Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Hari itu siang, terik. Matahari
di kota ini bagaikan beranak pinak, bertambah jumlahnya. Demi menghindari
sengatan matahari yang membakar, sebagian orang memilih untuk berteduh
dibandingkan meneruskan perjalanan. Cafe pun
menjadi salah satu tujuan, tempat untuk mengeluhkan
panas maupun masalah yang merepotkan. Sekedar menikmati segelas air dingin
diiringi alunan musik dan obrolan ringan.
“Parah ya. Harusnya nggak usah
pake nerobos lampu merah tadi. Ketilang kan kita.”
Suara pintu yang berderit dan keluhan
yang tak serupa teriakan, menjadi bagian dari riuh obrolan di dalam cafe. Sepasang laki-laki dan perempuan
yang tampak kusut wajahnya, melangkah menuju sebuah kursi kosong di sudut cafe. Si perempuan memutuskan untuk
membuka dompetnya sembari berjalan, mengecek isinya yang telah dikorbankan demi
mempermudah proses hukum.
“Nih, dompet aku makin tipis
aja isinya. Salahmu sih pake ketilang segala,” perempuan itu merajuk, menarik
perhatian beberapa penghuni cafe yang kemudian mengabaikannya. Si laki-laki
tampak tak nyaman dan memutuskan untuk melangkah lebih cepat menuju tempat
duduk yang kosong.
Lirih, laki-laki itu mengajukan
pembelaan. “Ya mau gimana lagi, biasanya daerah situ kosong kok. Nggak ada
polisinya. Tadi juga sepi kan.”
“Ih tapi kan lumayan. Padahal
niatnya uang itu buat beli lava cake
yang katanya enak itu.”
Seorang penghuni cafe, meletakkan sendoknya setelah
menghabiskan lava cake pesanan.
Perhatiannya sempat teralih dari hidangan nikmat yang telah tandas, ke pasangan
muda-mudi yang berjalan melewati kursinya. Sempat ia terkikik geli melihat
tingkah keduanya. Tak tampak seperti bocah labil tapi memamerkan pertengkaran
layaknya drama televisi, hanya karena masalah uang tilang.
“Tapi uang tilang kan lumayan,”
teman dari penghuni cafe yang sempat
menikmati lava cake, menimpali lalu berdiri
dari duduk, melangkah menuju kasir.
Penghuni cafe—si penikmat lava cake,
menyusul temannya dan kembali berpendapat. “Iya sih, tapi lucu aja ngeliat
mereka ribut sambil jalan gitu. Apalagi yang cewek, ngambek bener keliatannya.”
Setelah membayar, kedua
perempuan itu memutuskan untuk meninggalkan cafe.
Tangan teman si penikmat lava cake
menyentuh pintu masuk cafe. Hendak
menarik gagang pintu, sebelum terhenti sejenak dan menoleh. “Kamu mau nebeng
kan? Bawa helm nggak?”
“Nggak.”
Teman si penikmat lava cake, mendecakkan lidah sembari
menarik pintu dan keluar dari cafe.
“Denger nggak tadi, mereka kena tilang karena ngelanggar lampu. Kita bisa kena
tilang karena kamu nggak pake helm.”
“Halah,” si penikmat lava cake mengibaskan tangannya. “Nanti
aku bayar, santai aja. Nggak bakal lah aku seribut perempuan tadi,” ia tertawa
lalu bersiap di dekat sepeda motor temannya, merogoh kocek, menyiapkan selembar
uang untuk seorang petugas parkir.
Ketika keduanya siap berada di
atas sepeda motor. Seorang bapak paruh baya berwajah ramah menghampiri. Mengenakan
rompi oranye terang tanpa lengan khas
tukang parkir, ia menerima uang dan mencoba sedikit berbasa-basi. “Makasih
Mbak, kok nggak pake helm?”
“Nggak bawa Pak. Bapak nyewain
helm nggak?”
Tukang parkir paruh baya itu
terkekeh. “Ya nggak Mbak. Memangnya laku kalau saya nyediain penyewaan helm?
Yang ada malah hilang helmnya.”
Setelahnya sang tukang parkir
membantu pengendara sepeda sepeda motor itu menyebrang, mengambil jalur
sebaliknya sembari meniupkan peluit yang tergantung di leher. Dengan langkah
ringan sang tukang parkir kembali ke halaman cafe, matanya sempat memandangi jalanan hingga perhatianya teralih.
