“Aku perhatiin kamu kalau berdoa setelah solat cepet banget Ka, kenapa?”
Pertanyaan itu ditanyakan ketika aku dan seorang temanku duduk di teras
mushola SMA kami, mengunjunginya adalah sebuah nostalgia dan pertanyaannya
seperti membawaku ke masa lalu, ke alasan-alasan mengapa aku memilih untuk
tidak menengadahkan tangan meminta langsung kepada Tuhan, mengutarakan keinginan
dan kebutuhan yang muncul dalam kehidupan.
Kedua tangan menopang tubuhku, kudongakkan kepala ke langit-langit mushola
yang berwarna putih. “Kenapa ya?”
Temanku mengerutkan dahi, menunggu jawaban, sebelum kuputuskan untuk
bertanya kepadanya. “Kenapa kamu berdoa?”
“Karena aku punya permintaan.”
“Nah,” aku menyentak tubuhku maju, mengambil posisi bersila, “Anggap saja
semua permintaanku sudah terwakilkan, jadi aku cukup mendoakan kedua orangtuaku
saja.”
Aku hanya tersenyum ketika temanku menelengkan kepalanya, mempertanyakan
jawaban yang tak ingin kujelaskan lebih lanjut. Kuajak dia itu beranjak,
mengalihkan perhatian dari jawaban singkat yang kuberikan, ketika kami berdua
melangkah melewati pintu mushola, angin bertiup menerpa kami, menerbangkan anak
rambut yang berkali-kali kusingkirkan ke belakang telinga.
Ibuku adalah seorang ibu yang sangat pengertian, penyayang dan menantikanku
hingga usia 10 tahun pernikahannya. Menjadi satu-satunya anak yang dimiliki
oleh ibuku membuat seluruh kasih sayang dan perhatiannya hanya tercurah padaku,
hanya pada anak perempuan tersayang yang telah dibesarkan selama 25 tahun.
Tak ada yang luput dari perhatian beliau, sampul buku yang rusak, rambut
yang kusut, goresan luka di lengan, pelajaran yang kugemari, teman yang
membuatku sebal, beliau mengetahui semua hal yang terjadi dalam hidupku,
termasuk yang beliau perkirakan baik bagiku.
Aku tak pernah bercerita, ibu yang tahu. Aku tak pernah menunjukkan, ibu
yang menyadari. Entah beliau memiliki mata-mata yang dibayar atau menyimpan
alat penyadap di pakaianku, aku pun tak mengerti.
Ketika ayah belum pulang dari kantor ibu sering menyempatkan diri untuk duduk di depan teras di saat waktu menginjak senja dan ketika aku memiliki waktu luang pasti kutemani ibu menyeduh segelas teh beraroma
madu. Hampir setiap kali aku berada di sampingnya, ibu akan berkata, “Ibu
mendoakanmu pagi tadi, siang tadi dan sore tadi.”
Aku menganggukkan kepala, hanya sanggup mengucapkan terimakasih.
Pernah sekali juga ibu berkata padaku. “Ibu berdoa agar kamu lulus dalam
tes kelas unggulan.”
Saat itu aku menginjak bangku sekolah dasar dan bagiku, teman-teman di
kelasku saat itu tak membuatku ingin pindah ke kelas unggulan. Pikiran polosku masih
berharap bahwa apa yang didoakan ibuku tidak akan menjadi kenyataan. Tapi tes
yang katanya sulit dan menyaring semua siswa kelas 3 SD di sekolah berhasil
kulewati dengan keberhasilan.
Ibuku bahagia sekali saat itu, ia tak henti-hentinya memuji kepintaranku
dan melihat kebahagiaan ibuku saat itu, aku tak ingin mengeluhkan perpisahan yang
kualami dengan teman-teman di kelas lamaku, karena walaupun hanya berpisah kelas
rasanya sedih sekali.
Aku tertawa kecil ketika mengingat masa itu, sementara langkah kakiku dan
temanku menyusuri setiap kelas yang masih di cat dengan warna yang sama seperti
7 tahun lalu.
