Dia
perempuan yang biasa lewat di depan toko buku tempatku bekerja, dengan payung
transparannya yang kadang ia mainkan ke udara. Sesekali kepalanya mendongak ke langit, dari balik payung transparannya, tak peduli banyak orang melewatinya, tak menyadari mataku memperhatikannya, lalu beberapa kali ia tampak sengaja menginjak genangan air, dan senyum di bibirnya muncul bersama langkah kakinya yang menjauh sampai mataku
tak bisa menangkapnya lagi.
Dia perempuan yang begitu menikmati hujan,
seperti diriku yang menikmati buku. Hingga sesekali
pamanku sang pemilik toko buku memarahiku yang tak becus bekerja katanya, tapi
ia tak marah sungguhan karena esoknya tetap saja mengijinkanku masuk ke dalam
toko bukunya yang dipenuhi dengan aroma buku-buku tua, menguap di udara.
Selama liburan ini, entah 1 setengah bulan atau dua bulan
aku memutuskan untuk bekerja di toko buku milik pamanku yang berada di tengah
kota, di depan jalanan yang ramai, zebra cross yang bergaris-garis dan lalu
lalang orang yang menyebrang. Buku selalu menjadi benda yang menarik bagiku dan
memiliki seorang paman yang memiliki tempat dimana buku bertumpuk-tumpuk penuh
di dalam rak membuatku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmatinya,
menikmati liburanku dengan buku, musim hujan dan perempuan berpayung
transparan.
Hari ini langit tidak mendung, tapi hujan tetap saja
turun. Sepertinya matahari dan awan tak sepakat tentang cuaca hari ini karena
aku masih bisa merasakan teriknya mentari di balik kaca toko. Mataku menyipit
memperhatikan daftar buku yang baru saja datang hari ini, banyak judul yang
tampaknya menarik tapi tetap saja tak akan kunikmati satu persatu, paman
mungkin akan marah lagi seperti dua hari lalu ketika aku melewatkan sebuah buku
dalam catatannya karena terlalu asik membaca buku lain.
Tanganku sibuk bermain diatas keyboard ketika suara
gemerincing bel pintu memaksaku menyapa calon pembeli yang masuk.
“Selamat pa—“
Kalimatku terpotong ketika melihat siapa calon pembeli
pertama pagi ini. Perempuan berpayung transparan dengan senyuman ramah yang tak
mampu kubalas. Dia melewati meja kasir, melewatiku tanpa peduli sapaan selamat
pagi yang tak sanggup kuselesaikan. Mataku mengikuti langkahnya diantara
rak-rak buku kayu berwarna cokelat, harum
vanilla menggelitik hidungku menggantikan harum buku tua yang selalu
memenuhi toko buku. Langkah kakinya terdengar diantara lantai kayu berkali-kali
dan tampak berputar-putar mencari sesuatu. Beberapa menit berlalu, dan suara
langkah kaki itu terdengar hanya berhenti sekali dua kali. Perempuan itu
terdengar kebingungan.
Berpindah dari meja kasir, mendekatinya diantara rak-rak,
kuberanikan diri menyapanya, menanyakan apa yang dicarinya. Atau sekedar
berbasa-basi sebagai pegawai toko dan calon pembeli.
“Mencari buku apa?”
Dia tampak terkejut, tangannya yang sempat berada di
bibir berpindah menyentuh punggung sebuah buku. Tak kunjung menjawab, tangannya
bermain menarik punggung buku lalu mengembalikannya lagi berkali-kali, beberapa
detik berlalu sampai ia menjawab pertanyaanku. “Itu—“ kalimatnya terputus
sejenak. “Mau lihat-lihat dulu,” ia tersenyum walaupun terkesan memaksa. Bisa
kutebak dia bukan orang yang tepat di tempat ini. Mungkin harus ku arahkan,
atau kubuat dia menjadi orang yang tepat.
“Buku ini—“ tanganku menggapai punggung buku yang sempat
ia mainkan tadi. “Menarik sekali untuk dibaca.”
Dahi perempuan itu berkerut ketika aku menyerahkan buku
itu, dia menerimanya dan membuka halaman pertamanya. “Buku tentang apa?”
“Tentang perempuan yang jatuh cinta pada hujan,” kuakhiri
kalimatku dengan senyuman dan kulihat bola matanya membulat sempurna, mungkin
terkejut karena aku bisa membaca pikirannya.
Tangannya membolak-balik halaman buku, harum vanillanya
bercampur dengan bau buku yang dibukanya, buku tua dengan cover biru yang
halaman bukunya berbintik cokelat. Aku bisa melihat jarinya yang lentik
membalik halaman dengan terburu-buru membaca kalimatnya dengan cepat. “Buku
ini, sepertinya bukan bercerita tentang itu,” dia melihat cover belakangnya dan
membaca potongan ceritanya. “Jelas bukan.”
Dia menunggu jawaban dariku, maka ku berikan jawaban
padanya dengan bonus senyuman paling ramah yang kumiliki. “Kalau begitu, aku
rasa aku tertukar, antara membaca buku itu dan membaca perempuan berpayung yang
sering melewati toko buku ini.”
Aku bisa melihat dahinya berkerut, sebelum ia mengalihkan
pandangan secara terburu-buru ke rak lain, pipinya merona merah dan
kurasa kata-kataku membuatnya ingin segera keluar dari tempat ini.
“Maaf, hanya bercanda,” kususul langkahnya yang menjauh, dengan buku yang menutupi sebagian wajah, ia tidak menghentikkan langkahnya
diantara rak buku, tak ada jawaban dari kata maaf yang kuucapkan.
Aku melangkah kembali ke meja kasir, seperti prajurit
kalah perang. Basa-basi pegawai dan calon pembeli berakhir menjadi bencana
karena gombalan gagal yang kulontarkan. Mungkin seharusnya aku diam saja di
meja kasir dan mengingat-ngingat senyum perempuan itu ketika memasuki toko atau
harum vanilla yang melewatiku, seharusnya tidak kuhancurkan kesempatan untuk
memperhatikannya dari dekat dengan kata-kata konyol yang kuucapkan.
Ku hela napas panjang, berusaha mengabaikan langkah kaki diantara
lantai kayu yang terdengar lebih cepat, perempuan itu masih mondar-mandir mencari
sesuatu, entah apa itu. Yang pasti bukan buku tentang perempuan yang jatuh
cinta pada hujan, walaupun sepertinya ia tertarik pada buku itu jika
benar-benar ada.
Beberapa menit berlalu, suara gemerincing bel pintu
kembali terdengar, sapaan selamat pagi kulontarkan, tak terputus seperti sebelumnya, seorang perempuan tua membalas sapaanku ramah, melewati meja kasir
dan menghilang dibalik rak-rak buku.
Kupusatkan perhatian kembali ke catatan diatas meja,
buku-buku baru ini harus berada di rak hari ini juga sebelum buku-buku yang
lain datang dan menumpuk untuk di data. Ku hela napas sekali lagi, merutuk
dalam hati.
Tak kunjung hilang rasa kesalku ketika suara langkah kaki mendekati meja kasir, tak sanggup
kuangkat kepala untuk melihat siapa pemilik langkah kaki itu, entah perempuan
tua tadi atau perempuan berpayung transparan.
Kuangkat kepala perlahan, memberanikan diri, tak mungkin juga kulayani siapapun yang ada dihadapanku tanpa menatap wajahnya. Kutemukan perempuan berpayung transparan berdiri di hadapanku sedang memperhatikan hujan di luar sana, mataku masih memperhatikannya ketika ia mengalihkan pandangan dari kaca toko, meletakkan buku diatas meja, buku bersampul biru yang kupegang
tadi. Sebenarnya aku tidak berbohong soal buku itu adalah buku yang menarik.
Aku hanya berbohong soal isi cerita buku itu.
“Kalau memang buku seperti itu tidak ada,“ perempuan berpayung transparan
itu menunduk, menatap cover buku biru.
“Mungkin suatu hari nanti kau bisa menulisnya.”
Kutunggu lanjutan kalimatnya, senyum di wajahnya
mengembang ketika ia mengakhiri kalimatnya. “Buku tentang perempuan yang jatuh
cinta pada hujan.”
Hari itu hujan turun, tapi matahari masih menampakkan wajahnya.
Mungkin matahari dan awan tak mengikat janji seperti biasanya. Cahaya matahari
yang terik melewati kaca seperti harum vanilla yang melewatiku, menggantikan
bau buku tua, bersama langkah kakinya diantara lantai kayu, suara
bergemerincing bel pintu, dan senyumnya ketika menyandarkan pegangan payung di bahu.
Terinspirasi dari original soundtrack Kotonoha No Niwa yang berjudul Rain dan dinyanyikan oleh Motohiro Hata. Walaupun hasilnya nggak sesuai bayangan ketika mendengar lagu ini tapi menyenangkan sekali membayangkan pertemuan gadis berpayung transparan dan laki-laki dalam cerita ini di toko buku.
0 komentar :
Posting Komentar