Hari ini
seseorang menghampiriku, perempuan dengan rambut sebahu yang tersenyum sambil
menyodorkan selembar kertas. Kuesioner katanya. Dia memintaku mengisinya sambil
menyodorkan sebuah bulpen berwarna merah muda.
“Kuesioner untuk
apa ini?”
Dia hanya
memamerkan lengkungan yang membentuk bibirnya, menjawab singkat dan memintaku
untuk mengisi kuesioner yang telah ada digenggamanku sebelum perempuan itu
berlalu dan menghampiri orang lain yang mengabaikannya tanpa menoleh. Kutatap
lembaran kertas di atas pangkuan, tak apalah pikirku sekedar untuk mengisi
waktu.
Hari ini matahari
bersembunyi dan langit tampak seperti gulungan kapas bekas makeup. Kotor dan
gelap. Aku bersiap untuk pulang sebenarnya, meninggalkan taman yang mulai
senyap tapi perempuan itu datang dan aku memilh untuk tinggal menjawab
pertanyaan demi pertanyaan pada selembar kertas.
Tak ada nama, tak
ada identitas pengisi, kuesioner ini dipenuhi dengan pertanyaan yang menarik.
Apa status anda saat ini?
Aku tersenyum
sekilas sebelum menuliskan jawaban yang kuanggap sedikit dramatis dan penuh
curhatan. Tak ada identitas yang kutuliskan membuatku lebih tenang
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pribadi sekalipun.
Baru saja membatalkan rencana pernikahan (single)
Kudongakkan
kepala mengingat beberapa hal yang sudah kubereskan beberapa bulan lalu—ya,
sudah beberapa bulan lalu ternyata. Enam bulan kah, delapan bulan kah.
Setelah sepakat
untuk membatalkan pernikahan kami, dia berterimakasih padaku, mengecup keningku
untuk yang terakhir kalinya dan berkata, “Maaf untuk 7 tahun yang kau
sia-siakan bersamaku.”
Kemudian dia
meninggalkanku sendiri di teras rumah sebelum hujan datang, sebelum air mata ku
tumpah ruah tak terkendali. Aku tak menyesali keputusanku saat itu, hanya saja kurasakan kehancuran semua bayangan yang kubangun bersamanya, seperti
pecahan kaca yang jatuh berkeping-keping menimpa setiap bagian dari tubuhku
yang gemetar meminta pertolongan.
Keesokan harinya
aku meminta ijin kepada manajer HRD kantor, surat kulayangkan melalui email dan
kuminta ijin satu hari off dari
tuntutan pekerjaan. Melalui saluran telpon manajerku bertanya dengan nada menggoda.
“Wah, enak ya
yang mau nikah. Pasti minta cuti buat persiapan nikah kan?”
Aku hanya tertawa, tak ingin menjelaskan apapun kubiarkan manajerku mengambil
kesimpulan sendiri. Membiarkannya memberikan ucapan selamat dan mendoakan
semoga persiapanku berjalan lancar. Aku berterimakasih padanya, lalu menutup
telpon dan kembali mengompres mataku yang bengkak sebelum menuju ke gedung
pernikahan yang aku dan mantan calon suamiku pesan.
Di hari itu aku
membatalkan pesanan gedung, gaun, katering tanpa menjawab pertanyaan mereka apakah pernikahanku ditunda. Tidak masalah
jika akan ditunda kata mereka, tidak perlu dibatalkan jelasnya lagi, cukup
sebutkan tanggal pernikahan yang baru maka mereka akan menyiapkan jadwal dan
permintaan sesuai pesananku.
“Tidak perlu.
Saya hanya ingin membatalkan pesanan.”
Setelah mendengar
pernyataanku, mereka terdiam seolah mengerti. Mereka mengangguk penuh simpati
seakan paham. Atau mungkin mereka benar-benar paham karena aku bukan perempuan
pertama yang datang dengan mata sembab dan membatalkan setiap persiapan
pernikahan.
Berapa tahun hubungan terlama yang pernah anda
jalani?
Aku menuliskan
angka 7 dan tahun di atas kertas. Ketika melihatnya di atas kertas angka 7 itu
terasa banyak, sementara bagiku angka 7 terasa seperti kejapan mata,
terlebih ketika semuanya telah berakhir.
Hubunganku dan mantan calon suamiku dimulai
sejak SMA kelas 2 walaupun aku mengenalnya sejak SMP. Kami baru benar-benar
dekat ketika berada di kelas yang sama dan akhirnya berkomitmen untuk
meninggalkan status jomblo setelah dia menyatakan perasaannya padaku di malam
perpisahan kelas. Kami mengobrol banyak saat itu, ketika langit telah gelap dan
kami semua bersiap untuk pulang. Aku masih mengingat dengan baik suasana saat
itu, angin malam bertiup sesekali menerpa rambutku, langit tak ditemani kerlip
bintang namun bulan bersinar terang berbentuk bulat penuh di langit sana. Dia
menanyakan banyak hal saat itu sampai membuatku mengulangi jawaban yang sama. Bertanya apakah dia boleh mengantarku pulang dan aku
mengiyakan, bertanya apa dia boleh meminjam handphoneku dan aku iyakan, bertanya
apakah aku suka bulan malam ini dan aku iyakan, terakhir ketika dia bertanya apakah dirinya boleh menjadi pacarku, tanpa sadar kuiyakan pula.
Aku ingat senyumnya malam itu, senyum usil khas miliknya yang jika telah lama lenyap seiring kedewasaannya, aku ingat pula rasanya ketika dahiku berkerut-kerut dan kuminta ia untuk
mengulang pertanyaannya. Astaga-- ingatan itu masih memaksaku untuk tersenyum, aku tak pernah menyesali malam itu
sebenarnya, malam dimana spontanitas hanyalah milik dirinya dan aku terbawa
ke dalamnya.
Aku terkekeh
geli, membayangkan masa-masa SMA ketika kami memutuskan untuk berpacaran,
bertingkah seperti anak baru gede dengan otak penuh romansa percintaan, kata
sayang kadang terlontar malu-malu, menghindari perhatian teman satu sekolah
agar tak menjadi bahan guyonan, menghabiskan waktu berdua sepulang sekolah, menunda
waktu untuk kembali ke rumah, bertengkar karena hal-hal kecil dan terhibur
karena hadiah-hadiah kecil.
Selama 7 tahun
itu aku dan dia mengalami perubahan hubungan dari romansa picisan ABG ke
hubungan jarak jauh dan kembali lagi bertemu untuk merancang masa depan bersama.
Semuanya berjalan lancar, kami disebut-sebut sebagai pasangan paling langgeng,
beberapa teman kuliahku sudah menagih undangan pernikahan ketika aku menanmbah
gelar di belakang nama. Kata mereka aku tinggal menikah saja begitu dia lulus
dan aku hanya menertawai ucapan mereka.
Aku tak akan
menikah sebelum usia 25 tahun, pikirku saat itu.
Dia pun
berpikiran sama, kami sepakat, kami sejalan semua baik-baik saja.
Apa yang menyebabkan hubungan anda yang paling
lama itu berakhir?
Akan butuh lama
untuk menuliskannya tapi mungkin 1 kata akan menggambarkan semuanya.
Ego
Ketika itu kami
sepakat baru akan menikah di usia 25 tahun tapi laki-laki yang dulu katanya
mencintaiku, lebih cepat mapan daripada dugaan kami. Dia mendapatkan pekerjaan
di lingkungan yang menjanjikan gaji tinggi dan tunjangan yang cukup bagi
keluarga kecilnya nanti, dia sudah merasa mantap. Usia kami 23 tahun saat itu
dan aku masih tergila-gila dengan pekerjaanku ketika dia melamarku dan aku
menolaknya, memintanya untuk sabar menunggu.
Kadang keputusanku
saat itu membuatku bertanya-tanya. Salahkah aku waktu itu? Jika aku menerima
lamarannya mungkin kami sudah memiliki seorang anak saat ini entah anak
laki-laki atau perempuan yang mirip aku atau dirinya.
Kuhela napas,
mendongakkan kepala kembali, langit masih tampak sama, begitu pula matahari,
mungkin sebenarnya hatiku pun begitu padanya sampai saat ini, masih seperti 7
tahun yang lalu tapi—hatinya yang berubah.
Dia akhirnya menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain setelah kami menentukan tanggal pernikahan, memesan gedung, gaun dan
segala persiapan lainnya. Aku memang menanyakan apakah ada masalah setiap kali dia
datang padaku dengan ekspresi penuh kesedihan dan senyuman sekedarnya. Aku tahu
dia menyimpan sesuatu dan siap memuntahkannya saat itu.
“Apakah kau
mencintaiku?”
“Tentu saja.”
“Tapi aku tidak.
Maaf.”
Seperti halnya
ketika dia menyatakan perasaannya padaku, butuh waktu beberapa menit untuk
mencerna kalimat yang diucapkannya, cerita yang disampaikannya tentang seorang
perempuan teman kerjanya yang ia kenal 2 tahun lalu. Ya, mereka memang dekat
dan aku mengenal perempuan itu, tapi tak kusangka 2 tahun yang diberikan
perempuan itu sanggup mengganti 7 tahun yang kuberikan padanya.
“Apa maksudmu?”
“Aku ingin membatalkan
pernikahan kita.”
Dia menggenggam
erat tanganku saat itu dan berkata maaf. Dia mengulang kalimat yang tidak
pernah ingin kudengar dari mulutnya.
“Aku tidak
mencintaimu lagi.”
Dia butuh 7 tahun
untuk menyadari itu.
“Maaf mbak, sudah
selesai?”
Perempuan berambut
pendek itu menunduk, tersenyum kepadaku, menyadarkanku kembali pada flashback singkat yang sudah tak terasa
menyakitkan. “Belum mbak, kurang 1 pertanyaan lagi.”
Perempuan itu
menganggukkan kepala lalu meninggalkanku.
Apa kalimat yang paling anda ingat selama ini
mengenai hubungan anda?
Aku menghela
napas lalu menuliskan kalimat yang ia katakan padaku saat itu,
Aku tidak ingin
menyalahkanmu tapi seandainya kau terima lamaranku waktu itu aku tidak akan
memberi kesempatan pada dia untuk menggantikanmu. Tapi mungkin ini yang terbaik
untuk kita, aku tidak ingin menyakitimu lebih lama lagi
Setelah itu aku
berdiri dari bangku taman, menghampiri perempuan berambut sebahu yang kemudian
berterimakasih padaku dan berkata
“Semoga anda
berbahagia.”
Aku tersenyum, berbalik meninggalkan perempuan itu, meninggalkan taman dan langit yang mendung,
meninggalkan secuil kesedihan di atas kertas yang kuberikan padanya.
2 komentar :
nah itu tahu :p
@Heri I. Wibowo Apaan? -_-
Posting Komentar