Rabu, 19 Juni 2013

Perempuan Berpayung Transparan


Dia perempuan yang biasa lewat di depan toko buku tempatku bekerja, dengan payung transparannya yang kadang ia mainkan ke udara. Sesekali kepalanya mendongak ke langit, dari balik payung transparannya, tak peduli banyak orang melewatinya, tak menyadari mataku memperhatikannya, lalu beberapa kali ia tampak sengaja menginjak genangan air, dan senyum di bibirnya muncul bersama langkah kakinya yang menjauh sampai mataku tak bisa menangkapnya lagi. 

Dia perempuan yang begitu menikmati hujan, seperti diriku yang menikmati buku. Hingga sesekali pamanku sang pemilik toko buku memarahiku yang tak becus bekerja katanya, tapi ia tak marah sungguhan karena esoknya tetap saja mengijinkanku masuk ke dalam toko bukunya yang dipenuhi dengan aroma buku-buku tua, menguap di udara.

Selama liburan ini, entah 1 setengah bulan atau dua bulan aku memutuskan untuk bekerja di toko buku milik pamanku yang berada di tengah kota, di depan jalanan yang ramai, zebra cross yang bergaris-garis dan lalu lalang orang yang menyebrang. Buku selalu menjadi benda yang menarik bagiku dan memiliki seorang paman yang memiliki tempat dimana buku bertumpuk-tumpuk penuh di dalam rak membuatku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmatinya, menikmati liburanku dengan buku, musim hujan dan perempuan berpayung transparan.

Hari ini langit tidak mendung, tapi hujan tetap saja turun. Sepertinya matahari dan awan tak sepakat tentang cuaca hari ini karena aku masih bisa merasakan teriknya mentari di balik kaca toko. Mataku menyipit memperhatikan daftar buku yang baru saja datang hari ini, banyak judul yang tampaknya menarik tapi tetap saja tak akan kunikmati satu persatu, paman mungkin akan marah lagi seperti dua hari lalu ketika aku melewatkan sebuah buku dalam catatannya karena terlalu asik membaca buku lain.

Tanganku sibuk bermain diatas keyboard ketika suara gemerincing bel pintu memaksaku menyapa calon pembeli yang masuk.

“Selamat pa—“

Kalimatku terpotong ketika melihat siapa calon pembeli pertama pagi ini. Perempuan berpayung transparan dengan senyuman ramah yang tak mampu kubalas. Dia melewati meja kasir, melewatiku tanpa peduli sapaan selamat pagi yang tak sanggup kuselesaikan. Mataku mengikuti langkahnya diantara rak-rak buku kayu berwarna cokelat, harum  vanilla menggelitik hidungku menggantikan harum buku tua yang selalu memenuhi toko buku. Langkah kakinya terdengar diantara lantai kayu berkali-kali dan tampak berputar-putar mencari sesuatu. Beberapa menit berlalu, dan suara langkah kaki itu terdengar hanya berhenti sekali dua kali. Perempuan itu terdengar kebingungan.

Berpindah dari meja kasir, mendekatinya diantara rak-rak, kuberanikan diri menyapanya, menanyakan apa yang dicarinya. Atau sekedar berbasa-basi sebagai pegawai toko dan calon pembeli.

“Mencari buku apa?”

Dia tampak terkejut, tangannya yang sempat berada di bibir berpindah menyentuh punggung sebuah buku. Tak kunjung menjawab, tangannya bermain menarik punggung buku lalu mengembalikannya lagi berkali-kali, beberapa detik berlalu sampai ia menjawab pertanyaanku. “Itu—“ kalimatnya terputus sejenak. “Mau lihat-lihat dulu,” ia tersenyum walaupun terkesan memaksa. Bisa kutebak dia bukan orang yang tepat di tempat ini. Mungkin harus ku arahkan, atau kubuat dia menjadi orang yang tepat.

“Buku ini—“ tanganku menggapai punggung buku yang sempat ia mainkan tadi. “Menarik sekali untuk dibaca.”

Dahi perempuan itu berkerut ketika aku menyerahkan buku itu, dia menerimanya dan membuka halaman pertamanya. “Buku tentang apa?”

“Tentang perempuan yang jatuh cinta pada hujan,” kuakhiri kalimatku dengan senyuman dan kulihat bola matanya membulat sempurna, mungkin terkejut karena aku bisa membaca pikirannya.