Teralih pada kehadiran dua orang laki-laki, yang perlahan-lahan menuntun sepeda
motor. “Wah mogok ya Mas?”
“Iya nih Pak, ”
Kepayahan, kedua laki-laki yang
rencananya akan menemui temannya di sebuah rumah makan, menuntun sepeda motor yang mogok menuju bengkel
terdekat. Si pemilik sepeda motor telah mandi keringat sejak tadi, punggung
pakaiannya basah seolah tersiram air. Sementara teman si pemilik sepeda motor,
masih tampak baik-baik saja. Sekalipun bibirnya tak berhenti mengoceh, berusaha
mengalihkan perhatian dari sengatan matahari.
“Tadi mbak-mbak yang ngelewatin
kita nggak pake helm ya?”
“Iya sih, kayaknya. Nggak
merhatiin aku.” salah satu dari mereka yang memegangi setir—si pemilik sepeda
motor, melirik sekilas ke belakang. “Kenapa emangnya? Cantik?”
Teman si pemilik sepeda motor
ikut-ikutan menoleh ke belakang, padahal orang yang mereka obrolkan telah lama
menjauh dari pandangan. “Bukan itu maksudku, di belakang kan ada cegatan tadi.
Bisa kena mereka. Lagian gara-gara kejadian dua hari lalu, jadi agak ngeri juga
kalau nggak pake helm.”
“Oh, kecelakaan waktu itu? Iya,
kalau aja tuh orang pake helm mungkin nggak sampe pecah gitu kepalanya,” si
pemilik sepeda motor mengusap dahi, menyingkirkan keringat yang semakin
menjadi-jadi. “Tapi nasib sih, siapa yang tahu.”
“Maksudmu nasib itu macam sepeda
motormu ini yang jarang diservis terus tiba-tiba mogok? Kayak gitu namanya sih
pilihan, dia milih nggak pake helm makanya pecah kepalanya pas kecelakaan,” si
teman pemilik sepeda motor mengenakan tudung jaket, berusaha menghalau panas
yang menyengat kepala. “Payah. Bisa ngambek nih si Adel gara-gara kita telat.”
“Tenang aja kan udah aku telpon
tadi. Yang penting kita dapet bengkel dulu.”
Kedua laki-laki itu menuntun sepeda
motor mereka melewati deretan kendaraan yang menunggu lampu lalu lintas.
Rombongan kendaraan yang entah hendak berbelok ke kanan atau mengambil jalur lurus.
Sementara kedua lelaki itu memutuskan untuk mengambil jalur jalan terus tanpa
mengikuti lampu lalu lintas, berbelok kiri perlahan-lahan.
“Kasian banget tuh, sepeda
motornya mogok segala.”
“Panas banget kayak gini pula.”
Kedua perempuan berseragam SMA
yang baru saja pulang dari sekolah menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi
hijau. Bersama pengendara lain, berbaris di belakang garis, mendengarkan suara
entah siapa yang berbunyi melalui pengeras. Meminta merekam para pengendara
untuk berhati-hati di jalan.
Lampu berubah menjadi hijau.
Kendaraan melesat meninggalkan lampu lalu lintas, termasuk sepasang anak SMA
yang sesekali mengobrolkan sesuatu di balik helm mereka.
Obrolan itu begitu asik hingga
mungkin setengah konsentrasi mereka melayang pada cerita mengenai guru di kelas.
Kehilangan konsentrasi yang membuat keterkejutan si pengendara sepeda motor
terasa mendadak, hingga refleks mengerem dan menekan klakson, membuat penghuni
bangku penumpang tertarik menubruk tubuh di hadapannya.
“Parah nih ibu-ibu, ngasih
lampu sein kemana beloknya kemana. Sorry
ya, mendadak ngerem tadi.”
“Santai. Emang biasa kan ada
yang kayak gitu.”
Mengabaikan umpatan kedua anak
SMA yang mengklaksonnya, sang ibu yang dimaksud menghentikkan sepeda motornya
di depan sebuah SMP. Tanpa mencopot helm, menunggu sang anak yang seharusnya
sudah pulang.
