Sekarang aku tahu
kenapa wajah Farah terlipat-lipat saat kuserahi tugas sebagai penerima tamu di
pernikahanku. Sekarang aku tahu rasanya setelah menghadapi situasi itu sendiri.
“Silahkan diisi
Bu, buku tamunya.”
Kuhela napas,
melemparkan diri ke atas kursi yang bahkan sampai bergeser menahan beban tubuh,
apakah beratku bertambah setelah menikah? Mungkin iya, walaupun Tio bilang
tidak.
Hari ini
pernikahan Putri dengan laki-laki yang merupakan rekan kerja satu kantornya.
Kisah cinta mereka klasik, laki-lakinya menyukai si perempuan, perempuannya
menerima, pacaran, lamaran lalu menikah.
Jika
dihitung-hitung, pernikahanku dan Putri hanya berjarak 3 bulan, padahal kami
tidak pernah berjanji akan menikah di tahun yang sama. Di masa kuliah dulu
bahkan tak ada diantara kami yang mengira bahwa kami akan menikah di tahun yang
sama, di gedung yang sama pula. Tapi untuk tebakan urutan pernikahan kami sudah
menduganya sejak awal, aku yang akan menikah duluan, disusul oleh Putri dan
terakhir—
Seharusnya sih
Farah, tapi bahkan aku tidak tahu bagaimana kelanjutan kisahnya dengan Lendi.
Mengingat kedatangan laki-laki itu ke acara pernikahanku beberapa bulan lalu,
pertemuanya dengan Farah yang tampak biasa saja membuatku ragu apakah usahaku
mengundang Lendi hari itu benar-benar membawa hasil.
Jika
diingat-ingat, sejak dulu Farah memang tidak pernah terbuka tentang hubungan
asmaranya. Dia memang tipe perempuan paling santai yang pernah aku kenal, yang
paling pelupa yang pernah aku tahu. Dia tidak pernah merasa gundah ketika
teman-temannya mengalami masa jomblo tapi bisa jadi secara tiba-tiba statusnya
berubah menjadi in relationship tanpa
pernah ada tanda-tandanya. Dan Lendi menjadi salah satu laki-laki—dari 3
laki-laki yang pernah berpacaran dengan Farah—yang tiba-tiba dikenalkannya
sebagai pacar.
Dan yang
tiba-tiba putus menjelang kelulusan.
Anehnya kami
berdua—aku dan Putri—tahu kalau mereka putus pun bukan dari Farah sendiri, tapi
dari Lendi yang tiba-tiba menghubungi Putri dan meminta kami meluluhkan sifat
kepala batu Farah.
Kepala batu yang
benar-benar batu.
Dan dari Lendi
pula kami tahu penyebab putusnya hubungan mereka berdua bukan karena
ketidakcocokan atau salah satu dari mereka berselingkuh tapi karena trauma
Farah, karena rasa tidak percaya Farah yang sangat parah.
Farah minta putus
begitu mendapat kabar bahwa Lendi akan melanjutkan studi ke Belanda. Farah
tidak mau menjalani hubungan antar kota, antar provinsi, apalagi antar negara.
Baginya hubungan long distance
relationship bukanlah sesuatu yang layak dipertahankan.
“Ya gimana lagi
Len. Kamu kan tahu Farah itu kepalanya batu banget, apalagi dia semacam masih
punya trauma semenjak putus dari mantannya itu ya putusnya gara-gara LDR, si
cowok selingkuh.”
“Ya tapi kan aku
nggak bakal kayak gitu juga. Aku kalau ngejalanin hubungan juga serius Put,
belajar sampai Belanda pun demi hidup bersama Farah juga kan. Masa depan yang
lebih cerah.”
“Kamu udah
ngejelasin kayak gitu ke dia?”
“Udah Nggi. Tapi
ya gitu, kamu tau kan Farah kayak gimana.”
Aku ingat sekali
tampilan Lendi hari itu, rambutnya benar-benar tampak berantakan, beberapa kali
pula dia memijat pelipisnya, pangkal hidungnya lalu menghela napas.
Setelah itu
mereka benar-benar putus, Farah tidak meralat permintaanya dan Lendi tidak bisa
berbuat apa-apa. Sedangkan kami sebagai sahabat hanya bisa memberi nasihat yang
entah didengarkan oleh Farah atau tidak.
“Mbak ini tinggal ambil?“
Aku terhenyak
selama beberapa detik sebelum menyerahkan sebuah tas belanja yang telah
terlipat rapi di dalam plastik bening. Tas belanja sebagai sovenir benar-benar
menunjukkan tekad Putri sebagai pecinta lingkungan yang menggiatkan gerakan
tanpa plastik, bahkan dirinya sempat mengeluh kenapa harus memasukkan sovenir
itu ke dalam plastik bening, kenapa tidak diberikan langsung saja.
