Senin, 27 April 2015

Aku Tidak Akan Mencintainya Lagi


Aku kira cerita tentang dua orang yang saling mencintai namun tak bisa bersatu hanyalah kisah yang dibesar-besarkan, layaknya Romeo dan Juliet yang hanya bisa dipersatukan maut. Pada akhirnya pikiran sempitku menyimpulkan bahwa salah satu pihak memang tidak lebih mencintai dibanding pihak yang lain. Sementara pihak yang lain dipenuhi luka-luka yang entah kapan keringnya.
Tapi memang kisah seperti itu benar adanya. Pikiran sempitku terkalahkan oleh kenyataan yang ada. Jika kau tanyakan apakah perasaan itu menyakitiku maka kujawab tidak, tapi jika kau tanyakan apakah kenyataannya membuatku seolah terhempas—ya begitulah.
Hari itu kami bertemu dengan agenda mengobrol seperti biasa. Seperti chat yang sering kami tukar setiap malam atau teleponku yang kadang membangunkan, sms yang kadang dikirimkannya di saat suntuk atau pertemuan secara tiba-tiba karena undangannya. Singkatnya kami memang sering mengobrolkan banyak hal nyaris setiap hari. Dari mulai topik paling hangat yang dibahas di koran pagi sampai obrolan konyol tentang cara memusnahkan kecoa terbang dari muka bumi.
Dia datang lebih dulu memang, di cafe tempat kami biasa bertemu dengan pesanan yang sama—segelas ice strawberry tea, dia tersenyum menyambutku dan aku hanya membalas senyumnya sekedar saja. Mataku memang sembab dan sepertinya dia menyadari itu, tapi dia diam saja tak berkomentar seperti biasanya. Dia jelas sadar bahwa dia yang menyebabkan mataku tampak tak indah hari ini.
Mau pesan apa?
Dia bertanya mencoba memulai pembicaraan dan aku menjawab dengan cepat bahwa aku tidak ingin memesan apapun, dia bertanya kenapa, kujawab tak apa. Agenda untuk mengobrol seperti biasanya, runtuh menjadi keheningan yang membuatku ingin menyingkir dari hadapannya.
Apa yang membuatmu jatuh cinta?
Mataku teralih padanya yang membaca tagline dari sebuah baliho besar yang terpampang di atas gedung tepat di sebrang cafe. Iklan sebuah produk kosmetik yang berjanji akan memutihkan kulit dalam waktu dua minggu.
Kuhela napas, dia sudah pernah bercerita padaku bahwa dia membenci suasana canggung penuh keheningan dan sejak tadi aku sudah melihat usahanya memulai pembicaraan. Tentu saja sebagai wanita dewasa aku harus menanggapinya, membuatnya senang. Sebagai teman yang baik pula aku harus membuatnya menghindari suasana canggung yang ia benci.
Ah—betapa dewasanya diriku.
Menurutmu apa jawabannya?
Aku bertanya padanya, menanyakan kelanjutan dari tagline produk kecantikan itu. Biasanya topik seperti ini akan menjadi topik hangat bagi kami berdua bahkan sesekali jantungku berdegup kencang setiap kali dia menceritakan kriteria wanita idamannya. Bodohnya aku waktu itu.
Kau dulu yang menjawab
Dia tersenyum. Dari caranya memandangiku aku tahu dia sedang menggodaku, memancingku dengan tatapan yang seolah berkata aku tertarik padamu padahal semua itu hanya ilusi yang kubuat sendiri. Ya dia memang tertarik tapi tak seperti yang kuharapkan.
Apa yang membuatku jatuh cinta? Obrolan yang menyenangkan, mungkin—
Dia mengerutkan dahi. Menanyakan padaku, kenapa mungkin? Kenapa aku terlihat tak yakin, tak seperti beberapa hari lalu ketika kami membahas hal yang sama.
Maka kali ini aku yang akan menggodanya, memancing rasa bersalahnya.
Karena kau yang membuatku tak yakin.
Saat dia menoleh mengalihkan pandangan, kukira akan muncul kepuasan dalam hatiku, kepuasan karena telah membuatnya merasa bersalah atas pernyataan yang dia berikan dua hari lalu. Tapi nyatanya tidak, rasa bersalahnya membuat luka di hatiku semakin besar. Berdarah dimana-mana.
Maka sebelum potongan kata maaf keluar dari mulutnya. Kutagih jawaban dari pertanyaan yang kuajukan padanya.
Lalu apa yang membuatmu jatuh cinta?
Dia menjawab
Kamu
Matanya menatapku lurus-lurus seolah takut aku lenyap darinya. Kenyataannya memang begitu. Aku akan lenyap darinya tepat di saat kakiku sanggup berdiri dan bibirku mampu mengatakan kalimat yang terlintas di pikiranku saat ini.
Kau ini benar-benar tidak bertanggungjawab ya
Ketika aku melangkah pergi, dia tidak menahanku, memang seharusnya tidak. Jika dia menahanku entah apa yang akan aku lakukan padanya, mencakar habis mukanya atau menendang kemaluannya, mengumpat dan mencaci maki dirinya. Kenapa tidak dia tanggung sendiri saja perasaannya, aku tidak mau dilibatkan pada perasaan yang merepotkan—Jika ingin berbuat jahat lakukan sepenuhnya, jangan menjelaskan dan meminta maaf seperti yang dilakukannya dua hari lalu. Lagipula untuk apa pengakuan yang dia berikan padaku jika pada akhirnya akan seperti ini.
Langkah kakiku memelan menandakan akal sehat yang mulai datang, langit yang mendung mengundangku untuk mendongakkan kepala, memunculkan kembali pertanyaan yang menjadi bahan pembicaraan tadi.
Aku tidak berbohong soal obrolan yang menyenangkan dan aku memang sudah mengatakan sebelumnya bahwa aku bisa jatuh cinta karena obrolan yang menyenangkan. Lalu dia bertanya padaku dua hari lalu
Apakah obrolan diantara kita menyenangkan?
Tentu saja
Dan apakah kau jatuh cinta padaku?
Tak kujawab pertanyaannya saat itu tapi dia menjawab pertanyaannya sendiri.
Mungkin aku yang jatuh cinta padamu.
Manis sekali kan—kutendang sebuah batu di pedestrian yang melesat entah kemana, tak ingin kukejar, kutendang batu lainnya. Bodoh sekali saat itu diriku.
Lalu bagaimana jika kau tidak bisa mendapatkan obrolan yang menyenangkan dari orang yang katanya membuatmu jatuh cinta itu?
Entahlah, aku belum membayangkannya.
Kalau begitu akan kubuat kau memikirkan solusinya.
Setelah itu dia berkata padaku bahwa pada saat pertemuan pertama kami, di sebuah galeri seni tempat kami memandangi sebuah lukisan dengan tatapan bodoh karena tak mengerti, sebenarnya dia sedang menunggu seorang perempuan yang berjanji akan menemuinya hari itu—tebak siapa.
Tunangannya.
Berasal dari keluarga kaya pertunangannya adalah kebetulan yang dijadikan sebagai sebuah strategi untuk memperkuat jaringan. Dirinya dan tunangannya memang sepasang kekasih sejak lama tapi siapa yang menyangka bahwa ikatan yang diresmikan dalam bentuk yang sedikit lebih resmi namun di latarbelakangi bisnis membuat perasaanya memudar. Itu kisahnya—entah aku harus percaya atau tidak.
Katanya pertemuanku dengannya saat itu, obrolan kami berdua yang sama-sama buta seni namun harus menghadapi teman yang seorang pecinta seni—obrolan yang kemudian berlanjut menjadi pembicaraan panjang, hanyalah sebuah keisengan karena ia mulai bosan dengan tunangannya. Dengan hubungan yang awalnya murni namun bercampur dengan urusan keluarga.
Tapi dia tidak menyangka keisengannya akan menjadi suatu masalah baginya. Yang menjadi masalah bagiku juga. Dia membuat mataku sembab, dia membuatku mengingat pertanyaan semacam bagaimana jika orang yang membuatku jatuh cinta tidak membuatku jatuh cinta lagi? Karena tidak ada obrolan yang menyenangkan lagi?
Aku mendengus, jelas saja dia tidak bisa memberikanku obrolan yang menyenangkan. Toh dia akan sibuk mengurusi persiapan pernikahannya.
Kuambil selembar kertas yang ia berikan dua hari lalu. Sebuah undangan. Pernikahannya.
Langit yang mendung membawa angin yang ganas hari ini. Angin yang membantuku menerbangkan lembaran berwarna putih yang bertuliskan namanya—dan tentu saja nama calon isterinya.
Apa yang membuatmu jatuh cinta?
Obrolan yang menyenangkan.
Lalu bagaimana jika tidak ada obrolan yang menyenangkan lagi diantara kamu dan orang yang membuatmu jatuh cinta?

