikan sesosok bayangan itu, ketika
matanya menemukanku.
4 komentar :
alternate ending versi ilham..
jantungku berdetak cepat namun waktu terasa melambat. dapat kurasakan binar kebencian yang ia tunjukkan saat melihatku. aku tak gentar. tak kulepaskan matanya dari pandanganku.
aku tak tau apa yang menarikku, aku tidak segera pergi, namun aku justru melompati pagar itu. dan aku mulai berjalan mendekatinya.
langkahku terasa lambat. kedipan matanya, daun-daun yang terjatuh, seakan ikut melambat berangsur-angsur mengikuti binarnya yang semakin meredup saat aku makin mendekat.
aku berhenti di depannya. menangkap satu daun merah yang jatuh perlahan.
dengan lirih kukatakan padanya,"tahukah kamu, kecepatan daun yang jatuh ke tanah adalah 5cm persecond?"
*eeaaa jadi romantis
@Ilham Sasmita massss asli aku ngekek yaaaak ngeliat komenmu yg ini. Kamu suka pair cowok sama cowok ya mas, kok ada tanda kesana? #eaaaaa
Makasih buat komennya, makasih buat alternatif endingnya :))))
lhaaa... karakter "aku" itu cowok ya?? tak kira cewek.. -___-"
@Ilham Sasmita Itu cowok... ._____.
Posting Komentar