Kamis, 12 Maret 2015

Kuesioner: Ego


Hari ini seseorang menghampiriku, perempuan dengan rambut sebahu yang tersenyum sambil menyodorkan selembar kertas. Kuesioner katanya. Dia memintaku mengisinya sambil menyodorkan sebuah bulpen berwarna merah muda.

“Kuesioner untuk apa ini?”

Dia hanya memamerkan lengkungan yang membentuk bibirnya, menjawab singkat dan memintaku untuk mengisi kuesioner yang telah ada digenggamanku sebelum perempuan itu berlalu dan menghampiri orang lain yang mengabaikannya tanpa menoleh. Kutatap lembaran kertas di atas pangkuan, tak apalah pikirku sekedar untuk mengisi waktu.

Hari ini matahari bersembunyi dan langit tampak seperti gulungan kapas bekas makeup. Kotor dan gelap. Aku bersiap untuk pulang sebenarnya, meninggalkan taman yang mulai senyap tapi perempuan itu datang dan aku memilh untuk tinggal menjawab pertanyaan demi pertanyaan pada selembar kertas.

Tak ada nama, tak ada identitas pengisi, kuesioner ini dipenuhi dengan pertanyaan yang menarik. 

Apa status anda saat ini?

Aku tersenyum sekilas sebelum menuliskan jawaban yang kuanggap sedikit dramatis dan penuh curhatan. Tak ada identitas yang kutuliskan membuatku lebih tenang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pribadi sekalipun.

Baru saja membatalkan rencana pernikahan (single)

Kudongakkan kepala mengingat beberapa hal yang sudah kubereskan beberapa bulan lalu—ya, sudah beberapa bulan lalu ternyata. Enam bulan kah, delapan bulan kah.

Setelah sepakat untuk membatalkan pernikahan kami, dia berterimakasih padaku, mengecup keningku untuk yang terakhir kalinya dan berkata, “Maaf untuk 7 tahun yang kau sia-siakan bersamaku.”

Kemudian dia meninggalkanku sendiri di teras rumah sebelum hujan datang, sebelum air mata ku tumpah ruah tak terkendali. Aku tak menyesali keputusanku saat itu, hanya saja kurasakan kehancuran semua bayangan yang kubangun bersamanya, seperti pecahan kaca yang jatuh berkeping-keping menimpa setiap bagian dari tubuhku yang gemetar meminta pertolongan.

Keesokan harinya aku meminta ijin kepada manajer HRD kantor, surat kulayangkan melalui email dan kuminta ijin satu hari off dari tuntutan pekerjaan. Melalui saluran telpon manajerku bertanya dengan nada menggoda.

“Wah, enak ya yang mau nikah. Pasti minta cuti buat persiapan nikah kan?”

Aku hanya tertawa, tak ingin menjelaskan apapun kubiarkan manajerku mengambil kesimpulan sendiri. Membiarkannya memberikan ucapan selamat dan mendoakan semoga persiapanku berjalan lancar. Aku berterimakasih padanya, lalu menutup telpon dan kembali mengompres mataku yang bengkak sebelum menuju ke gedung pernikahan yang aku dan mantan calon suamiku pesan.

Di hari itu aku membatalkan pesanan gedung, gaun, katering tanpa menjawab pertanyaan mereka apakah pernikahanku ditunda. Tidak masalah jika akan ditunda kata mereka, tidak perlu dibatalkan jelasnya lagi, cukup sebutkan tanggal pernikahan yang baru maka mereka akan menyiapkan jadwal dan permintaan sesuai pesananku.

“Tidak perlu. Saya hanya ingin membatalkan pesanan.”

Setelah mendengar pernyataanku, mereka terdiam seolah mengerti. Mereka mengangguk penuh simpati seakan paham. Atau mungkin mereka benar-benar paham karena aku bukan perempuan pertama yang datang dengan mata sembab dan membatalkan setiap persiapan pernikahan.

Berapa tahun hubungan terlama yang pernah anda jalani?

Aku menuliskan angka 7 dan tahun di atas kertas. Ketika melihatnya di atas kertas angka 7 itu terasa banyak, sementara bagiku angka 7 terasa seperti kejapan mata, terlebih ketika semuanya telah berakhir.

Hubunganku dan mantan calon suamiku dimulai sejak SMA kelas 2 walaupun aku mengenalnya sejak SMP. Kami baru benar-benar dekat ketika berada di kelas yang sama dan akhirnya berkomitmen untuk meninggalkan status jomblo setelah dia menyatakan perasaannya padaku di malam perpisahan kelas. Kami mengobrol banyak saat itu, ketika langit telah gelap dan kami semua bersiap untuk pulang. Aku masih mengingat dengan baik suasana saat itu, angin malam bertiup sesekali menerpa rambutku, langit tak ditemani kerlip bintang namun bulan bersinar terang berbentuk bulat penuh di langit sana. Dia menanyakan banyak hal saat itu sampai membuatku mengulangi jawaban yang sama. Bertanya apakah dia boleh mengantarku pulang dan aku mengiyakan, bertanya apa dia boleh meminjam handphoneku dan aku iyakan, bertanya apakah aku suka bulan malam ini dan aku iyakan, terakhir ketika dia bertanya apakah dirinya boleh menjadi pacarku, tanpa sadar kuiyakan pula.

Aku ingat senyumnya malam itu, senyum usil khas miliknya yang jika  telah lama lenyap seiring kedewasaannya, aku ingat pula rasanya ketika dahiku berkerut-kerut dan kuminta ia untuk mengulang pertanyaannya. Astaga-- ingatan itu masih memaksaku untuk tersenyum, aku tak pernah menyesali malam itu sebenarnya, malam dimana spontanitas hanyalah milik dirinya dan aku terbawa ke dalamnya.

Aku terkekeh geli, membayangkan masa-masa SMA ketika kami memutuskan untuk berpacaran, bertingkah seperti anak baru gede dengan otak penuh romansa percintaan, kata sayang kadang terlontar malu-malu, menghindari perhatian teman satu sekolah agar tak menjadi bahan guyonan, menghabiskan waktu berdua sepulang sekolah, menunda waktu untuk kembali ke rumah, bertengkar karena hal-hal kecil dan terhibur karena hadiah-hadiah kecil.

Selama 7 tahun itu aku dan dia mengalami perubahan hubungan dari romansa picisan ABG ke hubungan jarak jauh dan kembali lagi bertemu untuk merancang masa depan bersama. Semuanya berjalan lancar, kami disebut-sebut sebagai pasangan paling langgeng, beberapa teman kuliahku sudah menagih undangan pernikahan ketika aku menanmbah gelar di belakang nama. Kata mereka aku tinggal menikah saja begitu dia lulus dan aku hanya menertawai ucapan mereka.

Aku tak akan menikah sebelum usia 25 tahun, pikirku saat itu.

Dia pun berpikiran sama, kami sepakat, kami sejalan semua baik-baik saja.

Apa yang menyebabkan hubungan anda yang paling lama itu berakhir?

Akan butuh lama untuk menuliskannya tapi mungkin 1 kata akan menggambarkan semuanya.

Ego

Ketika itu kami sepakat baru akan menikah di usia 25 tahun tapi laki-laki yang dulu katanya mencintaiku, lebih cepat mapan daripada dugaan kami. Dia mendapatkan pekerjaan di lingkungan yang menjanjikan gaji tinggi dan tunjangan yang cukup bagi keluarga kecilnya nanti, dia sudah merasa mantap. Usia kami 23 tahun saat itu dan aku masih tergila-gila dengan pekerjaanku ketika dia melamarku dan aku menolaknya, memintanya untuk sabar menunggu.

Kadang keputusanku saat itu membuatku bertanya-tanya. Salahkah aku waktu itu? Jika aku menerima lamarannya mungkin kami sudah memiliki seorang anak saat ini entah anak laki-laki atau perempuan yang mirip aku atau dirinya.

Kuhela napas, mendongakkan kepala kembali, langit masih tampak sama, begitu pula matahari, mungkin sebenarnya hatiku pun begitu padanya sampai saat ini, masih seperti 7 tahun yang lalu tapi—hatinya yang berubah.

Dia akhirnya menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain setelah kami menentukan tanggal pernikahan, memesan gedung, gaun dan segala persiapan lainnya. Aku  memang menanyakan apakah ada masalah setiap kali dia datang padaku dengan ekspresi penuh kesedihan dan senyuman sekedarnya. Aku tahu dia menyimpan sesuatu dan siap memuntahkannya saat itu.

“Apakah kau mencintaiku?”

“Tentu saja.”

“Tapi aku tidak. Maaf.”

Seperti halnya ketika dia menyatakan perasaannya padaku, butuh waktu beberapa menit untuk mencerna kalimat yang diucapkannya, cerita yang disampaikannya tentang seorang perempuan teman kerjanya yang ia kenal 2 tahun lalu. Ya, mereka memang dekat dan aku mengenal perempuan itu, tapi tak kusangka 2 tahun yang diberikan perempuan itu sanggup mengganti 7 tahun yang kuberikan padanya.

“Apa maksudmu?”

“Aku ingin membatalkan pernikahan kita.”

Dia menggenggam erat tanganku saat itu dan berkata maaf. Dia mengulang kalimat yang tidak pernah ingin kudengar dari mulutnya.

“Aku tidak mencintaimu lagi.”

Dia butuh 7 tahun untuk menyadari itu.

“Maaf mbak, sudah selesai?”

Perempuan berambut pendek itu menunduk, tersenyum kepadaku, menyadarkanku kembali pada flashback singkat yang sudah tak terasa menyakitkan. “Belum mbak, kurang 1 pertanyaan lagi.”

Perempuan itu menganggukkan kepala lalu meninggalkanku.

Apa kalimat yang paling anda ingat selama ini mengenai hubungan anda?

Aku menghela napas lalu menuliskan kalimat yang ia katakan padaku saat itu,

Aku tidak ingin menyalahkanmu tapi seandainya kau terima lamaranku waktu itu aku tidak akan memberi kesempatan pada dia untuk menggantikanmu. Tapi mungkin ini yang terbaik untuk kita, aku tidak ingin menyakitimu lebih lama lagi

Setelah itu aku berdiri dari bangku taman, menghampiri perempuan berambut sebahu yang kemudian berterimakasih padaku dan berkata

“Semoga anda berbahagia.”

Aku tersenyum, berbalik meninggalkan perempuan itu, meninggalkan taman dan langit yang mendung, meninggalkan secuil kesedihan di atas kertas yang kuberikan padanya.


2 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang