Kamis, 22 Oktober 2015

Kalau Mati, ya Mati


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Hari itu siang, terik. Matahari di kota ini bagaikan beranak pinak, bertambah jumlahnya. Demi menghindari sengatan matahari yang membakar, sebagian orang memilih untuk berteduh dibandingkan meneruskan perjalanan. Cafe pun  menjadi salah satu tujuan, tempat untuk mengeluhkan panas maupun masalah yang merepotkan. Sekedar menikmati segelas air dingin diiringi alunan musik dan obrolan ringan.

“Parah ya. Harusnya nggak usah pake nerobos lampu merah tadi. Ketilang kan kita.”

Suara pintu yang berderit dan keluhan yang tak serupa teriakan, menjadi bagian dari riuh obrolan di dalam cafe. Sepasang laki-laki dan perempuan yang tampak kusut wajahnya, melangkah menuju sebuah kursi kosong di sudut cafe. Si perempuan memutuskan untuk membuka dompetnya sembari berjalan, mengecek isinya yang telah dikorbankan demi mempermudah proses hukum.

“Nih, dompet aku makin tipis aja isinya. Salahmu sih pake ketilang segala,” perempuan itu merajuk, menarik perhatian beberapa penghuni cafe  yang kemudian mengabaikannya. Si laki-laki tampak tak nyaman dan memutuskan untuk melangkah lebih cepat menuju tempat duduk yang kosong.

Lirih, laki-laki itu mengajukan pembelaan. “Ya mau gimana lagi, biasanya daerah situ kosong kok. Nggak ada polisinya. Tadi juga sepi kan.”

“Ih tapi kan lumayan. Padahal niatnya uang itu buat beli lava cake yang katanya enak itu.”

Seorang penghuni cafe, meletakkan sendoknya setelah menghabiskan lava cake pesanan. Perhatiannya sempat teralih dari hidangan nikmat yang telah tandas, ke pasangan muda-mudi yang berjalan melewati kursinya. Sempat ia terkikik geli melihat tingkah keduanya. Tak tampak seperti bocah labil tapi memamerkan pertengkaran layaknya drama televisi, hanya karena masalah uang tilang.

“Tapi uang tilang kan lumayan,” teman dari penghuni cafe yang sempat menikmati lava cake, menimpali lalu berdiri dari duduk, melangkah menuju kasir.  

Penghuni cafe—si penikmat lava cake, menyusul temannya dan kembali berpendapat. “Iya sih, tapi lucu aja ngeliat mereka ribut sambil jalan gitu. Apalagi yang cewek, ngambek bener keliatannya.”

Setelah membayar, kedua perempuan itu memutuskan untuk meninggalkan cafe. Tangan teman si penikmat lava cake menyentuh pintu masuk cafe. Hendak menarik gagang pintu, sebelum terhenti sejenak dan menoleh. “Kamu mau nebeng kan? Bawa helm nggak?”

“Nggak.”

Teman si penikmat lava cake, mendecakkan lidah sembari menarik pintu dan keluar dari cafe. “Denger nggak tadi, mereka kena tilang karena ngelanggar lampu. Kita bisa kena tilang karena kamu nggak pake helm.”

“Halah,” si penikmat lava cake mengibaskan tangannya. “Nanti aku bayar, santai aja. Nggak bakal lah aku seribut perempuan tadi,” ia tertawa lalu bersiap di dekat sepeda motor temannya, merogoh kocek, menyiapkan selembar uang untuk seorang petugas parkir.

Ketika keduanya siap berada di atas sepeda motor. Seorang bapak paruh baya berwajah ramah menghampiri. Mengenakan rompi oranye terang tanpa lengan khas tukang parkir, ia menerima uang dan mencoba sedikit berbasa-basi. “Makasih Mbak, kok nggak pake helm?”

“Nggak bawa Pak. Bapak nyewain helm nggak?”

Tukang parkir paruh baya itu terkekeh. “Ya nggak Mbak. Memangnya laku kalau saya nyediain penyewaan helm? Yang ada malah hilang helmnya.”

Setelahnya sang tukang parkir membantu pengendara sepeda sepeda motor itu menyebrang, mengambil jalur sebaliknya sembari meniupkan peluit yang tergantung di leher. Dengan langkah ringan sang tukang parkir kembali ke halaman cafe, matanya sempat memandangi jalanan hingga perhatianya teralih. Teralih pada kehadiran dua orang laki-laki, yang perlahan-lahan menuntun sepeda motor. “Wah mogok ya Mas?”

“Iya nih Pak, ”

Kepayahan, kedua laki-laki yang rencananya akan menemui temannya di sebuah rumah makan, menuntun  sepeda motor yang mogok menuju bengkel terdekat. Si pemilik sepeda motor telah mandi keringat sejak tadi, punggung pakaiannya basah seolah tersiram air. Sementara teman si pemilik sepeda motor, masih tampak baik-baik saja. Sekalipun bibirnya tak berhenti mengoceh, berusaha mengalihkan perhatian dari sengatan matahari.

“Tadi mbak-mbak yang ngelewatin kita nggak pake helm ya?”

“Iya sih, kayaknya. Nggak merhatiin aku.” salah satu dari mereka yang memegangi setir—si pemilik sepeda motor, melirik sekilas ke belakang. “Kenapa emangnya? Cantik?”

Teman si pemilik sepeda motor ikut-ikutan menoleh ke belakang, padahal orang yang mereka obrolkan telah lama menjauh dari pandangan. “Bukan itu maksudku, di belakang kan ada cegatan tadi. Bisa kena mereka. Lagian gara-gara kejadian dua hari lalu, jadi agak ngeri juga kalau nggak pake helm.”

“Oh, kecelakaan waktu itu? Iya, kalau aja tuh orang pake helm mungkin nggak sampe pecah gitu kepalanya,” si pemilik sepeda motor mengusap dahi, menyingkirkan keringat yang semakin menjadi-jadi. “Tapi nasib sih, siapa yang tahu.”

“Maksudmu nasib itu macam sepeda motormu ini yang jarang diservis terus tiba-tiba mogok? Kayak gitu namanya sih pilihan, dia milih nggak pake helm makanya pecah kepalanya pas kecelakaan,” si teman pemilik sepeda motor mengenakan tudung jaket, berusaha menghalau panas yang menyengat kepala. “Payah. Bisa ngambek nih si Adel gara-gara kita telat.”

“Tenang aja kan udah aku telpon tadi. Yang penting kita dapet bengkel dulu.”

Kedua laki-laki itu menuntun sepeda motor mereka melewati deretan kendaraan yang menunggu lampu lalu lintas. Rombongan kendaraan yang entah hendak berbelok ke kanan atau mengambil jalur lurus. Sementara kedua lelaki itu memutuskan untuk mengambil jalur jalan terus tanpa mengikuti lampu lalu lintas, berbelok kiri perlahan-lahan.

“Kasian banget tuh, sepeda motornya mogok segala.”

“Panas banget kayak gini pula.”

Kedua perempuan berseragam SMA yang baru saja pulang dari sekolah menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Bersama pengendara lain, berbaris di belakang garis, mendengarkan suara entah siapa yang berbunyi melalui pengeras. Meminta merekam para pengendara untuk berhati-hati di jalan.

Lampu berubah menjadi hijau. Kendaraan melesat meninggalkan lampu lalu lintas, termasuk sepasang anak SMA yang sesekali mengobrolkan sesuatu di balik helm mereka.

Obrolan itu begitu asik hingga mungkin setengah konsentrasi mereka melayang pada cerita mengenai guru di kelas. Kehilangan konsentrasi yang membuat keterkejutan si pengendara sepeda motor terasa mendadak, hingga refleks mengerem dan menekan klakson, membuat penghuni bangku penumpang tertarik menubruk tubuh di hadapannya.

“Parah nih ibu-ibu, ngasih lampu sein kemana beloknya kemana. Sorry ya, mendadak ngerem tadi.”

“Santai. Emang biasa kan ada yang kayak gitu.”

Mengabaikan umpatan kedua anak SMA yang mengklaksonnya, sang ibu yang dimaksud menghentikkan sepeda motornya di depan sebuah SMP. Tanpa mencopot helm, menunggu sang anak yang seharusnya sudah pulang.