“Ah ya—maaf bu. Ini sovenirnya terimakasih.
Aku melirik ke
kiri dan kanan, sepertinya sepupu Putri telah pergi entah kemana, mungkin tadi
dia sudah meminta ijin dan aku tak mendengarkan, otakku sibuk memutar memori
tentang Lendi dan Farah.
“Anggi!”
Kutolehkan kepala
ke arah suara Putri menghampiriku dengan ball
gown berwarna putih gading. Memang sahabatku yang satu ini sudah berkata
berkali-kali tak akan menjadi orang-orangan sawah yang berdiri di satu tempat
atau duduk di satu tempat dalam waktu yang lama di pernikahannya nanti.
“Kok kamu
nyamperin aku Put. Tamunya gimana?”
“Santai aja—“
“Suamimu, kamu
tinggal begitu aja?”
“Tenang aja, dia
lagi ngobrol. Si Farah mana? Udah datang?”
“Belum. Belum
keliatan dianya.”
“Kemana tuh
orang, jangan-jangan sengaja nggak datang gara-gara takut ditugasin jadi
penjaga buku tamu.”
Aku tertawa,
Putri memang selalu begitu cepat sekali mengambil kesimpulan. “Dia kan udah
bilang bakal telat datang, soalnya pesawatnya di delay. Kejadiannya sama kayak kamu dulu kan?”
“Ya—kebetulannya
begitu,” Putri kemudian tersenyum pada seorang tamu yang datang menghampirinya,
menerima ucapan selamat dan bercipika-cipiki sementara diriku menyapa seorang
tamu lain yang keheranan melihat mempelai wanita bisa berada begitu dekat
dengan pintu masuk.
“Kamu yakin mau
berlama-lama disini, nanti tamunya pada ngerasa diusir lho udah disambut
pengantin di depan pintu.”
“Iya sih. Eh,
bentar deh,” Putri mengangkat sedikit ball
gown yang ia kenakan lalu melangkah menjauh mengikuti panggilan suaminya.
Setelah kepergian bintang utama yang tak mau diam kuperhatikan jam di tangan,
sudah menunjukkan pukul 1 siang dan Farah masih belum menampakkan batang
hidungnya juga.
Baru saja kuakhiri
pertanyaan dalam hatiku ketika Farah datang, mengenakan kebaya berwarna putih
gading lengkap dengan tas tangan berwarna hitam kelam, ia tampak terseok-seok
ketika berjalan, sepatu hak tinggi benar-benar tak pernah cocok dengan
kepribadiannya.
“Maaf terlambat
ya Nggi. Delay beneran tadi, si Putri mana?”
Aku menunjuk
dengan dagu, Farah mengikuti petunjukku dan berpaling tanpa kesulitan. Jelas
dia akan menemukan bintang utama hari ini. “Astaga, itu orang beneran nggak
duduk di pelaminan kayak kamu dulu?”
“Beberapa menit
awal dia di panggung. Setengah jam kemudian dia sudah berkeliaran kesana
kemari. Ke panggung lagi lalu berkeliaran lagi.”
Farah tertawa
hambar. “Untung suaminya orangnya sabar.”
Kuanggukkan
kepala menyetujui. “Kamu sendirian, Far?”
Pertanyaanku
terjawab hanya sekedipan mata, Lendi datang melewati pintu. “Ini, jangan sampai
kelupaan lagi,” sebuah handphone berpindah dari tangan Lendi ke Farah yang
hanya terkekeh kecil dan berterimakasih. Tak heran jika seorang Farah melupakan
handphonenya entah dimana.
“Jadi kalian udah
balikan?”
Farah mengangkat
bahu, Lendi menganggukkan kepala. Sedetik kemudian mereka saling melihat satu
sama lain dan Farah pun tertawa.
“Ya begitulah
Nggi. Begitulah— aku nyamperin si Putri dulu ya.”
“Ya, ya.”
Sekilas dari jauh
bisa kulihat Lendi yang harus menuntun langkah terseok-seok Farah, firasatku
mengatakan Farah pasti sedang mengeluhkan sepatu yang ia kenakan pada Lendi dan
Lendi—mungkin hanya akan menertawakannya.
Ketika Putri dan
Farah bertemu tampak sekali gestur kehebohan diantara mereka berdua, lebih
tepatnya gaun cantik yang dikenakan Putri tidak membuat kelakuan Putri seolah
tuan Putri, kebrutalannya menyenggol-nyenggol bahu Farah tak terhentikan.
Bisa kulihat
lambaian tangan Farah yang memintaku datang menyusul, mungkin untuk menyelamatkannya
dari Putri.
“Jadi kamu
balikan akhirnya sama Lendi?”
Farah mengangkat
bahu. Sementara Lendi tak mendengar pertanyaan itu karena sibuk berbincang
dengan mempelai pria, tak ada yang bisa memberikan penjelasan gamblang.
“Apalagi sih yang
kamu ragukan dari dia? Umur kamu udah segini juga lho Far?”
Farah tertawa.
“Iya, iya dia sama aku udah balikan. Sebenarnya udah lamaran juga.”
“Lamaran?”
ulangku meyakinkan, Farah menganggukkan kepala mantap.
“ Parah nih
orang, nggak kabar-kabar lagi,” keluh Putri sembari menunjuk Farah yang hanya
tersenyum simpul.
“Lha ini aku
ngabarin,” Farah tertawa lagi. “Lamarannya baru aja sebelum aku berangkat ke
Jakarta.”
“Berarti sekarang
nggak takut LDR lagi? Buktinya bisa tuh ngejalanin hubungan Jakarta-Semarang,”
Putri kembali menyenggol bahu Farah, menggodanya.
“Ye—itu kan cuma
beberapa hari.”
“Memangnya kamu
masih takut buat LDR? Kalau si Lendi dipindah kerja ke luar kota kamu mau ikut
gitu?”
Farah
menggelengkan kepala. “Nggaklah, aku nggak rela ninggalin kerjaan disini.”
“Terus kalian mau
putus lagi gitu?”
“Nggak juga.”
Aku dan Putri
menunggu jawaban dan penjelasan dari Farah, sahabat yang pelit sekali memberi
informasi. Tatapan kami berdua lurus kepadanya, meminta keterangan lebih
lanjut, bukan sekedar jawaban pendek-pendek yang tak menjelaskan.
“Intinya, aku
udah nggak masalah soal LDR. Dia sudah membuktikannya dengan tetap menjadi single sampai kembali lagi padaku.”
“Kamu nggak tau
kan disana dia tebar pesona kemana-mana,” celetuk Putri.
“Siapa tahu,”
Farah mengangkat bahu, santai.
“Hus! Jangan
gitulah Put,” sela ku. “Terus kalian berencana nikah kapan?”
“Tahun depan.
Kalau tidak ada halangan dan rintangan. Detailnya aku kabarin nanti.”
“Udah macam artis
saja nih orang. Nikah terakhir aja sombong.”
“Biarin dong.
Yang penting nanti nggak akan berakhir,” tawa Farah menular padaku dan Putri,
kami bertiga tertawa hingga menarik perhatian Lendi dan suami Putri yang jelas tak
mengerti apa yang kami tertawakan.
Ketika kami
kembali berpisah ke tugas masing-masing, termasuk diriku di meja buku tamu,
Putri yang menyambut para tamu dan menerima ucapan selamat sementara Farah dan
Lendi menikmati hidangan yang tersedia aku kembali teringat akan kalimat Farah,
beberapa bulan setelah perpisahannya dengan Lendi.
“Kenapa nggak
kamu cari yang baru sih Far? Biasanya kan kamu bisa tiba-tiba dapat yang baru
gitu
aja.”
Farah tertawa
saat itu. Dia baru saja menjawab pertanyaanku tentang Lendi dan dirinya yang
sudah tidak pernah berhubungan lagi, kesibukan membuatnya lupa membalas chat
dan Lendi pun begitu—menurut analisis Farah—.
“Gimana bisa nyari
Nggi, kalau terlanjur menemukan.”
Handphoneku
bergetar beberapa kali, membuatku tersenyum ketika melihat nama yang tercantum
di sana.
“Kamu perlu aku
susul kesana nggak? Urusanku udah kelar nih.”
“Terserah kamu
aja.”
“Berarti iya.
Tunggu aku, 20 menit lagi aku sampai disana.”
Kututup sambungan
telepon setelah ucapan sayang.
Yah, aku
benar-benar mengerti jawaban Farah saat itu. Aku pun tak mungkin kembali
mencari setelah menemukan.
Mungkin ada yang keheranan setelah membaca cerpen ini, bisa membaca bagian yang sebelumnya di sini .
Maka berakhir lah seri Mencari-Menemukan kali ini. Komentar anda sangat ditunggu~
2 komentar :
mulai membaca cerpen ini dengan tambahan bumbu rasa penasaran setelah membaca yang sebelumnya. sekarang rasa penasaran saya sudah terpuaskan, dan mungkin lebih dari itu.
sedikit saja mungkin. masa lalu yang membuat Farah trauma kurang dijelaskan lebih lanjut, padahal di cerita sebelumnya lumayan rinci. tapi sepertinya itu bukan masalah besar sih.
entah kenapa saya tersenyum sendiri ketika membaca cerita ini. semoga penulis juga segera menemukannya...
@properparadox Sebelumnya terimakasih telah membaca cerpen ini dan terimakasih atas semoga-annya. Kalau masa lalu Farah diceritakan jadinya mungkin cerbung, bukan cerpen ._.
Posting Komentar