“Ya—dia emang
orangnya rada sok penting gitu sih—“
“Sok penting gimana?” beberapa mata memandang
ke sumber suara yang sempat muncul setelah gerutuan yang datang bertubi-tubi, membicarakan
perempuan lain di luar kelompok mereka.
“Ya itu,
sedikit-sedikit ngomong, sedikit-sedikit komentar, kadang komentarnya nyebelin
pula.”
Kemudian
suara-suara bernada setuju terdengar, bersama anggukkan perempuan yang
melontarkan pernyataan. Kemudian obrolan mengenai perempuan yang dianggap sok
penting ini bergulir bahkan ke hal-hal tidak penting seperti ketika perempuan
yang mereka bicarakan ini berada di kamar mandi bersama salah satu dari mereka.
“Kemaren ya, aku
liat di di kamar mandi lagi pakai bedak gitu.”
“Dandan juga dia
ternyata—“
“Alisnya pakai
pensil alis bukan sih? Kayaknya dia juga pake eyeshadow deh.”
“Mau ke kampus
apa kondangan ya?”
Kemudian tawa
berderai diantara mereka.
Lalu hening
sejenak, beberapa bola mata bergerak hingga ujung, gerakan yang dibuat
tiba-tiba memenuhi meja bundar yang mereka tempati, obrolan berubah secara
drastis ketika perempuan yang mereka maksud lewat dengan langkah terburu-buru,
mengenakan tas punggung berwarna cokelat tua, celana jeans hitam, kemeja
berwarna biru tua. Setelah punggungnya menghilang di balik tangga obrolan
kembali berlanjut dengan topik terbaru, masih tentang perempuan yang dianggap
sok penting itu.
Hanya waktu yang
menghentikan obrolan mereka, memisahkan mereka satu persatu dari meja bundar.
Dan keesokan
harinya obrolan berlanjut, dengan inti yang sama, korban yang berbeda, di
lokasi dan waktu yang berbeda.
“Sebenarnya aku
nggak suka sama dia.”
“Lho kenapa?”
Semua pasang mata
yang berada di meja persegi memandang Fira yang mulai mengarahkan topik awal
yang hanya mengeluhkan keterlambatan seseorang ke arah yang diinginkannya.
“Dia tuh sukanya
telat, terus kalau diminta tolong tuh susah banget, nunda-nunda terus. Katanya
besok lah, lusa lah—“ Fira menghela napas. “Sampai sekarang aku minta tolong
dia buat nyampein pesan ke kakaknya ditunda-tunda mulu, sampai akhirnya aku sms
kakaknya langsung.”
“Iya sih, dia
emang kadang kayak gitu.”
Beberapa orang
mengangguk dan beberapa lainnya hanya diam, entah menyetujui dalam hati atau
menghindari topik.
“Hei—sorry ya
telat, “ sosok yang baru saja mereka bicarakan datang setelah berlari-lari
kecil dari pintu masuk kantin, obrolan mereka tentang dirinya pun terhenti
sejak wajahnya terlihat di depan pintu kantin dan beberapa orang berbisik tuh dateng anaknya.
“Santai aja,
biasanya gimana?” Fira menjawab santai, lalu menikmati segelas es teh
pesanannya. Butuh waktu 15 menit untuk membuat mereka semua berdiri setelah
menunggu selama setengah jam, menuju ke tempat dimana mereka akan kembali duduk
di luar kampus, menikmati makanan dan minuman, tertawa-tawa sambil membicarakan
orang lain dan kejadian teranyar.
“Si itu katanya
lagi nggebet cewek lho?”
“Eh? Serius?”
“Siapa yang di
gebet?”
“Kabar darimana
tuh? Dari kapan nggebetnya?”
“Udah sebulanan
kok kalau nggak salah, aku denger dari anak-anak, katanya si itu emang beneran
deketin gitu,” Fira mengaduk milkshake miliknya. “Ceweknya nggak terlalu cantik
kalau menurutku.”
“Siapa sih siapa?
Angkatan atas?”
Fira berdehem
sekali. “Bukan, angkatan kita kok jurusan lain. Aku lupa namanya.”
“Eh, ini bukan?”
seorang dari mereka menunjukkan layar handphone, baru saja dia mengakses
twitter untuk mengecek akun milik laki-laki yang disebut-sebut sebagai si itu dan memilih akun lain yang
tampaknya paling sering berada di timeline laki-laki itu, interaksi yang
terlalu sering di media sosial antar lawan jenis yang masing-masing masih single selalu memancing rasa ingin tahu
yang berlebihan.
“Kayaknya iya
deh, coba di kepo-in aja.”
Lalu
masing-masing dari mereka membuka handphone masing-masing, mengakses twitter,
memasukan username, melihat profil
picture twitter, mengakses facebook mengetik nama pemilik twitter yang
menjadi topik pembicaraan lalu mengomentari beberapa potret yang mereka
temukan.
Kemudian
pembicaraan bergulir ke siapa perempuan yang sedang di dekati oleh laki-laki
yang disebut sebagai si itu.
Mengomentari wajah perempuan yang tidak pernah mereka sadari keberadaannya di
gedung perkuliahan, mengira-ngira sifat perempuan itu dari foto yang terpasang
di media sosial, status yang terpasang di dunia maya.
“Kayaknya
ceweknya biasa aja deh.”
“Bener, nggak
cantik-cantik banget juga.”
“Siapa namanya
tadi?” Fira memainkan jarinya diatas layar handphone. “Prita Atmaja?”
Beberapa dari
mereka mengangguk.
“Biasa aja kayaknya
deh,” Fira menggeser jarinya berkali-kali di atas layar, tangannya bertumpu
pada dagu. “Tweetnya random gini, agak alay mungkin ya,” Fira mengangkat
kepalanya. “Kira-kira kenapa si itu mau sama dia ya?”
“Kira-kira kenapa
ya?”
Fira merasakan
suara itu terdengar persis di samping telinganya, seperti ada yang
membisikannya tepat disana. Sebelum ia berbalik memenuhi rasa penasaran,
matanya menangkap mata orang-orang yang duduk dihadapannya membulat, gerakan tiba-tiba dan kaku dari
masing teman-temannya tampak begitu jelas, udara terasa berat dan rasanya sulit
sekali untuk menoleh ke belakang melihat siapa yang baru saja mendekatkan
bibirnya ke telinga dan membisikkan pertanyaan yang membuatnya sempat
merinding.
“Prita Atmaja
ya?”
Suara itu kembali
terdengar tak jauh dari telinga Fira. Perlahan ia membalik tubuhnya, melihat
wajah perempuan yang sebenarnya baru saja ia lihat melalui profile picture di media sosial. Rasanya seperti tertangkap basah
mencuri dan akan ditelanjangi di depan orang banyak.
Mata Fira
menangkap senyum di wajah Prita, senyum yang tampak tak seimbang di wajah yang
ia sebut-sebut biasa saja. Rambut perempuan itu di sanggul ke atas menyisakan
anak rambut yang bergelombang di kedua sisi wajahnya, ia memiringkan kepalanya
dan mengubah senyumnya hingga matanya yang tampak besar sebelumnya menjadi
lebih sipit.
“Maaf ya, aku
kira kalian ngomongin aku tadi. Tapi aku lihat—” mata Prita menjelajahi setiap
wajah yang sekarang berfokus padanya seperti terbius oleh tatapan mata
menyelidik yang dilemparkannya. “Aku nggak kenal kalian semua. Kan aneh kalau
ngomongin orang yang nggak dikenal gitu,” Fira mengambil jeda dalam kalimatnya,
alisnya berkerut menunggu persetujuan yang tidak ia dapatkan. “Iya nggak sih?”
Fira hanya
tertawa hambar ketika akhirnya Prita mengucapkan kalimat permintaan maaf karena
sudah mengganggu obrolan mereka. Prita berpindah dari tempatnya berdiri—begitu
dekat dengan Fira—ke meja yang tak jauh darinya. Lebih tepatnya di kursi yang
berada disebrang Fira, hingga hanya Fira yang bisa menangkap senyum mengejek
tak seimbang dan gigi putih berderet Prita yang tampak sedikit.
Seketika Fira
merasakan perutnya tak bisa menikmati makanan yang baru saja terhidang. Dan dia
tak sendiri, teman-temannya yang lain pun hanya memandangi makanan diatas
piring dengan tatapan enggan, pembicaraan yang mengalir setelahnya pun hanya
sebatas tugas kuliah, tontonan malam tadi, tawa yang hambar, obrolan yang kaku,
hingga langkah Prita Atmaja menjauh dari mejanya dan menghilang di balik pintu.
“Gila—itu ya
Prita Atmaja?”
“Iya, parah
banget aku sampai nggak bisa ngomong apa-apa tadi.”
Selanjutnya hanya
Fira saja yang diam diantara mereka, menikmati makanan seolah tak memiliki
rasa.
...
“Kamu tahu Prita
Atmaja?”
Fira mengangkat
kepala, seseorang baru saja menanyakan perempuan yang membuatnya setengah mati
beberapa hari lalu.
“Tahu, kenapa?”
Orang yang
mengajaknya bicara mengangguk-anggukan kepala. “Gimana sih anaknya?”
“Kenapa
emangnya?” Fira membolak-balik buku miliknya, tak membaca satu pun kalimat
diatasnya, bergulir didalam pikirannya sendiri.
“Nggak sih,
penasaran aja. Misterius gimana gitu anaknya.”
Fira mengerutkan
dahi. “Misterius? Naku—“
Seketika Fira
merasakan pandangan menusuk di punggungnya, dingin di tengkuk yang membuat
kepalanya segera berbalik mencari-cari sumber perasaan tidak enak yang
menghampirinya.
“Naku apa?”
Fira perlahan
mengembalikan pandangannya ke arah semula, lurus ke depan ke arah teman
bicaranya yang ikut mencari-cari apa yang dicari Fira secara tiba-tiba dibalik
punggungnya. “Kenapa sih kamu? Pucat gitu?
Fira menggeleng
pelan, senyumnya muncul dalam guratan-guratan yang dipaksa ketika Prita Atmaja
melambaikan tangan padanya. Perempuan itu baru saja memasuki kantin bersama
beberapa temannya yang tampak berbisik-bisik ketika Prita melambaikan tangannya
kepada Fira.
“Siapa Ta?”
“Entahlah—“ Prita menyentuh dagunya, beberapa menit mereka terdiam menimbang-nimbang makanan apa yang akan dipesan, tiba-tiba Prita memecah keheningan. “Ah ya aku nemu kata-kata yang bagus nih,”
“Apaan lagi Ta?
Nih orang emang sering out of topic
tiba-tiba gini.”
Prita terkekeh
sebelum berdehem sekali seolah meminta perhatian. “Seseorang seharusnya tahu
dimana batas lidah mereka bisa menjangkau kehidupan orang lain,” mata Prita
beralih ke Fira yang sejak tadi memandang ke arahnya. Cepat-cepat Fira menundukkan
kepala ketika menangkap tatapan mata Prita, mengaduk-ngaduk minumannya dengan
cepat, meninggalkan tempat duduk sebelum minumannya tandas.
“Ah— aku tahu,”
teman Prita mengangguk-anggukkan kepalanya melihat kemana mata Prita memandang,
bagaimana reaksi orang itu dan maksud kata-kata Prita. “Kamu jadi korban gosip
lagi?”
Prita tersenyum,
mengangkat bahunya. “Entahlah.”
2 komentar :
“Siapa Ta?”
“Entahlah—“ Fira menyentuh dagunya, beberapa menit mereka terdiam menimbang-nimbang makanan apa yang akan dipesan, tiba-tiba Fira memecah keheningan. “Ah ya aku nemu kata-kata yang bagus nih,”
Kok jadi bingung ya saya
@Heri I. Wibowo Typo nama ternyata -_-
Sudah dikoreksi bos, makasih koreksinya~
Posting Komentar