Tangannya membolak-balik halaman buku, harum vanillanya bercampur dengan bau buku yang dibukanya, buku tua dengan cover biru yang halaman bukunya berbintik cokelat. Aku bisa melihat jarinya yang lentik membalik halaman dengan terburu-buru membaca kalimatnya dengan cepat. “Buku ini, sepertinya bukan bercerita tentang itu,” dia melihat cover belakangnya dan membaca potongan ceritanya. “Jelas bukan.”

Dia menunggu jawaban dariku, maka ku berikan jawaban padanya dengan bonus senyuman paling ramah yang kumiliki. “Kalau begitu, aku rasa aku tertukar, antara membaca buku itu dan membaca perempuan berpayung yang sering melewati toko buku ini.”

Aku bisa melihat dahinya berkerut, sebelum ia mengalihkan pandangan secara terburu-buru ke rak lain, pipinya  merona merah dan kurasa kata-kataku membuatnya ingin segera keluar dari tempat ini.

“Maaf, hanya bercanda,” kususul langkahnya yang menjauh, dengan buku yang menutupi sebagian wajah, ia tidak menghentikkan langkahnya diantara rak buku, tak ada jawaban dari kata maaf yang kuucapkan.

Aku melangkah kembali ke meja kasir, seperti prajurit kalah perang. Basa-basi pegawai dan calon pembeli berakhir menjadi bencana karena gombalan gagal yang kulontarkan. Mungkin seharusnya aku diam saja di meja kasir dan mengingat-ngingat senyum perempuan itu ketika memasuki toko atau harum vanilla yang melewatiku, seharusnya tidak kuhancurkan kesempatan untuk memperhatikannya dari dekat dengan kata-kata konyol yang kuucapkan.

Ku hela napas panjang, berusaha mengabaikan langkah kaki diantara lantai kayu yang terdengar lebih cepat, perempuan itu masih mondar-mandir mencari sesuatu, entah apa itu. Yang pasti bukan buku tentang perempuan yang jatuh cinta pada hujan, walaupun sepertinya ia tertarik pada buku itu jika benar-benar ada.

Beberapa menit berlalu, suara gemerincing bel pintu kembali terdengar, sapaan selamat pagi kulontarkan, tak terputus seperti  sebelumnya, seorang perempuan tua membalas sapaanku ramah, melewati meja kasir dan menghilang dibalik rak-rak buku.

Kupusatkan perhatian kembali ke catatan diatas meja, buku-buku baru ini harus berada di rak hari ini juga sebelum buku-buku yang lain datang dan menumpuk untuk di data. Ku hela napas sekali lagi, merutuk dalam hati.

Tak kunjung hilang rasa kesalku ketika suara langkah kaki mendekati meja kasir, tak sanggup kuangkat kepala untuk melihat siapa pemilik langkah kaki itu, entah perempuan tua tadi atau perempuan berpayung transparan. 

Kuangkat kepala perlahan, memberanikan diri, tak mungkin juga kulayani siapapun yang ada dihadapanku tanpa menatap wajahnya. Kutemukan perempuan berpayung transparan berdiri di hadapanku sedang memperhatikan hujan di luar sana, mataku masih memperhatikannya ketika ia mengalihkan pandangan dari kaca toko, meletakkan buku diatas meja, buku bersampul biru yang kupegang tadi. Sebenarnya aku tidak berbohong soal buku itu adalah buku yang menarik. Aku hanya berbohong soal isi cerita buku itu.

“Kalau memang buku seperti itu tidak ada,“ perempuan berpayung transparan itu menunduk, menatap cover buku biru.

“Mungkin suatu hari nanti kau bisa menulisnya.”

Kutunggu lanjutan kalimatnya, senyum di wajahnya mengembang ketika ia mengakhiri kalimatnya. “Buku tentang perempuan yang jatuh cinta pada hujan.”

Hari itu hujan turun, tapi matahari masih menampakkan wajahnya. Mungkin matahari dan awan tak mengikat janji seperti biasanya. Cahaya matahari yang terik melewati kaca seperti harum vanilla yang melewatiku, menggantikan bau buku tua, bersama langkah kakinya diantara lantai kayu, suara bergemerincing bel pintu, dan senyumnya ketika menyandarkan pegangan payung di bahu.


Terinspirasi dari original soundtrack Kotonoha No Niwa yang berjudul Rain dan dinyanyikan oleh Motohiro Hata. Walaupun hasilnya nggak sesuai bayangan ketika mendengar lagu ini tapi menyenangkan sekali membayangkan pertemuan gadis berpayung transparan dan laki-laki dalam cerita ini di toko buku. 

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang