Senin, 22 Juli 2013

Dua Puluh Satu


Pertama kali yang ditangkap oleh mata adalah seorang kakek tua yang menjulurkan kepala tepat di depan wajahnya, maka refleks, ia membuka mulutnya lebar-lebar dengan teriakan tertahan.

“Akhirnya kau bangun juga anak muda,” kakek tua itu menjauhkan wajahnya dari wajah laki-laki yang masih mencoba menenangkan diri, dada laki-laki itu naik turun lalu terbatuk-batuk.

Sang kakek tua menyodorkan sebuah mangkuk plastik yang kemudian digunakan laki-laki itu untuk membuang sesuatu yang mendesak keluar dari kerongkongannya.

“Kau sudah tidak sadar selama 2 hari, aku kira kau akan mati—“ kakek tua itu memotong ucapannya sendiri lalu terkekeh. “Kau akan mati, bukankah itu lucu.”

Laki-laki itu meletakkan mangkuk bulat berbahan plastik berwarna biru tua di meja, tepat di samping tempat tidurnya, dahinya mengkerut. Laki-laki itu menyentuh kepalanya yang terasa berat, sepertinya terbalut perban, lengan kirinya pun begitu.

“Ini di mana?”

Kakek tua itu menoleh, tangannya yang sempat mengaduk gelas berisi cairan kental berwarna hijau tua terhenti. “Di rumahku,” langkahnya tertatih ketika meletakkan gelas di atas meja, mengambil mangkuk berisi cairan kental dan meletakkannya asal di meja lain.

Laki-laki tua itu memperhatikan cairan kental berwarna hijau yang berada di dalam gelas, ia tidak yakin harus meminum cairan itu kecuali jika kakek tua yang sedang duduk di sampingnya menyuruh dan berkata bahwa itu obat yang harus diminum. Tapi kakek tua itu tak mengatakan hal apapun dan laki-laki itu sempat menarik napas lega.

“Kau bukan penduduk sini?”

Laki-laki itu menggeleng. Ingatannya samar memang, tapi jelas ketika ia terjatuh dan berguling-guling di hutan, ketika dirinya merasa akan mati, ia mengingat banyak hal, tempat tinggal, orang-orang yang disayangi, masa lalu yang menyenangkan, dan tempatnya jelas bukan di sini. Laki-laki itu menyentuh kepalanya sekali lagi.

“Kalau begitu, kau harus hati-hati.”

Laki-laki itu menatap kakek tua yang sedang duduk disampingnya, memperhatikan raut wajah keriput yang menunjukkan sudah berapa lama kakek tua itu hidup, 70 tahun kah, 80 tahun kah. Mungkin sedikit lebih lama dari itu, menebak-nebak apa maksud dari kata hati-hati yang diucapkannya, tapi laki-laki itu tak menemukan jawabannya dari raut wajah kakek itu.

“Minum,” kakek tua itu menyodorkan cairan kental berwarna hijau, dah laki-laki itu mengkerut, alisnya bertaut, sesekali sempat alis kanan naik lebih tinggi dari alis kiri.

“Haruskah?” tanyanya.

“Jika kau ingin sembuh dan segera kembali ke tempat asalmu, aku sarankan harus. Kecuali kau mau tinggal disini lebih lama—“

Suara ketukan memutus penjelasan kakek itu, perhatiannya segera teralih ke pintu kamar yang terbuka lebar lalu berpindah ke laki-laki yang masih ragu dengan isi gelas yang harus diminumnya. “Ayo diminum!” ucapnya cepat dengan penuh penekanan hingga membuat laki-laki itu terlonjak kaget, memperhatikan langkah kakek tua itu menjauh sebelum meminum cairan kental berwarna hijau yang terasa menyangkut di tenggorokannya.

“Astaga, dimana mangkuk tadi.”

Seorang laki-laki paruh baya masuk, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk memuntahkan cairan apapun yang sempat masuk ke dalam mulutnya. Kakek tua itu berada tepat di belakang laki-laki paruh baya, menganggukkan kepala hikmat ketika mendapati cairan kental hijau itu telah lenyap. Kakek tua itu pun yakin laki-laki yang ia temukan ketika mencari jamur di musim hujan itu tidak membuang ramuan buatannya, bisa dilihat dari wajah laki-laki itu yang terlipat-lipat dan lidah yang sempat terjulur.

“Ah—maaf mengganggu,” laki-laki paruh baya— sekitar 40 tahunan— itu duduk di kursi yang sebelumnya di tempati kakek tua, bibirnya menyunggingkan senyum yang tampaknya tak akan mudah luntur. “Akhirnya anda sadar juga,” ucapnya kemudian yang dibalas dengan anggukan ragu laki-laki itu. Untuk seseorang yang tak dikenal laki-laki yang duduk di sampingnya ini terlalu ramah, dan baginya—seorang penjelajah—warga asli yang terlalu ramah selalu memiliki maksud lain yang tersembunyi.

“Anda—“ laki-laki paruh baya itu menghentikkan kalimatnya, matanya menyelidik, dan laki-laki itu tak suka 
diselidiki. “Berasal dari mana ya?”

“Bukan dari desa ini yang pasti,” jawabnya cepat tanpa basa-basi, ia tak berniat menambahkan keterangan 
lain secara detail.

Laki-laki itu yakin dia menjawab dengan sangat tidak ramah—untuk orang asing yang baru saja 
diselamatkan dari kematian karena terbaring di hutan yang dingin dan lembab—tapi laki-laki paruh baya itu seperti menerima jawaban paling manis yang pernah ada, pupil matanya melebar, mulutnya membentuk rongga elips, yang kemudian berubah menjadi senyum, bibir kiri dan kanannya tertarik seimbang, hingga membuat laki-laki itu bergidik ngeri. Naluri penyelamatan dirinya terpanggil.

Ia pernah dikejar-kejar oleh suku yang masih saja menganggap bahwa orang asing di luar sukunya adalah makanan, suku yang menganggap orang asing di luar sukunya adalah musuh, dan suku yang menganggap bahwa orang asing di luar sukunya adalah pembawa bencana. Tak jarang ia harus berlari dan bersembunyi, menyelam ke dalam sungai dan memanjat sambil berharap tak ada yang menemukannya sebelum ia melarikan diri. Memang tak sedikit desa dengan suku yang menerimanya dengan baik, tapi tak pernah ada anggota suku yang menerimanya dengan senyum sekentara itu. Tak pernah ada.

Senyum sekalipun kadang membawa pertanda buruk.

“Baguslah. Saya sempat mengira anda salah satu warga kami yang mencoba bunuh diri—“ sempat ada jeda disana sebelum samar-samar laki-laki itu menangkap kata lagi. “Berapa umur anda kalau saya boleh tahu?”
Laki-laki itu mengerutkan dahinya, entah sudah keberapa kalinya sejak ia membuka mata tadi. “27 tahun, kemarin, jika aku benar-benar tertidur selama dua hari setelah tanggal 4.”

“Ah—“ laki-laki itu yakin ia sempat menangkap binar di mata laki-laki paruh baya yang sedang mengajaknya berbicara. Apa istimewanya dari usia 27 tahun yang terlewat sehari karena terguling-guling di jurang dan pingsan selama 2 hari. “Selamat kalau begitu. Jarang sekali warga di desa ini yang bisa merayakan ulangtahun seperti anda,” tangannya terulur dan demi kesopanan, laki-laki itu membalasnya.

“Aku rasa tak akan ada yang mau merayakan ulangtahun dengan terlelap setelah jatuh dari jurang.”

Laki-laki paruh baya itu bangkit. “Tidak, saya rasa akan ada orang yang rela menjadi seperti anda walaupun harus jatuh dari jurang,” setelah mengucapkan sampai jumpa dan menyampaikan kalau akan ada seorang dokter yang datang, laki-laki paruh baya itu berbalik, meninggalkan laki-laki yang terbaring di atas kasur dan kakek tua yang berdiri di sudut dinding.

“Apakah dia yang kau maksud dengan berhati-hati kek?” tanya laki-laki itu, dagunya menunjuk pintu yang terbuka lebar, setelah laki-laki paruh baya itu pergi. “Dia tampak tidak benar-benar baik.”

Kakek tua itu tertawa, terbahak-bahak, beberapa detik hingga berganti dengan suara terbatuk-batuk. Entah karena penyakit tuanya atau karena tersedak ludahnya sendiri. “Tak ada yang benar-benar baik di desa ini nak, bahkan kakek tua ini,” ucapnya sembari meraih gelas berisi air dan menegaknya hingga tandas. Laki-laki itu hendak membantah sebelum suara bel kembali berbunyi. “Aku rasa doktermu sudah datang.”

“Astaga. Cepat sekali pelayanan di desa ini.”

“Ini khusus untukmu. Lagipula selama ini dokter selalu menganggur jadi hanya kau satu-satunya pasiennya,” 
kakek tua itu melangkah tertatih melewati pintu kamar, meninggalkan laki-laki yang terbaring di atas kasur, berusaha menyambungkan tiap puzzle dari ucapan kakek tua itu dan laki-laki paruh baya yang datang tadi.

Apa maksud dari kata hati-hati yang diucapkannya.

Belum selesai laki-laki itu menyusun setiap puzzle, seorang perempuan yang tampak lebih tua dari laki-laki paruh baya tadi—sekitar 50 tahun— dengan pakaian putih ala dokter, tersenyum padanya. “Ah—anda tamu kehormatan desa kami,” ia mengucapkannya dengan enteng tanpa keterpaksaan sedikitpun, padahal jelas saja kata tamu kehormatan hanya pantas untuk seorang wakil negara. “Saya akan memeriksa keadaan anda.”

Laki-laki itu melirik pintu, kakek tua itu tak kembali.

“Ah—kakek To. Dia sedang menikmati sekaleng minuman di teras depan. Tak ingin mengganggu katanya.”
Laki-laki itu hanya mengangguk. Membiarkan perempuan itu duduk di sampingnya dan menyiapkan peralatan-peralatannya, termasuk mengeluarkan jarum suntik yang membuat laki-laki itu bergidik ngeri.

“Pertama saya ingin sampel darah anda.”

Laki-laki itu menarik lengannya sebelum perempuan itu menempelkan jarum. “Untuk apa?”

“Hanya sedikit sampel darah,” perempuan itu masih tersenyum ketika hendak menusukkan jarum, tapi lengan laki-laki itu kembali menghindar.

“Golongan darahku B. B positif. Tidak perlu diperiksa lagi.”

“Ah ini—“

“Aku bilang tidak u—“ laki-laki itu tak sempat meneruskan ucapannya, jarum suntik sudah menusuk 
lengannya dan tangan perempuan itu menahan lengannya yang sempat memberontak. Gerakan cepat itu sempat menghilangkan senyum perempuan itu, namun senyum yang sama kembali muncul setelahnya.

“Tidak sakit kan. Hanya seperti di gigit semut.”

Laki-laki itu menarik kasar lengannya yang terasa kaku, sebelum perempuan itu kembali menusuknya dengan jarum lain.

Mata laki-laki itu membulat, terkalahkan oleh senyum perempuan yang ia ragukan benar-benar berprofesi sebagai dokter.

Setelah itu semuanya berlangsung tidak normal. Perempuan itu seperti menjadikannya sebagai bahan sampel, urin, feses, kulit mati, sehelai rambut, ludah, bahkan perempuan itu sempat meminta spermanya—mati-matian laki-laki itu mencegahnya, dan untungnya berhasil— setelahnya perempuan itu meninggalkannya tanpa resep, tanpa sebuah nasehat tentang bagaimana sebaiknya ia berbuat untuk menyembuhkan luka di tangan kiri dan kepalanya. Perempuan itu hanya meninggalkan kalimat penenang bahwa dirinya sudah baik-baik saja karena kakek tua yang merawatnya ternyata seorang tabib desa.

Bahkan sekarang menurutnya, kakek tua itu jauh lebih baik daripada perempuan yang disebut dokter tadi. 

Astaga—tak adakah orang yang bisa menjelaskan kenapa dirinya diperlakukan terlalu baik sebelumnya dan baru saja seperti menjadi bahan sampel.

Laki-laki itu tak bisa bergerak terlalu banyak, maka ia memilih untuk kembali berbaring dan tidur. Seaneh-anehnya tempat ini yang bisa ia lakukan hanya berharap tak ada keanehan lainnya.

Namun permohonananya tak langsung terkabul, Tuhan memberikan sebaliknya. Laki-laki itu jelas mendengar derap langkah, tak hanya satu atau dua tapi banyak, ketika ia berusaha duduk kembali, sudah ada banyak manusia yang mengelilingi tempat tidurnya, menampilkan ekspresi yang sama dengan ekspresi si laki-laki paruh baya ketika mengetahui dirinya bukan warga desa ini dan perempuan yang mengaku sebagai dokter ketika menyapanya pertama kali.

