Manusia pada akhirnya mampu melakukan setting
ulang terhadap memorinya. Sejenis tombol delete yang tak akan menghilangkan memori
akan cara-cara untuk melakukan hal-hal dasar seperti berjalan, berbicara,
menari, tersenyum. Dengan alat ini, manusia mampu melenyapkan memori pahit yang
ingin mereka lenyapkan, menghilangkan memori menyebalkan yang membuat mereka
malu, menghilangkan seseorang atau sesuatu dari sudut memori mereka.
Tapi alat itu tidak dimiliki setiap orang,
tidak pula dikomersilkan sebuah institusi, hanya seorang laki-laki yang
memiliki alat itu dan baru laki-laki itu yang mampu mengoperasikannya dan laki-laki
itu adalah orang yang menemukan alat itu, membuat alat itu dan tidak mau
memberikan alat itu kepada siapapun, walaupun setiap investor yang datang
menawarkan uang beratus-ratus miliar, atau bahkan mencapai angka triliun,
menawarkan kenyamanan hidup selama ia bernapas, menawarkan fasilitas istimewa
kepada dia dan keturunannya kelak, atau keluarganya.
Tapi laki-laki itu menolak, selalu menolak
dengan jawaban yang sama.
“Apalah artinya uang. Saya tidak memiliki
keluarga untuk membagi kesenangan memiliki uang sebanyak itu.”
Maka investor lain datang menawarkan seorang wanita,
untuk dijadikan isteri bagi laki-laki itu. Wanita cantik dengan tubuhnya yang
nyaris sempurna, siapapun laki-laki yang melihat perempuan itu pasti akan
menoleh dan memilih untuk memandangi wajah wanita itu lamat-lamat, lama, penuh
kekaguman. Tapi laki-laki itu kembali hanya tersenyum, ia memilih untuk menolak
wanita itu dengan jawaban lain.
“Bagaimana wanita secantik anda mau menikahi
saya, bisa saja suatu hari nanti saya menciptakan benda menakjubkan lainnya dan
seorang investor menawarkan wanita lain yang lebih cantik dari anda dan saya
memilih melepaskan anda dan menikahi wanita itu, seterusnya-seterusnya.”
Wanita itu berbalik dengan wajah memerah dan
berterimakasih, lalu meninggalkan laki-laki itu dan investor yang membawanya ke
rumah laki-laki itu.
Maka para investor menyerah. Tak ada yang
kembali ke rumah laki-laki itu, sebuah rumah sederhana dengan sebuah kamar
tidur, sebuah kamar mandi, sebuah dapur yang berantakan dan sebuah ruang
keluarga kecil tempat sebuah televisi dan sofa panjang dan sebuah ruangan yang
lebih luas dari ruangan manapun, berada di lonteng, tempat laki-laki itu
tenggelam dalam setiap benda yang dibuatnya, atau lebih tepatnya tenggelam
dalam satu-satunya benda yang telah berhasil diciptakannya.
Laki-laki itu tidak pernah mencoba alat itu
sendiri, tapi ia telah meminta seorang tetangga untuk datang dan mencoba alat
itu. Seorang anak laki-laki yang
mengalami Pyrophobia, laki-laki itu
tahu kalau ketakutan anak itu terhadap api membuatnya diejek dan dikucilkan
oleh teman-temannya, karena itu ia menawarkan pengujian yang pertama kali
kepada anak itu terlebih setelah mengetahui bahwa kebakaran yang pernah
menjebak anak itu di dalam kobaran api lah yang menyebabkan ketakutannya akan
api.
Percobaan pertama itu berhasil, anak laki-laki
itu tidak pernah memiliki ketakutan terhadap api, tak ada masalah baginya
berdiri di samping ibunya ketika memasak, atau melihat ayahnya menyalakan
kembang api untuk adik perempuannya. Hal itu membuat orangtua anak laki-laki
itu heran dan bertanya kepada laki-laki itu, setelah mendapat penjelasan,
berita segera tersebar ke setiap tempat.
Berita bahwa ada seorang laki-laki yang mampu
menghapus sebagian dari memori atau seluruhnya.
Berita itu membawa investor yang kemudian
datang lalu pergi dan membawa orang-orang dengan kenangan pahit yang datang
kepadanya. Laki-laki itu memilih untuk melayani orang dengan kenangan pahit,
memilih untuk membantu mereka menghilangkan bagian dari memori yang katanya
membuat dada mereka sesak, tangis mereka tak kunjung berhenti dan keinginan
untuk bunuh diri muncul.
Satu persatu orang datang dan satu persatu
orang pergi.
Setiap pagi ketika ia membuka pintu maka sudah
datang antrian panjang yang menyambutnya dan ia pun menyambut mereka dengan
senyuman, mempersilahkan mereka masuk, mendengarkan cerita mereka lalu
menghapuskan sumber masalah—memori itu—seperti menghapus tulisan yang terlanjur
tercerak di kertas, menerima ucapan terimakasih dari mereka dan menolak segala
jenis uang yang diberikan kepadanya.
Kedatangan mereka tak ada habisnya dan membuat
rumah kecil itu tak pernah sepi lagi, dan laki-laki itu nyaris tak pernah
beristirahat dengan nyenyak, karena ketika malam tiba pun ada rombongan yang
datang
dan membuat kemah di halaman depan rumahnya yang kecil.
Beberapa tetangga terganggu dan meminta
laki-laki itu untuk membuka praktik di suatu tempat yang sepi agar tidak
mengganggu mereka. Tapi laki-laki itu tidak mau pindah dan memutuskan untuk
membatasi praktik penghapusan memori yang dilakukannya. Hanya di pagi hari
hingga sore, di malam hari ia akan menutup pintu dan melarang siapapun untuk
mengantri di depan rumahnya.
Satu bulan berlalu setelah kedatangan tamu
pertamanya, yang memintanya menghilangkan memori tentang laki-laki yang mencampakkannya, tepat
di saat satu bulan berlalu hujan turun begitu deras. Seseorang mengetuk pintu
rumahnya, laki-laki itu sempat ingin mengacuhkan ketukan itu sebelum ketukan
itu terjadi terus menerus dan mengganggu telinganya.
Ia membuka pintu dan menemukan seorang
perempuan muda dengan payung dan jas hujan yang basah, bibirnya tersenyum kaku,
meminta ijin untuk masuk.
Melihat hujan yang turun begitu deras bahkan
sesekali terdengar suara guntur dan kilat petir yang menyambar-nyambar akhirnya laki-laki itu
mengijinkan perempuan itu untuk masuk.
“Apakah anda datang dari jauh sampai-sampai
rela datang di tengah hujan yang lebat ini?” ucap laki-laki itu sembari
menuangkan segelas teh hangat.
Perempuan itu menggeleng, lalu tersenyum,
masih sama kakunya seperti yang laki-laki itu temukan di depan pintu. “Tidak.
Rumah saya dan rumah anda tak terlalu jauh, karena itu saya datang tanpa
membawa kendaraan apapun.”
Kemudian hening, laki-laki itu duduk
membiarkan perempuan itu menikmati segelas teh yang dibuatnya di dapur. Teh
tanpa gula sebenarnya, tapi perempuan itu tak protes. “Maaf, teh itu tidak
manis,” ujarnya ragu, memastikan bahwa ia benar-benar tidak memasukkan gula
tadi, gulanya habis dan ia tidak sempat membelinya karena hujan telah menghujam
bumi sejak pagi tadi.
“Benarkah?” perempuan itu meletakkan gelas
tehnya kembali ke atas meja. “Saya sudah terlalu lama tak peduli soal rasa,”
perempuan itu kembali tersenyum, masih kaku, seperti ada yang mengganjal di
dalam mulutnya membuatnya tak bisa tersenyum seperti orang-orang lain.
“Kedatangan saya kesini—“
“Saya mengerti,” laki-laki itu memotong.
“Apakah anda ingin menghilangkan memori tentang laki-laki yang
telah menyakiti
anda?”
“Tidak.”
“Tentang kematian kedua orangtua anda?”
“Tidak.”
Laki-laki itu terdiam “Apakah tentang sebuah
kejadian yang menjadi phobia bagi anda?”
Perempuan itu menggeleng. “Apa selama ini
orang-orang dengan masalah itu yang datang kepada anda?”
“Tidak hanya dengan masalah itu,” laki-laki
itu mengerutkan dahinya mencoba mengingat. “Sebenarnya banyak, tapi kebanyakan
seperti itu. Menghilangkan ketakutan, kesedihan dan memori yang memalukan.”
“Kalau begitu anda akan menemukan sebuah kasus
unik,” perempuan itu terdiam selama beberapa detik, keraguan muncul di
wajahnya, ia menarik napas panjang baru melanjutkan ucapannya. “Saya ingin anda
menghilangkan suami saya dari ingatan saya.”
“Maaf?”
“Suami saya orang yang baik, menyenangkan,
lucu, dan begitu mencintai saya, saya pun begitu, kami baru saja menikah 5 tahun lalu dan dia baru saja meninggal 1 tahun
lalu karena penyakit yang sebenarnya telah kami ketahui sebelum kami berdua
menikah,” perempuan itu menarik napas panjang lalu mengeluarkannya lagi. “Saya
ingin menghilangkan memori tentang dia.”
Laki-laki itu terdiam, memastikan keyakinan
dari perempuan yang duduk dihadapanya. Keraguan yang sempat muncul memang sudah
menghilang, tangan perempuan itu terkepal erat, rahanya mengeras, dan tak
ada keraguan yang sempat muncul dari kalimatnya.
“Anda yakin?”
Perempuan itu mengangguk. “Orangtua saya yang
lebih menderita daripada saya sendiri setelah saya kehilangan suami saya,
mereka kehilangan menantu mereka yang begitu mereka cintai dan seolah-olah
kehilangan anak perempuan mereka yang terus tenggelam dalam kenangan manis,
mereka pernah menawari saya menikah dengan seorang laki-laki baik yang datang
ke rumah saya setiap minggu, menceritakan banyak hal, membawa barang-barang
bagus dan memberikan perhatiannya kepada saya sepenuhnya, tapi—“
“Anda tidak bisa melupakan suami anda.”
Perempuan itu mengangguk. “Saya telah
merepotkan banyak orang karena tenggelam dalam kenangan suami saya, tapi
rasanya sulit untuk menikahi laki-laki lain sementara kenangan tentang suami
saya terus datang dan datang bertubi-tubi.”
Perempuan itu tidak menangis, tapi laki-laki
itu bisa melihat kepalan tangannya yang mengendur dan gemetaran, sesekali
perempuan itu menggigit bibir, seperti menahan air mata dan memilih untuk
menoleh ke arah lain, berganti fokus.
Laki-laki itu mengerti, mengerti bagaimana
perasaan perempuan itu, ia sempat melupakan perasaan yang membuatnya
menciptakan alat yang ditawar dengan harga triliunan itu. Ia tahu rasa sesak
di dada ketika menghadapi kenyataan yang pahit dan senyum yang tiba-tiba muncul
ketika kenangan manis ia dan isterinya datang menyusup begitu saja.
Ah—bagaimana ia bisa lupa. Laki-laki itu
tersenyum, menertawakan dirinya sendiri.
“Baiklah,” laki-laki itu berdiri. “Ingatan
mulai darimana yang ingin anda hilangkan?”
Perempuan itu terkesiap, tampaknya ia baru
saja tersadar dari lamunannya. “Ah—itu,” perempuan itu terdiam selama beberapa
menit. “Sejak saya mengenalnya, sejak kami berusia 10 tahun,” perempuan
itu menjawab dengan senyuman yang kaku, dan mata yang basah, walaupun laki-laki
itu tidak menangkap keraguan, tapi ia menangkap kesedihan. Kesedihan yang
menguap di udara.
“Mungkin akan sedikit lama. Karena itu
kenangan yang lama sekali,” ujar laki-laki itu.
“Tak apa,” perempuan itu mengusap air matanya.
“Mungkin akan lebih lama lagi, karena saya terlalu mencintainya.”
“Tapi, bisakah saya meminta tolong kepada anda
sebelum itu?”
Perempuan itu berhenti mengusap matanya dan
mendengarkan setiap kalimat yang dikatakan laki-laki itu.
..
Keesokan paginya antrian yang berdiri di depan
pintu rumah laki-laki itu membaca tulisan di depan pintu yang bertuliskan bahwa
pemilik rumahnya telah pindah. Para tetangga pun meminta mereka untuk bubar dan
mengatakan bahwa pemilik rumah itu memang benar-benar telah pergi.
Sementara di tempat lain laki-laki itu sedang
menikmati sepotong roti isi di kursi
panjang disebuah taman ketika seorang laki-laki tua menghampirinya dan
tersenyum padanya, membuat laki-laki itu terpaksa membalas senyuman itu
walaupun terasa kaku.
“Terimakasih telah membantu cucu saya
menghilangkan phobianya.”
Laki-laki itu mengerutkan dahi.
“Alat yang anda ciptakan benar-benar membantu
banyak orang.”
Laki-laki itu terdiam selama beberapa detik,
ia tidak menjawab apapun sampai laki-laki tua itu pergi menyambut panggilan
cucunya. Kerutan di dahi laki-laki itu belum hilang, tapi ia memilih melupakannya.
Meninggalkan taman itu setelah sepotong roti isi menjadi pengganjal perutnya,
menuju ke sebuah tempat yang ingin ia capai sebelum istrinya meninggal dan
setelahnya pun.
Ke kota tempat mereka pertama kali bertemu. Ke
tempat ia pertama kali bertemu isterinya dan jatuh cinta kepadanya.
0 komentar :
Posting Komentar