Selasa, 06 Mei 2014

Doa


“Aku perhatiin kamu kalau berdoa setelah solat cepet banget Ka, kenapa?”

Pertanyaan itu ditanyakan ketika aku dan seorang temanku duduk di teras mushola SMA kami, mengunjunginya adalah sebuah nostalgia dan pertanyaannya seperti membawaku ke masa lalu, ke alasan-alasan mengapa aku memilih untuk tidak menengadahkan tangan meminta langsung kepada Tuhan, mengutarakan keinginan dan kebutuhan yang muncul dalam kehidupan.
Kedua tangan menopang tubuhku, kudongakkan kepala ke langit-langit mushola yang berwarna putih. “Kenapa ya?”

Temanku mengerutkan dahi, menunggu jawaban, sebelum kuputuskan untuk bertanya kepadanya. “Kenapa kamu berdoa?”

“Karena aku punya permintaan.”

“Nah,” aku menyentak tubuhku maju, mengambil posisi bersila, “Anggap saja semua permintaanku sudah terwakilkan, jadi aku cukup mendoakan kedua orangtuaku saja.”

Aku hanya tersenyum ketika temanku menelengkan kepalanya, mempertanyakan jawaban yang tak ingin kujelaskan lebih lanjut. Kuajak dia itu beranjak, mengalihkan perhatian dari jawaban singkat yang kuberikan, ketika kami berdua melangkah melewati pintu mushola, angin bertiup menerpa kami, menerbangkan anak rambut yang berkali-kali kusingkirkan ke belakang telinga.

Ibuku adalah seorang ibu yang sangat pengertian, penyayang dan menantikanku hingga usia 10 tahun pernikahannya. Menjadi satu-satunya anak yang dimiliki oleh ibuku membuat seluruh kasih sayang dan perhatiannya hanya tercurah padaku, hanya pada anak perempuan tersayang yang telah  dibesarkan selama 25 tahun.

Tak ada yang luput dari perhatian beliau, sampul buku yang rusak, rambut yang kusut, goresan luka di lengan, pelajaran yang kugemari, teman yang membuatku sebal, beliau mengetahui semua hal yang terjadi dalam hidupku, termasuk yang beliau perkirakan baik bagiku.

Aku tak pernah bercerita, ibu yang tahu. Aku tak pernah menunjukkan, ibu yang menyadari. Entah beliau memiliki mata-mata yang dibayar atau menyimpan alat penyadap di pakaianku, aku pun tak mengerti.

Ketika ayah belum pulang dari kantor ibu sering menyempatkan diri untuk duduk di depan teras di saat waktu menginjak senja dan ketika aku memiliki waktu luang pasti kutemani ibu menyeduh segelas teh beraroma madu. Hampir setiap kali aku berada di sampingnya, ibu akan berkata, “Ibu mendoakanmu pagi tadi, siang tadi dan sore tadi.”

Aku menganggukkan kepala, hanya sanggup mengucapkan terimakasih.

Pernah sekali juga ibu berkata padaku. “Ibu berdoa agar kamu lulus dalam tes kelas unggulan.”

Saat itu aku menginjak bangku sekolah dasar dan bagiku, teman-teman di kelasku saat itu tak membuatku ingin pindah ke kelas unggulan. Pikiran polosku masih berharap bahwa apa yang didoakan ibuku tidak akan menjadi kenyataan. Tapi tes yang katanya sulit dan menyaring semua siswa kelas 3 SD di sekolah berhasil kulewati dengan keberhasilan.

Ibuku bahagia sekali saat itu, ia tak henti-hentinya memuji kepintaranku dan melihat kebahagiaan ibuku saat itu, aku tak ingin mengeluhkan perpisahan yang kualami dengan teman-teman di kelas lamaku, karena walaupun hanya berpisah kelas rasanya sedih sekali.

Aku tertawa kecil ketika mengingat masa itu, sementara langkah kakiku dan temanku menyusuri setiap kelas yang masih di cat dengan warna yang sama seperti 7 tahun lalu.