Tak jauh dari sang ibu, seorang anak laki-laki kelas 2 SMP dengan seragam putih dan biru tuanya, baru saja keluar dari pekarangan rumah seseorang. Seseorang yang bersedia menyewakan pekarangannya untuk parkir anak-anak SMP, yang seharusnya tidak diperbolehkan membawa kendaraan apalagi parkir di wilayah sekolah.

Si anak kelas 2 SMP ini tak merasa rugi harus mengeluarkan uang lebih hanya demi parkir, lagipula membawa kendaraan sendiri terasa lebih mudah dibandingkan naik kendaraan umum. Sembari memperhatikan ramai pengendara dan langkah anak-anak sebayanya, si anak kelas 2 SMP ini memutar setir hendak berbelok memasuki jalanan. Panggilan akan namanya menghentikan niatan, seorang teman menghampirinya.

“Naik sepeda motor sekarang?”

“Iya lah, kan aku udah bisa. Kamu kapan?”

“Ngapain, rumahku deket ini. Nantilah kalau udah punya SIM, biar ayem di jalan. Nggak usah takut tilangan.Eh, Boncengin dong, sampe sana aja,” tangannya menunjuk sebuah gang yang tak jauh dari mereka. Rumahnya memang di sana, memasuki gang itu lalu lurus saja, tak sampai melewati lima rumah.

“Ogah. Katanya deket, jalan kaki ajalah sana. Lagian aku belum berani boncengin orang,” tangan anak laki-laki itu melambai sekilas lalu menutup kaca helmnya, meninggalkan temannya yang hanya mencibir kemudian melangkah pergi.

Sepeda motor anak laki-laki itu menyebrang, memasuki jalanan yang mulai padat dengan anak-anak sekolah yang baru saja pulang, angkot yang menunggu penumpang dan para penjaja jajanan yang hanya datang di saat anak-anak sekolah bubaran. Terus melaju, memacu dalam kecepatan normal, sang anak laki-laki melewati sebuah penginapan tempat seorang perempuan berdebat dengan dua orang laki-laki.

“Lho nggak mau saya, Mas. Spionnya nggak ada satu gini, kalau kena cegatan gimana?”

“Ya gimana Mbak, sepeda motornya tinggal satu ini,” salah satu dari kedua laki-laki itu menggaruk tengkuknya. “Kalau nggak, tunggu aja sampe nggak ada cegatan Mbak. Paling entar sore juga cegatannya nggak ada Mbak.”

“Iya Mbak, lagian cuma satu spion ini yang nggak ada. Surat-surat sepeda motor lengkap, helm ada,” timpal laki-laki lainnya.

Si perempuan menggelengkan kepalanya cepat. “Saya disini tuh mau liburan, bukan cari masalah sama polisi. Repot saya kalau dicegat, terus SIM saya ditahan. Lagian Mas, kan saya bayar sewa sepeda motornya full nih, masak dapet yang spionnya nggak lengkap gini.”

“Ya udah deh Mbak, kita potong deh biayanya. Kita kasih diskon.”


Si perempuan memandangi kembali sepeda motor yang entah kemana salah satu spionnya. Menimbang-nimbang lalu kembali menolak. “Nggak deh Mas, bukan masalah uang doang. Kalau gara-gara spion begini saya kena celaka gimana? Atau kalau saya bikin celaka orang lain kan repot. Saya nggak bisa salahin sepeda motor atau masnya kan? Kalau saya mati, ya mati.”

1 komentar :

Unknown at: 8 Mei 2016 pukul 06.45 mengatakan... Reply

Nes, aku baru baca ini. Ini bagus banget... awalnya aku bingung kok tokohnya lompat-lompat gitu ternyata emang kamu sengaja ya bikin alurnya gitu. Aku bacanya miris, loh. Bener-bener potret lalu lintas di Indonesia banget. Terus aku suka judulnya, Kalau Mati, Ya Mati. Itu bener banget. Duh aku jadi gemes sama orang-orang yang gapake helm kalo naik motor atau gapake sabuk pengaman. Terus kadang kesel juga sama tukang ojek mangkal yang suka ngga ngasih helm kalo sekiranya tujuan deket/ngga ada polisi mangkal *jadi curhat*

Btw, ada lava cake, jadi inget lava cake yang kumakan pas di Semarang :'D

Posting Komentar

Beo Terbang