Laki-laki itu bergidik ngeri, seketika bulu kuduknya berdiri.

Diantara ketakutannya ia jelas mendengar bisik-bisik.

“Inikah tamu kehormatan kita?”
“Mungkin dia bisa mengembalikan kita seperti dulu.”
“Dia pasti jadi sampel yang bagus.”
“Aku harap kepala desa sempat mengambil sampel penuh darinya sebelum 21 hari.”
“Astaga lihatlah dia.”
“Dia akan menyelamatkan kita.”
“Menyelamatkan kita.”

Laki-laki itu menarik mundur tubuhnya perlahan ketika muncul tangan yang berusaha meraih wajahnya. Kemudian tangan lain menyentuh lengannya, kakinya, bahkan mulai ada wajah yang mendekati wajahnya. Sekarang ia seperti barang pajangan paling mahal yang menarik setiap orang untuk mencurinya.

“Hei! Hei! Apa yang kalian lakukan. Kalian menakuti tamu kehormatan kita.”

Kerumunan itu terbuka di satu jalur, laki-laki paruh baya yang bertemu dengannya beberapa jam yang lalu membuat kerumunan itu mundur selangkah, masih dengan tatapan menyelidik, senyum yang terlalu lebar dan desas-desis yang membicarakan laki-laki itu.

“Maafkan mereka.”

Laki-laki itu mengangkat kepalanya, ia hanya memperhatikan wajah laki-laki paruh baya itu matanya tak sanggup memperhatikan wajah lain yang menatapnya penuh. “Apa yang sebenarnya kalian inginkan?”

Hening. Laki-laki paruh baya itu belum menjawab dan desas-desis itu menghilang seperti debu tertiup angin.

“Apa yang sebenarnya kalian inginkan?” laki-laki itu mengulang pertanyaan yang sama dengan penekanan 
yang lebih dalam. Masih tak ada jawaban.

“Kalau begitu,” laki-laki itu memindahkan kakinya yang masih terasa kaku ke sisi kasur, berusaha berdiri sebelum laki-laki paruh baya itu mencegahnya.

“Jangan—anda masih sakit.”

Laki-laki itu menepis tangan laki-laki paruh baya yang memintanya untuk kembali berbaring. Kerumunan itu pun mulai ribut lagi. Belum sempat laki-laki itu berdiri sepenuhnya semuanya telah menjadi gelap.

Tampaknya ia benar-benar tidak baik-baik saja.

***

Gelap. Itulah yang pertama kali ia temukan ketika membuka mata. Tak ada wajah kakek tua dan bahkan ia tidak bisa memperkirakan di mana ia sekarang. Laki-laki itu hendak menggerakkan tangannya ketika ia merasa ada yang bergemerincing dan menahan gerakan tangannya, juga kakinya.

Laki-laki itu mendengar langkah kaki yang mendekatinya dengan cahaya senter yang menyilaukan matanya.

“Sudah bangun ternyata—“ laki-laki paruh baya itu tersenyum. “Maaf kan kami, walaupun anda tamu kehormatan kami tapi  kami tidak bisa membiarkan anda pergi begitu saja.”

Laki-laki itu membelalakkan matanya, diantara sinar senter samar ia masih bisa menemukan senyum di wajah laki-laki paruh baya itu. “Apa yang kalian inginkan?” suaranya bergetar dan ia mulai terasa tak aman lagi. 
Sejak awal seharusnya begitu.

Hening. Tak ada jawaban. Hanya terdengar suara gemerincing rantai.

“Bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar. Ah, mungkin anda membutuhkan sebuah kursi roda.”
Laki-laki itu memandang bayangan laki-laki paruh baya dan kursi roda diantara kegelapan,  ia tidak bisa lari dengan keadaan seperti ini dan sepertinya laki-laki di hadapannya tak mengenal kata tidak.

***

“Bisa anda lihat desa kami hanya desa biasa,”

Seorang anak kecil berlari memutari laki-laki di atas kursi roda, laki-laki paruh baya dan beberapa orang berbadan besar yang menjaga disekitarnya.