Pernah suatu ketika tangisku pecah saat menerima angka 80 di kertas jawaban, aku menjadi
anak dengan nilai terendah di kelas unggulan. Ketika berada di rumah, aku tak
bisa menahan keluhan-keluhan yang keluar dari mulutku. Ibu memeluk dan mengelus
rambut sebahuku dengan lembut dan berkata, “Ibu akan berdoa agar kamu bisa
bertahan di kelas unggulan, ya?”
Aku tak menjawab saat itu, hanya menangis dipelukannya. Saat itu menjadi
anak dengan nilai terendah di kelas adalah hal yang membuatku cukup terpukul,
menginjak kelas 4 SD rasa malu ketika tidak mampu mendapatkan nilai yang
maksimal membuatku terpacu untuk maju. Doa ibuku kembali terkabul, aku berhasil
bertahan hingga menginjak kelas 6 SD dan lulus dengan hasil yang membawaku ke
SMP unggulan lainnya.
Ibu yang mendoakanku waktu itu. Aku mengetahuinya ketika ia bercerita saat langit menginjak
senja. “Ibu berdoa supaya kamu masuk SMP unggulan ya.”
Aku menganggukkan kepala saja, walaupun sempat ingin kuutarakan niat untuk
meneruskan ke sebuah SMP di dekat rumah saja, seorang tetangga yang akrab dan
sering bermain bersamaku meneruskan sekolah ke sana dan berangkat sekolah bersama pasti
akan menjadi hal yang menyenangkan, pikirku waktu itu.
Tapi ucapanku hanya menjadi ludah yang melewati tenggorokan, seperti saat
ini, ketika kuteguk isi sebotol air dingin dan mengeluhkan cuaca kota yang
begitu panas. Kantin sekolahku masih sama seperti dulu, tanpa pendingin ruangan, hanya sebuah kipas angin besar yang berputar-putar di langit.
“Mungkin dengan penghasilanmu yang sekarang, kamu bisa nyumbang AC ke
sekolah.”
Aku tertawa, menertawakan pernyataan temanku. “Dengan kemampuan keuangan sekolah
saat ini apa mereka mau bayar biaya listriknya?”
Temanku mengangkat bahu. “Entahlah. Atau kamu mau bayar AC dan biaya
listriknya?”
Kusilangkan kedua tanganku di depan dada. “Ogah, mending nabung buat biaya
nikah.”
“Sama siapa?”
Kuangkat bahuku, lalu kembali memperhatikan lapangan yang persis berada
tepat di sebrang kantin. Di masa SMA melihat anak laki-laki bermain basket di sana
menjadi hal yang menyenangkan, mengagumi setiap langkah, bola yang memantul-mantul,
cahaya yang menyilaukan, senyum dan tawa.
Masa SMA adalah masa ketika aku, untuk pertama kalinya, merasa bahwa
ibuku selalu mengambil keputusan sepihak dan masa ketika aku merasa Tuhan hanya
mengabulkan doa ibuku. Maka kuputuskan untuk berhenti menyampaikan keinginanku
sendiri kepada-Nya.
“Sudah berapa tahun ya?”
“Apanya?”
“Masa SMA kita terlewati.”
“Sebentar—“ temanku mengeluarkan jari-jari dari kepalan tangannya,
menghitung sembari mengurangi usia kami memasuki dunia SMA sampai usianya saat
ini. “7 tahun kah? Lama juga ya.”
Selama 7 tahun itu pula aku memutuskan untuk membiarkan hanya ibuku saja
yang berdoa.
Kusandarkan punggungku dengan kepala yang mendongak ke langit-langit,
memperhatikan putaran kipas angin yang konstan dalam gerakan yang tampak terburu-buru
seolah akan jatuh.
Di senja ketika usiaku menginjak angka 18, setelah ibu mengambil semua
keputusan di setiap poin dalam kehidupanku ibu berkata lagi padaku. “Ibu berdoa
supaya kamu bisa diterima di jurusan—“
Suara handphone membangunkan lamunanku, ada telepon dari seorang teman yang
katanya akan menyusul, kujelaskan posisi kami di mana dan menanyakan sedang di mana
dirinya, dia menjawab bahwa dirinya sedang bersama beberapa teman kami yang
lain sedang berada dalam perjalanan. Kuminta dia untuk berhati-hati dan menutup
telepon lalu kuberitahu temanku bahwa mereka yang sering kali telat sedang
dalam perjalanan menuju tempat ini.
“Itu orang ya, aku nggak bayangin kehidupannya selama ngekos.”
“Kalau nggak salah kacau banget, dia pernah salah ngira hari, salah masuk
kelas, salah nyebut nama dosen,” aku menghitung hal-hal konyol yang merupakan
akumulasi dari keteledoran teman kami. “Kalau nggak salah dia juga pernah masuk
kelas dengan baju terbalik , rambut berantakan dan muka bantal.”
“Astaga— kalian masih sering kontak?”
“Masih, lumayan sering juga.”
“Dia jomblo kan?”
Aku mengangkat alis, mengangguk ragu. “Kayaknya sih iya.”
“Ya udah jadian aja kalian.”
Tawaku meledak, kuayunkan tangan kananku di udara sementara tangan kiri
memegangi perut yang mulai terasa sakit. “Nggak bisa lah, ibuku—“
“Ibu pengen kamu punya suami dokter, Ka.”
Tak kulanjutkan kalimatku, kubiarkan menggantung di udara, ingatan senja
itu membuat tawaku terhenti dan perhatian temanku tercurah penuh kepadaku.
“Ibumu?”
“Nggak, nggak. Maksudku nggak mungkinlah, mana kuat aku ngurusin sifat
pelupanya itu,” tawaku kembali terdengar, kali ini terasa lebih hambar daripada
yang sebelumnya.
Ibu tak pernah gagal dalam mendoakanku, setelah SMP unggulan, SMA unggulan,
lomba yang kumenangkan, jurusan yang diunggul-unggulkan, pekerjaan yang
diidam-idamkan semua orang, semua kudapat sesuai dengan yang di doakan ibuku. Tak
pernah ada satupun yang luput menjadi kenyataan setiap kali ibu bercerita
padaku mengenai apa doa yang ia sampaikan pada Tuhan.
Kuhela napas. Tuhan memang begitu baik pada ibuku, ayah dan padaku. Mungkin
doanya yang kali ini pun akan berhasil, seorang dokter akan datang menikahiku—kutopang
dagu dengan tangan—walaupun sampai saat ini aku tak mempunyai bayangan siapa
orang itu.
“Tuh mereka!”
Yang datang adalah rombongan 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan, tertawa-tawa
menunjuk beberapa hal yang mungkin mereka anggap membawa ingatan masa lalu.
Kuperhatikan langkah mereka yang begitu perlahan, seperti tak ingin melewatkan
setiap titik yang bisa membuat mereka kembali ke masa yang katanya Chrisye
paling indah.
Tanganku melambai-lambai meminta perhatian mereka, suara teriakanku membuat
pandangan mereka beralih dari sebuah loker menuju ke jendela kantin yang tanpa
teralis.
Seorang lelaki yang selalu kusebut sebagai pelupa akut membalas lambaianku,
sementara teman-temanku yang lain sudah berlari menuju ke kantin, senyumku tak
bisa lepas ketika melihat senyumnya. Ini pertemuan pertama kami setelah aku
mengunjunginya 1 tahun lalu.
Ketika rombongan yang tak pernah diam itu menghampiri meja kami, semua
sapaan di masa lalu terdengar dan tawa yang sama memenuhi udara, kami sibuk
mengingat masa dimana salah satu kebodohan yang kami lakukan adalah tertangkap
ketika hendak membolos melalui pintu belakang sekolah.
Cerita-cerita nostalgia membuat kami lupa waktu dan membuatku melupakan untuk sementara setiap doa yang pernah dipanjatkan ibuku dan keinginan yang
hanya sempat muncul dipikiranku.
Kami telah melewati siang, menginjak sore. Ketika handphone dari salah satu
teman mengumandangkan suara adzan dan kami memilih untuk memenuhi panggilan
Tuhan dengan segera. Menunda-nundanya hanya membuat rasa malas menjadi-jadi, kata
temanku. Kami pun menyatakan rasa setuju dengan mengikuti langkahnya menuju
mushola.
Aku terbiasa menyelesaikan solat terlebih dahulu, ketika setiap orang di
samping kiri dan kanan menengadahkan tangan selama beberapa menit, meminta
kepada Tuhan, dalam waktu setengah menit aku telah membaca doa untuk kedua
orangtua dan meminta ampun serta mengucapkan syukur kepada Tuhan lalu segera
melipat mukena dan menikmati tiupan angin di sisi mushola, bersandar pada
dinding penyangga, menjulurkan kaki melewati tegel berwarna putih.
“Ka, kita mau muter-muter nyari loker punya kita dulu, mau ikut nggak?”
Kugelengkan kepala, membiarkan para teman perempuanku mulai mengira-ngira
sudah bagaimana kondisi lokernya saat ini, walaupun hanya akan tampak luarnya
tanpa bisa membuka isinya. Mereka berdiskusi bagaimana akan tampak lucu ketika melihat stiker yang
iseng-iseng ditempelkan di sana masih melekat kuat.
“Kemana yang lain Ka?”
Aku menoleh, melihat seorang teman yang selalu kusebut sebagai pelupa akut,
yang pertemuan dengannya terjadi 1 tahun lalu ketika aku mendapat tugas selama
beberapa hari di kota tempat tinggal ayah dan ibunya dan secara kebetulan dia
sedang mengambil cuti. Obrolan kami yang hanya sebatas sms, chat dan telepon
mengalir tanpa jeda saat itu dan dia sempat berjanji akan mengantarku ke sebuah
tempat wisata di kota tempatnya bekerja di saat kami berdua senggang.
“Nyariin loker mereka, mau ngecek masih ada apa nggak stiker yang mereka
tempelin dulu. Dio sama Jo mana?”
“Mereka masih di dalam, diskusi politik, males rasanya kalau bahas kayak
gitu terus-terusan,” laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di dinding penyangga
yang sama dengan yang menahan tubuhku, aku tertawa mendengar pernyataannya. “Bahasan
apa sih yang nggak bikin kamu males?”
Dia tidak menjawab dan aku tak memaksanya untuk menjawab, kuperhatikan
gedung sekolah yang sudah lama kutinggalkan, lorong-lorong, tangga yang kami
naiki sambil mengeluhkan tugas-tugas yang menumpuk, tak ada yang berubah dari
bangunan ini, termasuk mushola yang menjadi tempat paling sejuk di sekolah ini.
“Mama nanyain kamu.”
Aku menolehkan kepala, hanya sekedar menoleh tanpa bisa melihat wajahnya. “Masak?
Padahal waktu itu aku ketemu sama mama kamu nggak sengaja juga, mana aku nggak
sempet ngasih oleh-oleh lagi pas pulang. Gimana kabar mama kamu?”
“Baik. Nggak salah juga sih Ka kamu nggak ngasih oleh-oleh, pas itu kan
kebetulan aja mama ada di mall tempat kita ketemu.”
Kuangguk-anggukkan kepala. “Salam ya buat mama kamu.”
“Iya—tau nggak beliau nanya apa ke aku?”
“Nanyain apa?”
“Beliau nanya, mana perempuan yang bikin kamu senyum-senyum kalau pegang
handphone?”
Kepalaku berusaha mencerna kalimatnya, menerjemahkannya menjadi sebuah
pernyataan yang biasa saja.Obrolan kami selalu tak tentu arah memang dan
seharusnya wajar kalau dia kadang tersenyum ketika mengobrol, kan—
“Wah, jangan-jangan mama kamu ngecap aku orang gila yang nularin kegilaan
ke anaknya.”
Laki-laki yang kukenal sejak 6 tahun lalu itu tertawa. “Mungkin—tapi
mungkin juga lebih tepatnya, beliau penasaran siapa yang udah bikin anak
laki-lakinya jatuh cinta.”
Kata terakhirnya membuat dahiku mengkerut, kepalaku menoleh berusaha
menemukan keusilan di wajahnya, tapi tak kutemukan apapun kecuali ekspresi
penuh keseriusan ketika menceritakan impiannya.
Aku ingin menertawakan
pernyataan yang terdengar romantis tapi tawa itu tersendat dan terpotong oleh suara
Jo dan Dio yang menggoda kami dengan cie-cie ala remaja.
Dan dia, laki-laki yang membuatku tak bisa menahan senyum setiap kali
membaca guyonan jayus yang dilemparkannya hanya tertawa dan mengejek kedua
temanku sebagai anak remaja yang kelewat tua.