Pernah suatu ketika tangisku pecah saat menerima angka 80 di kertas jawaban, aku menjadi anak dengan nilai terendah di kelas unggulan. Ketika berada di rumah, aku tak bisa menahan keluhan-keluhan yang keluar dari mulutku. Ibu memeluk dan mengelus rambut sebahuku dengan lembut dan berkata, “Ibu akan berdoa agar kamu bisa bertahan di kelas unggulan, ya?”

Aku tak menjawab saat itu, hanya menangis dipelukannya. Saat itu menjadi anak dengan nilai terendah di kelas adalah hal yang membuatku cukup terpukul, menginjak kelas 4 SD rasa malu ketika tidak mampu mendapatkan nilai yang maksimal membuatku terpacu untuk maju. Doa ibuku kembali terkabul, aku berhasil bertahan hingga menginjak kelas 6 SD dan lulus dengan hasil yang membawaku ke SMP unggulan lainnya.

Ibu yang mendoakanku waktu itu. Aku mengetahuinya ketika ia bercerita saat langit menginjak senja. “Ibu berdoa supaya kamu masuk SMP unggulan ya.”

Aku menganggukkan kepala saja, walaupun sempat ingin kuutarakan niat untuk meneruskan ke sebuah SMP di dekat rumah saja, seorang tetangga yang akrab dan sering bermain bersamaku meneruskan sekolah ke sana dan berangkat sekolah bersama pasti akan menjadi hal yang menyenangkan, pikirku waktu itu.

Tapi ucapanku hanya menjadi ludah yang melewati tenggorokan, seperti saat ini, ketika kuteguk isi sebotol air dingin dan mengeluhkan cuaca kota yang begitu panas. Kantin sekolahku masih sama seperti dulu, tanpa pendingin ruangan, hanya sebuah kipas angin besar yang berputar-putar di langit.   

“Mungkin dengan penghasilanmu yang sekarang, kamu bisa nyumbang AC ke sekolah.”

Aku tertawa, menertawakan pernyataan temanku. “Dengan kemampuan keuangan sekolah saat ini apa mereka mau bayar biaya listriknya?”

Temanku mengangkat bahu. “Entahlah. Atau kamu mau bayar AC dan biaya listriknya?”

Kusilangkan kedua tanganku di depan dada. “Ogah, mending nabung buat biaya nikah.”

“Sama siapa?”

Kuangkat bahuku, lalu kembali memperhatikan lapangan yang persis berada tepat di sebrang kantin. Di masa SMA melihat anak laki-laki bermain basket di sana menjadi hal yang menyenangkan, mengagumi setiap langkah, bola yang memantul-mantul, cahaya yang menyilaukan, senyum dan tawa.

Masa SMA adalah masa ketika aku, untuk pertama kalinya, merasa bahwa ibuku selalu mengambil keputusan sepihak dan masa ketika aku merasa Tuhan hanya mengabulkan doa ibuku. Maka kuputuskan untuk berhenti menyampaikan keinginanku sendiri kepada-Nya.

“Sudah berapa tahun ya?”

“Apanya?”

“Masa SMA kita terlewati.”

“Sebentar—“ temanku mengeluarkan jari-jari dari kepalan tangannya, menghitung sembari mengurangi usia kami memasuki dunia SMA sampai usianya saat ini. “7 tahun kah? Lama juga ya.”

Selama 7 tahun itu pula aku memutuskan untuk membiarkan hanya ibuku saja yang berdoa.

Kusandarkan punggungku dengan kepala yang mendongak ke langit-langit, memperhatikan putaran kipas angin yang konstan dalam gerakan yang tampak terburu-buru seolah akan jatuh.

Di senja ketika usiaku menginjak angka 18, setelah ibu mengambil semua keputusan di setiap poin dalam kehidupanku ibu berkata lagi padaku. “Ibu berdoa supaya kamu bisa diterima di jurusan—“

Suara handphone membangunkan lamunanku, ada telepon dari seorang teman yang katanya akan menyusul, kujelaskan posisi kami di mana dan menanyakan sedang di mana dirinya, dia menjawab bahwa dirinya sedang bersama beberapa teman kami yang lain sedang berada dalam perjalanan. Kuminta dia untuk berhati-hati dan menutup telepon lalu kuberitahu temanku bahwa mereka yang sering kali telat sedang dalam perjalanan menuju tempat ini.

“Itu orang ya, aku nggak bayangin kehidupannya selama ngekos.”

“Kalau nggak salah kacau banget, dia pernah salah ngira hari, salah masuk kelas, salah nyebut nama dosen,” aku menghitung hal-hal konyol yang merupakan akumulasi dari keteledoran teman kami. “Kalau nggak salah dia juga pernah masuk kelas dengan baju terbalik , rambut berantakan dan muka bantal.”

“Astaga— kalian masih sering kontak?”

“Masih, lumayan sering juga.”

“Dia jomblo kan?”

Aku mengangkat alis, mengangguk ragu. “Kayaknya sih iya.”

“Ya udah jadian aja kalian.”

Tawaku meledak, kuayunkan tangan kananku di udara sementara tangan kiri memegangi perut yang mulai terasa sakit. “Nggak bisa lah, ibuku—“

“Ibu pengen kamu punya suami dokter, Ka.”

Tak kulanjutkan kalimatku, kubiarkan menggantung di udara, ingatan senja itu membuat tawaku terhenti dan perhatian temanku tercurah penuh kepadaku.

“Ibumu?”

“Nggak, nggak. Maksudku nggak mungkinlah, mana kuat aku ngurusin sifat pelupanya itu,” tawaku kembali terdengar, kali ini terasa lebih hambar daripada yang sebelumnya.

Ibu tak pernah gagal dalam mendoakanku, setelah SMP unggulan, SMA unggulan, lomba yang kumenangkan, jurusan yang diunggul-unggulkan, pekerjaan yang diidam-idamkan semua orang, semua kudapat sesuai dengan yang di doakan ibuku. Tak pernah ada satupun yang luput menjadi kenyataan setiap kali ibu bercerita padaku mengenai apa doa yang ia sampaikan pada Tuhan.

Kuhela napas. Tuhan memang begitu baik pada ibuku, ayah dan padaku. Mungkin doanya yang kali ini pun akan berhasil, seorang dokter akan datang menikahiku—kutopang dagu dengan tangan—walaupun sampai saat ini aku tak mempunyai bayangan siapa orang itu.

“Tuh mereka!”

Yang datang adalah rombongan 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan, tertawa-tawa menunjuk beberapa hal yang mungkin mereka anggap membawa ingatan masa lalu. Kuperhatikan langkah mereka yang begitu perlahan, seperti tak ingin melewatkan setiap titik yang bisa membuat mereka kembali ke masa yang katanya Chrisye paling indah.

Tanganku melambai-lambai meminta perhatian mereka, suara teriakanku membuat pandangan mereka beralih dari sebuah loker menuju ke jendela kantin yang tanpa teralis.

Seorang lelaki yang selalu kusebut sebagai pelupa akut membalas lambaianku, sementara teman-temanku yang lain sudah berlari menuju ke kantin, senyumku tak bisa lepas ketika melihat senyumnya. Ini pertemuan pertama kami setelah aku mengunjunginya 1 tahun lalu.

Ketika rombongan yang tak pernah diam itu menghampiri meja kami, semua sapaan di masa lalu terdengar dan tawa yang sama memenuhi udara, kami sibuk mengingat masa dimana salah satu kebodohan yang kami lakukan adalah tertangkap ketika hendak membolos melalui pintu belakang sekolah.

Cerita-cerita nostalgia membuat kami lupa waktu dan membuatku melupakan untuk sementara setiap doa yang pernah dipanjatkan ibuku dan keinginan yang hanya sempat muncul dipikiranku.

Kami telah melewati siang, menginjak sore. Ketika handphone dari salah satu teman mengumandangkan suara adzan dan kami memilih untuk memenuhi panggilan Tuhan dengan segera. Menunda-nundanya hanya membuat rasa malas menjadi-jadi, kata temanku. Kami pun menyatakan rasa setuju dengan mengikuti langkahnya menuju mushola.

Aku terbiasa menyelesaikan solat terlebih dahulu, ketika setiap orang di samping kiri dan kanan menengadahkan tangan selama beberapa menit, meminta kepada Tuhan, dalam waktu setengah menit aku telah membaca doa untuk kedua orangtua dan meminta ampun serta mengucapkan syukur kepada Tuhan lalu segera melipat mukena dan menikmati tiupan angin di sisi mushola, bersandar pada dinding penyangga, menjulurkan kaki melewati tegel berwarna putih.

“Ka, kita mau muter-muter nyari loker punya kita dulu, mau ikut nggak?”

Kugelengkan kepala, membiarkan para teman perempuanku mulai mengira-ngira sudah bagaimana kondisi lokernya saat ini, walaupun hanya akan tampak luarnya tanpa bisa membuka isinya. Mereka berdiskusi bagaimana  akan tampak lucu ketika melihat stiker yang iseng-iseng ditempelkan di sana masih melekat kuat.

“Kemana yang lain Ka?”

Aku menoleh, melihat seorang teman yang selalu kusebut sebagai pelupa akut, yang pertemuan dengannya terjadi 1 tahun lalu ketika aku mendapat tugas selama beberapa hari di kota tempat tinggal ayah dan ibunya dan secara kebetulan dia sedang mengambil cuti. Obrolan kami yang hanya sebatas sms, chat dan telepon mengalir tanpa jeda saat itu dan dia sempat berjanji akan mengantarku ke sebuah tempat wisata di kota tempatnya bekerja di saat kami berdua senggang.

“Nyariin loker mereka, mau ngecek masih ada apa nggak stiker yang mereka tempelin dulu. Dio sama Jo mana?”

“Mereka masih di dalam, diskusi politik, males rasanya kalau bahas kayak gitu terus-terusan,” laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di dinding penyangga yang sama dengan yang menahan tubuhku, aku tertawa mendengar pernyataannya. “Bahasan apa sih yang nggak bikin kamu males?”

Dia tidak menjawab dan aku tak memaksanya untuk menjawab, kuperhatikan gedung sekolah yang sudah lama kutinggalkan, lorong-lorong, tangga yang kami naiki sambil mengeluhkan tugas-tugas yang menumpuk, tak ada yang berubah dari bangunan ini, termasuk mushola yang menjadi tempat paling sejuk di sekolah ini.

“Mama nanyain kamu.”

Aku menolehkan kepala, hanya sekedar menoleh tanpa bisa melihat wajahnya. “Masak? Padahal waktu itu aku ketemu sama mama kamu nggak sengaja juga, mana aku nggak sempet ngasih oleh-oleh lagi pas pulang. Gimana kabar mama kamu?”

“Baik. Nggak salah juga sih Ka kamu nggak ngasih oleh-oleh, pas itu kan kebetulan aja mama ada di mall tempat kita ketemu.”

Kuangguk-anggukkan kepala. “Salam ya buat mama kamu.”

“Iya—tau nggak beliau nanya apa ke aku?”

“Nanyain apa?”

“Beliau nanya, mana perempuan yang bikin kamu senyum-senyum kalau pegang handphone?”

Kepalaku berusaha mencerna kalimatnya, menerjemahkannya menjadi sebuah pernyataan yang biasa saja.Obrolan kami selalu tak tentu arah memang dan seharusnya wajar kalau dia kadang tersenyum ketika mengobrol, kan—

“Wah, jangan-jangan mama kamu ngecap aku orang gila yang nularin kegilaan ke anaknya.”

Laki-laki yang kukenal sejak 6 tahun lalu itu tertawa. “Mungkin—tapi mungkin juga lebih tepatnya, beliau penasaran siapa yang udah bikin anak laki-lakinya jatuh cinta.”

Kata terakhirnya membuat dahiku mengkerut, kepalaku menoleh berusaha menemukan keusilan di wajahnya, tapi tak kutemukan apapun kecuali ekspresi penuh keseriusan ketika menceritakan impiannya. 
Aku ingin menertawakan pernyataan yang terdengar romantis tapi tawa itu tersendat dan terpotong oleh suara Jo dan Dio yang menggoda kami dengan cie-cie ala remaja.

Dan dia, laki-laki yang membuatku tak bisa menahan senyum setiap kali membaca guyonan jayus yang dilemparkannya hanya tertawa dan mengejek kedua temanku sebagai anak remaja yang kelewat tua.

Aku tertawa, menertawakan mereka bertiga, menertawakan diriku sendiri dan mempertanyakan apa yang akan terjadi setelah ini, setelah ingatanku kembali ke ibuku. Ke doa yang sempat ia utarakan kepadaku beberapa hari lalu.

“Ibu berdoa semoga kamu—“

Kusingkirkan anak rambut yang sempat menghalangi pandanganku. Memperhatikan laki-laki yang tersenyum kepadaku dan teman-teman yang begitu ribut mengundang tawaku.  Kami sempat berjanji untuk bertemu lagi di kala sempat sebelum aku meninggalkan sekolah yang telah meluluskanku 7 tahun lalu dan menginjakkan kaki di halaman rumah.

Ibu sudah duduk di teras saat aku tiba, lebih awal daripada jam rutin yang biasanya. Di kursi malas, beliau membolak-balik koran yang telah dibaca ayah sebelum berangkat kerja, dua gelas teh terhidang di atas meja dan aroma madu menguar di udara.

“Darimana ibu tahu kalau aku pulang jam segini?” kutempatkan diri di kursi tepat disamping ibuku yang tersenyum lalu menawarkan segelas teh hangat.

“Darimana ya?” ibu meniru nada anak-anak muda jaman sekarang yang seringkali balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan, aku tertawa sembari menyenggol lengan beliau. “Jangan pura-pura jadi anak muda gitu dong bu.”

Ibuku tertawa begitu pun aku, tawa kami terhenti sejenak dan kurasakan getar di handphone ketika sebuah pesan singkat masuk, pesan yang memunculkan senyum di wajahku.

“Ka—“

Kutolehkan kepala, memperhatikan perempuan yang telah merawatku sejak lama, perempuan yang tak henti-hentinya mendoakanku dengan doa yang dirancangnya sendiri, demi kebaikanku.

“Ibu masih mendoakan kamu supaya kamu dapat jodoh dokter, biar hidup kamu terjamin—“

Kupejamkan mata sejenak, kubiarkan suara ibu perlahan menyatu dengan keheningan. Kucoba untuk tidak mengingat masa-masa di mana aku sempat menyalahkan ibu karena doa yang dimintanya kepada Tuhan. Masa-masa dimana aku bertanya kenapa keinginanku sering tak sejalan dengan beliau, masa-masa di mana aku hanya sanggup menelan setiap anganku dan membiarkan ibu berdoa untukku dan Tuhan mengabulkannya. Tuhan selalu mengabulkannya.

Aku berdiri, melangkah menuju kursi tempat ibuku menempatkan diri dan duduk dihadapannya bersandar pada kedua kakinya, menyentuh kedua tangannya, meletakkan kepala di atas kedua pahanya.

“Bu—“

“Ya?”

Aku menelan ludah berusaha untuk tidak menangis, karena sudah lama sekali sejak niatku untuk meminta kepada beliau kupendam dalam-dalam, karena doanya tak pernah merugikanku, karena doanya hanya menginginkan yang baik bagiku, karena doanya—

Kuhela napas, menatap wajah ibu yang selama ini selalu dan selalu tahu mendoakan hal yang baik untukku.

“Untuk doa kali ini, bisa ibu minta ke Tuhan yang terbaik untukku, siapa saja, dokter atau bukan, temanku atau anak dari kenalan ibu, siapa saja yang penting—“ tanpa sadar kuremas kedua tangan ibuku. “dia yang terbaik untukku.”

Ibu melepas tangannya dari genggamanku, mengelus rambutku dengan lembut, ketika kubenamkan kepala di kakinya kudengar suaranya yang lembut menjawab—

“Ya, yang terbaik buat kamu.”

Hari itu sebelum senja kuputuskan untuk menyampaikan keinginanku kembali kepada Tuhan secara langsung, agar tak ada penyesalan dalam hatiku.


 Sejujurnya saya merasa eksekusi dari cerpen ini kurang. Ya--saya mengakuinya sendiri. Jika ada yang ingin memberikan komentar sangat dipersilahkan, siapa tahu bisa membantu saya menemukan apa yang kurang dari eksekusi cerpen ini. Terimakasih~ 



1 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang