Sabtu, 27 September 2014

Menemukan


Sekarang aku tahu kenapa wajah Farah terlipat-lipat saat kuserahi tugas sebagai penerima tamu di pernikahanku. Sekarang aku tahu rasanya setelah menghadapi situasi itu sendiri.

“Silahkan diisi Bu, buku tamunya.”

Kuhela napas, melemparkan diri ke atas kursi yang bahkan sampai bergeser menahan beban tubuh, apakah beratku bertambah setelah menikah? Mungkin iya, walaupun Tio bilang tidak.

Hari ini pernikahan Putri dengan laki-laki yang merupakan rekan kerja satu kantornya. Kisah cinta mereka klasik, laki-lakinya menyukai si perempuan, perempuannya menerima, pacaran, lamaran lalu menikah.

Jika dihitung-hitung, pernikahanku dan Putri hanya berjarak 3 bulan, padahal kami tidak pernah berjanji akan menikah di tahun yang sama. Di masa kuliah dulu bahkan tak ada diantara kami yang mengira bahwa kami akan menikah di tahun yang sama, di gedung yang sama pula. Tapi untuk tebakan urutan pernikahan kami sudah menduganya sejak awal, aku yang akan menikah duluan, disusul oleh Putri dan terakhir—

Seharusnya sih Farah, tapi bahkan aku tidak tahu bagaimana kelanjutan kisahnya dengan Lendi. Mengingat kedatangan laki-laki itu ke acara pernikahanku beberapa bulan lalu, pertemuanya dengan Farah yang tampak biasa saja membuatku ragu apakah usahaku mengundang Lendi hari itu benar-benar membawa hasil.

Jika diingat-ingat, sejak dulu Farah memang tidak pernah terbuka tentang hubungan asmaranya. Dia memang tipe perempuan paling santai yang pernah aku kenal, yang paling pelupa yang pernah aku tahu. Dia tidak pernah merasa gundah ketika teman-temannya mengalami masa jomblo tapi bisa jadi secara tiba-tiba statusnya berubah menjadi in relationship tanpa pernah ada tanda-tandanya. Dan Lendi menjadi salah satu laki-laki—dari 3 laki-laki yang pernah berpacaran dengan Farah—yang tiba-tiba dikenalkannya sebagai pacar.

Dan yang tiba-tiba putus menjelang kelulusan.

Anehnya kami berdua—aku dan Putri—tahu kalau mereka putus pun bukan dari Farah sendiri, tapi dari Lendi yang tiba-tiba menghubungi Putri dan meminta kami meluluhkan sifat kepala batu Farah.
Kepala batu yang benar-benar batu.

Dan dari Lendi pula kami tahu penyebab putusnya hubungan mereka berdua bukan karena ketidakcocokan atau salah satu dari mereka berselingkuh tapi karena trauma Farah, karena rasa tidak percaya Farah yang sangat parah.

Farah minta putus begitu mendapat kabar bahwa Lendi akan melanjutkan studi ke Belanda. Farah tidak mau menjalani hubungan antar kota, antar provinsi, apalagi antar negara. Baginya hubungan long distance relationship bukanlah sesuatu yang layak dipertahankan.

“Ya gimana lagi Len. Kamu kan tahu Farah itu kepalanya batu banget, apalagi dia semacam masih punya trauma semenjak putus dari mantannya itu ya putusnya gara-gara LDR, si cowok selingkuh.”

“Ya tapi kan aku nggak bakal kayak gitu juga. Aku kalau ngejalanin hubungan juga serius Put, belajar sampai Belanda pun demi hidup bersama Farah juga kan. Masa depan yang lebih cerah.”

“Kamu udah ngejelasin kayak gitu ke dia?”

“Udah Nggi. Tapi ya gitu, kamu tau kan Farah kayak gimana.”

Aku ingat sekali tampilan Lendi hari itu, rambutnya benar-benar tampak berantakan, beberapa kali pula dia memijat pelipisnya, pangkal hidungnya lalu menghela napas.

Setelah itu mereka benar-benar putus, Farah tidak meralat permintaanya dan Lendi tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan kami sebagai sahabat hanya bisa memberi nasihat yang entah didengarkan oleh Farah atau tidak.

 “Mbak ini tinggal ambil?“

Aku terhenyak selama beberapa detik sebelum menyerahkan sebuah tas belanja yang telah terlipat rapi di dalam plastik bening. Tas belanja sebagai sovenir benar-benar menunjukkan tekad Putri sebagai pecinta lingkungan yang menggiatkan gerakan tanpa plastik, bahkan dirinya sempat mengeluh kenapa harus memasukkan sovenir itu ke dalam plastik bening, kenapa tidak diberikan langsung saja.

 “Ah ya—maaf bu. Ini sovenirnya terimakasih.

Aku melirik ke kiri dan kanan, sepertinya sepupu Putri telah pergi entah kemana, mungkin tadi dia sudah meminta ijin dan aku tak mendengarkan, otakku sibuk memutar memori tentang Lendi dan Farah.

“Anggi!”

Kutolehkan kepala ke arah suara Putri menghampiriku dengan ball gown berwarna putih gading. Memang sahabatku yang satu ini sudah berkata berkali-kali tak akan menjadi orang-orangan sawah yang berdiri di satu tempat atau duduk di satu tempat dalam waktu yang lama di pernikahannya nanti.

“Kok kamu nyamperin aku Put. Tamunya gimana?”

“Santai aja—“

“Suamimu, kamu tinggal begitu aja?”

“Tenang aja, dia lagi ngobrol. Si Farah mana? Udah datang?”

“Belum. Belum keliatan dianya.”

“Kemana tuh orang, jangan-jangan sengaja nggak datang gara-gara takut ditugasin jadi penjaga buku tamu.”

Aku tertawa, Putri memang selalu begitu cepat sekali mengambil kesimpulan. “Dia kan udah bilang bakal telat datang, soalnya pesawatnya di delay. Kejadiannya sama kayak kamu dulu kan?”

“Ya—kebetulannya begitu,” Putri kemudian tersenyum pada seorang tamu yang datang menghampirinya, menerima ucapan selamat dan bercipika-cipiki sementara diriku menyapa seorang tamu lain yang keheranan melihat mempelai wanita bisa berada begitu dekat dengan pintu masuk.

“Kamu yakin mau berlama-lama disini, nanti tamunya pada ngerasa diusir lho udah disambut pengantin di depan pintu.”

“Iya sih. Eh, bentar deh,” Putri mengangkat sedikit ball gown yang ia kenakan lalu melangkah menjauh mengikuti panggilan suaminya. Setelah kepergian bintang utama yang tak mau diam kuperhatikan jam di tangan, sudah menunjukkan pukul 1 siang dan Farah masih belum menampakkan batang hidungnya juga.

Baru saja kuakhiri pertanyaan dalam hatiku ketika Farah datang, mengenakan kebaya berwarna putih gading lengkap dengan tas tangan berwarna hitam kelam, ia tampak terseok-seok ketika berjalan, sepatu hak tinggi benar-benar tak pernah cocok dengan kepribadiannya.

“Maaf terlambat ya Nggi. Delay beneran tadi, si Putri mana?”

Aku menunjuk dengan dagu, Farah mengikuti petunjukku dan berpaling tanpa kesulitan. Jelas dia akan menemukan bintang utama hari ini. “Astaga, itu orang beneran nggak duduk di pelaminan kayak kamu dulu?”

“Beberapa menit awal dia di panggung. Setengah jam kemudian dia sudah berkeliaran kesana kemari. Ke panggung lagi lalu berkeliaran lagi.”

Farah tertawa hambar. “Untung suaminya orangnya sabar.”

Kuanggukkan kepala menyetujui. “Kamu sendirian, Far?”

Pertanyaanku terjawab hanya sekedipan mata, Lendi datang melewati pintu. “Ini, jangan sampai kelupaan lagi,” sebuah handphone berpindah dari tangan Lendi ke Farah yang hanya terkekeh kecil dan berterimakasih. Tak heran jika seorang Farah melupakan handphonenya entah dimana.

“Jadi kalian udah balikan?”

Farah mengangkat bahu, Lendi menganggukkan kepala. Sedetik kemudian mereka saling melihat satu sama lain dan Farah pun tertawa.

“Ya begitulah Nggi. Begitulah— aku nyamperin si Putri dulu ya.”

“Ya, ya.”

Sekilas dari jauh bisa kulihat Lendi yang harus menuntun langkah terseok-seok Farah, firasatku mengatakan Farah pasti sedang mengeluhkan sepatu yang ia kenakan pada Lendi dan Lendi—mungkin hanya akan menertawakannya.

Ketika Putri dan Farah bertemu tampak sekali gestur kehebohan diantara mereka berdua, lebih tepatnya gaun cantik yang dikenakan Putri tidak membuat kelakuan Putri seolah tuan Putri, kebrutalannya menyenggol-nyenggol bahu Farah tak terhentikan.

Bisa kulihat lambaian tangan Farah yang memintaku datang menyusul, mungkin untuk menyelamatkannya dari Putri.

“Jadi kamu balikan akhirnya sama Lendi?”

Farah mengangkat bahu. Sementara Lendi tak mendengar pertanyaan itu karena sibuk berbincang dengan mempelai pria, tak ada yang bisa memberikan penjelasan gamblang.

“Apalagi sih yang kamu ragukan dari dia? Umur kamu udah segini juga lho Far?”
Farah tertawa. “Iya, iya dia sama aku udah balikan. Sebenarnya udah lamaran juga.”

“Lamaran?” ulangku meyakinkan, Farah menganggukkan kepala mantap.

“ Parah nih orang, nggak kabar-kabar lagi,” keluh Putri sembari menunjuk Farah yang hanya tersenyum simpul.

“Lha ini aku ngabarin,” Farah tertawa lagi. “Lamarannya baru aja sebelum aku berangkat ke Jakarta.”

“Berarti sekarang nggak takut LDR lagi? Buktinya bisa tuh ngejalanin hubungan Jakarta-Semarang,” Putri kembali menyenggol bahu Farah, menggodanya.

“Ye—itu kan cuma beberapa hari.”

“Memangnya kamu masih takut buat LDR? Kalau si Lendi dipindah kerja ke luar kota kamu mau ikut gitu?”

Farah menggelengkan kepala. “Nggaklah, aku nggak rela ninggalin kerjaan disini.”

“Terus kalian mau putus lagi gitu?”

“Nggak juga.”

Aku dan Putri menunggu jawaban dan penjelasan dari Farah, sahabat yang pelit sekali memberi informasi. Tatapan kami berdua lurus kepadanya, meminta keterangan lebih lanjut, bukan sekedar jawaban pendek-pendek yang tak menjelaskan.

“Intinya, aku udah nggak masalah soal LDR. Dia sudah membuktikannya dengan tetap menjadi single sampai kembali lagi padaku.”

“Kamu nggak tau kan disana dia tebar pesona kemana-mana,” celetuk Putri.

“Siapa tahu,” Farah mengangkat bahu, santai.

“Hus! Jangan gitulah Put,” sela ku. “Terus kalian berencana nikah kapan?”

“Tahun depan. Kalau tidak ada halangan dan rintangan. Detailnya aku kabarin nanti.”

“Udah macam artis saja nih orang. Nikah terakhir aja sombong.”

“Biarin dong. Yang penting nanti nggak akan berakhir,” tawa Farah menular padaku dan Putri, kami bertiga tertawa hingga menarik perhatian Lendi dan suami Putri yang jelas tak mengerti apa yang kami tertawakan.

Ketika kami kembali berpisah ke tugas masing-masing, termasuk diriku di meja buku tamu, Putri yang menyambut para tamu dan menerima ucapan selamat sementara Farah dan Lendi menikmati hidangan yang tersedia aku kembali teringat akan kalimat Farah, beberapa bulan setelah perpisahannya dengan Lendi.

“Kenapa nggak kamu cari yang baru sih Far? Biasanya kan kamu bisa tiba-tiba dapat yang baru gitu 
aja.”

Farah tertawa saat itu. Dia baru saja menjawab pertanyaanku tentang Lendi dan dirinya yang sudah tidak pernah berhubungan lagi, kesibukan membuatnya lupa membalas chat dan Lendi pun begitu—menurut analisis Farah—.

“Gimana bisa nyari Nggi, kalau terlanjur menemukan.”

Handphoneku bergetar beberapa kali, membuatku tersenyum ketika melihat nama yang tercantum di sana.

“Kamu perlu aku susul kesana nggak? Urusanku udah kelar nih.”

“Terserah kamu aja.”

“Berarti iya. Tunggu aku, 20 menit lagi aku sampai disana.”

Kututup sambungan telepon setelah ucapan sayang.

Yah, aku benar-benar mengerti jawaban Farah saat itu. Aku pun tak mungkin kembali mencari setelah menemukan.


 Mungkin ada yang keheranan setelah membaca cerpen ini, bisa membaca bagian yang sebelumnya di sini . 
Maka berakhir lah seri Mencari-Menemukan kali ini. Komentar anda sangat ditunggu~ 


2 komentar :

properparadox at: 28 September 2014 pukul 18.54 mengatakan... Reply

mulai membaca cerpen ini dengan tambahan bumbu rasa penasaran setelah membaca yang sebelumnya. sekarang rasa penasaran saya sudah terpuaskan, dan mungkin lebih dari itu.

sedikit saja mungkin. masa lalu yang membuat Farah trauma kurang dijelaskan lebih lanjut, padahal di cerita sebelumnya lumayan rinci. tapi sepertinya itu bukan masalah besar sih.

entah kenapa saya tersenyum sendiri ketika membaca cerita ini. semoga penulis juga segera menemukannya...

Vanessa Praditasari at: 13 Juli 2015 pukul 20.45 mengatakan... Reply

@properparadox Sebelumnya terimakasih telah membaca cerpen ini dan terimakasih atas semoga-annya. Kalau masa lalu Farah diceritakan jadinya mungkin cerbung, bukan cerpen ._.

Posting Komentar

Beo Terbang