“Aku rasa desa yang biasa ini memiliki sesuatu yang disembunyikan, sampai-sampai orang asing sepertiku ketakutan melihat senyum kalian,” laki-laki itu memperhatikan setiap orang yang dilewatinya, tak ada yang melepaskan pandangan darinya, seorang ibu yang menggendong anaknya, sepasang remaja yang duduk di kursi panjang, anak-anak kecil yang menghentikkan permainan mereka dan memilih berlari-lari mendekatinya, serta seorang nenek tua yang sempat berlari menghampiri dan berkata.

“Kau penyelamat kami. Kau akan menjadi penyelamat kami.”

Laki-laki itu memalingkan wajahnya, ia berputar memperhatikan setiap manusia yang berada dalam jangkauan matanya, siapa saja yang tak memperhatikannya saat ini, tak menaruh mata dengan pandangan menyelidik sekaligus penuh harapan padanya akan menjadi orang yang bisa ia percaya.
Laki-laki itu tidak menemukannya.

“Anda mau menebak usia perempuan tua tadi?”

“Apakah ini akan memberiku petunjuk tentang hal aneh apa yang sedang terjadi?”

“Tentu saja. Ini tujuan kita berjalan-jalan.”

Laki-laki itu terdiam, ia tidak bisa menangkap ekspresi laki-laki paruh baya yang sedang mendorong kursi roda tepat di belakangnya. Tapi ia yakin laki-laki itu sedang tersenyum.

“70-80 tahun mungkin.”

“Mungkin anda benar, tapi ketika anda tanyakan kepadanya secara langsung pasti dia tidak akan mengingatnya.”

“Wajar saja. Umurnya sudah setua itu.”

“Salah—“

Jawaban itu membuat laki-laki itu memutar kepalanya, menangkap ekspresi laki-laki paruh baya yang sedang mendorong kursi rodanya. Tak ada senyum.

“Dia hidup lebih lama dari usia yang diingatnya, kalau memang 80 tahun itu artinya anda tinggal menambahkan angka 50 tahun untuk menghitung seberapa lama perempuan itu hidup.”

Laki-laki itu tak langsung menanggapi, dahinya berkerut. Otaknya masih berusaha memproses informasi baru yang ia terima.

“Anda mau mengira-ngira umur saya?”

Laki-laki itu tidak menjawab.

“Saya tidak terlalu ingat persisnya. Tapi kata isteri saya, tahun ini saya berusia 90 tahun.”
Laki-laki itu mengerutkan dahinya, menunduk. Matanya terbuka lebar ketika ia bisa merangkai semuanya dengan baik.

“Tapi saya tidak tampak setua perempuan tadi kan?”

***

Sejak lima puluh tahun yang lalu, mereka tidak bisa menua.

Tapi mereka bisa mati. Jika seseorang membunuh mereka, sebuah kendaraan menabrak mereka hingga tercerai berai, bunuh diri atau kecelakaan lain yang menyebabkan nyawa mereka melayang. Tapi usia tidak bisa membuat mereka mati. Mereka tidak menua.

Tuhan sudah mengutuk mereka. Hanya mereka yang tinggal di desa terpencil ini. Tak ada yang berniat keluar karena keberadaan mereka yang terekspos akan membuat manusia-manusia bodoh lainnya memiliki keinginan menjadi seperti mereka, mereka bisa jadi bahan penelitian, dihujat dan terbuang  dan seharusnya pun tak ada yang perlu masuk karena orang asing yang masuk akan menjadi bahan penelitian mereka untuk mengembalikan diri mereka seperti dulu.

Menua lalu mati.

Laki-laki itu bukan yang pertama yang terjebak di desa ini dan harus rela terikat di ruang gelap dan sesekali di datangi oleh seseorang yang tak dikenal yang mengambil darahnya, menanyainya, menyelidik wajahnya secara detail, mencari tambahan kerut yang menunjukkan penuan.

Setiap orang asing yang terjebak di desa akan menjadi pembawa harapan bagi setiap penghuni desa untuk mati dengan normal, dengan tenang termakan oleh usia lalu dikuburkan dengan layak. Tapi banyak kali harapan mereka pupus dan tak ada hasil.

Lalu laki-laki itu datang membawa harapan kepada mereka, walaupun ia tersiksa setiap harinya dalam 

kegelapan, dan mencari harapan untuk dirinya sendiri.

***

Laki-laki itu tak tahu sudah berapa hari ia berada dalam kegelapan dan dikunjungi oleh orang yang tak dikenalnya dan kapan terakhir kali ia melihat sinar yang sebenarnya—bukan berasal dari senter yang menyorot wajahnya dari dekat— sinar  yang benar-benar membuatnya gembira walaupun senyum laki-laki paruh baya itu muncul bersamaan dengannya dan mengusik rasa aman yang sempat muncul kembali dalam hidupnya.

“Sayang sekali, anda tidak bisa membantu kami.”

Laki-laki itu menyipitkan mata. Tertawa terbahak-bahak. Membuat laki-laki paruh baya itu mengerutkan dahi dan kali ini laki-laki itu berhasil tersenyum setelah sekian lama bibirnya kaku. “Aku memang tidak berniat membantu kalian sejak awal, cih!” laki-laki itu meludah, jatuh entah kemana.

“Sepertinya memang begitu,” laki-laki paruh baya itu menarik sebuah kursi roda. “Ayo kita berjalan-jalan lagi. Kali ini kami akan mengantarkan anda keluar dari desa ini.”

Laki-laki itu menatap laki-laki paruh baya dalam keremangan dengan penuh keraguan, bibirnya terkulum, sementara alisnya bertaut. “Kalian tidak sedang bercanda kan.”

“Tentu saja tidak.”

Laki-laki paruh baya itu mendekatkan kursi roda ke tempat tidur. “Walaupun anda sudah tak berguna lagi. 
Anda tetap tamu kehormatan kami, yang akan kami sambut dengan penuh suka cita ketika kembali lagi kesini.”

Laki-laki itu tertawa sinis. “Aku tak akan kembali lagi.”

Laki-laki paruh baya itu tersenyum, seimbang. “Siapa yang akan tahu.”

***

Tiga belas tahun berlalu semenjak laki-laki itu menginjakkan kaki di desa yang ia sebut sebagai desa terkutuk, kembali ke kehidupannya dan berusaha melupakan kenyataan bahwa ia pernah berada disana. Namun sesuatu yang meninggalkan bekas luka tak bisa dihilangkan semudah yang terbayangkan dan di ulangtahunnya yang ke 40 ia sudah membuat pilihan harus ia apakan bekas luka itu, sekaligus menjawab pertanyaan yang terlalu sering ia dengar.Laki-laki itu sudah memilih.

“Aku sudah bertanya padamu berkali-kali tapi kau tidak pernah menjawabnya—“

Laki-laki itu menoleh, seorang perempuan kenalannya yang sudah memiliki sepasang anak kembar itu membuatnya harus melayani pertanyaannya lagi dan lagi. “Wajahmu itu, dimana kau melakukan perawatan, aku yakin umurmu 40 tahun sekarang dan mana kerutan di sekitar mata yang harusnya kau miliki?”

“Maksudmu yang kau miliki?” laki-laki itu tertawa sebelum tangan perempuan itu mencubit lengannya gemas. 

“Maaf, maaf,” sambung laki-laki itu kemudian.

“Perawatan apa? Kau perawatan dimana? Pakai krim apa?”

“Aneh nggak sih, pertanyaan kayak gini diajukan ke laki-laki?”

“Memang aneh, tapi aku yakin semua perempuan disini penasaran.”

“Apa perlu aku pakai mic untuk membongkar rahasianya?”

“Nggak perlu, cukup aku aja. Apa? Apa?”

Laki-laki itu hanya tersenyum dan berbalik. “Mana pernah ada rahasia diantara kita,” lalu sambil tertawa ia berlalu meninggalkan kenalannya yang hanya mendengus kesal.

Laki-laki itu berencana meninggalkan pesta lebih cepat walaupun ia sendiri yang memiliki acara. Ia harus bersiap-siap menyusuri hutan besok, menemukan tempat lama yang telah lama ditinggalkannya. Dan mungkin menemukan kakek tua yang menyelamatkannya.

Cih. Seharusnya kakek tua itu membiarkannya mati saja di tengah hutan.

***

“Sebenarnya percuma kami mengembalikan anda ke tempat asal anda.”

“Kenapa?”

“Karena setelah 21 hari berlalu di desa kami. Anda telah menjadi bagian dari kami.”

***
Ada beberapa fakta yang perlu diungkapin disini.
Pertama cerita ini terinspirasi dari sebuah anime berjudul Kamisama no Inai Nichiyobi yang bercerita tentang keadaan manusia yang tak bisa mati dan tak bisa memiliki kehidupan baru setelah Tuhan meninggalkan mereka di hari Minggu.

Kedua saya merasa kurang puas dengan eksekusi dari cerpen ini.
Masalah kenapa di post kalau tidak puas karena, saya ingin melihat pendapat pembaca yang lain.

Terakhir sebenarnya cerpen ini mau di post tanggal 21 pukul 21 tapi sayangnya saya keasikan melakukan sesuatu dan lupa mempostingnya ._.   




9 komentar :

chococyanide at: 23 Juli 2013 pukul 16.47 mengatakan... Reply

Idenya bagus, tapi seperti yang kamu bilang, eksekusinya kurang. Yang aku liat sih, yang paling keliatan, ada bagian yang kurang dijelasin, jadi kayak plot hole gtu kalo di film. Misalnya, pas diambil sampel itu. Ga dijelasin apa2 setelahnya, setelah beberapa saat disuruh pulang. Bagian itu kalo dihilangkan juga, ga pengaruh ke cerita kan?

Trus...yang bagian "sebenarnya percuma..." Itu, itu maksudnya dikatakan sebelum si laki2 itu pulang atau ketika laki2 itu datang lagi kesana? Menurutku rada ambigu sih..

Trus, yang "Namun, sesuatu yang meninggalkan..." Menurutku ini bisa langsung disebutin, bagian mana yang luka, seperti apa lukanya. Justru kalo ga jelas gitu, susah dibayangin..

Maaf kalo banyak kritiknya, aku cuma bilang apa yg aku liat dan apa yang aku kira bisa memperbaiki ._.
Yah, after all, seperti biasa, ide-ide ceritamu keren2 sih :3 gara2 terpengaruh cerita si bodyguard kucing itu ya jangan2? :p

Oiya, cerita ini ngingetin aku sama film yang judulnya 'Population 436'. Emang sih ceritanya beda, tapi setting desanya sama2 ga 'normal' gitu (desanya dan warganya).

Vanessa Praditasari at: 25 Juli 2013 pukul 20.23 mengatakan... Reply

@chococyanide Makasih banget udah komen cho, sepi banget nih kotak komen. Dan aku emang butuh komen buat tulisan yang ekskusinya kerasa kurang ini ._.

Sedikit penjelasan ya. Soal "Sebenarnya percuma." -itu percuma si laki-laki balik ke kehidupan lamanya, karena setelah dia keluar dari desa itu pun dia nggak bisa hidup normal lagi.

Soal "Namun, sesuatu yang meninggalkan...." -itu bukan luka dalam arti sebenarnya, tapi 'luka' keabadiannya si laki-laki itu setelah keluar dari desa. Itu yang dimaksud luka.

Penjelasan ya, bener sih. Tapi aku juga ngerasa ada yang aneh sama gaya tulisanku di sini, iya nggak sih?

Nggakpapa cho, kritikmu sangat membantu :3

Aku terpengaruh sama kelucuan kucing, selalu untuk hal apapun huahahahah~

Sekali lagi makasih :D

Ilham Sasmita at: 27 Agustus 2013 pukul 14.11 mengatakan... Reply

waaaa...
bener banget eksekusinya kurang..
sayang banget..
dr awal tensinya udah naik. walaupun agak nggak sreg sama pengambilan sampel sperma (oke, jujur bagian ini bikin mikir aneh2).
at least bisa bikin deg-degan. bahkan aku berharap setelah itu ada petualangan gimana lagi gitu. semacam titan yang ngamuk trus ngutuk mereka lagi, atau dia terjebak dalam pencarian mencari sebabnya mereka terkutuk. atau bisa aja dia jatuh cinta sama kakek to.

dan maaf, kalo boleh saran. mungkin penggunaan kata ganti orang ketiganya bisa lebih nyaman dibaca kalau agak dikurangi. bisa aja kamu nyebutin nama tokoh utamanya. karena untuk pembaca yang suka skimming untuk buru-buru ke bagian serunya, jadi susah bedain pria mana yang dimaksud dengan kata "laki-laki itu" kalau keduanya kamu sebut dengan kata ganti.

well, kamu sukses bikin saya deg-degan nes.
mungkin klo kamu berniat bikin ini jadi novel, saya akan jadi salah satu pembaca pertama. :)

Vanessa Praditasari at: 28 Agustus 2013 pukul 18.33 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita
Terimakasih atas komennya massss~
Iya emang eksekusinya kurang, padahal aku sendiri naksir sama idenya hahahaha~

Dan soal Titan yang ngamuk, ini bukan shingeki no kyojin mas -_- soal dia jatuh cinta sama kakek to, itu bukan bidangku ._____.

Makasih atas sarannya, buat koreksi cerpen selanjutnya.
Kalau bisa, kalau bisa, dijadikan novel dengan senang hati akan menjadikan anda sebagai pembaca pertama :')

Sekali lagi terimakasih atas komennyaaaa dan sarannyaaaa :D

indra el mendo chemeng at: 15 September 2013 pukul 18.31 mengatakan... Reply

hhmm... ini cerita yang menarik banget mba bro,
tapi emang sih endingnya hambar bnget,
akan lebih keren kalau endingnya tu di buat jadi lebih dramatis, aku suka banget kalo ada yang namanya konfik psikologi,

aku punya referensi endinya versi aku mba bro,

jadi gini lho mba bro, si laki laki itu telah pergi dari desa terkutuk itu kurang lebih 15 tahun dan telah berkeluarga dan mempunyai seorang anak yang telah berusia 8 tahun, (kalo menurut aku sih pesta ulang tahun tu nga cocok buat orang kaya dia) jadi waktu lima belas tahun dia meningalkan desa dia merasa kalau dirinya memang merasakan ada yang aneh pad dirinya, jadi tahun demi tahun berlalu dia terus menerus mendapatkan pertanyaan yang sama dari istri, anak, teman yang tak pernah dia tau sebabnya dan bahkan gunjingan dari beberapa orang sampai anak laki lakinya mneginjak bangku smp. tekanan psikologi yang mengendap bertahun tahunitu membuatnya memutuskan untuk kembali kedesa terkutuk itu, sampai akhirnya dia memutuskan untuk tingal didesa terkutuk itu,awalnya penduduk desa itu mengucilkanya karena orang asing diangap berbahaya bagi desa terkutuk itu. tapi setelah beberapa lama dia tinggal di desa terkutuk itu dia tak perhan bisa tidur nyenyak dan selalu merasa gelisah karena merasa berdosa telah meningalkan anak dan istrinya tanpa kabar, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui akan dan istrinya, tapi kepala desa tak mengizinkan untuk pergi meningalkan desa tapi karena rasa bersalah itu memaksanya untuk kabur dari desa dan menemui anak dan istrinya. tapi istrinya telah meningal beberapa lama setelah kepergianya yang tanpa kabar, anaknya pu jadi sangat membencinya, mengetahui kenyataan itu membuatnya hatinya hancur. di lain tempat, kepala desa terkutuk itu memerintahkan beberapa orang untuk membawa laki laki itu kembali karena bisa menjadi berbahaya bagi desa, terjadi konflik antara anak laki laki itu denagn laki laki itu dan dengan penduduk desa yang mencarinya..... endinya masih panjang,
mandi dulu.

Vanessa Praditasari at: 15 September 2013 pukul 19.44 mengatakan... Reply

@indra el mendo chemeng Wah komen juga disini, makasih-makasih sebelumnyaaaa :)))
Iya, eksekusinya emang kurang. Tokoh utama cowoknya nggak keliatan hedon ya sampai nggak pantes ngerayain pesta ulangtahun besar-besaran ._.

Alternatif endingnya kayaknya udah siap buat dibikin alternatif ending beneran nih, aku nggak kepikiran sampai si tokoh nikah karena sepemikiranku dia sadar keanehannya sebelum ada niatan untuk menikah. Jadiiii~ gak kepikiran sampai dia punya anak segala, hahahaha~ makasih banget buat alternatif endingnya :D

indra el mendo chemeng at: 15 September 2013 pukul 20.53 mengatakan... Reply

hohoho... aku tungu cerpen lainya,
oh ya aku juga punya cerita lho,

indra el mendo chemeng at: 15 September 2013 pukul 20.59 mengatakan... Reply

tapi emang cerita kaya gini pasnya emang jadiin novel kok, dengan alur cerita yang panjang suram dan menekan psikoligi, pasti seru deh.

Vanessa Praditasari at: 20 September 2013 pukul 17.44 mengatakan... Reply

@indra el mendo chemeng siaaaap, silahkan kalau mau di share disini link cerpennya :DD

Kalau masalah novel, hahahaha~ semoga bisa jadi novel ya :'))

Posting Komentar

Beo Terbang