Aku tertawa, menertawakan mereka bertiga, menertawakan diriku sendiri dan
mempertanyakan apa yang akan terjadi setelah ini, setelah ingatanku kembali ke ibuku.
Ke doa yang sempat ia utarakan kepadaku beberapa hari lalu.
“Ibu berdoa semoga kamu—“
Kusingkirkan anak rambut yang sempat menghalangi pandanganku. Memperhatikan
laki-laki yang tersenyum kepadaku dan teman-teman yang begitu ribut mengundang
tawaku. Kami sempat berjanji untuk
bertemu lagi di kala sempat sebelum aku meninggalkan sekolah yang telah
meluluskanku 7 tahun lalu dan menginjakkan kaki di halaman rumah.
Ibu sudah duduk di teras saat aku tiba, lebih awal daripada jam rutin yang
biasanya. Di kursi malas, beliau membolak-balik koran yang telah dibaca ayah
sebelum berangkat kerja, dua gelas teh terhidang di atas meja dan aroma madu
menguar di udara.
“Darimana ibu tahu kalau aku pulang jam segini?” kutempatkan diri di kursi tepat
disamping ibuku yang tersenyum lalu menawarkan segelas teh hangat.
“Darimana ya?” ibu meniru nada anak-anak muda jaman sekarang yang
seringkali balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan, aku tertawa sembari
menyenggol lengan beliau. “Jangan pura-pura jadi anak muda gitu dong bu.”
Ibuku tertawa begitu pun aku, tawa kami terhenti sejenak dan kurasakan
getar di handphone ketika sebuah pesan singkat masuk, pesan yang memunculkan
senyum di wajahku.
“Ka—“
Kutolehkan kepala, memperhatikan perempuan yang telah merawatku sejak lama,
perempuan yang tak henti-hentinya mendoakanku dengan doa yang dirancangnya
sendiri, demi kebaikanku.
“Ibu masih mendoakan kamu supaya kamu dapat jodoh dokter, biar hidup kamu
terjamin—“
Kupejamkan mata sejenak, kubiarkan suara ibu perlahan menyatu dengan
keheningan. Kucoba untuk tidak mengingat masa-masa di mana aku sempat
menyalahkan ibu karena doa yang dimintanya kepada Tuhan. Masa-masa dimana aku
bertanya kenapa keinginanku sering tak sejalan dengan beliau, masa-masa di mana
aku hanya sanggup menelan setiap anganku dan membiarkan ibu berdoa untukku dan
Tuhan mengabulkannya. Tuhan selalu mengabulkannya.
Aku berdiri, melangkah menuju kursi tempat ibuku menempatkan diri dan duduk
dihadapannya bersandar pada kedua kakinya, menyentuh kedua tangannya, meletakkan
kepala di atas kedua pahanya.
“Bu—“
“Ya?”
Aku menelan ludah berusaha untuk tidak menangis, karena sudah lama sekali
sejak niatku untuk meminta kepada beliau kupendam dalam-dalam, karena doanya
tak pernah merugikanku, karena doanya hanya menginginkan yang baik bagiku,
karena doanya—
Kuhela napas, menatap wajah ibu yang selama ini selalu dan selalu
tahu mendoakan hal yang baik untukku.
“Untuk doa kali ini, bisa ibu minta ke Tuhan yang terbaik untukku, siapa
saja, dokter atau bukan, temanku atau anak dari kenalan ibu, siapa saja yang
penting—“ tanpa sadar kuremas kedua tangan ibuku. “dia yang terbaik untukku.”
Ibu melepas tangannya dari genggamanku, mengelus rambutku dengan lembut,
ketika kubenamkan kepala di kakinya kudengar suaranya yang lembut menjawab—
“Ya, yang terbaik buat kamu.”
Hari itu sebelum senja kuputuskan untuk menyampaikan keinginanku kembali
kepada Tuhan secara langsung, agar tak ada penyesalan dalam hatiku.
Sejujurnya saya merasa eksekusi dari cerpen ini kurang. Ya--saya mengakuinya sendiri. Jika ada yang ingin memberikan komentar sangat dipersilahkan, siapa tahu bisa membantu saya menemukan apa yang kurang dari eksekusi cerpen ini. Terimakasih~
1 komentar :
ihiw ihiw
Posting Komentar