Aku tidak akan mencintainya lagi. 

6 komentar :

Heri I. Wibowo at: 28 April 2015 pukul 10.24 mengatakan... Reply

Nes, sepertinya saya ingin kau menuliskan cerita tentang saya :)

Unknown at: 2 Juni 2015 pukul 00.36 mengatakan... Reply

Loh, ini bukan lanjutan dari cerpen yang terakhir kali ya nes? Haha, habis pertanyaannya sama. Kamu cocok kayaknya bikin cerpen pake prompt: Apa yang membuatmu jatuh cinta? Dua cerpen kamu pake kalimat itu dan dua-duanya bikin aku melongo-tersipu malu (aih) gitu.... :"""D

Tapi favoritku yang ini sih XD

Vanessa Praditasari at: 13 Juli 2015 pukul 20.38 mengatakan... Reply

@Heri I. Wibowo Maaf her, entah kenapa karaktermu nggak masuk sama sekali di imajinasiku ._.

Vanessa Praditasari at: 13 Juli 2015 pukul 20.39 mengatakan... Reply

@Hilwy Al Hanin Iya nin bukan lanjutannya cuma pake prompt yang sama, hihihi makasih yaaa udah mau baca *peluk peluk*

Tiara Kurnia Candra at: 2 September 2015 pukul 19.56 mengatakan... Reply

Oke aku udah baca nes. Dan aku kesel ama cowonya. Tapi mungkin kalo dibikin rada panjangan dikit bakal lebih dapet nyeseknya, lebih dalem lukanya dan lebih menusuk nusuk. Tapi ya ini cerpen sih ya, jadi ya pendek. Bagus kok aku suka. Awaw </3

Vanessa Praditasari at: 2 September 2015 pukul 20.23 mengatakan... Reply

@Tiara Kurnia Candra Aaaaa~ makasih tir komennya :"

Seneng juga bisa bikin kamu suka bacanya :"

Posting Komentar

Beo Terbang