Tak jauh dari sang ibu, seorang
anak laki-laki kelas 2 SMP dengan seragam putih dan biru tuanya, baru saja
keluar dari pekarangan rumah seseorang. Seseorang yang bersedia menyewakan
pekarangannya untuk parkir anak-anak SMP, yang seharusnya tidak diperbolehkan
membawa kendaraan apalagi parkir di wilayah sekolah.
Si anak kelas 2 SMP ini tak
merasa rugi harus mengeluarkan uang lebih hanya demi parkir, lagipula membawa
kendaraan sendiri terasa lebih mudah dibandingkan naik kendaraan umum. Sembari
memperhatikan ramai pengendara dan langkah anak-anak sebayanya, si anak kelas 2
SMP ini memutar setir hendak berbelok memasuki jalanan. Panggilan akan namanya
menghentikan niatan, seorang teman menghampirinya.
“Naik sepeda motor sekarang?”
“Iya lah, kan aku udah bisa.
Kamu kapan?”
“Ngapain, rumahku deket ini. Nantilah
kalau udah punya SIM, biar ayem di
jalan. Nggak usah takut tilangan.Eh, Boncengin dong, sampe sana aja,” tangannya
menunjuk sebuah gang yang tak jauh dari mereka. Rumahnya memang di sana,
memasuki gang itu lalu lurus saja, tak sampai melewati lima rumah.
“Ogah. Katanya deket, jalan
kaki ajalah sana. Lagian aku belum berani boncengin orang,” tangan anak laki-laki
itu melambai sekilas lalu menutup kaca helmnya, meninggalkan temannya yang
hanya mencibir kemudian melangkah pergi.
Sepeda motor anak laki-laki itu
menyebrang, memasuki jalanan yang mulai padat dengan anak-anak sekolah yang
baru saja pulang, angkot yang menunggu penumpang dan para penjaja jajanan yang
hanya datang di saat anak-anak sekolah bubaran. Terus melaju, memacu dalam
kecepatan normal, sang anak laki-laki melewati sebuah penginapan tempat seorang
perempuan berdebat dengan dua orang laki-laki.
“Lho nggak mau saya, Mas.
Spionnya nggak ada satu gini, kalau kena cegatan gimana?”
“Ya gimana Mbak, sepeda motornya
tinggal satu ini,” salah satu dari kedua laki-laki itu menggaruk tengkuknya.
“Kalau nggak, tunggu aja sampe nggak ada cegatan Mbak. Paling entar sore juga
cegatannya nggak ada Mbak.”
“Iya Mbak, lagian cuma satu
spion ini yang nggak ada. Surat-surat sepeda motor lengkap, helm ada,” timpal
laki-laki lainnya.
Si perempuan menggelengkan
kepalanya cepat. “Saya disini tuh mau liburan, bukan cari masalah sama polisi.
Repot saya kalau dicegat, terus SIM saya ditahan. Lagian Mas, kan saya bayar
sewa sepeda motornya full nih, masak
dapet yang spionnya nggak lengkap gini.”
“Ya udah deh Mbak, kita potong
deh biayanya. Kita kasih diskon.”
Si perempuan memandangi kembali
sepeda motor yang entah kemana salah satu spionnya. Menimbang-nimbang lalu
kembali menolak. “Nggak deh Mas, bukan masalah uang doang. Kalau gara-gara
spion begini saya kena celaka gimana? Atau kalau saya bikin celaka orang lain
kan repot. Saya nggak bisa salahin sepeda motor atau masnya kan? Kalau saya
mati, ya mati.”
1 komentar :
Nes, aku baru baca ini. Ini bagus banget... awalnya aku bingung kok tokohnya lompat-lompat gitu ternyata emang kamu sengaja ya bikin alurnya gitu. Aku bacanya miris, loh. Bener-bener potret lalu lintas di Indonesia banget. Terus aku suka judulnya, Kalau Mati, Ya Mati. Itu bener banget. Duh aku jadi gemes sama orang-orang yang gapake helm kalo naik motor atau gapake sabuk pengaman. Terus kadang kesel juga sama tukang ojek mangkal yang suka ngga ngasih helm kalo sekiranya tujuan deket/ngga ada polisi mangkal *jadi curhat*
Btw, ada lava cake, jadi inget lava cake yang kumakan pas di Semarang :'D
Posting Komentar